Aurat Perempuan
Aurat Perempuan
Dari
uraian terdahulu, kita tahu bahwa semua bagian tubuh yang tidak boleh
dinampakkan, adalah aurat. Oleh karena itu dia harus menutupinya dan haram
dibuka.
Aurat
perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki lain atau perempuan yang tidak
seagama, yaitu seluruh badannya, kecuali muka dan dua tapak tangan. Demikian
menurut pendapat yang kami anggap lebih kuat. Karena dibolehkannya membuka
kedua anggota tersebut --seperti kata ar-Razi-- adalah karena ada suatu
kepentingan untuk bekerja, mengambil dan memberi. Oleh karena itu orang
perempuan diperintah untuk menutupi anggota yang tidak harus dibuka dan diberi
rukhsah untuk membuka anggota yang biasa terbuka dan mengharuskan dibuka,
justru syariat Islam adalah suatu syariat yang toleran.
Ar-Razi
selanjutnya berkata: "Oleh karena membuka muka dan kedua tapak tangan itu
hampir suatu keharusan, maka tidak salah kalau para ulama juga bersepakat,
bahwa kedua anggota tersebut bukan aurat."
Adapun
kaki, karena terbukanya itu bukan suatu keharusan, maka tidak salah juga kalau
mereka itu berbeda pendapat (ikhtilaf), apakah dia itu termasuk aurat atau
tidak?5
Sedang
aurat orang perempuan dalam hubungannya dengan duabelas orang seperti yang
disebut dalam ayat an-Nur itu, terbatas pada perhiasan (zinah) yang tidak
tersembunyi, yaitu telinga, leher, rambut, dada, tangan dan betis. Menampakkan
anggota-anggota ini kepada duabelas orang tersebut diperkenankan oleh Islam.
Selain itu misalnya punggung, kemaluan dan paha tidak boleh diperlihatkan baik
kepada perempuan atau laki-laki kecuali terhadap suami.
Pemahaman
terhadap ayat ini lebih mendekati kepada kebenaran daripada pendapat sementara
ulama yang mengatakan, bahwa aurat perempuan dalam hubungannya dengan mahram
hanyalah antara pusar dan lutut. Begitu juga dalam hubungannya dengan sesama
perempuan. Bahkan apa yang dimaksud oleh ayat tersebut yang kiranya lebih
mendekati kepada pendapat sebagian ulama, yaitu: "Bahwa aurat perempuan
terhadap mahramnya ialah anggota yang tidak tampak ketika melayani. Sedang apa
yang biasa tampak ketika bekerja di rumah, mahram-mahram itu boleh
melihatnya."
Justru
itu Allah memerintahkan kepada perempuan-perempuan mu'minah hendaknya mereka
itu memakai jilbab ketika keluar rumah, supaya berbeda dengan
perempuan-perempuan kafir dan perempuan-perempuan lacur. Untuk itu pula Allah
perintahkan kepada Nabi-Nya supaya menyampaikan pengumuman Allah ini kepada
ummatnya; yang berbunyi sebagai berikut:
"Hai
Nabi! Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mu'min semua hendaklah mereka menghulurkan jilbab-jilbab
mereka atas (muka-muka) mereka. Yang demikian itu lebih mendekati mereka untuk
dikenal supaya mereka tidak diganggu."
(al-Ahzab: 59)
Jilbab,
yaitu pakaian yang lebarnya semacam baju kurung untuk dipakai perempuan guna
menutupi badannya.
Sebagian
perempuan jahiliah apabila keluar rumah, mereka menampakkan sebagian
kecantikannya, misalnya dada, leher dan rambut, sehingga mereka ini diganggu
oleh laki-laki fasik dan yang suka iseng, kemudian turunlah ayat di atas yang
memerintahkan kepada orang-orang perempuan mu'minah untuk menghulurkan
jilbabnya itu sehingga sedikitpun bagian-bagian tubuhnya yang biasa membawa
fitnah itu tidak tampak. Dengan demikian secara lahiriah mereka itu dikenal
sebagai wanita yang terpelihara (afifah) yang tidak mungkin diganggu oleh
orang-orang yang suka iseng atau orang-orang munafik.
