Ghibah (Mengumpat)
Ghibah (Mengumpat)
Keenam: Kita dilarang
ghibah (mengumpat). Seperti firman Allah:
"Dan jangan sebagian kamu mengumpat sebagiannya." (al-Hujurat: 12)
Rasulullah s.a.w. berkehendak akan mempertajam pengertian ayat tersebut
kepada sahabat-sahabatnya yang dimulai dengan cara tanya-jawab, sebagaimana
tersebut di bawah ini:
"Bertanyalah Nabi kepada mereka: Tahukah kamu apakah yang disebut
ghibah itu? Mereka menjawab: Allah dan RasulNya yang lebih tahu. Maka jawab
Nabi, yaitu: Kamu membicarakan saudaramu tentang sesuatu yang ia tidak
menyukainya. Kemudian Nabi ditanya: Bagaimana jika pada saudaraku itu terdapat
apa yang saya katakan tadi? Rasulullah s.a.w. menjawab: Jika padanya terdapat
apa yang kamu bicarakan itu, maka berarti kamu mengumpat dia, dan jika tidak
seperti apa yang kamu bicarakan itu, maka berarti kamu telah menuduh dia."
(Riwayat Muslim, Abu Daud, Tarmizi dan Nasa'i)
Manusia tidak suka kalau bentuknya, perangainya, nasabnya dan ciri-cirinya
itu dibicarakan. Seperti tersebut dalam hadis berikut ini:
"Dari Aisyah ia berkata: saya pernah berkata kepada Nabi: kiranya
engkau cukup (puas) dengan Shafiyah begini dan begini, yakni dia itu pendek,
maka jawab Nabi: Sungguh engkau telah berkata suatu perkataan yang andaikata
engkau campur dengan air laut niscaya akan bercampur." (Riwayat Abu Daud,
Tarmizi dan Baihaqi)
Ghibah adalah keinginan untuk menghancurkan orang, suatu keinginan untuk
menodai harga diri, kemuliaan dan kehormatan orang lain, sedang mereka itu
tidak ada di hadapannya. Ini menunjukkan kelicikannya, sebab sama dengan
menusuk dari belakang. Sikap semacam ini salah satu bentuk daripada
penghancuran. Sebab pengumpatan ini berarti melawan orang yang tidak berdaya.
Ghibah disebut juga suatu ajakan merusak, sebab sedikit sekali orang yang
lidahnya dapat selamat dari cela dan cerca.
Oleh karena itu tidak mengherankan, apabila al-Quran melukiskannya dalam
bentuk tersendiri yang cukup dapat menggetarkan hati dan menumbuhkan perasaan.
Firman Allah:
"Dan jangan sebagian kamu mengumpat sebagiannya; apakah salah seorang
di antara kamu suka makan daging bangkai saudaranya padahal mereka tidak
menyukainya?!" (al-Hujurat: 12)
Setiap manusia pasti tidak suka makan daging manusia.
Maka bagaimana lagi kalau daging saudaranya? Dan bagaimana lagi kalau
daging itu telah menjadi bangkai?
Nabi memperoleh pelukisan al-Quran ini ke dalam fikiran dan mendasar di
dalam hati setiap ada kesempatan untuk itu.
Ibnu Mas'ud pernah berkata:
"Kami pernah berada di tempat Nabi s.a.w., tiba-tiba ada seorang
laki-laki berdiri meninggalkan majlis, kemudian ada seorang laki-laki lain
mengumpatnya sesudah dia tidak ada, maka kata Nabi kepada laki-laki ini:
Berselilitlah kamu! Orang
tersebut bertanya: Mengapa saya harus berselilit sedangkan saya tidak makan
daging? Maka kata Nabi: Sesungguhnya engkau telah makan daging saudaramu."
(Riwayat Thabarani dan rawi-rawinya rawi-rawi Bukhari)
Dan diriwayatkan pule oleh Jabir, ia berkata:
"Kami pernah di tempat Nabi s.a.w. kemudian menghembuslah angin berbau
busuk. Lalu bertanyalah Nabi: Tahukah kamu angin apa ini? Ini adalah angin
(bau) nya orang-orang yang mengumpat arang-orang mu'min." (Riwayat Ahmad
dan rawi-rawinya kepercayaan)
Batas Perkenan Ghibah
Seluruh nas ini menunjukkan kesucian kehormatan pribadi manusia dalam
Islam. Akan tetapi ada beberapa hal yang oleh ulama-ulama Islam dikecualikan,
tidak termasuk ghibah yang diharamkan. Tetapi hanya berlaku di saat darurat.
