ISLAM MENUTUPI MASALAH-MASALAH HUKUMAN (HUDUD)
ISLAM MENUTUPI MASALAH-MASALAH HUKUMAN (HUDUD)
Pada poin yang ketiga ini saya ingin mengingatkan di sini akan hakikat yang
urgen dalam masalah hukuman, yaitu bahwa sesungguhnya Islam tidak bergerak di
balik pelaksanaan hukuman, dan tidak menunggu pelaksanaan hukuman itu pada
orang yang melakukan sesuatu yang menyebabkan dia berhak dihukum. Serta tidak
memasang peralatan untuk mengintai orang-orang yang berbuat maksiat atau
memasang kamera rahasia yang dapat merekam mereka ketika berbuat demikian. Tidak
juga memerintahkan polisi kriminal atau mata-mata untuk mencari-cari aurat
(kesalahan) manusia yang melanggar syari'at, sehingga mereka tertangkap ketika
melaksanakannya.
Bahkan kita dapatkan bahwa taujihaat Islam sangat memperhatikan penjagaan
kehormatan manusia secara khusus dan haramnya tajassus atau mencari-cari aurat
mereka. Tidak dari perorangan dan tidak pula dari pemerintah yang berkuasa.
Imam Hakim meriwayatkan dari Abdurrahman bin Auf bahwa pada suatu malam ia
berjaga bersama Umar di Madinah. Ketika mereka sedang berjalan ada yang
menyalakan api di rumah, maka keduanya bergegas menuju ke sana, sehingga ketika
sudah dekat dengan rumah tersebut, ternyata pintunya terkunci. Di dalamnya
terdengar ada suara keras, maka Umar berkata sambil memegang tangan Abdur
Rahman, "Tahukah kamu rumah siapakah ini?" Abdurrahman menjawab,
"Tidak" Umar berkata, "Ini rumah Rabitah bin Umayah bin Khalaf,
mereka sekarang minum khamr, bagaimana pendapatmu? "Abdurrahman berkata,
"Saya berpendapat bahwa kita telah mendatangi sesuatu yang dilarang oleh
Allah SWT, Allah telah melarang kita dengan firman-Nya, "Walaa
Tajassasuu," sementara kita telah bertajassus, kemudian Umar pergi
meninggalkan mereka." (HR. Hakim)
Dari Zaid bin Wahb, ia berkata, "Ada seorang laki-laki datang kepada
Ibnu Mas'ud, kemudian bertanya, "Maukah engkau melihat Walid bin 'Uqbah
yang jenggotnya meneteskan khamr ?," maka Ibnu Abbas berkata, Sesungguhnya
Rasulullah SAW melarang kita untuk bertajassus, tetapi jika nampak di hadapan
kita maka kita bertindak (untuk menghukumnya) (HR. Abu Dawud dan Hakim)
Dari empat sahabat; Jubair bin Nafir, Katsir bin Murrah Miqdam bin Ma'di
Karib dan Abi Umamah Al Baahili ra, dari Nabi SAW beliau bersabda,
"Sesungguhnya amir (seorang pemimpin) itu apabila mencari keraguan pada manusia
maka akan merusak mereka." (HR. Abu Dawud)
Bahkan ajaran Rasulullah SAW sangat mendorong agar setiap Muslim menutupi
aurat dirinya dan aurat orang lain. Dalam suatu riwayat disebutkan sebagai
berikut:
Dari Ibnu Umar ra, sesungguhnya Rasulullah SAW setelah melaksanakan hukuman
(had) pada Ma'iz bin Malik Al Aslami, beliau berdiri, kemudian bersabda,
"Jauhilah kotoran ini yang telah Allah larang, maka barangsiapa yang
terjerumus dalam perbuatan ini maka hendaklah meminta tutup dengan tutup Allah,
dan hendaklah bertaubat kepada Allah, karena barangsiapa membuka kepada kami
lembaran (kesalahan)-nya maka kami berlakukan kepadanya Kitab (hukum)
Allah." (HR. Hakim)
Rasulullah SAW telah melaksanakan had untuk Ma'iz, setelah dia datang
kepada Rasulullah SAW sebanyak empat kali dengan mengakui kesalahannya dan
setelah Nabi SAW berupaya untuk menjauhkan tuduhan darinya dan mengajarinya
yang itu menunjukkan upaya agar tidak memenuhi rukun-rukun dosa (zina), tetapi
ia (Ma'iz) masih tetap bersikeras. Peristiwa itu kemudian disusul dengan kasus
serupa oleh wanita Ghamidiyah.
