KEPERCAYAAN DAN TRADISI, MU'AMALAH, HIBURAN, KEMASYARAKATAN, ANTAR-UMAT
KEPERCAYAAN DAN TRADISI, MU'AMALAH, HIBURAN, KEMASYARAKATAN, ANTAR-UMAT
1 Masalah Kepercayaan dan Tradisi
KEPERCAYAAN yang baik, landasan pokok bagi masyarakat Islam. Tauhid inti
daripada kepercayaan tersebut dan jiwa daripada Islam secara keseluruhannya. Oleh
karena itu melindungi kepercayaan dan tauhid, adalah pertama-tama yang
dilakukan oleh Islam dalam perundang-undangan maupun da'wahnya.
Begitu juga memberantas kepercayaan jahiliah yang dikumandangkan oleh
polytheisme yang sesat itu, suatu perintah yang harus dikerjakan demi
membersihkan masyarakat Islam dari noda-noda syirik dan sisa-sisa kesesatan.
1.1 Nilai Sunnatullah dalam Alam Semesta
Pertama kali aqidah yang ditanamkan Islam dalam jiwa pemeluknya, yaitu:
bahwa alam semesta yang didiami manusia di permukaan bumi dan di bawah kolong
langit tidak berjalan tanpa aturan dan tanpa bimbingan, dan tidak juga berjalan
mengikuti kehendak hawa nafsu seseorang. Sebab hawa nafsu manusia, karena
kebutaan dan kesesatannya, selalu bertentangan.
Firman Allah:
"Andaikata kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka, niscaya akan
rusaklah langit dan bumi serta seluruh makhluk yang ada di dalamnya." (al-Mu'minun: 71)
Namun perlu dimaklumi, bahwa alam ini dikendalikan dengan undang-undang dan
hukum yang tetap, tidak pernah berubah dan berganti, sebagaimana telah
dinyatakan oleh al-Quran dalam beberapa ayat, antara lain sebagai berikut:
"Kamu tidak akan menjumpai sunnatullah itu berganti." (Fathir: 43)
Kaum muslimin telah belajar dari kitabullah dan sunnah Rasul supaya
menjunjung tinggi sunnatullah yang berbentuk alam semesta ini dan mencari
musabab yang diperoleh dari sebab-sebab yang telah diikatnya oleh Allah, serta
supaya mereka menolak apa yang dikatakan sebab yang sekedar dugaan semata yang
biasa dilakukan oleh para biksu, ahli-ahli khurafat dan pedagang agama.
1.2 Memberantas Ramalan dan Khurafat
Nabi Muhammad s.a.w. datang dan dijumpainya di tengah-tengah masyarakat ada
sekelompok manusia tukang dusta yang disebut kuhhan (dukun) dan arraf (tukang
ramal). Mereka mengaku dapat mengetahui perkara-perkara ghaib baik untuk masa
yang telah lalu maupun yang akan datang, dengan jalan mengadakan hubungan
dengan jin dan sebagainya.
Justru itu Rasulullah s.a.w. kemudian memproklamirkan perang dengan
kedustaan yang tidak berlandaskan ilmu, petunjuk maupun dalil syara'.
Rasulullah membacakan kepada mereka wahyu Allah yang berbunyi:
"Katakanlah! Tidak ada yang dapat mengetahui perkara ghaib di langit
dan di bumi melainkan Allah semesta." (an-Naml:
65)
Bukan Malaikat, bukan jin dan bukan manusia yang mengetahui perkara-perkara
ghaib.
Rasulullah juga menegaskan tentang dirinya dengan perintah Allah s.w.t.
sebagai berikut:
"Kalau saya dapat mengetahui perkara ghaib, niscaya saya dapat
memperoleh kekayaan yang banyak dan saya tidak akan ditimpa suatu musibah;
tidak lain saya hanyalah seorang (Nabi) yang membawa khabar duka dan membawa
khabar gembira untuk kaum yang mau beriman." (al-A'raf:
188)
Allah memberitakan tentang jinnya Nabi Sulaiman sebagai berikut:
"Sungguh andaikata mereka (jin) itu dapat mengetahui perkara ghaib,
niscaya mereka tidak kekal dalam siksaan yang hina." (Saba': 14)
Oleh karena itu, barangsiapa mengaku dapat mengetahui perkara ghaib yang
sebenarnya, berarti dia mendustakan Allah, mendustakan kenyataan dan
mendustakan manusia banyak.