Diantara yang dikecualikan, yaitu seorang yang dianiaya melaporkan halnya
orang yang menganiaya, kemudian dia menyebutkan kejahatan yang dilakukannya. Dalam hal ini Islam memberikan
rukhshah untuk mengadukannya.
Firman Allah:
"Allah tidak suka
kepada perkataan jelek yang diperdengarkan, kecuali (dari) orang yang
teraniaya, dan adalah Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui." (an-Nisa': 148)
Kadang-kadang ada
seseorang bertanya tentang pribadi orang lain karena ada maksud mengadakan
hubungan dagang, atau akan mengawinkan anak gadisnya atau untuk menyerahkan
suatu urusan yang sangat penting kepadanya.
Di sini ada suatu kontradiksi antara suatu keharusan untuk mengikhlaskan
diri kepada agama, dan kewajiban melindungi kehormatan orang yang tidak di
hadapannya. Akan tetapi kewajiban pertama justru lebih penting dan suci. Untuk
itu kewajiban pertama harus didahulukan daripada kewajiban kedua.
Dalam sebuah kisah dituturkan, bahwa Fatimah binti Qais pernah menyampaikan
kepada Nabi tentang maksud dua orang yang akan meminangnya. Maka jawab Nabi
kepadanya: "Sesungguhnya dia (yang pertama) sangat miskin tidak mempunyai
uang, dan Nabi menerangkan tentang yang kedua, bahwa dia itu tidak mau
meletakkan tongkatnya dari pundaknya, yakni: dia sering memukul
perempuan."
Dan termasuk yang dikecualikan juga yaitu: karena bertanya, minta tolong
untuk mengubah suatu kemungkaran terhadap seseorang yang mempunyai nama, gelar
atau sifat yang tidak baik tetapi dia hanya dikenal dengan nama-nama tersebut. Misalnya:
A'raj (pincang), A'masy (rabun) dan anak si Anu.
Definisi umum tentang
bentuk-bentuk pengecualian ini ada dua:
1.
Karena
ada suatu kepentingan.
2.
Karena
suatu niat.
1 Karena suatu kepentingan
Jadi kalau tidak ada
kepentingan yang mengharuskan membicarakan seorang yang tidak hadir dengan
sesuatu yang tidak disukainya, maka tidak boleh memasuki daerah larangan ini.
Dan jika kepentingan itu dapat ditempuh dengan sindiran, maka tidak boleh
berterang-terangan atau menyampaikan secara terbuka. Dalam hal ini tidak boleh
memakai takhshish (pengecualian) tersebut.
Misalnya seorang yang
sedang minta pendapat apabila memungkinkan untuk mengatakan: "bagaimana
pendapatmu tentang seseorang yang berbuat begini dan begini," maka dia
tidak boleh mengatakan: "bagaimana pendapatmu tentang si Anu bin si
Anu."
Semua ini dengan syarat
tidak akan membicarakan sesuatu di luar apa yang ada. Kalau tidak,
berarti suatu dosa dan haram.
.2 Karena suatu niat
Adanya suatu niat di balik ini semua, merupakan suatu pemisahan. Sebab
pribadi manusia itu sendiri yang lebih mengetahui dorongan hatinya daripada
orang lain. Maka niatlah yang dapat membedakan antara perbuatan zalim dan
mengobati, antara minta pendapat dengan menyiar-nyiarkan, antara ghibah dengan
mengoreksi dan antara nasehat dengan memasyhurkan. Sedang seorang mu'min,
seperti dikatakan oleh suatu pendapat, adalah yang lebih berhak untuk
melindungi dirinya daripada raja yang kejam dan kawan yang bakhil.
Hukum Islam menetapkan,
bahwa seorang pendengar adalah rekan pengumpat. Oleh karena itu dia harus
menolong saudaranya yang di umpat itu dan berkewajiban menjauhkannya. Seperti
yang diungkapkan oleh hadis Rasulullah sa,w.:
"Barangsiapa
menjauhkan seseorang dari mengumpat diri saudaranya, maka adalah suatu
kepastian dari Allah, bahwa Allah akan membebaskan dia dari Neraka."
(Riwayat Ahmad dengan sanad hasan)
"Barangsiapa
menghalang-halangi seseorang dari mengumpat harga diri saudaranya, maka Allah
akan menghalang-halangi dirinya dari api neraka, kelak di hari kiamat."
