I’TIKAF
I’TIKAF
ABSTRAK
Bulan Ramadhan
adalah bulan yang penuh ampunan, bulan berkah, dan diantara malamnya ada satu
malam yang lebih baik dari seribu bulan, yang disebut dengan malam Lailatul
Qadr. Malam Lailatul Qadr adalah malam saat diturunkannya Al Qur’an pertama
kali ke bumi melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Hanya merekalah
yang beriman dan bertaqwa kepada Allah yang memperoleh limpahan cahaya Lailatul
Qadr, mereka yang selalu beribadah dan ingat kepada Allah dengan niatnya yang
tulus ikhlas, yang mampu menjaga lisan dan tingkah lakunya, dan mampu menjaga
kebersihan hatinya, itulah orang-orang yang beruntung. Allah
SWT akan melipatgandakan pahala yang diberikan-Nya. Dan syurga firdauslah
balasan bagi mereka.
Setiap
jiwa mengalami problema, namun bagaimana caranya agar problema yang terjadi
tidak merusak fitrah manusia sebagai makhluk Sang Khalik. Setiap jiwa hendak
merubah kehidupan ke tingkat yang lebih baik. Proses perenungan dengan
berkhalwat sangat diperlukan bagi tiap-tiap jiwa, ini merupakan proses
pemantapan ma’nawiyah seorang da’i agar memiliki kebersihan dan kekuatan
ruhiyah.
TUJUAN INSTRUKSIONAL
Setelah mendapatkan
materi ini peserta dapat :
- Mengetahui waktu diturunkannya Al Qur’an
- Mengetahui makna Lailatul Qadr
- Mengetahui tata cara I’tikaf
- Melakukan I’tikaf pada bulan Ramadhan jika mungkin
TITIK TEKAN MATERI
Materi
ini menghantarkan seseorang untuk dapat melaksanakan I’tikaf jika
mungkin, dengan I’tikaf ini maka akan terbentuk sifat shahihul ibadah
pada diri seseorang (muwashafat 2 : 25). Bulan Ramadhan adalah bulan
diturunkannya Al Qur’an. Pada malam Ramadhan terdapat malam seribu bulan. Pada
malam tersebut Allah SWT menurunkan banyak keberkahan dari langit. Rasulullah
menyunahkan untuk berI’tikaf pada 10 malam terakhir bulan Ramadhan.
Untuk melakukan I’tikaf , maka perlu mengetahui rukun dan syarat , serta
tempat – tempat untuk dapat melakukan I’tikaf. Unrtuk memberi semangat
spiritual, maka kita perlu mengetahui tanda – tanda malam seribu bulan
tersebut. I’tikaf adalah bentuk ritual yang sangat ruhiyah.
POKOK – POKOK MATERI
- Ramadhan sebagai bulan Qur’an (syahrul Qur’an)
- Malam seribu bulan (Lailatul Qadr)
- I’tikaf Rasul Saw dan orang-orang saleh
- Kaifiyah, Syarat dan hukum I’tikaf
- I’tikaf dan pembentukan kekuatan spiritual
Bulan Ramadhan
Bulan
Ramadhan adalah bulan mulia yang didalamnya terdapat keberkahan bagi mereka
yang menjalaninya dengan penuh ketulusan hati. Diturunkan oleh Allah SWT
sebagai suatu nikmat yang tidak diberikan pada umat terdahulu. Hal ini agar
umat Nabi Muhammad saw mudah untuk mendekatkan diri pada Sang Rabb. Ada 4 nilai bulan Ramadhan ;
- Bulan Ramadhan adalah bulan kemenangan
- Bulan Ramadhan sebagai bulan untuk optimalkan perbaikan diri
- Di bulan Ramadhan diberikan nikmat pahala berlipat ganda
- Bulan Ramadhan merupakan suatu kesempatan untuk berkhalwat pada Allah SWT.
“Seandainya umatku
mengetahui akan keutamaan bulan Ramadhan maka niscaya mereka akan memohon
kepada Allah agar setiap bulan adalah Ramadhan.” Demikianlah Rasulullah bersabda
tentang keutamaan bulan Ramadhan.
