Haram Melihat Aurat
Haram Melihat Aurat
Di
antara yang harus ditundukkannya pandangan, ialah kepada aurat. Karena
Rasulullah s.a.w. telah melarangnya sekalipun antara laki-laki dengan laki-laki
atau antara perempuan dengan perempuan baik dengan syahwat ataupun tidak.
Sabda
Rasulullah s.a.w.:
"Seseorang
laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lain, dan begitu juga perempuan
tidak boleh melihat aurat perempuan lain, dan tidak boleh seorang laki-laki
bercampur dengan laki-laki lain dalam satu pakaian, dan begitu juga perempuan
dengan perempuan lain bercampur dalam satu pakaian."1 (Riwayat Muslim, Ahmad, Abu
Daud dan Tarmizi)
Aurat
laki-laki yang tidak boleh dilihat oleh laki-laki lain atau aurat perempuan
yang tidak boleh dilihat oleh perempuan lain, yaitu antara pusar dan lutut,
sebagaimana yang diterangkan dalam Hadis Nabi. Tetapi sementara ulama, seperti
Ibnu Hazm dan sebagian ulama Maliki berpendapat, bahwa paha itu bukan aurat.
Sedang
aurat perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki lain ialah seluruh badannya
kecuali muka dan dua tapak tangan. Adapun yang dalam hubungannya dengan
mahramnya seperti ayah dan saudara, maka seperti apa yang akan diterangkan
dalam Hadis yang membicarakan masalah menampakkan perhiasan.
Semua
aurat yang haram dilihat seperti yang kami sebutkan di atas, baik dilihat
ataupun disentuh, adalah dengan syarat dalam keadaan normal (tidak terpaksa dan
tidak memerlukan). Tetapi jika dalam keadaan terpaksa seperti untuk mengobati,
maka haram tersebut bisa hilang. Tetapi bolehnya melihat itu dengan syarat
tidak akan menimbulkan fitnah dan tidak ada syahwat. Kalau ada fitnah atau
syahwat, maka kebolehan tersebut bisa hilang juga justru untuk menutup pintu
bahaya.
1 Batas dibolehkannya Melihat Aurat Laki-Laki atau Perempuan
Dan
keterangan yang kami sebutkan di atas, jelas bahwa perempuan melihat laki-laki
tidak pada auratnya, yaitu di bagian atas pusar dan di bawah lutut, hukumnya
mubah, selama tidak diikuti dengan syahwat atau tidak dikawatirkan akan
menimbulkan fitnah. Sebab Rasulullah sendiri pernah memberikan izin kepada
Aisyah untuk menyaksikan orang-orang Habasyi yang sedang mengadakan permainan
di masjid Madinah sampai lama sekali sehingga dia bosan dan pergi.2
Yang
seperti ini ialah seorang laki-laki melihat perempuan tidak kepada auratnya,
yaitu di bagian muka dan dua tapak tangan, hukumnya mubah selama tidak diikuti
dengan syahwat atau tidak dikawatirkan menimbulkan fitnah.
Aisyah
meriwayatkan, bahwa saudaranya yaitu Asma' binti Abubakar pernah masuk di rumah
Nabi dengan berpakaian jarang sehingga tampak kulitnya. Kemudian beliau
berpaling dan mengatakan:
"Hai
Asma'! Sesungguhnya seorang perempuan apabila sudah datang waktu haidh, tidak
patut diperlihatkan tubuhnya itu, melainkan ini dan ini -- sambil ia menunjuk
muka dan dua tapak tangannya." (Riwayat Abu Daud)
Dalam
hadis ini ada kelemahan, tetapi diperkuat dengan hadis-hadis lain yang
membolehkan melihat muka dan dua tapak tangan ketika diyakinkan tidak akan
membawa fitnah.
Ringkasnya,
bahwa melihat biasa bukan kepada aurat baik terhadap laki-laki atau perempuan,
selama tidak berulang dan menjurus yang pada umumnya untuk kemesraan dan tidak
membawa fitnah, hukumnya tetap halal.
