Alasan yang Mendorong Keluarga Berencana
Alasan yang Mendorong Keluarga Berencana
Di
antara sekian banyak alasan yang mendorong dilakukannya keluarga berencana,
yaitu:
Petama: Mengkawatirkan terhadap kehidupan atau
kesehatan si ibu apabila hamil atau melahirkan anak, setelah dilakukan suatu
penelitian dan cheking oleh dokter yang dapat dipercaya. Karena firman Allah:
"Jangan
kamu mencampakkan diri-diri kamu ke dalam kebinasaan." (al-Baqarah: 195)
Dan
firman-Nya pula:
"Dan
jangan kamu membunuh diri-diri kamu, karena sesungguhnya Allah maha belaskasih
kepadamu." (an-Nisa': 28)
Kedua: Kawatir akan terjadinya bahaya pada urusan dunia yang
kadang-kadang bisa mempersukar beribadah, sehingga menyebabkan orang mau
menerima barang yang haram dan mengerjakan yang terlarang, justru untuk
kepentingan anak-anaknya. Sedang Allah telah berfirman:
"Allah
berkehendak untuk memberikan kemudahan kepadamu, bukan berkehendak untuk
memberi kesukaran kepadamu." (al-Baqarah:
185)
"Allah
tidak berkehendak untuk menjadikan suatu kesukaran kepadamu." (al-Maidah: 6)
Termasuk
yang mengkawatirkan anak, ialah tentang kesehatan dan pendidikannya.
Usamah
bin Zaid meriwayatkan:
"Ada seorang laki-laki
datang kepada Nabi s.a.w. kemudian ia berkata: ya Rasulullah! Sesungguhnya saya
melakukan azl pada isteriku. Kemudian Nabi bertanya: mengapa kamu berbuat
begitu? Si laki-laki tersebut menjawab: karena saya merasa kasihan terhadap
anaknya, atau ia berkata: anak-anaknya. Lantas Nabi bersabda: seandainya hal
itu berbahaya, niscaya akan membahayakan bangsa Persi dan Rum." (Riwayat Muslim)
Seolah-olah
Nabi mengetahui bahwa situasi individu, yang dialami oleh si laki-laki
tersebut, tidaklah berbahaya untuk seluruh bangsa, dengan dasar bangsa Persi
dan Rum tidak mengalami bahaya apa-apa, padahal mereka biasa melakukan
persetubuhan waktu hamil dan menyusui, sedang waktu itu kedua bangsa ini
merupakan bangsa yang terkuat di dunia.
Ketiga: Keharusan melakukan azl yang biasa terkenal
dalam syara' ialah karena mengkawatirkan kondisi perempuan yang sedang menyusui
kalau hamil dan melahirkan anak baru.
Nabi
menamakan bersetubuh sewaktu perempuan masih menyusui, dengan ghilah atau
ghail, karena penghamilan itu dapat merusak air susu dan melemahkan anak. Dan
dinamakannya ghilah atau ghail karena suatu bentuk kriminalitas yang sangat
rahasia terhadap anak yang sedang disusui. Oleh karena itu sikap seperti ini
dapat dipersamakan dengan pembunuhan misterius (rahasia).
Nabi
Muhammad s.a.w. selalu berusaha demi kesejahteraan ummatnya. Untuk itu ia
perintahkan kepada ummatnya ini supaya berbuat apa yang kiranya membawa
maslahah dan melarang yang kiranya membawa bahaya. Di antara usahanya ialah
beliau bersabda:
"Jangan
kamu membunuh anak-anakmu dengan rahasia, sebab ghail itu biasa dikerjakan
orang Persi kernudian merobohkannya." (Riwayat Abu Daud)
Tetapi beliau
sendiri tidak memperkeras larangannya ini sampai ke tingkat haram, sebab beliau
juga banyak memperhatikan keadaan bangsa yang kuat di zamannya yang melakukan
ghilah, tetapi tidak membahayakan. Dengan demikian bahaya di sini satu hal yang
tidak dapat dielakkan, sebab ada juga seorang suami yang kawatir berbuat zina
kalau larangan menyetubuhi isteri yang sedang menyusui itu dikukuhkan. Sedang
masa menyusui itu kadang-kadang berlangsung selama dua tahun bagi orang yang
hendak menyempurnakan penyusuan.