Bulan Ramadhan memiliki
3 kriteria ;
- Bulan yang awal permulaannya adalah Rahmah
- Bulan yang pertengahannya adalah Maghfiroh
- Bulan yang penghujungnya adalah Pembebasan dari api neraka.
Ramadhan
sebagai bulan Qur’an (syahrul Qur’an)
Saat Rasulullah
bertahannuts ke Gua Hiira di pinggiran kota Makkah, pada saat itulah Allah SWT
menurunkan rahmat-Nya. Allah telah menurunkan suatu undang-undang kehidupan
yang menjamin terjaganya harkat kemuliaan manusia, keadilan dan kebenaran.
“Bulan Ramadhan
didalamnya (Allah) menurunkan kitab Al Qur’an, petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan
bathil)” (Qs Al Baqarah : 185) . Jelaslah bahwa di dalam bulan Ramadhan
terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan yang disebut Lailatul Qadr,
malam yang didalamnya turun ayat suci Al Qur’an.
Sayyid Quthb menyatakan,
“Al Qur’an sebagai kitab suci yang kekal bagi umat Islam. Telah mengeluarkan
mereka dari kegelapann menuju terang benderang. Kemudian menganttarkan mereka
muncul ketengah-tengah manusia dalam pemunculan yang mengejutkan. Melenyapkan
perasaan takut menjadi nyaman. Menguatkan tianng-tiang mereka menjadi ummatan
wasathan yang sebelumnya tidak pernah disebut-sebut oleh sejarah. Tetapi begitu
Islam datang membawa Al Qur’an, mereka menjadi satu ummat yang paling banyak
mengisi lembaran sejarah dan menjadi sebutan di bumi dan di langit. Tidak
sedikit nikmatt Allah yang harus kita syukuri dengan turunnya Al Qur’an ini
betepatan dengan bulan Ramadhan”.
Lailatul Qadr (malam seribu bulan)
I’tikaf
Secara bahasa I’tikaf
berarti, menetapi sesuatu dan menetapkan hati padanya (Fathul Bari 4/271)
Secara syar’I bermakna
tinggal di masjid untuk kepentingan mendekatkan diri kepada Allah (Gharibul
Qur’an hal 343)
“ Sudah merupakan keharusan bagi setiap pribadi yang hendak mengubah
kehidupan manusia untuk mengasingkan diri beberapa saat lamanya dari kebisingan
dan kesibukan dunia, bahkan dari sekecil apapun aktivitas yang mensibukkan
manusia.”
Petikan menarik itu merupakan ungkapan dari Sayyid Quthb dalam Fi Dzilalil
Qur’an.
I’tikaf berarti tekun beribadah. Allah berfirman dalam surat Al Anbiya : 52 , “
Ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada Bapaknya dan kaumnya, “ Inikah
berhala-berhala yang kalian tekun beribadah kepadanya ?”
Sayyid Sabiq dalam
Fiqhus Sunah mendefinisikan I’tikaf berarti menetap dan tinggal di
masjid dengan tujuan mendekatkan diri pada Allah SWT (taqarrub ilallah).
Sayyid Quthb mengatakan I’tikaf
adalah cara (sunah) Rasulullah Saw dengan berkhalwat untuk taqarrub ilallah,
berdiam di masjid dengan niat tidak akan memasuki rumah kecuali ada kepentingan
yang mendesak.
I’tikaf berarti seseorang menyendiri dari pergaulan sesama makhluk ciptaan Allah,
ia hanya mengingat Allah, berdoa, bermunajat, mengharap pahala dan keridhoan-Nya, dan memohon dihindarkan
dari siksa api neraka dan siksa-Nya yang pedih.
Dalil
Diisyaratkannya
Allah SWT berfirman, “Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu berI’tikaf
dalam masjid.” (Qs Al Baqarah : 187) .
Aisyah berkata, “Nabi saw berI’tikaf pada sepuluh hari terakhir
bulan Ramadhan. Setelah Allah wafatkan beliau, istri-istri beliau tetap
melakukan I’tikaf sepeninggal beliau.” (HR. Bukhari, al Fath 4/71)
“idza dakholalal asyrul awakhir, ahya lailahu, wa iqodzu ahlalu” , apabila
datang sepuluh hari terakhir, Rasulullah menghidupkan malam-malamnya,
mengurangi tidur dan membangunkan keluarganya.
