Hikmah Dibolehkannya Poligami
Hikmah Dibolehkannya Poligami
Islam
adalah hukum Allah yang terakhir yang dibawa oleh Nabi yang terakhir pula. Oleh
karena itu layak kalau ia datang dengan membawa undang-undang yang komplit,
abadi dan universal. Berlaku untuk semua daerah, semua masa dan semua manusia.
Islam
tidak membuat hukum yang hanya berlaku untuk orang kota dan melupakan orang desa, untuk daerah
dingin dan melupakan daerah panas, untuk satu masa tertentu dan melupakan
masa-masa lainnya serta generasi mendatang.
Islam
telah menentukan keperluan perorangan dan masyarakat, dan menentukan ukuran
kepentingan dan kemaslahatan manusia seluruhnya. Di antara manusia ada yang
ingin mendapat keturunan tetapi sayang isterinya mandul atau sakit sehingga
tidak mempunyai anak. Bukankah suatu kehormatan bagi si isteri dan keutamaan
bagi si suami kalau dia kawin lagi dengan seorang wanita tanpa mencerai isteri
pertama dengan memenuhi hak-haknya?
Sementara
ada juga laki-laki yang mempunyai nafsu seks yang luarbiasa, tetapi isterinya
hanya dingin saja atau sakit, atau masa haidhnya itu terlalu panjang dan
sebagainya, sedang si laki-laki tidak dapat menahan nafsunya lebih banyak
seperti orang perempuan. Apakah dalam situasi seperti itu si laki-laki tersebut
tidak boleh kawin dengan perempuan lain yang halal sebagai tempat mencari kawan
tidur?
Dan ada
kalanya jumlah wanita lebih banyak daripada jumlah laki-laki, lebih-lebih
karena akibat dari peperangan yang hanya diikuti oleh laki-laki dan
pemuda-pemuda. Maka di sini poligami merupakan suatu kemaslahatan buat
masyarakat dan perempuan itu sendiri, sehingga dengan demikian mereka akan
merupakan manusia yang bergharizah yang tidak hidup sepanjang umur berdiam di
rumah, tidak kawin dan tidak dapat melaksanakan hidup berumahtangga yang di
dalamnya terdapat suatu ketenteraman, kecintaan, perlindungan, nikmatnya
sebagai ibu dan keibuan sesuai pula dengan panggilan fitrah.
1.
Mungkin
orang-orang perempuan itu akan hidup sepanjang umur dalam kepahitan hidup.
2.
Mungkin
mereka akan melepaskan kendalinya dengan menggunakan obat-obat dan alat-alat
kontrasepsi untuk dapat bermain-main dengan laki-laki yang haram.
3.
Atau
mungkin mereka mau dikawini oleh laki-laki yang sudah beristeri yang kiranya
mampu memberi nafkah dan dapat bergaul dengan baik.
Tidak
diragukan lagi, bahwa kemungkinan ketiga adalah satu-satunya jalan yang paling
bijaksana dan obat mujarrab. Dan inilah hukum yang dipakai oleh Islam, sedang
"Siapakah hukumnya yang lebih baik selain hukum Allah untuk orang-orang
yang mau beriman?" (al-Maidah: 50)
Inilah
sistem poligami yang banyak ditentang oleh orang-orang Kristen Barat yang
dijadikan alat untuk menyerang kaum Muslimin, di mana mereka sendiri
membenarkan laki-lakinya untuk bermain dengan perempuan-perempuan cabul, tanpa
suatu ikatan dan perhitungan, betapapun tidak dibenarkan oleh undang-undang dan
moral. Poligami liar dan tidak bermoral ini akan menimbulkan perempuan dan
keluarga yang liar dan tidak bermoral juga. Kalau begitu manakah dua golongan
tersebut yang lebih kukuh dan lebih baik?
Hubungan Suami-Isteri
Al-QURAN
menganggap penting untuk menampilkan masalah tujuan kejiwaan dari perkawinan,
dan tujuan itu justru dijadikan standar membina kehidupan berumahtangga. Tujuan
ini untuk melukiskan ketenteraman nafsu seksual dengan memperoleh keragaman
cinta antara suami-isteri, memperluas dunia kasih-sayang antara dua keluarga,
lebih meratanya perasaan cinta kasih yang meliputi kedua orang tua sarnpai kepada
anak-anak.