Jadi
jelasnya, bahwa ayat tersebut memberikan illah (alasan) perintahnya itu karena
kawatir perempuan-perempuan muslimah itu diganggu oleh orang-orang fasik dan
menjadi perhatian orang-orang yang suka iseng. Bukan ketakutan yang timbul dari
perempuan itu sendiri atau karena tidak percaya kepada mereka, sebagaimana
anggapan sementara orang, sebab perempuan yang suka menampakkan perhiasannya,
yang berjalan dengan penuh bergaya (in action) dan bicaranya dibuat-buat,
sering membuat perhatian orang laki-laki dan membikin sasaran orang-orang yang
suka iseng.
Ini
cocok dengan firman Allah yang mengatakan:
"Janganlah
perempuan-perempuan itu berlaku lemah dengan perkataannya, sebab akan menaruh
harapan orang yang dalam hatinya ada penyakit." (al-Ahzab: 32)
Islam
memperkeras persoalan menutup aurat dan menjaga perempuan muslimah. Hanya
sedikit sekali perempuan diberinya rukhsah (keringanan), misalnya
perempuan-perempuan yang sudah tua.
Firman
Allah:
"Dan
perempuan-perempuan yang sudah putus haidhnya dan tidak ada harapan untuk kawin
lagi, maka tidak berdosa baginya untuk melepas pakaiannya, asalkan tidak
menampak-nampakkan perhiasannya. Tetapi kalau mereka menjaga diri akan lebih
baik bagi mereka, dan Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui." (an-Nur: 60)
Yang
dimaksud al-qawa'id (perempuan-perempuan yang duduk), yaitu perempuan-perempuan
yang sudah tidak haidh dan tidak beranak lagi karena sudah tua. Justru itu
mereka sudah tidak ada keinginan untuk kawin dan sudah tidak suka kepada
laki-laki, begitu juga laki-laki itu sendiri sudah tidak suka kepada mereka.
Untuk
mereka ini, Allah memberikan kelonggaran dan tidak menganggap suatu perbuatan
dosa, jika mereka itu menanggalkan sebagian pakaian luar yang biasa tampak,
seperti baju kurung, kebaya, kudung dan sebagainya.
Al-Quran
memberikan batas rukhsah ini dengan kata: tidak menampak-nampakkan
perhiasannya, yakni tidak bermaksud menanggalkan pakaiannya itu untuk
menunjuk-nunjukkan. Akan tetapi kelonggaran ini diberikan jika memang mereka
itu memerlukan.
Berdasar
rukhsah ini, maka kiranya yang lebih afdhal dan lebih baik hendaknya mereka
tetap menjaga diri dengan selalu mengenakan pakaian-pakaian tersebut, untuk
mencari kesempurnaan dan supaya terhindar dari segala syubhat. Karena itu Allah
mengatakan dan kalau mereka itu menjaga diri adalah lebih baik bagi mereka.
Perempuan Masuk Pemandian
Demi
perhatian Islam terhadap masalah pemeliharaan aurat, maka Rasulullah s.a.w.
melarang perempuan-perempuan masuk pemandian umum dan telanjang di hadapan
perempuan-perempuan lain yang memungkinkan sifat-sifat badannya itu akan
menjadi pembicaraan dalam majlis-majlis dan oleh mulut-mulut yang usil.
Begitu
juga Rasulullah s.a.w. melarang laki-laki masuk pemandian kecuali dengan
memakai kain yang dapat menutupi badannya dari pandangan mata orang lain.
Sebagaimana tersebut dalam riwayat di bawah ini:
"Barangsiapa
beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan masuk pemandian kecuali dengan
memakai kain. Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan
memasukkan (membiarkan masuk) isterinya ke pemandian." (Riwayat Nasa'i
Tarmizi ia hasankan; dan Hakim ia berkata: hadis ini diriwayatkan dengan
rawi-rawi Muslim) - lihat Targhib.