Salah
satu kelapangan Islam, yaitu: Dia membolehkan melihat yang sifatnya mendadak
pada bagian yang seharusnya tidak boleh, seperti tersebut dalam riwayat di
bawah ini:
"Dari
Jarir bin Abdullah, ia berkata: Saya bertanya kepada Rasulullah s.a. w. tentang
melihat dengan mendadak. Maka jawab Nabi: Palingkanlah pandanganmu itu!"
(Riwayat Ahmad, Muslim, Abu Daud dan Tarmizi) -- yakni: Jangan kamu ulangi
melihat untuk kedua kalinya.
2 Perhiasan Perempuan yang Boleh Tampak dan yang Tidak Boleh
Ini ada
hubungannya dengan masalah menundukkan pandangan yang oleh dua ayat di surah
an-Nur 30-31, Allah perintahkan kepada laki-laki dan perempuan.
Adapun
yang khusus buat orang perempuan dalam ayat kedua (ayat 31) yaitu:
a) Firman Allah:
"Janganlah
orang-orang perempuan menampakkan perhiasannya, melainkan apa yang biasa tampak
daripadanya."
Yang
dimaksud perhiasan perempuan, yaitu apa saja yang dipakai berhias dan untuk
mempercantik tubuh, baik berbentuk ciptaan asli seperti wajah, rambut dan
potongan tubuh, ataupun buatan seperti pakaian, perhiasan, make-up dan
sebagainya.
Dalam
ayat di atas Allah memerintahkan kepada orang-orang perempuan supaya
menyembunyikan perhiasan tersebut dan melarang untuk dinampak-nampakkan. Allah
tidak memberikan pengecualian, melainkan apa yang bisa tampak. Oleh karena itu
para ulama kemudian berbeda pendapat tentang arti apa yang biasa tampak itu dan
ukurannya. Apakah artinya: apa yang tampak karena terpaksa tanpa disengaja,
misalnya terbuka karena ditiup angin; ataukah apa yang biasa tampak dan memang
dia itu asalnya tampak?
Kebanyakan
ulama salaf berpendapat menurut arti kedua, Misalnya Ibnu Abbas , ia
berkata dalam menafsirkan apa yang tampak itu ialah: celak dan cincin.
Yang
berpendapat seperti ini ialah sahabat Anas. Sedang bolehnya dilihat celak dan
cincin, berarti boleh dilihatnya kedua tempatnya, yaitu muka dan kedua tapak
tangan. Demikianlah apa yang ditegaskan oleh Said bin Jubair, 'Atha', Auza'i
dan lain-lain.
Sedang
Aisyah, Qatadah dan lain-lain menisbatkan dua gelang termasuk perhiasan yang
boleh dilihat. Dengan demikian, maka sebagian lengan ada yang dikecualikan.
Tetapi tentang batasnya dari pergelangan sampai siku, masih diperselisihkan.
Di
samping satu kelonggaran ini, ada juga yang mempersempit, misalnya: Abdullah
bin Mas'ud dan Nakha'i. Kedua beliau ini menafsirkan perhiasan yang boleh
tampak, yaitu selendang dan pakaian yang biasa tampak, yang tidak mungkin
disembunyikan.
Tetapi
pendapat yang kami anggap lebih kuat (rajih), yaitu dibatasinya pengertian apa
yang tampak itu pada wajah dan dua tapak tangan serta perhiasan yang biasa
tampak dengan tidak ada maksud kesombongan dan berlebih-lebihan, seperti celak
di mata dan cincin pada tangan. Begitulah seperti apa yang ditegaskan oleh
sekelompok sahabat dan tabi'in.3
Ini
tidak sama dengan make-up dan cat-cat yang biasa dipakai oleh
perempuan-perempuan zaman sekarang untuk mengecat pipi dan bibir serta kuku.
Make-up ini semua termasuk berlebih-lebihan yang sangat tidak baik, yang tidak
boleh dipakai kecuali di dalam rumah. Sebab perempuan-perempuan sekarang
memakai itu semua di luar rumah, adalah untuk menarik perhatian laki-laki. Jadi
jelas hukumnya adalah haram.