Sebagian utusan pernah datang ke tempat Nabi, mereka menganggap bahwa Nabi
adalah salah seorang yang mengaku dapat mengetahui perkara ghaib. Kemudian
mereka menyembunyikan sesuatu di tangannya dan berkata kepada Nabi: Tahukah
tuan apakah ini? Maka Nabi menjawab dengan tegas:
"Aku bukan seorang tukang tenung, sebab sesungguhnya tukang tenung dan
pekerjaan tenung serta seluruh tukang tenung di neraka."
1.3 Percaya Kepada Tukang Tenung, Kufur
Islam tidak membatasi dosa hanya kepada tukang tenung dan pendusta saja,
tetapi seluruh orang yang datang dan bertanya serta membenarkan ramalan dan
kesesatan mereka itu akan bersekutu dalam dosa. Sebagaimana sabda Nabi s.a.w.:
"Barangsiapa datang ke tempat juru ramal, kemudian bertanya tentang
sesuatu dan membenarkan apa yang dikatakan, maka sembahyangnya tidak akan
diterima selama 40 hari." (Riwayat Muslim)
Dan sabdanya pula:
"Barangsiapa datang ke tempat tukang tenung, kemudian mempercayai apa
yang dikatakan, maka sungguh dia telah kufur terhadap wahyu yang diturunkan
kepada Muhammad s.a.w." (Riwayat Bazzar dengan sanad yang baik dan kuat)
Wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad itu mengatakan, bahwa hanya
Allahlah yang mengetahui perkara ghaib, sedang Muhammad sendiri tidak mengetahuinya,
apalagi orang lain.
Firman Allah:
"Katakanlah! Saya tidak berkata kepadamu, bahwa saya mempunyai
perbendaharaan Allah, dan saya tidak dapat mengetahui perkara ghaib, dan saya
tidak berkata kepadamu bahwa saya adalah malaikat, tetapi saya hanyalah mengikuti
apa yang diwahyukan kepadaku." (al-An'am: 50)
Kalau seorang muslim telah mengetahui persoalan ini dari al-Quran yang
telah menyatakan begitu jelas, kemudian dia percaya, bahwa sementara manusia
ada yang dapat menyingkap tabir qadar, dan mengetahui seluruh rahasia yang
tersembunyi, maka berarti telah kufur terhadap wahyu yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad s.a.w.
1.4 Mengadu Nasib dengan Azlam
Justru hikmah yang telah kami sebutkan di atas, maka Islam mengharamkan
mengadu nasib dengan azlam.
Azlam disebut juga qadah, yaitu semacam anak panah yang biasa dipakai oleh
orang-orang Arab jahiliah, sebanyak tiga buah:
Pertama, tertulis: aku diperintah Tuhan.
Kedua, tertulis: aku dilarang Tuhan.
Ketiga, kosong.
Kalau mereka bermaksud akan bepergian atau kawin dan sebagainya mereka
pergi ke tempat berhala yang di situ ada azlam, kemudian mereka mencari untuk
mengetahui apa yang akan diberikan kepada mereka itu dalam hal bepergian,
peperangan dan sebagainya dengan jalan mengundi tiga batang anak panah tersebut.
Kalau yang keluar itu anak panah yang tertulis aku diperintah Tuhan, maka dia
laksanakan kehendaknya itu. Dan jika yang keluar itu anak panah yang tertulis
aku dilarang Tuhan, maka mereka bekukan rencananya itu. Tetapi kalau yang
keluar anak panah yang kosong, maka mereka ulangi beberapa kali, sehingga
keluarlah anak panah yang memerintah atau yang melarang.
Yang sama dengan ini, yaitu apa yang kini berlaku di masyarakat kita,
seperti bertenung dengan menggaris-garis di tanah, pergi ke kubur, membuka
Quran, membaca piring dan sebagainya. Semua ini perbuatan mungkar yang oleh
Islam diharamkan.