Diriwayatkan dari Abi Burdah, dari ayahnya, ia berkata, "Kami adalah
sahabat Nabi SAW kami berbincang-bincang bahwa seandainya Ma'iz dan orang
wanita itu tidak datang yang keempat kalinya maka Rasulullah tidak akan
menuntut kepadanya." (HR. Hakim)
Nabi SAW pernah bersabda kepada Hazal, yaitu orang yang mendorong Ma'iz
untuk mengaku di hadapan Nabi SAW"Jika seandainya kamu menutupinya dengan
bajumu niscaya akan menjadi kebaikan untukmu." (HR. Hakim)
Dari Abi Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda,
"Barangsiapa yang menutupi saudaranya Muslim di dunia maka Allah akan
menutupinya di dunia dan di akhirat." (HR. Abu Dawud)
Dari Abi Hurairah ra, dan Nabi SAW; beliau bersabda, "Tidaklah seorang
hamba menutupi hamba yang lain di dunia kecuali Allah akan menutupi aib-nya di
hari kiamat." (HR. Hakim)
Jika hadits-hadits tersebut menjelaskan pahala orang yang menutupi
saudaranya Muslim, maka hadits berikut ini bersifat umum:
Dari Katsir pembantu 'Uqbah bin 'Amir, sesungguhnya Rasulullah SAW
bersabda, "Barangsiapa melihat aurat, lalu menutupinya, maka ia seperti
orang yang menghidupkan kembali anak perempuan yang dikubur secara hidup-hidup
dari kuburnya." (HR. Abu Dawud dan Hakim)
Demikian juga kita dapatkan berbagai taujihat Islami yang jelas dalam
menekankan untuk memaafkan dan berlapang dada dalam kaitannya dengan
hukuman-hukuman yang berkaitan dengan hak-hak manusia sebagai hamba Allah,
seperti mencuri, dengan syarat tidak sampai pada kekuasaan hukum, maka di sana
tidak ada kesempatan untuk dimaafkan atau ditolong.
Dalam hal ini ada hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar sebagai
berikut:
"Saling memaafkanlah di antara kamu dalam kaitannya dengan hukuman,
karena apa-apa (keputusan) yang telah sampai kepadaku dari hukuman berarti
wajib (dilaksanakan)." (HR. Abu Dawud dan Nasa'i)
Ibnu Mas'ud berkata: "Sesungguhnya aku akan menyebutkan pertama kali
orang yang dipotong (tangannya) oleh Rasulullalh SAW "Adalah didatangkan
seorang yang mencuri maka diperintahkan untuk dipotong, tetapi seakan wajah
Rasulullah SAW nampak menyesal, maka sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah,
seakan-akan engkau tidak suka memotongnya, " Nabi bersabda, "Tidak
ada yang menghalangi aku, janganlah engkau menolong syetan atas saudara kamu,
karena tidak pantas bagi seorang imam apabila telah sampai padanya hukuman
kecuali harus melaksanakannya, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, cinta untuk
mengampuni, Allah berfirman, "Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang
dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang (An-Nuur: 22)" (HR. Hakim).
Ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah SAW kemudian mengaku
bahwa ia telah melakukan sesuatu yang mewajibkan harus dihukum, maka Nabi tidak
bertanya kepadanya tentang hukuman itu, apa hukumannya dan bagaimana ia
melakukan, melainkan beliau menganggap pengakuannya itulah yang menyebabkan ia
dihukum sebagai taubat dari dosanya dan penyesalan atas kelengahannya, ini
menjadi kaffarah (penghapus dosa) baginya, karena tidak akan terjadi hukuman
yang demikian apabila ia shalat bersama Rasulullah SAW.
Abu Dawud telah meriwayatkan dalam bab "Seseorang yang mengaku dengan
hukuman dan tidak menyebutkan namanya." Dari Abi Umamah, sesungguhnya ada
seorang laki-laki yang datang kepada Nabi SAW lalu berkata, "Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku telah berbuat (sesuatu) yang harus dihukum, maka
hukumlah aku." Nabi bersabda, "Apakah kamu berwudhu ketika kamu
datang (ke mari)," laki-laki itu menjawab, "Ya," Nabi bersabda,
"Apakah kamu shalat bersama kami ketika kami shalat?" Orang itu
berkata, "Ya," Nabi bersabda, "Pergilah, sesungguhnya Allah SWT
telah memaafkan kamu." (HR. Muslim, Abu Dawud dan Nasa'i).
