Melindungi Harga Diri
Melindungi Harga Diri
Kedelapan: Kita semua
telah memaklumi, bagaimana Islam dengan melalui ajaran-ajarannya telah
melindungi kehormatan dan harga diri manusia, bahkan sampai kepada bentuk
mensucikannya.
Pada satu hari Ibnu
Mas'ud pernah melihat Ka'bah, kemudian dia mengatakan: "Betapa agungnya
engkau dan betapa pula agungnya kehormatanmu. Tetapi orang mu'min lebih agung
kehormatannya daripada engkau." (Riwayat Tarmizi)
Dalam haji wada',
Rasulullah s.a.w, pernah berkhutbah di hadapan khalayak kaum muslimin, di
antara isi khutbahnya itu berbunyi sebagai berikut:
"Sesungguhnya
harta benda kamu, kehormatanmu, darah kamu haram atas kamu (dilindungi),
sebagaimana haramnya harimu ini di bulanmu ini dan di negerimu ini."
(Riwayat Tarmizi)
Islam melindungi kehormatan
pribadi dari suatu omongan yang tidak disukainya untuk disebut-sebut dalam
ghibah, padahal omongan itu cukup benar. Maka bagaimana lagi kalau omongan itu
justru dibuat-buat dan tidak berpangkal? Jelas merupakan dosa besar. Seperti
dituturkan dalam hadis Nabi:
"Barangsiapa
membicarakan seseorang dengan sesuatu yang tidak ada padanya karena hendak
mencela dia, maka Allah akan tahan dia di neraka jahanam, sehingga dia datang
untuk membebaskan apa yang dia omongkan itu." (Riwayat Thabarani)
Aisyah juga pernah
meriwayatkan:
"Sesungguhnya
Rasulullah s.a.w. pernah bertanya kepada para sahabatnya: Tahukah kamu riba
apakah yang teramat berat di sisi Allah? Mereka menjawab: Allah dan RasulNya
yang maha tahu. Kemudian bersabdalah Rasulullah: Sesungguhnya riba yang teramat
berat di sisi Allah, ialah: menghalalkan kehormatan pribadi seorang
muslim."
Kemudian Rasulullah s.a.w. membacakan ayat:
"Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu'min laki-laki dan
perempuan dengan sesuatu yang pada hakikatnya mereka tidak berbuat, maka
sungguh mereka telah memikul dusta dan dosa yang terang-terangan." (al-Ahzab: 58)33
Bentuk penodaan kehormatan yang paling berat ialah menuduh orang-orang
mu'min perempuan yang terpelihara, melakukan suatu kemesuman. Karena tuduhan
tersebut akan membawa bahaya yang besar kalau mereka mendengarnya dan didengar
pula oleh keluarga-keluarganya, serta akan berbahaya untuk masa depan mereka. Lebih-lebih
kalau hal itu didengar oleh orang-orang yang suka menyebar luaskan kejahatan di
tengah-tengah masyarakat Islam.
Justru itu Rasulullah menganggapnya sebagai salah satu daripada dosa-dosa
besar yang akan meruntuhkan. Dan al-Quran pun mengancamnya dengan hukuman yang amat berat.
Firman Allah:
"Sesungguhnya
orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang bersih jujur dan beriman, mereka
itu dilaknat di dunia dan di akhirat, dan bagi mereka siksaan yang besar, yaitu
pada hari di mana lidah, tangan dan kaki mereka akan menyaksikan atas mereka
tentang apa-apa yang pernah mereka lakukan. Pada hari itu Allah akan
menyempurnakan balasan mereka dengan benar, dan mereka tahu sesungguhnya Allah,
Dialah yang benar yang nyata." (an-Nur:
23-25)
Dan firmanNya pula:
"Sesungguhnya
orang-orang yang senang untuk tersiarnya kejelekan di kalangan orang-orang
mu'min, kelak akan mendapat siksaan yang pedih di dunia dan akhirat, dan Allah
mengetahui sedang kamu tidak mengetahui." (an-Nur:
19)
Kehormatan Darah
Kesembilan: Islam
membersihkan kehidupan ummat manusia dan melindungi kehormatan setiap orang
serta menetapkan, bahwa menodainya berarti suatu dosa besar di hadapan Allah,
sesudah dosa kufur.
Al-Quran mengatakan sebagai berikut:
"Bahwasanya, barangsiapa membunuh suatu jiwa, padahal dia tidak
membunuh jiwa atau tidak membuat kerusuhan di permukaan bumi, maka seolah-olah
dia telah membunuh manusia seluruhnya." (al-Maidah:
32)
Hal ini disebabkan jenis manusia itu seluruhnya pada dasarnya satu usrah
(satu keluarga). Jadi kalau ada permusuhan oleh seseorang kepada orang lain,
sama halnya dengan memusuhi jenis manusia itu sendiri.