Inilah
arti yang terkandung dalam firman Allah yang mengatakan:
"Di
antara tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah, yaitu Ia menjadikan untuk
kamu jodoh-jodoh dari diri-diri kamu sendiri supaya kamu menjadi tenteram
dengan jodoh itu, dan Ia menjadikan antara kamu cinta dan kasih-sayang,
sesungguhnya yang demikian itu sungguh sebagai bukti-bukti bagi orang yang mau
berfikir." (ar-Rum: 21)
Jalinan Perasaan Antara Suami-Isteri
Tetapi
al-Ouran juga tidak melupakan segi perasaan dan hubungan badaniah antara
suami-isteri. Untuk itu maka al-Quran memberikan bimbingan ke arah yang lebih
lurus yang dapat menyalurkan kepentingan naluri dan menghindari yang tidak
diinginkan.
Dalam
riwayat diceriterakan, bahwa orang-orang Yahudi dan Majusi terlalu
berlebih-lebihan dalam menjauhi isterinya ketika datang bulan; kebalikan dari
orang-orang Nasrani, yang menyetubuhi isterinya ketika datang bulan. Mereka
samasekali tidak menghiraukan masalah datang bulan itu. Dan orang-orang
jahiliah samasekali tidak mau makan, minum, duduk-duduk dan tinggal serumah
dengan isterinya yang kebetulan datang bulan, seperti yang dikerjakan oleh
orang Yahudi dan Majusi.
Justru
itu sementara orang-orang Islam bertanya kepada Nabi, apa yang sebenarnya
dihalalkan dan apa pula yang diharamkan buat mereka, ketika isterinya itu
datang bulan. Maka turunlah ayat yang berbunyi:
"Dan
mereka bertanya kepadamu tentang (darah) haidh, maka jawablah: bahwa dia itu
berbahaya. Oleh karena itu jauhilah perempuan ketika haidh, dan jangan kamu dekati
mereka sehingga mereka suci, dan apabila sudah suci, maka bolehlah kamu hampiri
mereka itu sebagaimana Allah perintahkan kepadamu, sesungguhnya Allah senang
kepada orang-orang yang taubat dan orang-orang yang bersih." (al-Baqarah: 222)
Sementara
orang Arab ada yang memahami arti menjauhi perempuan ketika haidh itu berarti
tidak boleh tinggal bersama mereka, justru itu Nabi Muhammad s.a.w. kemudian
menjelaskan kepada mereka maksud daripada ayat tersebut, dengan sabdanya
sebagai berikut.
"Saya
hanya perintahkan kepadamu supaya kamu tidak menyetubuhi mereka ketika mereka
itu dalam keadaan haidh; dan saya tidak menyuruh kamu untuk mengusir mereka
dari rumah seperti yang dilakukan oleh orang ajam. Ketika orang-orang Yahudi
mendengar penjelasan ini, kemudian mereka berkata: si laki-laki ini (Nabi
Muhammad) bermaksud tidak akan membiarkan sedikitpun dari urusan kita,
melainkan ia selalu menyalahinya."14
Dengan
demikian tidak salah seorang muslim bersenang-senang dengan isterinya ketika
dalam keadaan haidh, asalkan menjauhi tempat yang berbahaya itu.
Di sini
Islam tetap berdiri --sebagaimana statusnya semula-- yaitu penengah antara dua
golongan yang ekstrimis, di satu pihak sangat ekstrim dalam menjauhi perempuan
yang sedang datang bulan sampai harus mengusirnya dari rumah; sedang di pihak
lain memberikan kebebasan sampai kepada menyetubuhinya pun tidak salah.
Ilmu
kesehatan modern telah menyingkapkan, bahwa darah haidh (menstrubatio) satu
peristiwa pancaran zat-zat racun yang membahayakan tubuh apabila zat itu masih
melekat pada badan.