Karena itu ada di antara ulama salaf yang berpendapat bahwa di antara hak
imam dan qadhi adalah menggugurkan had (hukuman) dengan taubat apabila
kelihatan tanda-tandanya. Inilah pendapat yang ditarjih oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Dan ini pula yang saya pilih ketika kita
menerapkan hukum had pada zaman kita ini.
MENOLAK HUDUD DENGAN ADANYA SYUBUHAT
<< Kembali ke Daftar Isi
>>
Sesungguhnya di antara sesuatu yang disamakan dengan apa yang telah kami
sebutkan yaitu tentang kecintaan Islam menutupi dan memaafkan dalam masalah
hukuman adalah apa yang populer dalam fiqih Islam -dengan berbagai madzahib
yang diikuti- sebagai "Dar'ul Hudud bisy-syubahaat" (menolak hukuman
dengan adanya syubuhat (kemungkinan-kemungkinan untuk membatalkan).
Ada hadits yang menerangkan hal itu, sebagaimana diriwayatkan oleh Hakim
dan dianggap shahih."Nabi bersabda:
"Tolaklah hudud itu dari kaum Muslimin semampu kamu, jika kamu
mendapatkan jalan keluar untuk seorang Muslim maka lepaskanlah jalannya,
sesungguhnya apabila seorang imam salah dalam memaafkan, itu lebih baik
daripada salah dalam menghukum." (HR. Hakim)
Benar bahwa Al Hafidz Adz-Dzahabi telah menolak pentashihan Hakim terhadap
hadits ini, tetapi hadits-hadits yang kami kemukakan memperkuat riwayat ini.
Demikian juga riwayat shahih dari Al Faruq Umar bin Khattab RA, yaitu sabda
Rasulullah SAW.
"Tolaklah hudud
itu dengan syubuhat." (Ibnu Hazm menyebutkan di dalam "Al
Muhalla")
Adapun sesuatu yang
ditetapkan dari perbuatan Umar ra, seperti memberhentikan hukuman potong tangan
pada tahun kelaparan karena adanya syubuhat (alasan) keperluan, dan persetujuan
para sahabat termasuk para fuqaha' dan ahlul ilmi dan fatwa terhadap Umar
tentang masalah tersebut, seperti ini dianggap salah satu bentuk dari ijma'
(konsensus) Karena sesungguhnya mereka tidak diam terhadap kebathilan dan
mereka tidak bersepakat di atas kesesatan.
Ini tidak termasuk
menggugurkan hukuman sebagaimana disebutkan oleh sebagian orang, tetapi pada
dasarnya had belum wajib karena belum memenuhi seluruh rukun dan syaratnya.
Contoh lain yang mirip
adalah satu riwayat yang menjelaskan bahwa Umar tidak menghukum dua pembantu
yang mengambil harta juragannya, karena Umar berpendapat bahwa kedua pembantu
itu tidak mencuri kecuali karena kezhaliman sayyid-nya dan karena tidak diberi
kecukupan dari keperluan pokoknya.
Tidak heran jika Umar
memaafkan keduanya sesuai dengan kondisinya, kemudian Umar memperingatkan
kepada juragannya bahwa tangan juragannya akan dipotong jika sampai kedua
pembantu terpaksa mencuri lagi. Siapa yang membaca kitab-kitab fiqih akan
mendapatkan di dalamnya berbagai persoalan dan jawaban yang disebutkan oleh
para fuqaha', yang dimasukkan syubhat (alasan-alasan) yang menolak
terlaksananya hukuman. Sebagiannya dianggap dibuat-buat atau mengaku-aku,
tetapi mereka melihat bahwa keraguan yang paling ringan dapat memberi
keterangan untuk kemaslahatan orang yang tertuduh.
MASYARAKAT TIDAK DITEGAKKAN DENGAN HUKUM BELAKA
<< Kembali ke Daftar Isi >>
Sesungguhnya Islam
bukanlah sekedar hukum dan perundang-undangan belaka, tetapi Islam adalah
aqidah yang menafsirkan kehidupan, ibadah yang mendidik jiwa, akhlaq yang
membersihkan jiwa, pemahaman yang menjernihkan persepsi, nilai-nilai yang
mengangkat martabat manusia dan adab yang memperindah kehidupan.