Lebih hebat lagi haramnya,
apabila pihak yang terbunuh justru orang Islam. Firman Allah:
"Barangsiapa
membunuh seorang mu'min dengan sengaja, maka balasannya neraka jahanam dengan
kekal abadi di dalamnya, dan Allah akan murka dan melaknatnya serta
mempersiapkan untuknya siksaan yang besar." (an-Nisa':
93)
Dan Rasulullah s.a.w.
juga bersabda:
"Sungguh lenyapnya
dunia akan lebih mudah bagi Allah ada (hilangnya dosa) seseorang yang membunuh
orang Islam." (Riwayat Muslim, Nasa'i dan Tarmizi)
Dan sabdanya juga:
"Senantiasa seorang
mu'min dalam kelapangan dari agamanya selama dia tidak mengenai darah
haram." (Riwayat Bukhari)
Dan ia bersabda pula:
"Setiap dosa ada
harapan Allah akan mengampuninya, kecuali seorang laki-laki yang mati dalam
keadaan syirik atau seorang laki-laki membunuh seorang mu'min dengan
sengaja." (Riwayat Abu Daud, Ibnu Hibban dan Hakim)
Terhadap ayat dan
hadis-hadis tersebut, Ibnu Abbas berpendapat, bahwa taubatnya seorang pembunuh
tidak bakal diterima. Jadi seolah-olah dia berpendapat, bahwa di antara syarat
taubat tidak akan diterima kecuali dengan mengembalikan hak-hak tersebut kepada
keluarga terbunuh atau minta kerelaannya. Sekarang bagaimana mungkin dia dapat
mengembalikan hak orang yang terbunuh itu kepadanya atau minta direlakannya?
Yang lain berpendapat:
bahwa taubat yang ikhlas itu dapat diterima dan menghapuskan syirik, apalagi
dosa di bawah syirik?
Firman Allah:
"Dan orang-orang
yang tidak menyembah Tuhan lain bersama Allah, dan tidak membunuh jiwa yang
diharamkan Allah kecuali karena hak dan tidak berzina. Barangsiapa berbuat
demikian, maka dia akan menjumpai dosanya yang dilipat-gandakan baginya siksaan
kelak di hari kiamat dan akan kekal dalam siksaan itu dengan keadaan hina,
kecuali orang yang taubat dan beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan
diganti oleh Allah kejelekan-kejelekannya dengan kebaikan-kebaikan, dan adalah
Allah Maha Pengam pun lagi Maha Belas-kasih." (al-Furqan:
68-70)
1 Pembunuh dan yang Terbunuh, Kedua-duanya di Neraka
Rasulullah s.a.w.
menilai, bahwa membunuh seorang muslim sebagai satu bagian daripada kufur dan
salah satu perbuatan jahiliah yang suka melancarkan peperangan dan mengalirkan
darah kendati hanya karena seekor unta atau kuda. Maka kata Rasulullah s.a.w.:
"Memaki seorang
muslim adalah fasik, dan memeranginya adalah kufur." (Riwayat Bukhari dan
Muslim)
Dan sabdanya pula:
"Jangan kamu
kembali kafir sesudah aku meninggal, yaitu sebagian kamu memukul leher
sebagiannya." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dan pernah juga ia
bersabda:
"Apabila ada dua
orang Islam, salah satunya membawa senjata untuk membunuh saudaranya, maka
kedua-duanya berada di tepi jahanam; dan apabila salah satunya membunuh
kawannya, maka kedua-duanya masuk jahanam. Kemudian Rasulullah s.a.w. ditanya:
Ya Rasulullahl Ini yang membunuh memang mungkin, tetapi mengapa yang terbunuh
sampai begitu? Jawab Nabi: Karena dia bermaksud akan membunuh saudaranya
juga." (Riwayat Bukhari)
Oleh karena itulah
Rasulullah s.a.w. melarang setiap perbuatan yang dapat membawa kepada
pembunuhan atau peperangan, kendati hanya sekedar berisyarat dengan senjata.