Ilmu pengetahuan
itu telah menyingkap juga rahasia dilarangnya menyetubuhi perempuan ketika
haidh. Sebab kalau anggota kelamin itu dalam keadaan tertahan sedang urat-urat
dalam keadaan terganggu karena mengalirnya kelenjar-kelenjar dalam, maka waktu
persetubuhan (coitus) sangat membahayakan kelenjar-kelenjar tersebut, bahkan
kadang-kadang dapat menahan melelehnya darah haidh. Dan ini banyak sekali
membawa kegoncangan urat saraf dan kadang-kadang bisa menjadi sebab peradangan
pada alat kelamin itu.15
Jangan Bersetubuh di Dubur
Dalam
hubungannya dengan masalah persetubuhan, Allah s.w.t. menurunkan ayat yang
berbunyi sebagai berikut:
"Isteri-isteri
kamu bagaikan ladang buat kamu, oleh karena itu datangilah ladangmu itu
sesukamu, dan sediakanlah untuk diri-diri kamu, dan takutlah kepada Allah, dan
ketahuilah sesungguhnya kamu akan bertemu Allah, dan gembirakanlah (Muhammad)
orang-orang mu'min." (al-Baqarah: 223)
Turunnya
ayat ini mengandung sebab dan hikmah yang besar sebagaimana yang disebutkan
oleh seorang ulama India Waliullah ad-Dahlawy: "Orang Yahudi mempersempit gaya persetubuhan tanpa
dasar hukum syara', sedang orang-orang Anshar dan berikutnya mengikuti
cara-cara mereka itu. Mereka berpendapat: bahwa apabila seorang laki-laki
menyetubuhi isterinya pada farjinya dari belakang, maka anaknya akan lahir
juling. Kemudian turunlah ayat ini: maka datangilah ladangmu itu sesukamu,
yakni dari jalan depan maupun dari belakang selama diarahkan untuk satu tujuan,
yaitu kemaluan atau farji. Hal ini dipandang tidak apa-apa, karena ada
hubungannya dengan masalah kepentingan kebudayaan dan kecenderungan. Sedang
setiap orang tahu kemaslahatan pribadinya. Oleh karena cara-cara Yahudi di atas
hanya sekedar bikin-bikinan mereka, maka patutlah kalau dihapuskan."16
Bukan
menjadi tugas agama memberi batas kepada seorang laki-laki tentang gaya dan cara bersetubuh.
Agama hanya mementingkan supaya si suami selalu takut kepada Allah, dan supaya
dia tahu bahwa dia akan bertemu Allah. Untuk itu jauhilah dubur, sebab dubur
adalah tempat yang membahayakan dan kotor. Menyetubuhi isteri pada dubur dapat
dipersamakan dengan liwath (homoseks). Justru itu sudah seharusnya agama
melarangnya. Untuk itu pula Rasulullah s.a.w, pernah bersabda:
"Jangan
Kamu setubuhi isterimu di duburnya." (Riwayat Ahmad, Tarmizi, Nasa'i dan
Ibnu Majah)
Dan
tentang masalah menyetubuhi isteri di duburnya ini, beliau mengatakan juga:
"Bahwa
dia itu termasuk liwath yang kecil." (Riwayat Ahmad dan Nasa'i)
"Isteri-isterimu
adalah ladang buat kamu, karena itu datangilah ladangmu itu sesukamu." (al-Baqarah: 223) -- (Riwayat Ahmad)
Umar
pernah juga bertanya kepada Nabi:
"Ya
Rasulullah! Celaka aku. Nabi bertanya: apa yang mencelakakan kamu? Ia menjawab:
tadi malam saya memutar kakiku --satu sindiran tentang bersetubuh dari
belakang-- maka Nabi tidak menjawab, hingga turun ayat (al-Baqarah: 223) lantas
beliau berkata kepada Umar: boleh kamu bersetubuh dari depan dan boleh juga
dari belakang, tetapi hindari di waktu haidh dan dubur." (Riwayat Ahmad
dan Tarmizi)
Menjaga Rahasia Isteri
Al-Quran
memuji perempuan-perempuan shalihah dengan firmannya sebagai berikut:
"Perempuan-perempuan
yang shalihah itu ialah perempuan-perempuan yang taat yang memelihara
(perkara-perkara) yang tersembunyi dengan cara yang dipeliharakan Allah." (an-Nisa': 34)
Di
antara sekian banyak perkara yang tersembunyi yang harus dipelihara oleh
suami-isteri ialah tentang masalah persetubuhan. Suami-isteri dilarang
menceriterakan kepada rekan-rekannya dalam pertemuan-pertemuan.