Ayat-ayat hukum tasyri'
tidak sampai sepersepuluh dari Al Qur'an, itu pun dikumpulkan dengan ayat-ayat
tentang aqidah dan hati yang disertai juga dengan janji dan ancaman berkaitan
erat dengan seluruh arahan-arahan Al Qur'an.
Seperti misalnya hukum
kerumah-tanggaan dalam firman Allah SWT:
"Talak (yang dapat
dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau
menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari
sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir
tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya
(suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa
atas keduannya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus
dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.
Barangsiapa yang melanggar hukum-hukam Allah mereka itulah orang-orang yang
zhalim." (Al Baqarah: 229)
Ini bukan hukum yang
kering seperti kandungan hukum yang ada, tetapi ini merupakan tasyri', dakwah,
taujih, tarbiyah, targhib (dorongan) dan tarhib (ancaman). Bacalah firman Allah
SWT dalam menjelaskan ahkamul hudud:
"Laki-laki yang
mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka barang siapa bertaubat (di antara
pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka
sesungguhnya Allah menerima taubatnya Sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi
Maha Penyayang. Tidakkah kamu tahu, sesungguhnya Allah-lah yang mempunyai kerajaan
langit dan bumi, disiksa-Nya siapa yang dikehendaki-Nya dan diampuni-Nya bagi
siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (Al Maidah: 38-40)
Di dalam ayat ini kita
dapatkan tasyri' yang menakutkan, disertai dengan janji dan ancaman, memuat
menakut-nakuti dan menggetarkan, taujih dan tarbiyah, dorongan untuk bertaubat
dan memperbaiki, mengingatkan nama-nama Allah yang baik, Maha 'Aziz (kuasa)
untuk melarang dan memerintah, Yang Bijaksana dalam menentukan hukum, Maha Pengampun
dan Penyayang bagi orang yang bertaubat dan mau memperbaiki diri, Yang Merajai
alam semesta, Yang menciptakan dan Memerintah dan Yang Maha Kuasa atas segala
sesuatu.
Inilah susunan hukum
dalam Al Qur'an, sebagaimana juga dalam hadits-hadits Rasulullah SAW. Dengan
demikian maka bukan semata-mata tasyri' (hukum yang membangun masyarakat
Islam), melainkan juga memerlukan dua sarana lain yang tidak kalah penting,
yaitu dakwah dan pemberian pemahaman (taui'yah), kemudian ta'lim dan tarbiyah
di samping perundang-undangan dan hukum, bahkan semua itu diletakkan sebelum
perundang-undangan dan hukum.
Karena itulah Islam
memulai dengan marhalah Makkiyah -yaitu marhalah da'wah dan tarbiyah- sebelum
marhalah madaniyah yang merupakan marhalah tasyri' dan tanzhim (perundang-undangan
dan strukturisasi). Dalam marhalah kedua inilah kita melihat tasyri' disertai
dengan tarbiyah, sebagaimana bergabungnya jasad dengan ruh.
Sesungguhnya dengan
sekedar merubah hukum saja tidak cukup untuk mewujudkan sebuah masyarakat
Islam. Merubah apa-apa yang ada di dalam jiwa seseorang itulah sebenarnya yang
paling asasi. Dan yang paling besar dalam hal ini adalah terdapatnya keimanan
yang mampu membentuk manusia menjadi makhluq yang sempurna. Keimanan itulah
yang akan memberikan motivasi dan menjadi standar nilai serta hasil dari
seluruh amalnya berupa pembalasan di dunia dan di akhirat.
Islam merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisah-pisah, maka jika kita ingin memerangi kriminalitas
yang mengharuskan dihukum tidaklah hanya dengan melaksanakan hukuman saja.
tidak pula dengan tasyri' saja. Melainkan bahwa had itu merupakan langkah
terakhir dalam mengupayakan suatu perbaikan.
Sesungguhnya sanksi itu
hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang melanggar. Orang-orang ini bukanlah
mayoritas dan umat ini, bukan pula basis utama masyarakat, tetapi mereka adalah
orang-orang yang tidak termasuk dalam basis, karena telah keluar dari basis
tersebut.
Islam datang bukan
untuk mengobati orang-orang yang menyimpang, tetapi Islam datang untuk memberi
pengarahan kepada orang-orang yang baik dan memelihara mereka untuk tidak
menyimpang.