Setelah menyebutkan beberapa macam makanan yang diharamkan, kemudian Allah
berfirman sebagai berikut:
"(Dan diharamkan juga) kamu mengetahui nasib dengan mengundi, bahwa
yang demikian itu perbuatan fasik." (al-Maidah:
3)
Dan sabda Nabi:
"Tidak akan mencapai derajat yang tinggi orang yang menenung, atau
mengetahui nasib dengan mengundi, atau menggagalkan bepergiannya karena percaya
kepada alamat (tathayyur)." (Riwayat Nasa'i)
1.5 Sihir
Justru itu pula Islam menentang keras perbuatan sihir dan tukang sihir.
Tentang orang yang belajar ilmu sihir, al-Quran mengatakan:
"Mereka belajar suatu ilmu yang membahayakan diri mereka sendiri dan
tidak bermanfaat buat mereka." (al-Baqarah:
102)
Rasulullah s.a.w. menilai sihir sebagai salah satu daripada dosa besar yang
bisa merusak dan menghancurkan sesuatu bangsa sebelum terkena kepada pribadi
seseorang, dan dapat menurunkan derajat pelakunya di dunia ini sebelum pindah
ke akhirat. Justru itu Nabi bersabda:
"Jauhilah tujuh perkara besar yang merusak. Para sahabat bertanya:
Apakah tujuh perkara itu, ya Rasulullah? Jawab Nabi, yaitu: 1) menyekutukan
Allah; 2) sihir; 3) membunuh jiwa yang oleh Allah diharamkan kecuali karena
hak; 4) makan harta riba; 5) makan harta anak yatim, 6) lari dari peperangan;
7) menuduh perempuan-perempuan baik, terjaga dan beriman." (Riwayat
Bukhari dan Muslim)
Sebagian ahli fiqih menganggap, bahwa sihir itu berarti kufur, atau membawa
kepada kufur.
Sementara ada juga yang berpendapat: ahli sihir itu wajib dibunuh demi
melindungi masyarakat dari bahaya sihir.
Al-Quran juga telah mengajar kita supaya kita suka berlindung diri kepada
Allah dari kejahatan tukang sihir, yaitu firmanNya:
"(Dan aku berlindung diri) dari kejahatan tukang meniup simpul." (al-Falaq: 4)
Peniup simpul salah satu cara dan ciri yang dilakukan ahli-ahli sihir. Dalam
salah satu hadis dikatakan:
"Barangsiapa meniup simpul, maka sungguh ia telah menyihir, dan
barangsiapa menyihir maka sungguh dia telah berbuat syirik." (Riwayat
Thabarani dengan dua sanad; salah satu rawi-rawinya kepercayaan)
Sebagaimana halnya Islam telah mengharamkan pergi ke tempat dukun untuk
menanyakan perkara-perkara ghaib, maka begitu juga Islam mengharamkan perbuatan
sihir atau pergi ke tukang sihir untuk mengobati suatu penyakit yang telah
dicobakan kepadanya, atau untuk mengatasi suatu problema yang dideritanya. Cara-cara
semacam ini tidak diakuinya oleh Nabi sebagai golongannya. Sebagaimana
sabdanya:
"Tidak termasuk golongan kami, barangsiapa yang menganggap sial karena
alamat (tathayyur) atau minta ditebak kesialannya dan menenung atau minta
ditenungkan, atau menyihir atau minta disihirkan." (Riwayat Bazzar dengan
sanad yang baik)
Ibnu Mas'ud juga pernah berkata:
"Barangsiapa pergi ke tukang ramal, atau ke tukang sihir atau ke
tukang tenung, kemudian ia bertanya dan percaya terhadap apa yang dikatakannya,
maka sungguh dia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
s.a.w." (Riwayat Bazzar dan Abu Ya'la dengan sanad yang baik)
Dan bersabda pula
Rasulullah s.a.w.:
"Tidak akan masuk
sorga pencandu arak, dan tidak pula orang yang percaya kepada sihir dan tidak
pula orang yang memutuskan silaturrahmi." (Riwayat Ibnu Hibban)
Haramnya sihir di sini
tidak hanya terbatas kepada si tukang sihirnya saja, bahkan meliputi setiap
yang percaya kepada sihir dan percaya kepada apa yang dikatakan oleh si tukang
sihir itu.