Urgensi
I’tikaf
Berkata Syaikh Hay
Al-Hay,”Tidak terdapat dalil yang jelas tentang keutamaan I’tikaf. Tetapi
disyariatkannya di dalam firman Allah “Janganlah kamu mencampuri mereka itu,
sedang kamu berI’tikaf dalam masjid”, adalah bukti atas keutamaannya.
Pentingnya I’tikaf diungkapkan dengan analogi Rasulullah. Di tengah
kesibukannya membina ummat, beliau tetap meluangkan waktunya (kesempatan) untuk
bertemu dengan Sang Khaliq. Suatu
kesempatan untuk mngungkapkan kepatuhan , kecintaan, ketaatan dan rasa tunduk
seorang hamba kepada Rabb Sang Pencipta Alam Semesta. I’tikaf yang
beliau lakukan terutama pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan ini
bukan lagi menyepi di gua-gua, melainkan di masjid yang disyariatkan.
I’tikaf dapat membawa manusia menuju kedamaian, mengetahui akan hakekat
penciptaannya, dan dapat dijadikan ajang untuk intropeksi diri akan sikap
tingkah laku dan tutur kata selama ia beraktivitas.
I’tikaf, apabila dicermati, maka akan terlihat sejumlah aktivitas yang didalamnya
bernilai ibadah ; diantaranya puasa, dzikrullah, membaca Al Qur’an, shabar,
tidak menyibukkan diri pada hal yang sia-sia, dan melakukan shalat lail. Disamping
itu , mendirikan shalat lai pada malam LailatulQadar (malam dimana
terdapat kemuliaan dari 1000 bulan, karena turunnya Al Qur’an)…(Al Ittihaf
14-15)
Para ulama merasa heran
kepada orang-orang yang meninggalkan I’tikaf (Fathul Bari 4/285). Ibnu
Syibab berkata, “Mengherankan kepada kaum Muslimin, mereka meninggalkan I’tikaf
padahal Rasulullah tak pernah meninggalkannya sejak beliau masuk ke Madinah
hingga wafat.”
Hukum
I’tikaf
Para ulama sepakat behwa I’tikaf hukumnya sunnah, sebagaimana
dikatakan oleh Ibnu Mundzir. Kecuali seseorang bernadzar untuk berI’tikaf,
maka hukumnya wajib buat dia.
Rukun
I’tikaf
I’tikaf dapat dilakukan jika memenuhi rukun I’tikaf yaitu :
- Mu’takif (orang yang berI’tikaf)
- Tinggal dalam masjid yang dianjurkan
- Memilih tempat untuk tetap berI’tikaf
Kisah Rasulullah Saw tentang
I’tikaf.
Dari Aisyah ra. Katanya,
“Apabila Rasulullah Saw hendak berI’tikaf pada sepuluh yang akhir di
bulan Ramadhan, beliau shalat shubuh lebih dulu, sesudah itu barulah beliau
masuk ketempatnya I’tikaf …” (HR. Muslim).
Ibnu Umar berkata, Anas dan
Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw dahulu membiasakan berI’tikaf
sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, sejak tinggal di Madinah, hingga
beliau diwafatkan Allah SWT. (Muttafaq’alaih).
Dari Ibnu Majah dari Ibnu
Umar ra, “Bahwa Rasulullah Saw biasa berI’tikaf pada sepuluh hari yang
terakhir dari bulan Ramadhan. Berkata Nafi’, “Abdullah bin Umar memperlihatkan
sendiri kepada saya tempat yang biasa ditempati oleh Rasulullah Saw untuk berI’tikaf.”
Masjid yang digunakan
Abu Hanifah, ahmad, Ishak,
dan Abu Tsaur berpendapat bahwa I’tikaf itu sah dilakukan disetiap
masjid yang dilaksanakan shalat lima
waktu didalamnya dan didirikan jama’ah.
“ Setiap masjid yang
memiliki muadzin dan imam boleh dilakukan I’tikaf didalamnya.” (Riwayat
Daruquthni), tetapi hadits ini mursal dan dhaif hingga tak dapat dipakai
sebagai alasan.