Dalam pandangan Islam
hukuman bukanlah variabel terbesar dalam memberantas kriminalitas. Tetapi
memelihara dari itu semua dengan mengeliminir sebab-sebabnya, itulah variabel
terbesar. Pencegahan itu lebih baik daripada pengobatan.
Jika kita melihat suatu
tindak kriminalitas seperti zina, maka kita akan mendapatkan bahwa sesungguhnya
Al Qur'an telah menyebutkan tentang hukumannya dalam satu ayat pada awal surat An-Nur, yaitu firman
Allah SWT:
"Perempuan yang
berzina dengan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap orang dari
keduanya seratus kali dera, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu dari (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah,
dan hari kiamat..." (An Nuur: 2)
Tetapi di dalam surat An-Nuur itu sendiri
memuat berpuluh-puluh ayat lain yang mengarahkan untuk memelihara dari dosa itu
sebagai berikut:
Pertama, Ancaman Allah
bagi orang-orang yang menyebarkan perbuatan keji itu dengan adzab di dunia dan
akhirat, Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya
orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di
kalangan orang-orang yang beriman bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan di
akhirat..." (An-Nuur: 19)
Kedua, Aturan berziarah
dan adabnya serta memelihara kehormatan rumah tangga, sebagaimana firman Allah
SWT:
"Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta
izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu
agar kamu (selalu) ingat." (an-Nuur: 27).
Ketiga, Adab meminta
izin bagi para pembantu dan anak-anak yang belum mencapai usia baligh, Allah
SWT berfirman:
"Hai orang-orang
yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan
anak-anak yang belum baligh di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali
(dalam satu hari) yaitu: sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian
(luar)mu di tengah hari dan sesudah shalat isya' (itulah) tiga aurat..." (An-Nuur: 58)
Keempat, Mendidik
laki-laki dan perempuan mukmin untuk memelihara dan menjaga diri dengan selalu
menahan pandangan dan memelihara kemaluan. Yaitu firman Allah SWT:
"Katakanlah kepada
laki-laki yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat." Katakanlah kepada wanita
yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) nampak dan padanya. Dan hendaklah mereka menutupkkan kain kerudung
(jilbab) ke dadanya..." (An Nuur: 30-31)
Kelima, Melarang wanita
tampil menarik (tabarruj) di hadapan kaum laki-laki, membangkitkan keinginan
dan khayalan mereka, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT:
"Dan Janganlah
mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan, dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung." (An-Nuur: 31)
Arti dari ayat tersebut
menunjukkan wajibnya membersihkan masyarakat dari sebab-sebab fitnah dan
rayuan, serta menutup segala celah yang menuju terjadinya kerusakan.
Keenam, Yang lebih
penting dari itu semua adalah menikahkan orang-orang yang belum bersuami atau
beristeri dari laki-laki atau pun wanita dan menyerukan yang demikian kepada
seluruh masyarakat, karena mereka ikut bertanggung jawab. Allah SWT berfirman:
"Dan kawinkanlah
orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (kawin)
dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi
Maha Mengetahui." (An-Nuur: 32)
Tanggung jawab
masyarakat di sini, terutama kalangan pemerintah, adalah memudahkan segala
sarana komunikasi yang halal, selain menutup pintu-pintu haram. Demikian itu
dilaksanakan dengan menghilangkan kendala-kendala materi atau sosial di hadapan
orang-orang yang ingin menikah. Seperti mahalnya maskawin, berlebihan dalam
memberikan hadiah-hadiah, undangan, walimah, serta perabot rumah dan lain-lain.
Dan membantu mereka baik secara materi maupun moril untuk membentuk rumah
tangga yang Islami.
Maka bukanlah
menegakkan hukum (had) itu yang memecahkan problem, karena kenyataannya had
tidak mungkin ditegakkan dengan syarat-syaratnya yang syar'i kecuali dalam
keadaan iqrar di majelis qadha' sebanyak empat kali sebagaimana pendapat
sejumlah imam. Atau dengan persaksian empat saksi yang adil bahwa mereka
melihat perbuatan dosa itu dengan melihat langsung di tengah-tengah
mengerjakan. Bukankah hal itu sangat sulit, maka seakan-akan tujuannya di sini
adalah dilarang berterus terang dalam masalah dosa. Adapun orang yang diuji
dengan perbuatan itu kemudian tidak ketahuan maka tidak termasuk kena hukuman
dunia maka ini kembali kepada Allah di akhirat nanti.
Post a Comment