Lebih hebat lagi haram
dan kejahatannya apabila sihir itu dipergunakan untuk tujuan-tujuan yang haram,
seperti menceraikan antara suami-isteri, mengganggu seseorang dan sebagainya
yang biasa dikenal di kalangan ahli-ahli sihir.
1.6 Bertangkal
Termasuk dalam bab ini
ialah masalah bertangkal dan menggantungkan diri pada kubur dan sebagainya,
dengan suatu anggapan, bahwa tangkal dan kubur ini akan dapat menyembuhkan
penyakit atau dapat melindungi diri dari mara-bahaya.
Pada abad ke 20 ini
masih banyak orang yang menggantungkan tapal kuda di atas pintu rumahnya. Dan
sampai hari ini di berbagai negara masih banyak orang-orang hendak memperbodoh
orang bodoh. Mereka menulis tangkal-tangkal, membuat beberapa garis azimat dan
membacakan azimat-azimatnya itu dengan suatu anggapan, bahwa azimatnya itu
dapat melindungi si pembawanya dari gangguan jin, sengatan kalajengking,
kejahatan mata, kedengkian orang dan sebagainya.
Untuk menjaga
keselamatan diri dan mengobati penyakit, ada cara-caranya sendiri yang sudah
dikenal menurut ketetapan syariat Islam. Islam sangat menentang siapa yang
mengabaikan cara-cara itu, dan siapa yang menggunakan cara-cara yang dilakukan
pendusta-pendusta yang menyesatkan itu.
Rasulullah s.a.w.
pernah bersabda sebagai berikut:
"Berobatlah kamu,
karena sesungguhnya Dzat yang membuat penyakit, Dia pula yang membuat
obatnya." (Riwayat Ahmad)
Dan sabdanya pula:
"Kalau ada sesuatu
yang lebih baik daripada obat-obatanmu, maka ketiga hal inilah yang lebih baik,
yaitu: minum madu, atau berbekam, atau kei dengan api." (Riwayat Bukhari
dan Muslim)
Ketiga cara berobat ini
jiwanya dan analoginya dapat meliputi macam-macam cara pengobatan yang berlaku
di zaman kita sekarang, misalnya pengobatan dengan melalui mulut, operasi, kei
dan elektronik.
Adapun menggantungkan
tangkal dan membaca mentera untuk berobat dan menjaga diri, adalah suatu
kebodohan dan kesesatan yang bertentangan dengan sunnatullah dan dapat
menghilangkan tauhid.
Uqbah bin 'Amir
meriwayatkan, bahwa ada sepuluh orang berkendaraan datang ke tempat Rasulullah
s.a.w. Yang sembilan dibai'at, tetapi yang satu ditahan. Kemudian mereka yang
sembilan itu bertanya: mengapa dia ditahan? Rasulullah menjawab: karena di
lengannya ada tangkal. Kemudian si laki-laki tersebut memotong tangkalnya, maka
dibai'atlah dia oleh Rasulullah s.a.w. dan ia bersabda:
"Barangsiapa menggantungkan (tangkal), maka sungguh dia telah
menyekutukan Allah." (Riwayat Ahmad dan Hakim; dan lafaz hadis ini adalah
lafaz Hakim, dan rawi-rawi Ahmad adalah kepercayaan)
Dalam hadisnya yang
lain ia bersabda:
"Barangsiapa
menggantungkan tangkal, maka Allah tidak akan menyempurnakan (imannya), dan
barangsiapa menggantungkan azimat, maka Allah tidak akan mempercayakan
kepadanya." (Riwayat Ahmad, Abu Ya'la dan Hakim dan ia mensahkan)
"Dari lmran bin
Hushain; sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah melihat di lengan seorang
laki-laki ada gelang --yang saya lihat sari kuningan-- kemudian Rasulullah
bertanya: "Celaka kamu, apa ini?!" Ia menjawab: "Ini adalah
'wahinah'" (sesuatu yang dapat melemahkan orang lain, sebangsa azimat).