Dalam
salah satu hadisnya Rasulullah bersabda:
"Sesungguhnya
di antara sejelek-jelek manusia dalam pandangan Allah nanti di hari kiamat,
ialah seorang laki-laki yang menyetubuhi isterinya dan isteripun melakukan
persetubuhan, kemudian dia menyiar-nyiarkan rahasianya." (Riwayat Muslim
dan Abu Daud)
"Dari
Abu Hurairah, ia berkata: Nabi s.a.w. pernah sembahyang bersama kami, setelah
salam beliau menghadapkan mukanya ke hadapan kami, kemudian bersabda: berhati-hatilah
terhadap majlis-majlis kamu! Apakah di antara kamu ada seorang laki-laki yang
menyetubuhi isterinya dengan menutup pintu dan melabuhkan korden, kemudian dia
keluar dan berceritera, bahwa aku telah berbuat dengan isteriku begini dan
begini? Kemudian mereka pada diam semua ... Lantas ia menghadap kepada
perempuan-perempuan dan menanyakan: apakah di antara kamu ada yang bercerita
begitu? Tiba-tiba ada seorang gadis memukul-mukul salah satu tulang lututnya
sampai lama sekali supaya diperhatikan oleh Nabi dan supaya beliau mendengarkan
omongannya. Si gadis itu berkata: Demi Allah kaum laki-laki berceritera dan
perempuan perempuan juga berceritera! Lantas Nabi bertanya: tahukah kamu
seperti apa yang mereka lakukan itu? Sesungguhnya orang yang berbuat demikian
tak ubahnya dengan syaitan laki-laki dan syaitan perempuan satu sama lain
saling bertemu di jalan kemudian melakukan persetubuhan, sedang orang lain
banyak yang melihatnya." (Riwayat Ahmad, Abu Daud dan Bazzar)
Kiranya
perbandingan ini cukup menjauhkan seorang muslim dari berbuat yang sebodoh itu
yang tidak bernilai. Seorang muslim kiranya tidak suka kalau dirinya menjadi
syaitan atau sama dengan syaitan.
Keluarga Berencana
Tidak
syak lagi, bahwa tujuan pokok perkawinan ialah demi kelangsungan jenis manusia.
Sedang kelangsungan jenis manusia ini hanya mungkin dengan berlangsungnya
keturunan. Islam sendiri sangat suka terhadap banyaknya keturunan dan
memberkati setiap anak, baik laki-laki ataupun perempuan. Namun di balik itu
Islam juga memberi perkenan (rukhshah) kepada setiap muslim untuk mengatur
keturunannya itu apabila didorong oleh alasan yang kuat.
Cara
yang masyhur yang biasa dilakukan oleh orang di zaman Nabi untuk menyetop
kehamilan atau memperkecil, yaitu azl (mengeluarkan mani di luar rahim ketika
terasa akan keluar).
"Dari
Jabir r.a. ia berkata: kami biasa melakukan azl di masa Nabi s.a. w. sedang
al-Ouran masih terus turun." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Di
riwayat lain ia berkata:
"Kami
biasa melakukan azl di zaman Nabi s.a.w. maka setelah hal demikian itu sampai
kepada Nabi, beliau tidak melarang kami." (Riwayat Muslim)
Diriwayatkan
juga, bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Nabi lantas ia berkata:
"Ya
Rasulullah! Sesungguhnya saya mempunyai seorang hamba perempuan (jariyah) dan
saya melakukan azl daripadanya, karena saya tidak suka kalau dia hamil dan saya
ingin seperti apa yang biasa diinginkan oleh umumnya orang laki-laki, sedang
orang-orang Yahudi berceritera: bahwa azl itu sama dengan pembunuhan yang
kecil. Maka bersabdalah Nabi s.a.w.: dusta orang-orang Yahudi itu! Kalau Allah
berkehendak untuk menjadikannya (hamil), kamu tidak akan sanggup
mengelakkannya." (Riwayat Ashabussunan)
Yang
dimaksud oleh Nabi, bahwa persetubuhan dengan azl itu, kadang-kadang ada
setetes mani masuk yang menyebabkan kehamilan sedang dia tidak mengetahuinya.
Di zaman
pemerintahan Umar, dalam satu majlis orang-orang banyak berbincang masafah azl.
Kemudian ada salah seorang laki-laki yang berkata: bahwa orang-orang Yahudi
beranggapan, azl itu berarti pembunuhan yang kecil. Kemudian Ali r.a. ber kata:
"Tidak dinamakan pembunuhan, sehingga mani itu berjalan tujuh tahap,
yaitu: mula-mula sari tanah, kemudian menjadi nuthfah (mani), kemudian menjadi
darah yang membeku, kemudian menjadi segumpal daging, kemudian daging itu
dilengkapi dengan tulang-belulang, kemudian dililiti dengan daging dan terakhir
menjadi manusia." Lantas Umar menjawab: betul engkau, ya Ali! Semoga Allah
memanjangkan umurmu!
15. Islam dan Kesehatan Modern oleh Dr. A, Aziz
Ismail.
16. Hujjatullah al-Balighah 3: 134.
Post a Comment