Sedang
penafsiran apa yang tampak dengan pakaian dan selendang yang biasa di luar,
tidak dapat diterima. Sebab itu termasuk hal yang lumrah (tabi'i) yang tidak
bisa dibayangkan untuk dilarangnya sehingga perlu dikecualikan. Termasuk juga
terbukanya perhiasan karena angin dan sebagainya yang boleh dianggap darurat.
Sebab dalam keadaan darurat, bukan suatu yang dibuat-buat. Jadi baik
dikecualikan ataupun tidak, sama saja. Sedang yang cepat diterima akal apa yang
dimaksud istimewa (pengecualian) adalah suatu rukhsah (keringanan) dan justru
untuk mengentengkan kepada perempuan dalam menampakkan sesuatu yang mungkin
disembunyikan; dan ma'qul sekali (bisa diterima akal) kalau dia itu adalah muka
dan dua tapak tangan.
Adanya
kelonggaran pada muka dan dua taak tangan, adalah justru menutupi kedua anggota
badan tersebut termasuk suatu hal yang cukup memberatkan perempuan, lebih-lebih
kalau mereka perlu bepergian atau keluar yang sangat menghajatkan, misalnya dia
orang yang tidak mampu. Dia perlu usaha untuk mencari nafkah buat anak anaknya,
atau dia harus membantu suaminya. Mengharuskan perempuan supaya memakai cadar
dan menutup kedua tangannya adalah termasuk menyakitkan dan menyusahkan
perempuan.
Imam
Qurthubi berkata: "Kalau menurut ghalibnya muka dan dua tapak tangan itu
dinampakkan, baik menurut adat ataupun dalam ibadat, seperti waktu sembahyang
dan haji, maka layak kiranya kalau pengecualian itu kembalinya kepada kedua
anggota tersebut. Dalil yang kuat untuk pentafsiran ini ialah hadis riwayat Abu
Daud dari jalan Aisyah r.a., bahwa Asma' binti Abubakar pernah masuk ke rumah
Nabi s.a.w. dengan berpakaian tipis, kemudian Nabi memalingkan mukanya sambil
ia berkata: "Hai Asma'! Sesungguhnya perempuan apabila sudah datang waktu
haidhnya (sudah baligh) tidak patut dinampakkan badannya, kecuali ini dan ini
-- sambil ia menunjuk muka dan dua tapak tangannya."
Sedang
firman Allah yang mengatakan: "Katakanlah kepada orang-orang mu'min
laki-laki supaya menundukkan pandangan" itu memberikan suatu isyarat,
bahwa muka perempuan itu tidak tertutup. Seandainya seluruh tubuh perempuan itu
tertutup termasuk mukanya, niscaya tidak ada perintah menundukkan sebagian
pandangan, sebab di situ tidak ada yang perlu dilihat sehingga memerlukan
menundukkan pandangan.
Namun,
kiranya sesempurna mungkin seorang muslimah harus bersungguh-sungguh untuk
menyembunyikan perhiasannya, termasuk wajahnya itu sendiri kalau mungkin, demi
menjaga meluasnya kerusakan dan banyaknya kefasikan di zaman kita sekarang ini.
Lebih-lebih kalau perempuan tersebut mempunyai paras yang cantik yang sangat
dikawatirkan akan menimbulkan fitnah.
b) Firman Allah:
"Hendaknya
mereka itu melabuhkan kudungnya sampai ke dadanya." (an-Nur: 31)
Pengertian
khumur (kudung), yaitu semua alat yang dapat dipakai untuk menutup kepala.
Sedang apa yang disebut juyub kata jama' (bentuk plural) dari kata jaibun,
yaitu belahan dada yang terbuka, tidak tertutup oleh pakaian/baju.
Setiap
perempuan muslimah harus menutup kepalanya dengan kudung dan menutup belahan
dadanya itu dengan apapun yang memungkinkan, termasuk juga lehernya, sehingga
sedikitpun tempat-tempat yang membawa fitnah ini tidak terbuka yang
memungkinkan dilihat oleh orang-orang yang suka beraksi dan iseng.
c) Firman Allah:
"Dan
hendaknya mereka itu tidak menampak-nampakkan perhiasannya terhadap suami atau
ayahnya." (an-Nur: 31)
Pengarahan
ini tertuju kepada perempuan-perempuan mu'minah, dimana mereka dilarang keras
membuka atau menampakkan perhiasannya yang seharusnya disembunyikan, misalnya:
perhiasan telinga (anting-anting), perhiasan rambut (tusuk); perhiasan leher
(kalung), perhiasan dada (belahan dadanya) dan perhiasan kaki (betis dan gelang
kaki). Semuanya ini tidak boleh dinampakkan kepada laki-laki lain. Mereka hanya
boleh melihat muka dan kedua tapak tangan yang memang ada rukhsah untuk
dinampakkan.