Sementara Imam Malik,
Syafi’I, dan Daud berpendapat bahwa I’tiikaf sah dilakukan pada setiap masjid
karena tak ada keterangan yang menegaskan terbatasnya masjid tempat melakukan I’tikaf.
Menurut penghikut-pengikut
Imam Syafi’I , lebih afdhal I’tikaf dilakukan di masjid jami’ yaitu
masjid yang digunakan untuk melakukan shalat jum’at. Rasulullah sendiri
melakukan I’tikaf di masjid jami’.
Mengenai pekarangan masjid,
menurut golongan Hanafi dan Syafi’I serta suatu riwayat dari Ahmad, adalah
termasuk masjid. Sedangkan menurut Malik dan satu riwayat dari
Ahmad, tidak termasuk.
Menurut jumhur ulama,
tidak sah seseorang yang berI’tikaf dimasjid rumahnya sendiri. Masjid
dirumah tidak bisa dikatakan masjid, juga tak ada perselisihan tentang boleh
menjualnya. Bahkan para wanita, termasuk isteri-isteri Nabi, melakukan I’tikaf
di masjid Nabawi.
Bolehkah wanita berI’tikaf tanpa izin suami ?
Al lubsu fil masjid bi
niyatil ibadah wa taqorub ilallah, Diam di masjid dengan niat ibadah karena
Allah.
Menurut Syafi’I, sah
saja bila seorang wanita berI’tikaf tanpa seijin suaminya, tetapi ia
berdosa. Sedang menurut Madzhab Maliki, tidak boleh wanita berI’tikaf
nadzar atau I’tikaf sunnah tanpa seijin suaminya, kalau ia tahu betul
suaminya butuh sekali dengan isterinya.
Para wanita yang hendak berI’tikaf
sebaiknya tertutup dari penglihatan pria, agar tak terlihat oleh mereka atau
melihat mereka di dalam masjid tersebut. I’tikaf dilakukan oleh pria
maupun wanita. Bagi wanita yang ingin melakukan I’tikaf, datang saja ke
masjid yang menyediakan tempat khusus ,yang tidak ada ikhtilath dengan kaum
pria, dan melakukan kajian-kajian keislaman.
Waktu I’tikaf
Diriwayatkan oleh
Bukhari dari Abu Sa’id bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barang siapa yang
hendak berI’tikaf bersamaku, hendaklah ia melakukannya pada sepuluh
terakhir.”
Dalam kitab Fiqhus
Sunnah yang dimaksud dengan “sepuluh terakhir” adalah nama bilangan malam yang
bermula pada malam ke dua puluh satu atau malam ke dua puluh.
Orang yang ingin berI’tikaf
hendaknya masuk masjid pada waktu shubuh (HR Bukhari. Al Fath 4/275). Ini
pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Hajar, Al Khaththabi, Tirmizi dan Ibnul
Qayyim (Zadul Ma’ad 2/89)
Waktu masuk masjid untuk
berI’tikaf itu ialah pada permulaan malam ke dua puluh atau ke dua puluh
satu. Menurut Abu Hanifah, dan Syafi’I waktu keluar mu’takif adalah setelah
matahari terbenam. Sedangkan menurut Malik dan Ahmad boleh keluar setelah
matahari terbenam, tetapi disunahkan tinggal di masjid sampai waktu shalat
ied’.
Syarat – syarat I’tikaf.
- Mu’takif adalah orang muslim
- Mu’takif hendaknya tamyiz. Tidak sah I’tikaf yang dilakukan oleh seorang gila maupun anak kecil.
- Harus dilakukan di dalam masjid dengan niat mendekatkan diri pada Allah dann tinggal didalamnya. Jika tidak maka bukan dinamakan I’tikaf, berdasarkan surah Al Baqarah : 187. Yang dimaksud masjid disini adalah masjid Jami’, yang diadakan shalat jamaah didalamnya, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah (Al Mughni)
- Suci dari janabat, haid dan nifas
- Bagi wanita harus dengan seijin suaminya (menurut Jumhur)
- Diriwayatkan dari Aisyah ra, “Siapa yang berI’tikaf, maka dia harus berpuasa,” (Riwayat Abdur Razzaq 8037). Dari Urwah bin Zubair, beliau berkata, “Tidak ada I’tikaf kecuali dengan puasa.” (Riwayat Abdur Razzaq 8041). Berkata Ibnul Qayyim, “Tidak pernahh diriwayatkan bahwa Nabi saw berI’tikaf dalam keadaan berbuka puasa”. Mu’takif hendaknya melakukan shaum ( Maliki dan Hanafi). Sedangkan dalam mahzab Hanafi yang dimaksud dengan shaum (puasa) hanyalah merupakan syarat sahnya I’tikaf wajib dan tidak dipersyaratkan dalam I’tikaf sunnah
- Niat I’tikaf ketika hendak memulainya (Madzhab Syafi’I dan Maliki).