"Dari
Aisyah r.a., ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. melarang
perempuan-perempuan masuk pemandian, kemudian ia membolehkan laki-laki masuk
pemandian dengan memakai kain." (Riwayat Abu Daud -- dan ia tidak
melemahkan dan lafaz ini terdapat dalam sunannya -- juga diriwayatkan oleh
Tarmizi dan Ibnu Majah, dan dalam sanadnya ada seorang yang tidak terkenal) -
lihat Targhib.
Dikecualikan
perempuan yang masuk pemandian guna berobat karena sakit yang dideritanya atau
karena nifas dan sebagainya. Karena ada suatu riwayat dari Abdullah bin Umar,
bahwa Rasulullah s.a.w. pernah mengatakan perihal pemandian sebagai berikut:
"Janganlah
seorang laki-laki masuk pemandian kecuali dengan memakai kain, dan hendaklah
mereka itu melarang perempuan-perempuan masuk pemandian kecuali karena sakit
atau nifas." (Riwayat Ibnu Majah, Abu Daud - tetapi dalam sanadnya ada
seorang yang bernama Abdurrahman bin Ziadah bin An'am al-Afriqi)
Dalam
hadis ini ada sedikit kelemahan, tetapi berdasar kaidah-kaidah syara'
sehubungan dengan masalah rukhshah untuk orang yang sakit dan demi memudahkan
mereka untuk beribadah dan menunaikan kewajiban-kewajiban, maka semua itu dapat
memperkuat dan menunjang hadis tersebut. Diperkuat juga dengan kaidah yang
sudah masyhur, bahwa sesuatu yang diharamkan karena membendung bahaya, bisa
menjadi mubah justru ada kepentingan yang sangat dan demi kemaslahatan.
Dan
dikuatkan juga oleh hadis riwayat Ibnu Abbas yang menerangkan, bahwa Rasuluilah
s.a.w. pernah bersabda sebagai berikut:
"Berhati-hatilah
kamu terhadap rumah yang disebut pemandian. Para
sahabat bertanya: Ya Rasulullah! Sesungguhnya dia itu dapat menghilangkan
kotoran dan berguna bagi orang yang sakit. Maka jawab Nabi: (Bolehlah kamu
masuk) tetapi barangsiapa yang masuk hendaknya memakai tutup." (Riwayat
Hakim dan ia berkata: Sahih dengan sanad Muslim)
Oleh
karena itu kalau seorang perempuan masuk pemandian tanpa ada uzur yang
mengharuskan, maka berarti dia telah berbuat yang haram dan akan mendapat
ancaman Rasulullah s.a.w. Dalam Hadisnya yang diriwayatkan dari jalan Abu Malik
al-Hudzali, bahwa beberapa orang perempuan dari Himasha atau dari Syam masuk ke
rumah Aisyah kemudian ia berkata: Apakah kamu ini perempuan-perempuan yang
memasukkan anak-anak perempuanmu ke pemandian? Sungguh aku pernah mendengar
Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Tidak
seorang pun perempuan yang melepas pakaiannya bukan di rumah suaminya,
melainkan dia merobek tabir antara dia dengan Tuhannya." (Riwayat Tarmizi
- dan lafaz ini baginya, dan ia berkata: hadis ini hasan. Juga diriwayatkan
oleh Abu Daud dan Hakim; dan ia berkata: rawi-rawinya adalah rawi-rawi Bukhari
dan Muslim) - lihat Targhib.
"Dari
Ummu Salamah, sesungguhnya Rasulullah s.a.w. bersabda: Siapapun perempuan yang
melepas pakaiannya bukan di rumahnya sendiri, maka Allah akan merobek
daripadanya tabirnya." (Riwayat Ahmad, Abu Ya'Ia, Thabarani dan Hakim) -
lihat Targhib.