Untuk
itu semua, Rasulullah s.a,w. bersabda:
"Sungguh
saya bermaksud akan melarang ghilah, kemudian saya lihat orang-orang Persi dan
Rum melakukannya, tetapi ternyata tidak membahayakan anaknya sedikitpun."
(Riwayat Muslim)
Ibnul
Qayim dalam menerangkan hubungan antara hadis ini dengan hadis sebelumnya,
mengatakan sebagai berikut: "Nabi s.a.w. memberitakan pada salah satu
segi: bahwa ghail itu berarti memperlakukan anak seperti orang-orang Persi
mengadu kudanya, dan ini salah satu macam yang menyebabkan bahaya tetapi
sifatnya bukan membunuh dan merusak anak, sekalipun kadang-kadang membawa
bahaya anak kecil. Oleh karena itu Nabi s.a.w. membimbing mereka supaya
meninggalkan ghail kendati bukan melarangnya. Kemudian beliau berazam untuk
melarangnya guna membendung bahaya yang mungkin menimpa anak yang masih
menyusu. Akan tetapi menutup pintu bahaya ini tidak dapat menghindari mafsadah
yang juga mungkin terjadi sebagai akibat tertahannya jima' selama dalam
menyusui, lebih-lebih orang-orang yang masih berusia muda dan syahwatnya sangat
keras, yang tidak dapat diatasi melainkan dengan menyetubuhi isterinya. Itulah
sebabnya beliau mengetahui, bahwa maslahah dalam masalah ini lebih kuat
daripada menolak mafsadah. Kemudian beliau melihat dua bangsa yang besar dan
kuat (Romawi dan Persi) di mana mereka itu juga mengerjakan ghilah dan justru
karena kekuatannya itu, mereka samasekali tidak ada sara kawatir apa yang
mungkin terjadi sebab ghilah. Oleh karena itulah beliau tidak jadi melarangnya.17
Di zaman
kita ini sudah ada beberapa alat kontrasepsi yang dapat dipastikan
kemaslahatannya, dan justru maslahah itulah yang dituju oleh Nabi Muhammad
s.a.w., yaitu melindungi anak yang masih menyusu dari mara-bahaya termasuk
menjauhi mafsadah yang lain pula, yaitu: tidak bersetubuh dengan isterinya
selama menyusui, di mana hal itu sangat memberatkan sekali.
Dengan
dasar inilah, kita dapat mengira-ngirakan jarak yang pantas antara dua anak,
yaitu sekitar 30 atau 33 bulan, bagi mereka yang ingin menyempurnakan susuan.
Imam
Ahmad dan lain-lain mengikrarkan, bahwa hal yang demikian itu diperkenankan
apabila isteri mengizinkannya, karena dialah yang lebih berhak terhadap anak,
di samping dia pula yang berhak untuk bersenang-senang.
Sedang
Umar Ibnul-Khattab, dalam salah satu riwayat berpendapat, bahwa azl itu
dilarang, kecuali dengan seizin isteri.
Demikianlah
perhatian Islam terhadap hak-hak perempuan, di mana waktu itu dunia tidak
mengenal dan tidak mengakuinya.
Pengguguran (Aborsi)
Apabila
Islam telah membolehkan seorang muslim untuk mencegah kehamilan karena suatu
alasan yang mengharuskan, maka dibalik itu Islam tidak membenarkan menggugurkan
kandungan apabila sudah ujud.
Seluruh
ulama ahli fiqih sudah sepakat (konsensus), bahwa pengguguran kandungan sesudah
janin diberi nyawa, hukumannya haram dan suatu tindak kriminal, yang tidak
halal bagi seorang muslim untuk melakukannya. Karena perbuatan tersebut
dianggap sebagai pembunuhan terhadap orang hidup yang ujudnya telah sempurna. Para ulama itu mengatakan: Oleh karena itu, pengguguran
semacam ini dikenakan diyat18
apabila si anak lahir dalam keadaan hidup kemudian mati. Dan dikenakan denda
kurang dari diyat, apabila si anak lahir dalam keadaan sudah mati.