Larangan ini dikecualikan untuk 12 orang:
1.
Suami. Yakni si suami boleh melihat isterinya apapun ia suka. Ini ditegaskan
juga oleh hadis Nabi yang mengatakan:
"Peliharalah
auratmu, kecuali terhadap isterimu."
2. Ayah.
Termasuk juga datuk, baik dari pihak ayah ataupun ibu.
3. Ayah
mertua. Karena mereka ini sudah dianggap sebagai ayah sendiri dalam hubungannya
dengan isteri.
4.
Anak-anak laki-lakinya. Termasuk juga cucu, baik dari anak laki-laki ataupun dari
anak perempuan.
5.
Anak-anaknya suami. Karena ada suatu keharusan untuk bergaul dengan mereka itu,
ditambah lagi, bahwa si isteri waktu itu sudah menduduki sebagai ibu bagi
anak-anak tersebut.4
6.
Saudara laki-laki, baik sekandung, sebapa atau seibu.
7.
Keponakan. Karena mereka ini selamanya tidak boleh dikawin.
8.
Sesama perempuan, baik yang ada kaitannya dengan nasab ataupun orang lain yang
seagama. Sebab perempuan kafir tidak boleh melihat perhiasan perempuan
muslimah, kecuali perhiasan yang boleh dilihat oleh laki-laki. Demikianlah
menurut pendapat yang rajih.
9. Hamba
sahaya. Sebab mereka ini oleh Islam dianggap sebagai anggota keluarga. Tetapi
sebagian ulama ada yang berpendapat: Khusus buat hamba perempuan (amah), bukan
hamba laki-laki.
10.
Keponakan dari saudara perempuan. Karena mereka ini haram dikawin untuk
selamanya.
11.
Bujang/orang-orang yang ikut serumah yang tidak ada rasa bersyahwat. Mereka ini
ialah buruh atau orang-orang yang ikut perempuan tersebut yang sudah tidak
bersyahwat lagi karena masalah kondisi badan ataupun rasio. Jadi yang
terpenting di sini ialah: adanya dua sifat, yaitu mengikut dan tidak
bersyahwat.
12.
Anak-anak kecil yang tidak mungkin bersyahwat ketika melihat aurat perempuan.
Mereka ini ialah anak-anak yang masih belum merasa bersyahwat. Kalau kita perhatikan
dari kalimat ini, anak-anak yang sudah bergelora syahwatnya, maka orang
perempuan tidak boleh menampakkan perhiasannya kepada mereka, sekalipun
anak-anak tersebut masih belum baligh.
Dalam
ayat ini tidak disebut-sebut masalah paman, baik dari pihak ayah ('aam) atau
dari pihak ibu (khal), karena mereka ini sekedudukan dengan ayah, seperti yang
diterangkan dalam hadis Nabi:
"Pamannya
seseorang adalah seperti ayahnya sendiri." (Riwayat Muslim).
1.Dengan dasar hadis tersebut ulama-ulama berpendapat
laki-laki atau perempuan tidak boleh berbaring bersama yang kiranya ada
sentuhan badan.
2.Riwayat Bukhari dan Muslim.
3.Lihat Tafsir Thabari, Qurthubi, Zamakhsyari dan
ar-Razi.
4.Qurthubi berkata: Kecuali bagian-bagian yang
tidak boleh dinampakkan. Tetapi para ulama juga masih berbeda pendapat tentang
tingkatan keluarga itu dan tingkatan bagian yang boleh dan yang tidak boleh.
Misalnya: ada yang boleh dinampakkan, tetapi oleh anaknya suami tidak boleh
Post a Comment