Bersandar Hanya kepada Allah
Bersandar
Hanya kepada Allah
Tiada keberuntungan yang sangat besar dalam hidup ini, kecuali orang yang
tidak memiliki sandaran, selain bersandar kepada Allah. Dengan meyakini bahwa
memang Allah-lah yang menguasai segala-galanya; mutlak, tidak ada satu celah
pun yang luput dari kekuasaan Allah, tidak ada satu noktah sekecil apapun yang
luput dari genggaman Allah. Total, sempurna, segala-galanya Allah yang membuat,
Allah yang mengurus, Allah yang menguasai.
Adapun kita, manusia, diberi kebebasan untuk memilih, "Faalhamaha
fujuraha wataqwaaha", "Dan sudah diilhamkan di hati manusia untuk
memilih mana kebaikan dan mana keburukan". Potensi baik dan potensi buruk
telah diberikan, kita tinggal memilih mana yang akan kita kembangkan dalam hidup
ini. Oleh karena itu, jangan salahkan siapapun andaikata kita termasuk
berkelakuan buruk dan terpuruk, kecuali dirinyalah yang memilih menjadi buruk,
naudzubillah.
Sedangkan keberuntungan bagi orang-orang yang bersandarnya kepada Allah
mengakibatkan dunia ini, atau siapapun, terlampau kecil untuk menjadi sandaran
baginya. Sebab, seseorang yang bersandar pada sebuah tiang akan sangat takut
tiangnya diambil, karena dia akan terguling, akan terjatuh. Bersandar kepada
sebuah kursi, takut kursinya diambil. Begitulah orang-orang yang panik dalam
kehidupan ini karena dia bersandar kepada kedudukannya, bersandar kepada
hartanya, bersandar kepada penghasilannya, bersandar kepada kekuatan fisiknya,
bersandar kepada depositonya, atau sandaran-sandaran yang lainnya.
Padahal, semua yang kita sandari sangat mudah bagi Allah (mengatakan
‘sangat mudah’ juga ini terlalu kurang etis), atau akan ‘sangat mudah sekali’
bagi Allah mengambil apa saja yang kita sandari. Namun, andaikata kita hanya
bersandar kepada Allah yang menguasai setiap kejadian, "laa khaufun
alaihim walahum yahjanun’, kita tidak pernah akan panik, Insya Allah.
Jabatan diambil, tak masalah, karena jaminan dari Allah tidak tergantung
jabatan, kedudukan di kantor, di kampus, tapi kedudukan itu malah memperbudak
diri kita, bahkan tidak jarang menjerumuskan dan menghinakan kita. kita lihat
banyak orang terpuruk hina karena jabatannya. Maka, kalau kita bergantung pada
kedudukan atau jabatan, kita akan takut kehilangannya. Akibatnya, kita akan
berusaha mati-matian untuk mengamankannya dan terkadang sikap kita jadi jauh
dari kearifan.
Tapi bagi orang yang bersandar kepada Allah dengan ikhlas, ‘ya silahkan ...
Buat apa bagi saya jabatan, kalau jabatan itu tidak mendekatkan kepada Allah,
tidak membuat saya terhormat dalam pandangan Allah?’ tidak apa-apa jabatan kita
kecil dalam pandangan manusia, tapi besar dalam pandangan Allah karena kita
dapat mempertanggungjawabkannya. Tidak apa-apa kita tidak mendapatkan pujian,
penghormatan dari makhluk, tapi mendapat penghormatan yang besar dari Allah
SWT. Percayalah walaupun kita punya gaji 10 juta, tidak sulit bagi Allah
sehingga kita punya kebutuhan 12 juta. Kita punya gaji 15 juta, tapi oleh Allah
diberi penyakit seharga 16 juta, sudah tekor itu.
Oleh karena itu, jangan bersandar kepada gaji atau pula bersandar kepada
tabungan. Punya tabungan uang, mudah bagi Allah untuk mengambilnya. Cukup saja
dibuat urusan sehingga kita harus mengganti dan lebih besar dari tabungan kita.
Demi Allah, tidak ada yang harus kita gantungi selain hanya Allah saja. Punya
bapak seorang pejabat, punya kekuasaan, mudah bagi Allah untuk memberikan
penyakit yang membuat bapak kita tidak bisa melakukan apapun, sehingga
jabatannya harus segera digantikan.
Punya suami gagah perkasa. Begitu kokohnya, lalu kita merasa aman dengan
bersandar kepadanya, apa sulitnya bagi Allah membuat sang suami muntaber, akan
sangat sulit berkelahi atau beladiri dalam keadaan muntaber. Atau Allah
mengirimkan nyamuk Aides Aigepty betina, lalu menggigitnya sehingga terjangkit
demam berdarah, maka lemahlah dirinya. Jangankan untuk membela orang lain,
membela dirinya sendiri juga sudah sulit, walaupun ia seorang jago beladiri
karate.
Otak cerdas, tidak layak membuat kita bergantung pada otak kita. Cukup
dengan kepleset menginjak kulit pisang kemudian terjatuh dengan kepala bagian
belakang membentur tembok, bisa geger otak, koma, bahkan mati.
Semakin kita bergantung pada sesuatu, semakin diperbudak. Oleh karena itu,
para istri jangan terlalu bergantung pada suami. Karena suami bukanlah pemberi
rizki, suami hanya salah satu jalan rizki dari Allah, suami setiap saat bisa
tidak berdaya. Suami pergi ke kanotr, maka hendaknya istri menitipkannya kepada
Allah.
"Wahai Allah, Engkaulah penguasa suami saya. Titip matanya agar
terkendali, titip hartanya andai ada jatah rizki yang halal berkah bagi kami,
tuntun supaya ia bisa ikhtiar di jalan-Mu, hingga berjumpa dengan keadaan jatah
rizkinya yang barokah, tapi kalau tidak ada jatah rizkinya, tolong diadakan ya
Allah, karena Engkaulah yang Maha Pembuka dan Penutup rizki, jadikan
pekerjaannya menjadi amal shaleh."
Insya Allah suami pergei bekerja di back up oleh do’a sang istri,
subhanallah. Sebuah keluarga yang sungguh-sungguh menyandarkan dirinya hanya
kepada Allah. "Wamayatawakkalalallah fahuwa hasbu", (QS. At Thalaq
[65] : 3). Yang hatinya bulat tanpa ada celah, tanpa ada retak, tanpa ada
lubang sedikit pun ; Bulat, total, penuh, hatinya hanya kepada Allah, maka
bakal dicukupi segala kebutuhannya. Allah Maha Pencemburu
pada hambanya yang bergantung kepada makhluk, apalagi bergantung pada
benda-benda mati. Mana mungkin? Sedangkan setiap makhluk ada dalam kekuasaan
Allah. "Innallaaha ala kulli sai in kadir".
Oleh karena itu, harus bagi kita untuk terus menerus meminimalkan
penggantungan. Karena makin banyak bergantung, siap-siap saja makin banyak
kecewa. Sebab yang kita gantungi, "Lahaula wala quwata illa billaah"
(tiada daya dan kekuatan yang dimilikinya kecuali atas kehendak Allah). Maka,
sudah seharusnya hanya kepada Allah sajalah kita menggantungkan, kita
menyandarkan segala sesuatu, dan sekali-kali tidak kepada yang lain, Insya
Allah.
Post a Comment