Maka jawab Rasulullah: Dia tidak akan menambah kamu, kecuali kelemahan; karena
itu buanglah dia, sebab kalau kamu mati sedang wahinah itu masih ada pada kamu,
maka kamu tidak akan bahagia selamanya." (Riwayat Ahmad, Ibnu Hibban; dan
Ibnu Majah tapi tanpa kata: buanglah )
Pendidikan ini sangat
berpengaruh pada pribadi-pribadi sahabat Rasulullah s.a.w., sehingga mereka
dapat mengangkat diri mereka tanpa menerima kesesatan dan mempercayai kebatilan
ini.
Isa bin Hamzah berkata:
suatu ketika saya pernah masuk rumah Abdullah bin Hakam sedang waktu itu pada
diri Abdullah ada tanda merah. Kemudian saya bertanya kepadanya: apakah kamu
memakai tangkal? Jawab Abdullah: A'udzu billahi min dzalik (aku berlindung diri
kepada Allah dari yang demikian itu). Dalam satu riwayat Abdullah mengatakan:
Lebih baik aku mati daripada bertangkal, sebab Rasulullah s.a.w. telah
bersabda:
"Barangsiapa menggantungkan sesuatu (tangkal), maka dia akan
dibebaninya." (Riwayat Tarmizi)
Diriwayatkan, bahwa suatu ketika Abdullah bin Mas'ud masuk rumah, sedang di
leher isterinya ada kalung (bertangkal), maka ditariknya oleh Ibnu Mas'ud dan
dipotong-potongnya, kemudian ia berkata: Keluarga Abdullah harus jauh daripada
menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan keterangan
padanya. Kemudian ia berkata:
"Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: sesungguhnya tangkal,
azimat dan tambul adalah syirik. Para sahabat kemudian bertanya: Ya aba
Abdirrahman! Tangkal dan azimat ini kami sudah tahu, tetapi apakah tambul itu? Ia
menjawab: tambul ialah sesuatu yang diperbuat oleh orang-orang perempuan supaya
selalu dapat bercinta dengan suami-suami mereka." (Riwayat Ibnu Hibban dan Hakim)
Tambul adalah salah
semacam sihir.
Para ulama berkata: tangkal yang
dilarang; yaitu yang bukan bahasa Arab yang tidak dimengerti maksudnya, dan
barangkali juga di situ terdapat sihir dan kata-kata kufur. Adapun kalimat yang
dapat dimengerti dan didalamnya terdapat penyebutan Allah, maka kalimat semacam
itu justru disunnatkan. Jadi tangkal waktu itu berarti doa dan harapan kepada
Allah untuk kesembuhan dan berobat.
Tangkal yang biasa
dilakukan orang-orang jahiliah tercampur dengan sihir, syirik dan azimat yang
samasekali tidak mempunyai makna yang dapat dimengerti.
Diriwayatkan, bahwa
Ibnu Mas'ud pernah melarang isterinya berbuat semacam tangkal jahiliah ini,
lantas isterinya berkata kepadanya: pada suatu hari saya keluar, kemudian si
anu melihat saya maka melelehlah airmataku; tetapi apabila saya memakai tangkal
ini airmataku tidak meleleh, tetapi kalau kubuang meleleh lagi. Maka berkatalah
Ibnu Mas'ud kepadanya: dia itu adalah syaitan yang apabila kamu taat kepadanya,
kamu akan ditinggalkannya, tetapi jika kamu durhaka kepadanya, maka ia akan
cocok matamu dengan jarinya. Kalau kamu mau berbuat seperti apa yang dilakukan
Nabi, adalah lebih baik dan lebih dapat diharapkan akan kesembuhanmu, yaitu:
kamu percikkan air pada kedua matamu, sambil berdoa:
"Hilangkanlah
penyakit ini hai Tuhan, sembuhkanlah aku, karena Engkaulah Dzat yang dapat
menyembuhkan, tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dariMu, suatu kesembuhan
yang tidak akan meninggalkan sakit." (Riwayat Ibnu Majah, Abu Daud dan
Hakim)
Post a Comment