Alasan keluar masjid
- Udzur syar’I, seperti keluar untuk shalat jum’at atau ied. Karena itu I’tikaf sangat disunnahkan di masjid jami’, agar tidak keluar dari masjid tersebut.
- Udzur tabi’I, seperti buang air besar dan kecil, mandi janabat karena bermimpi (bila dimasjid tidak memungkinkan) . Mu’takif hanya diperbolehkan berada diluar masjid secukupnya saja.
- Udzur dharuri, seperti keluar masjid karena khawatir barangnya hilang atau rusak, atau khawatir dirinya binasa atau celaka andaikan I’tikafnya diteruskan. (Dr. Mahmud Abdullah al-‘Ukazi, Al Figh al-Islami, Jami’ah al-Azhar, 156-157)
Hal yang disunahkan dalam berI’tikaf
Disunahkan bagi orang yang
berI’tikaf memperbanyak ibadat sunah serta menyibukkan diri dengan
- Shalat,
- Tilawah Qur’an,
- Tasbih, tahlil, tahmid, takbir, istigfar,
- Berdoa dan membaca shalawat atas Nabi SAW. Dan ibadah lain yang mendekatkan diri kepada Allah.
- Termasuk juga dalam hal ini mempelajari ilmu, kajian kitab tafsir, hadits, membaca riwayat Nabi, dan orang-orang shaleh begitu juga buku fiqh dan keagamaan.
- Menjauhkan diri dari hal-hal yang tak perlu, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Seperti debat, mencela, dan perkataan keji dan kotor
“ Barang siapa yang
tidak meninggalkan kata-kata keji dan kotor dan tidak meninggalkan mengamalkan
kata-kata tersebut, maka Allah tidak mempunyai keperluan dengannya, meskipun ia
meninggalkan makanan dan minuman,” (HR Bukhari)
Hal
yang makruh dalam I’tikaf.
- Melakukan hal yang tidak perlu (laghwi) baik berupa perkataan ataupun perbuatan. Dari Abi Bashrah, Nabi Muhammad bersabda, “Diantara baiknya keislaman seseorang ialah meninggalkan hal-hal yang tidak berguna.” (HR. Turmudzi dan Ibnu Majjah.
- Menahan diri tidak berbicara. Dari ibnu ‘Abbas, “Sementara Nabi SAW berkhutbah, tampak olehnya seorang laki-laki yang tetap berdiri. Nabi SAW bertanya, “Siapa orang itu ?” Mereka mengatakan, “Namanya Abi Israel. Ia bernadzar akan terus berdiri dan tak akan duduk, tidak akan berteduh dan berbicara dan akan terus berpuasa.” Maka Rasulullah SAW bersabda, “Suruhlah ia berbicara, bernaung dan duduk, dan hendaknya ia meneruskan shaumnya.” (HR. Bukhari, Abu Daud dan Ibnu Majjah)
- Buang air kecil maupun besar
- Menyisir rambut dan menggeraikannya
- Menggunakan wangi-wangian, mandi, bersih-bersih, dan bercukur
- Menggunakan tempat tidur
Hal – hal yang membatalkan
I’tikaf.
- Keluar dari masjid
Untuk I’tikaf
wajib seperti I’tikaf nadzar, mu’takif tidak diizinkan keluar masjid
sama sekali sampai habis waktu yang telah ditentukan, kecuali ada udzur. Dalam I’tikaf sunnah, boleh keluar dari masjid, karena uzur atau
tidak. Begitu mu’takif keluar masjid dan tanpa dinyatakan batal kemudian bila
masuk ke masjid lagi ia berniat I’tikaf lagi, ia tetap mendapat pahala.