Sepertisabdanya:
"Janganlah salah
seorang di antara kamu berisyarat kepada saudaranya dengan pedang, sebab dia
tidak tahu barangkali syaitan akan melepaskan dari tangannya, maka dia akan
jatuh ke jurang neraka." (Riwayat Bukhari)
Dan sabdanya pula:
"Barangsiapa
mengisyaratkan besi kepada kawannya, maka Malaikat akan melaknatnya sehingga ia
berhenti, sekalipun dia itu saudara sekandung." (Riwayat Muslim)
Bahkan ia bersabda:
"Tidak halal
seorang muslim menakut-nakuti orang lain." (Riwayat Abu Daud dan Thabarani
dan rawi-rawinya kepercayaan)
Dosa ini tidak terbatas
kepada si pembunuhnya saja, bahkan semua orang yang terlibat dalam pembunuhan
itu, baik dengan perkataan ataupun perbuatan akan mendapat murka dari Allah
sebesar dosa keterlibatannya itu. Sampai pun orang yang menyaksikan
pembunuhan itu akan mendapat bagian dosa juga. Seperti disebutkan dalam hadis
Nabi yang mengatakan:
"Jangan sampai salah seorang dari antara kamu berdiri di suatu tempat
yang dilakukan pembunuhan terhadap seseorang dengan penganiayaan. Sebab laknat
akan turun kepada orang yang menyaksikan sedangkan dia tidak mau
membelanya." (Riwayat Thabarani dan Baihaqi dengan sanad hasan)
2 Dilindunginya Darah Kafir 'Ahdi dan Dzimmi
Nas-nas yang berkenaan dengan larangan membunuh dan peperangan ditujukan
untuk ummat Islam, karana nas-nas itu datang sebagai suatu ketetapan dan
bimbingan untuk kaum muslimin dalam masyarakat Islam.
Tetapi ini tidak berarti, bahwa selain orang Islam darahnya halal. Sebab pada
dasarnya jiwa manusia dilindungi Allah dan dijaganya dengan hukum
kemanusiaannya itu sendiri, selama mereka itu bukan kafir harbi (kafir yang
memerangi Islam), karena kafir harbi darahnya halal.
Adapun kafir 'ahdi atau kafir dzimmi (kafir yang berada di bawah naungan
pemerintah Islam), darahnya tetap dilindungi, tidak seorang muslim pun
diperkenankan memusuhinya.
Untuk itu Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
"Barangsiapa membunuh seorang kafir ahdi, maka dia tidak akan mencium
bau sorga, sedang bau sorga itu tercium sejauh perjalanan 40 tahun." (Riwayat
Bukhari dan lain-lain)
Dan dalam satu riwavat dikatakan:
"Barangsiapa membunuh seorang laki-laki dari ahli dzimmah, maka dia
tidak akan mencium bau sorga." (Riwayat Nasa'i)
3 Bilakah Kehormatan Darah Itu Gugur?
Firman Allah:
"Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan (dilindungi) Allah,
kecuali dengan benar." (al-An'am: 151)
Apa yang dikatakan benar ini, adalah sebagai suatu hukuman terhadap
tindakan kriminal, yang dilakukan karena salah satu dari tiga sebab:
1. Karena suatu pembunuhan secara zalim.
Untuk orang ini harus dilakukan hukum qishash, yaitu satu jiwa dengan satu
jiwa, tindak kejahatan dengan kejahatan. Tetapi yang memulai dinilai lebih
kejam. Firman Allah:
"Dan bagi kamu dalam hukum qishash itu ada suatu keselamatan
nyawa." (al-Baqarah: 179)
2. Terang-terangan berbuat kemesuman (zina) yang diketahui oleh empat orang
saksi dengan mata-kepala sendiri, sedang dia tahu cara-cara perkawinan halal.
Termasuk juga, karena dia mengaku di hadapan hakim sebanyak empat kali.
3. Keluar dari Agama Islam dengan terang-terangan sebagai suatu sikap
menantang jamaah Islam. Sedang Islam tidak memaksa seorang pun masuk Islam. Tetapi
dia keluar dengan mempermainkan agama seperti perbuatan Yahudi, yang mengatakan:
"Berimanlah kamu kepada kitab yang diturunkan kepada orang-orang
mu'min di ujung siang, dan kufurlah kamu di akhirnya supaya mereka (orang-orang
Islam) kembali." (Ali-Imran: 72)
Rasulullah menyimpulkan halalnya darah yang semula haram, dalam tiga hal
ini, dengan sabdanya:
"Tidak halal darah seseorang muslim kecuali sebab tiga hal: karena
membunuh jiwa, seorang janda/duda berzina dan orang yang meninggalkan agamanya
yang memisahkan diri dari jamaah." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Akan tetapi hak melaksanakan hukuman terhadap salah satu dari ketiga hal
ini, semata-mata berada di tangan waliyul amri, bukan di tangan perorangan. Sehingga
dengan demikian keamanan tidak terganggu, suasana krisis dapat dibendung dan
tidak sampai setiap orang bartindak sebagai hakim sendiri. Kecuali tentang
pembunuhan yang disengaja dan bersifat permusuhan yang mengharuskan
dilakukannya hukum qishash, maka Islam memberi kesempatan kepada keluarga
terbunuh untuk melakukan qishash itu di hadapan waliyul amri, sebagai obat
penenang hati dan guna meredakan setiap keinginan menuntut darah. Ini sesuai
dengan firman Allah:
"Barangsiapa dibunuh secara aniaya, maka kami berikan kepada
keluarganya kekuasaan; tetapi janganlah melewati batas dalam pembunuhan itu,
sebab sesungguhnya dia diberi kemenangan." (al-Isra':
33)
4 Bunuh Diri
Semua keterangan yang menerangkan tentang tindak kriminal pembunuhan itu,
meliputi masalah bunuh diri. Jadi barangsiapa bunuh diri dengan cara apapun,
berarti dia telah melakukan suatu pembunuhan yang diharamkan Allah.