(Riwayat Tarmizi dengan sanad hasan)
Barangsiapa tidak
mempunyai keinginan ini dan tidak mampu menghalang-halangi mulut-mulut yang
suka menyerang kehormatan saudaranya itu, maka kewajiban yang paling minim,
yaitu dia harus meninggalkan tempat tersebut dan membelokkan kaum tersebut,
sehingga mereka masuk ke dalam pembicaraan lain. Kalau tidak, maka yang tepat
dia dapat dikategorikan dengan firman Allah:
"Sesungguhnya kamu, kalau demikian adalah sama dengan mereka" (an-Nisa': 140)
Mengadu Domba
Ketujuh: Kalau ghibah dalam Islam disebut sebagai suatu dosa, maka ada
suatu perbuatan yang lebih berat lagi, yaitu mengadu domba (namimah). Yaitu
memindahkan omongan seseorang kepada orang yang dibicarakan itu dengan suatu
tujuan untuk menimbulkan permusuhan antara sesama manusia, mengotori kejernihan
pergaulan dan atau menambah keruhnya pergaulan.
Al-Quran menurunkan ayat yang mencela perbuatan hina ini sejak permulaan
perioda Makkah. Firman Allah:
"Dan jangan kamu tunduk kepada orang yang suka sumpah yang hina, yang
suka mencela orang, yang berjalan ke sana ke mari dengan mengadu domba." (al-Qalam: 10-11)
Dan sabda Rasulullah s.a.w.:
"Tidak masuk sorga orang-orang yang suka mengadu domba." (Riwayat
Bukhari dan Muslim)
Qattat, kadang-kadang disebut juga nammam, yaitu seorang berkumpul bersama
orang banyak yang sedang membicarakan suatu pembicaraan, kemudian dia menghasut
mereka.
Dan qattat itu sendiri, yaitu seseorang yang memperdengarkan sesuatu kepada
orang banyak padahal mereka tidak mengetahuinya, kemudian dia menghasut mereka
itu.
Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
"Sejelek-jelek hamba Allah yaitu orang-orang berjalan ke sana ke mari
dengan mengadu domba, yang memecah-belah antara kekasih, yang suka mencari-cari
cacat orang-orang yang baik." (Riwayat Ahmad)
Islam, dalam rangka memadamkan pertengkaran dan mendamaikan pertentangan,
membolehkan kepada juru pendamai itu untuk merahasiakan omongan tidak baik yang
dia ketahui dari omongan seseorang tentang diri orang lain. Dan boleh juga dia menambah omongan
baik yang tidak didengarnya. Seperti yang dikatakan Nabi dalam hadisnya:
"Tidak termasuk
dusta orang yang mendamaikan antara dua orang, kemudian dia berkata baik atau
menambah suatu omongan baik."
Islam sangat membenci
orang-orang yang suka mendengarkan omongan jelek, kemudian cepat-cepat
memindahkan omongan itu dengan menambah-nambah untuk memperdaya atau karena
senang adanya kehancuran dan kerusakan.
Manusia semacam ini
tidak mau membatasi diri sampai kepada apa yang didengar itu saja, sebab
keinginan untuk menghancurkan itulah yang mendorongnya menambah omongan yang
mereka dengar. Dan jika mereka tidak mendengar, mereka berdusta.
Kata seorang penyair:
Kalau mereka mendengar kebaikan, disembunyikan
Dan kalau mendengarkan kejelekan, disiarkan
tetapi jika tidak mendengar apa-apa, ia berdusta.
Ada seorang laki-laki masuk ke tempat Umar bin Abdul Aziz, kemudian
membicarakan tentang hal seseorang yang tidak disukainya. Maka berkatalah Umar
kepada si laki-laki tersebut; kalau boleh kami akan menyelidiki permasalahanmu
itu. Tetapi jika kamu berdusta, maka kamu tergolong orang yang disebutkan dalam
ayat ini:
"Jika datang kepadamu seorang fasik dengan membawa suatu berita, maka
selidikilah." (al-Hujurat: 6)
Dan jika kamu benar, maka kamu tergolong orang yang disebutkan dalam ayat:
"Orang yang suka mencela, yang berjalan ke sana ke mari dengan mengadu
domba." (al-Qalam: 11)
Tetapi kalau kamu suka, saya akan memberi pengampunan. Maka jawab orang
laki-laki tersebut: pengampunan saja ya amirul mu'minin, saya berjanji tidak
akan mengulangi lagi.
Post a Comment