- Murtad dari Islam
Firman Allah SWT
dalam surat Az Zumar ayat 65 :
“
Seandainya engkau musyrik, akan gugurlah amalanmu.”
- Pingsan dan gila baik karena mabuk atau lainnya
- Haid dan nifas
- Senggama
Sekalipun
tidak keluar mani, Firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat 187 :
“Janganlah
kamu campuri isteri-isterimu ketika kamu dalam keadaan I’tikaf di
masjid.” Menurut madzhab Syafi’I, jika persetubuhan karena khilaf , maka tidak
membatalkan I’tikaf.
- Mencium
Mencium
dengan syahwat atau bercumbu dan sebagainya hingga keluar mani. Tapi kalau
tidak keluar, maka tidak membatalkan I’tikaf.
I’tikaf dan pembentukan kekuatan spiritual
Rangkaian ibadah I’tikaf tentunya membawa manfaat dan perubahan
besar apabila dilaksanakan dengan benar dan sesuai syariat yang ditentukan. I’tikaf
tidak hanya dilihat sebagai ibadah mahdoh saja melainkan merupakan suatu ibadah
dalam upaya membina diri dan intropeksi diri. Kemudian kita dapat melakukan
taubat kepada Allah dan mencoba melihat peluang untuk melaksanakan kebaikan
dimasa datang. Jika I’tikaf dilakukan oleh sebuah keluarga maka maka
keluarga itu telah mmembangun ruhiyah keluarga, jika dilakukan oleh masyarakat
maka akan membangun ruhiyah masyarakat, jika dilakukan oleh para pemimpin maka
akan membangun ruhiyah, prilaku para pemimpin.
Sebagai sebuah mata rantai pembinaan ruhiyah,spiritual, puasa menahhan kita
dari kelalaian, kelengahan, dan kesombongan yang melenakan kita dari Allah SWT.
Puasa mengetuk batas nurani kita sebagai muslim. Cobalah untuk menghayati makna
puasa sebagai sebuah ibadah guna pensucian diri, pembersihan hati. Hati kita
bagaikan batu yang hitam berdebu akibat dosa dan maksiat yang telah kita
perbuat. Cobalah laksanakan I’tikaf dengan penuh kesadaran diri akan
kehadirat Ilahi. Sebab dengan berI’tikaf sesungguhnya kita lebih
mendekatkan diri pada yang Kuasa, menjauhkan dari duniawi yang melenakan.
Ada beberapa manfaat dari ibadah I’tikaf yaitu :
- Mudah melakukan shalat fardhu secara kontinyu dan berjamaah
- Lebih khusyu’ dalam ibadah (shalat)
- Banyak kesempatan untuk melaksanakan amalan sunnah
- Keberuntungan untuk mendapatkan shaft pertama dalam shalat
- Mendapatkan pahala karena menunggu datangnya shalat
- Membiasakan untuk menautkan diri dengan masjid
- Memudahkan untuk shalat malam
- Merasakan dekatnya diri dengan Sang Pencipta
- Membiasakan hidup sederhana, zuhud dan berlaku tidak tamak terhadap dunia
- Menjaga shaum dari perbuatan dosa kecil
- Mendidik jiwa agar berlaku shabar dan beramal shaleh
- Menjaga dari keinginan melakukan kemaksiatan
- Sebagai sarana untuk instropeksi diri
- Merupakan ajang untuk menambah wawasan keislaman atau ruhani seseorang
- Menguatkan nilai-nilai ukhuwah antar sesama
“Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (Qs At Tiin : 4)
Maraji’
-
Al Qur’anul Karim
-
Shahih Muslim
-
I’tikaf Penting dan Perlu, Dr. Ahmad Abdurrazaq al
Kubaisi / A.M. Basalamah
-
Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq
-
Fi Dzilalil Qur’an, Sayyid Quthb
-
Fiqih Wanita (terjemahan), Ibrahim Muhammad al Jamal
-
Ishlah Edisi 36/ Tahun III, Februari 1995
-
Al Izzah, No. 2/Th. 1/Ramadhan 1420 H
-
Sabili Edisi Ramadhan
-
Serpihan kalimat - lembaran -
makalah Buyung Ristyono,S.T.
Post a Comment