Namun
demikian, mereka juga berkata: apabila dengan penyelidikan yang dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya, bahwa hidupnya anak dalam kandungan akan
membahayakan kehidupan si ibu, maka syariat Islam dengan kaidah-kaidahnya yang
umum memerintahkan untuk mengambil salah satu darurat yang paling ringan
(akhaffudh dhararain). Apabila kehidupan si anak itu menyebabkan ajalnya si
ibu, sedang satu-satunya jalan untuk menyelamatkannya ialah pengguguran, maka
waktu itu diperkenankanlah menggugurkan kandungan. Si ibu tidak boleh
dikorbankan justru untuk menyelamatkan anak, sebab ibu adalah pokok, dan
hidupnya pun sudah dapat dipastikan, dia mempunyai hak kebebasan hidup, dia
mempunyai hak dan dilindungi oleh hukum dan dia adalah tiang rumahtangga.
Justru itu tidak rasional kalau kita korbankan dia guna menyelamatkan janin
yang belum tentu hidupnya dan belum memperoleh hak dan kewajiban.19
Imam
Ghazali membedakan antara mencegah kehamilan dan pengguguran kandungan. Ia
berkata: "Mencegah kehamilan tidak sama dengan pengguguran dan pembunuhan,
sebab apa yang disebut pembunuhan atau pengguguran, yaitu suatu tindak kriminal
terhadap manusia yang sudah ujud, sedang ujudnya anak itu sendiri bertahap.
Tahap pertama yaitu bersarangnya sperma dalam rahim dan bercampur dengan air
perempuan dan dia siap menghadapi hidup. Merusak ini berarti suatu tindak
kriminal. Jika sperma (nuthfah) ini sudah menjadi darah, maka tindakan kriminal
dalam hal ini lebih kejam. Dan jika telah ditiupnya roh dan sudah sempurna
kejadiannya, maka tindak kriminal dalam soal ini lebih kejam lagi. Dan yang
paling top dalam soal kriminal ini, ialah apabila si anak tersebut telah lahir
dan dalam keadaan hidup."20
Hak dan Kewajiban dalam Pergaulan Antara Suami-Isteri
Perkawinan,
sebagaimana telah kami sebutkan, adalah suatu ikatan perjanjian yang telah
diikat oleh Allah antara seorang pria dengan seorang wanita. Sesudah melakukan
aqad, masing-masing disebut suami dan isteri atau zauj dan zaujah, artinya
genap. Masing-masing dalam hitungan adalah single, tetapi dalam timbangannya
adalah double, karena masing-masing mencerminkan yang lain dan bertanggungjawab
terhadap penderitaan dan cita-citanya.
Al-Quran
menggambarkan kekuatan ikatan antara suami-isteri ini, dengan suatu lukisan
sebagai berikut:
"Perempuan
(ibarat) pakaian buat kamu, dan kamu (ibarat) pakaian buat mereka." (al-Baqarah: 187)
Redaksi
ini memberikan suatu pengertian: fusi (peleburan), pendinding, perlindungan dan
perhiasan yang harus diujudkan oleh masing-masing suami-isteri.
Oleh
karena itu, masing-masing suami-isteri mempunyai hak dan kewajiban yang harus
dijaga baik-baik, tidak boleh diabaikannya. Hak dan kewajiban ini berlaku sama,
kecuali yang memang secara fitrah dispesialkan buat laki-laki, seperti yang
ditegaskan oleh Allah dalam firmanNya:
"Perempuan
mempunyai hak sebanding dengan kewajibannya dengan baik, dan laki-laki
mempunyai kelebihan terhadap perempuan." (al-Baqarah:
228)
Kelebihan
yang dimaksud dalam ayat ini, yaitu kelebihan mengurus dan bertanggungjawab.