Kalau
demikian kerasnya Islam dalam persoalan perempuan yang masuk pemandian, yaitu
sebuah bangunan yang berdinding empat yang hanya dimasuki orang-orang
perempuan, maka bagaimana lagi hukumnya orang-orang perempuan cabul yang mau
menampakkan auratnya di hadapan laki-laki yang suka iseng dan ditampakkan
tubuhnya itu di pinggir laut yang menjadi sasaran semua mata yang sedang lapar
dan membangkitkan gharizah yang menggelora?
Dan
kalau perempuan-perempuan tersebut telah merobek-robek dinding antara dia dan
Tuhannya, maka suami-suaminya yang membiarkan mereka ini bersekutu dalam dosa,
karena mereka adalah yang tertanggungjawab kalau benar-benar mereka
mengetahuinya.
Menampak-nampakkan Perhiasan adalah Haram
Seorang
muslimah mempunyai budi yang dapat membedakan dari perempuan kafir atau
perempuan jahiliah. Budi perempuan muslimah ialah pandai menjaga diri, tunduk,
terhormat dan pemalu.
Berbeda
dengan perempuan jahiliah, moralnya senang menunjuk-nunjukkan perhiasannya
(tabarruj) dan suka menarik laki-laki.
Arti
tabarruj yang sebenarnya ialah: membuka dan menampakkan sesuatu untuk dilihat
mata. Mahligai disebut buruj seperti ayat yang mengatakan burujim musyyadah,
tempat perjalanan bintang juga disebut buruj, karena tingginya dan tampak jelas
oleh orang-orang yang melihatnya.
Zamakhsyari
berkata: "Bahwa tabarruj itu ialah memaksa diri untuk membuka sesuatu yang
seharusnya disembunyikan." Seperti kata orang Arab: safinatun barij
(perahu yang tidak pakai atap).
Namun
tabarruj dalam ayat di atas adalah khusus untuk perempuan terhadap laki-laki
lain, yaitu mereka nampakkan perhiasannya dan kecantikannya.
Dalam
mengertikan tabarruj ini, Zamakhsyari menggunakan unsur baru, yaitu: takalluf
(memaksa) dan qashad (sengaja) untuk menampakkan sesuatu perhiasan yang
seharusnya disembunyikan. Sesuatu yang harus disembunyikan itu ada kalanya
suatu tempat di badan, atau gerakan anggota, atau cara berkata dan berjalan,
atau perhiasan yang biasa dipakai berhias oleh orang-orang perempuan dan
lainlain.
Tabarruj
ini mempunyai bentuk dan corak yang bermacam-macam yang sudah dikenal oleh
orang-orang banyak sejak zaman dahulu sampai sekarang.
Ahli-ahli
tafsir dalam menafsirkan ayat yang mengatakan:
"Dan
tinggallah kamu (hai isteri-isteri Nabi) di rumah-rumah kamu dan jangan kamu
menampak-nampakkan perhiasanmu seperti orang jahiliah dahulu." (Ahzab: 33)
sebagai
berikut:
·
Yujahid
berkata: Perempuan ke luar dan berjalan di hadapan laki-laki.
·
Qatadah
berkata: Perempuan yang cara berjalannya dibikin-bikin dan menunjuk-nunjukkan.
·
Muqatil
berkata: Yang dimaksud tabarruj, yaitu melepas kudung dari kepala dan tidak
diikatnya, sehingga kalung, kriul dan lehernya tampak semua.
Cara-cara
di atas adalah macam-macam daripada tabarruj di zaman jahiliah dahulu, yaitu:
bercampur bebas dengan laki-laki, berjalan dengan melenggang, kudung dan
sebagainya tetapi dengan suatu mode yang dapat tampak keelokan tubuh dan
perhiasannya.
Jahiliah
pada zaman kita sekarang ini ada beberapa bentuk dan macam tabarruj yang kalau
diukur dengan tabarruj jahiliah, maka tabarruj jahiliah itu masih dianggap
sebagai suatu macam pemeliharaan.
Post a Comment