Kehidupan manusia bukan menjadi hak milik pribadi, sebab dia tidak dapat
membuat dirinya, anggotanya ataupun sel-selnya. Diri manusia pada hakekatnya
hanyalah sebagai barang titipan yang diberikan Allah. Oleh karena itu tidak
boleh titipan ini diabaikannya. Bagaimana lagi memusuhinya? Dan apalagi
melepaskannya dari hidup?
Karena itu, berfirmanlah Allah:
"Dan jangan kamu membunuh diri-diri kamu, karena sesungguhnya Allah
maha belas-kasih kepadamu." (an-Nisa': 29)
Islam menghendaki kepada setiap muslim hendaknya selalu optimis dalam
menghadapi setiap musibah. Oleh karena itu Islam tidak membenarkan dalam
situasi apapun untuk melepaskan dari hidup dan menanggalkan pakaian karena ada
suatu bala' yang menimpanya atau karena gagal dalam cita-cita yang
diimpi-impikan. Sebab seorang mu'min dicipta justru untuk berjuang, bukan untuk
tinggal diam, dan untuk berperang bukan untuk lari. Iman dan budinya tidak
mengizinkan dia lari dari arena kehidupan. Sebab setiap mu'min mempunyai
senjata yang tidak bisa sumbing dan mempunyai kekayaan yang tidak bisa habis,
yaitu senjata iman dan kekayaan budi.
Rasulullah s.a.w. memberikan ancaman kepada orang yang berbuat tindak
kriminal yang kejam ini dengan terhalangnya dari rahmat Allah dan mendapat
murka Allah kelak di akhirat.
Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Sebelum kamu, pernah ada seorang laki-laki luka, kemudian marah
sambil mengambil sebilah pisau dan di potongnya tangannya, darahnya terus
mengalir sehingga dia mati. Maka berkatalah Allah: hambaku ini mau mendahulukan
dirinya dari (takdir) Ku. Oleh karena itu Kuharamkan sorga atasnya."
(Riwayat Bukhari, dan Muslim)
Kalau orang tersebut terhalang masuk sorga lantaran luka yang tidak
seberapa sakitnya kemudian bunuh diri, maka bagaimana lagi orang yang bunuh
diri lantaran mendapat kerugian sedikit atau banyak, atau lantaran tidak lulus
ujian atau lantaran ditolak seorang gadis?!
Kiranya orang-orang yang kurang bergairah itu suka mendengarkan ancaman
yang dibawa Rasulullah s.a.w. yang berkilat dan mengguruh. Rasulullah s.a.w.
bersabda sebagai berikut:
"Barangsiapa menjatuhkan diri dari atas gunung kemudian bunuh diri,
maka dia berada di neraka, dia akan menjatuhkan diri ke dalam neraka untuk
selama-lamanya. Dan barangsiapa minum racun kemudian bunuh diri, maka racunnya
itu berada di tangannya kemudian minum di neraka jahanam untuk selama-lamanya. Dan
barangsiapa bunuh diri dengan alat tajam, maka alat tajamnya itu di tangannya
akan menusuk dia di neraka jahanam untuk selama-lamanya." (Riwayat Bukhari
dan Muslim)
Melindungi Harta Benda
Kesepuluh: Tidak ada salahnya seorang muslim mengumpulkan kekayaan dengan
sepuas-puasnya, asal dengan jalan halal dan disalurkan menurut cara-cara yang
dibenarkan oleh hukum syara'.