Seorang
laki-laki pernah bertanya kepada Rasulullah s.a.w.:
"Ya
Rasulullah! Apakah hak seorang isteri terhadap suami? Maka beliau menjawab:
engkau beri makan dia apabila engkau makan, dan engkau beri pakaian dia apabila
engkau berpakaian, dan jangan engkau menampar mukanya, dan jangan engkau
jelek-jelekkan, dan jangan engkau berpisah dengan dia melainkan dalam
rumah." (Riwayat Abu Daud dan Ibnu Hibban)
Oleh
karena itu seorang suami muslim tidak dibenarkan mengabaikan masalah nafkah dan
pakaian isteri. Sebab Nabi Muhammad s.a.w. telah bersabda:
"Cukup
berdosa seseorang yang meneledorkan orang yang menjadi tanggungannya."
(Riwayat Abu Daud, Nasa'i dan Hakim)
Dan
tidak dibenarkan seorang muslim menampar muka isterinya. Tindakan tersebut dianggap
suatu penghinaan, karena muka adalah anggota yang menjadi pusat kecantikan
tubuh.
Dan
apabila diperkenankan seorang muslim untuk memberikan pendidikan isterinya yang
durhaka, maka ia tidak diperkenankan memukul yang dapat menyusahkan atau
menampar muka dan tempat-tempat yang cepat membawa ajalnya.
Di
samping itu tidak pula diperkenankan seorang muslim menjelek-jelekkan
isterinya, baik dengan mengata-ngatai atau ucapan-ucapan yang tidak layak
didengar, misalnya kata-kata: qabbahakillah (kamu orang jahat) dan sebagainya.
Sedang
kewajiban isteri terhadap suaminya, yaitu sebagaimana yang dikatakan Nabi
Muhammad s.a.w.:
"Tidak
halal bagi seorang isteri yang beriman kepada Allah, memberi izin (kepada
laki-laki lain) dalam rumah suami sedang suami tidak suka; dan tidak halal dia
keluar rumah sedang suami tidak suka; dan tidak halal dia taat kepada orang
lain; dan tidak halal dia meninggalkan ranjang suami; dan tidak halal dia
memukul suaminya. Kalau suami berlaku zalim, maka datangilah sehingga menjadi
senang; dan jika dia dapat menerimanya maka dia adalah perempuan yang baik dan
semoga Allah menerima uzurnya dan menampakkan alasannya; tetapi jika suami
tidak rela, maka uzurnya itu telah ia sampaikan kepada Allah." (Riwayat
Hakim)
Suami-Isteri Harus Sabar
Seorang
suami harus berlaku sabar terhadap isterinya jika ada sesuatu pelayanan isteri
yang kurang menyenangkan, sedang dia telah mengetahui kelemahan isterinya
sebagai seorang perempuan di mana dia sebagai manusia biasa tidak luput dari
kekurangan. Sedang di balik kesalahan dan kekurangan itu, isteri juga mempunyai
kebaikan-kebaikan dan kelebihan-kelebihan.
Di dalam
salah satu hadisnya, Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Seorang
mu'min (suami) tidak boleh membenci seorang mu'minah (isteri), jika dia tidak menyukai
lantaran sesuatu perangainya, maka dia akan senang pada perangainya yang
lain." (Riwayat Muslim)
"Dan
pergaulilah isterimu dengan cara yang baik maka jika kamu tidak menyukainya
barangkali sesuatu yang kamu tidak sukainya itu justru Allah akan menjadikan
padanya kebaikan yang sangat banyak." (an-Nisa':
19)
Sebagaimana
suami disuruh sabar terhadap sesuatu yang tidak disukainya dari isterinya, maka
begitu juga seorang isteri diperintah supaya memberi kesenangan kepada suaminya
semampu mungkin, dan jangan sampai seorang isteri tidur malam sedang suaminya
dalam keadaan marah. Dalam hadis Nabi dikatakan:
"Ada tiga orang yang
sembahyangnya itu tidak dapat melebihi kepalanya walaupun hanya sejengkal,
yaitu: 1) Seorang laki-laki yang menjadi imam pada suatu kaum sedang kaum itu
tidak suka, 2) Seorang perempuan yang tidur malam sedang suaminya murka
kepadanya. 3) Dua saudara yang saling bermusuhan." (Riwayat Ibnu Majah dan
Ibnu Hibban)
18. denda pembunuh.
19. Fatawa Syaltut hal. 464.
20. Thaya', kitabun nikah hal. 47.
Post a Comment