Kalau di sementara agama ada yang beranggapan, bahwa: sesungguhnya orang
kaya itu tidak dapat masuk ke kerajaan langit, kecuali kalau unta dapat masuk
ke lubang jarum, maka sesungguhnya Islam mengatakan: "Bahwa sebaik-baik
harta yang baik adalah milik seorang saleh." (Riwayat Ahmad.)
Dan selama Islam membenarkan hak milik pribadi, maka praktis Islam akan
melindungi hak milik tersebut dengan suatu undang-undang. Dan akan memberikan
suatu pengarahan budi agar harta tersebut tidak menjadi sasaran tangan-tangan
jahat, baik karena dirampas, dicuri ataupun ditipu.
Rasulullah s.a.w. menyebutkan secara global antara kehormatan harta benda,
darah dan harga diri dalam suatu susunan. Bahkan ia menilai pencurian itu
sebagai hal yang dapat menghilangkan iman. Sabda Nabi:
"Tidak akan mencuri seorang pencuri ketika ia mencuri, padahal dia
menyatakan beriman." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dan firman Allah:
"Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, hendaklah kamu potong
tangannya, sebagai satu pembalasan terhadap apa yang mereka lakukan dan sebagai
contoh yang menakutkan dari Allah; dan Allah Maha Gagah dan Bijaksana." (al-Maidah: 38)
Dan sabda Rasulullah s.a.w.:
"Tidak halal seorang muslim mengambil sebilah tongkat, tanpa niat
baik." (Riwayat Ibnu Hibban)
Rasulullah katakan demikian, karena kerasnya perlindungan Allah terhadap
harta seorang muslim.
Dan berfirmanlah Allah
Ta'ala:
"Hai orang-orang
yang beriman! Jangan kamu makan harta-harta kamu di antara kamu dengan
cara batil, kecuali melalui perdagangan dengan saling merelakan dari antara
kamu." (an-Nisa': 29)
1 Menyuap, Hukumnya Haram
Termasuk makan harta orang lain dengan cara batil ialah menerima suap.
Yaitu uang yang diberikan kepada penguasa atau pegawai, supaya penguasa atau
pegawai tersebut menjatuhkan hukum yang menguntungkannya, atau hukum yang
merugikan lawannya menurut kemauannya, atau supaya didahulukannya urusannya
atau ditunda karena ada suatu kepentingan dan seterusnya.
Islam mengharamkan seorang Islam menyuap penguasa dan pembantu-pembantunya.
Begitu juga penguasa dan pembantu-pembantunya ini diharamkan menerima uang suap
tersebut.
Dan kepada pihak ketiga diperingatkan jangan sampai mau menjadi perantara
antara pihak penerima dan pemberi.
Firman Allah:
"Dan jangan kamu makan harta benda kamu di antara kamu dengan batil
dan kamu ajukan perkara itu kepada penguasa (hakim) dengan maksud supaya kamu
makan sebagian dari harta orang lain dengan dosa, padahal kamu
mengetahui." (al-Baqarah: 188)
Sabda Rasulullah s.a.w.:
"Allah melaknat penyuap dan yang menerima suap dalam hukum." (Riwayat
Ahmad, Tarmizi dan Ibnu Hibban)
Tsauban mengatakan:
"Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang menyuap, yang menerima suap dan
yang menjadi perantara." (Riwayat Ahmad dan Hakim)
Rasulullah s.a.w, pernah mengutus Abdullah bin Rawahah ke tempat orang
Yahudi untuk menetapkan jumlah pajak yang harus dibayarnya, kemudian mereka
menyodorkan sejumlah uang. Maka kata Abdullah kepada orang Yahudi itu:
"Suap yang kamu sodorkan kepadaku itu adalah haram. Oleh karena itu kami
tidak akan menerimanya." (Riwayat Malik).
Apabila penerima suap itu menerimanya justru untuk suatu tindakan
kezaliman, maka berat sekali dosanya! Dan kalau bertujuan untuk mencari
keadilan, maka sudah seharusnya uang imbalan itu tidak diterimanya.
Tidak heran kalau Islam mengharamkan suap dan memperkerasnya terhadap siapa
saja yang bersekutu dalam penyuapan ini. Sebab meluasnya penyuapan di
masyarakat, akan menyebabkan meluasnya kerusakan dan kezaliman, misalnya:
menetapkan hukum dengan jalan tidak benar, kebenaran tidak mendapat jaminan
hukum, mendahulukan orang yang seharusnya diakhirkan dan mengakhirkan orang
yang seharusnya didahulukan serta akan meluasnya jiwa vested interest di dalam
masyarakat yang tidak berjiwa demi melaksanakan kewajiban.
Post a Comment