Hubungan antara Ummat Islam dengan Ghairul Islam
Hubungan antara Ummat Islam dengan Ghairul Islam
KALAU kita hendak
menyimpulkan ajaran-ajaran Islam dalam masalah hubungan dengan golongan ghairul
Islam --tentang soal halal dan haram-- cukup kiranya kita berpangkal kepada dua
ayat al-Quran yang tepat untuk dijadikan konstitusi (dustur) yang menyeluruh
dalam permasalahan ini.
Kedua ayat itu ialah:
"Allah tidak
melarang kamu berbuat baik dan adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi
kamu dalam agama dan tidak mengusir kamu dari kampung-kampungmu sebab Allah
senang kepada orang-orang yang adil. Allah hanya melarang kamu bersahabat
dengan orang-orang yang memerangi kamu dalam agama dan mengusir kamu dari
kampung-kampungmu dan saling bantu-membantu untuk mengusir kamu; barangsiapa
bersahabat dengan mereka, maka mereka itu adalah orang-orang zalim." (al-Mumtahinah: 8-9)
Ayat pertama tidak
sekedar senang keadilan dan kejujuran terhadap golongan ghairul Islam yang
tidak memerangi ummat Islam dan tidak mengusir mereka, yakni orang-orang yang
tidak menaruh peperangan dan permusuhan terhadap Islam, bahkan ayat tersebut
senang ummat Islam berbuat baik kepada mereka.
Kata-kata birr (berbuat
baik) suatu kata yang mempunyai: pengertian sangat luas, meliputi semua nilai
kebaikan dan pergaulan secara luas, melebihi arti adil biasa.
Kata ini juga yang
dipakai oleh kaum muslimin dalam hubungannya dengan masalah kewajiban hak-hak
kemanusiaan, misalnya birr ul walidain.
Kami katakan demikian,
karena ayat tersebut mengatakan "sesungguhnya Allah suka kepada
orang-orang yang berlaku adil," sedang orang mu'min senantiasa berusaha
untuk merealisasi apa yang dicintai Allah.
Perkataan: "Allah
tidak melarang kamu," ini dimaksudkan untuk menghilangkan perasaan, bahwa
orang yang berlainan agama tidak berhak mendapat penghargaan, keadilan,
kasih-sayang dan pergaulan yang baik.
Justru itu Allah
menjelaskan kepada orang-orang mu'min, bahwa ia tidak melarang untuk mengadakan
hubungan yang baik dengan orang-orang yang berlainan agama, bahkan dengan
orang-orang yang memerangi dan mengganggunya sekalipun.
Ungkapan ini mirip
dengan firman Allah yang berkenaan dengan masalah Shafa dan Marwah, ketika
sementara orang berkeberatan melakukan sa'i antara kedua gunung tersebut,
karena ada suatu penyerupaan dengan orang-orang jahiliah yang juga melakukan
demikian.
Untuk itu maka Allah mengatakan:
"Barangsiapa haji ke Baitullah atau umrah, maka tidak berdosa atasnya
melakukan tawaf pada keduanya." (al-Baqarah:
158)
Dengan dihapusnya dosa, berarti hilanglah perasaan-perasaan yang tidak baik
itu, kendati pada hakikatnya tawaf pada keduanya itu sendiri hukumnya wajib
karena termasuk manasik haji.
1 Tinjauan Khusus untuk Ahli Kitab
Kalau Islam tidak melarang mengadakan hubungan baik dan keadilan dengan
golongan ghairul Islam dari agama manapun, kendati dengan penyembah berhala
(watsaniyyin), seperti musyrikin Makkah yang secara khusus Allah telah
menurunkan dua ayat perihal status mereka, maka Islam mempunyai pandangan
khusus terhadap ahli kitab, yaitu: Yahudi dan Nasrani, baik mereka itu berada
di bawah kekuasaan Islam atau di luar kekuasaan Islam.
Al-Quran tidak memanggil mereka melainkan dengan menggunakan panggilan hai
ahli kitab dan hai orang-orang yang telah diberi kitab. Ini memberi gambaran,
bahwa mereka itu pada mulanya adalah pemeluk agama samawi. Oleh karena itu di
antara mereka dengan kaum muslimin terdapat saling berhubungan dan berkerabat,
sebagai satu manifestasi dari satu agama yang dibawa oleh seluruh Nabi. Firman
Allah:
"Allah telah menerangkan kepadamu dari (urusan) agama apa yang telah diwajibkan
kepada Nuh, dan yang telah kami wahyukan kepadamu, dan apa yang telah kami
wajibkan kepada lbrahim, Musa dan Isa, yaitu hendaknya kamu menegakkan agama
dan jangan bercerai-berai tentang urusan agama." (as-Syura: 13)
Kaum muslimin dituntut untuk mempercayai semua kitab Allah dan segenap
RasulNya. Sedang iman mereka hanya dapat dibuktikan dengan kepercayaan ini.
Maka berfirmanlah Allah:
"Katakanlah! Kami beriman kepada Allah, dan apa-apa yang diturunkan
kepada kami, dan apa-apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya'qub
dan anak-cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa, dan apa yang
diberikan kepada para Nabi dari Tuhan mereka; kami tidak akan membeda-bedakan
di antara seorang pun dari mereka dan kami tetap menyerah kepadaNya." (al-Baqarah: 136)
Ahli kitab kalau mau membaca al-Quran, mereka akan menjumpai beberapa
pujian terhadap kitab mereka, rasul mereka dan nabi-nabi mereka.
Oleh karena itu, kalau ummat Islam mengadakan perdebatan dengan ahli kitab,
hendaknya selalu dihindari sikap berlebihan yang kadang-kadang dapat memanaskan
hati dan membangkitkan permusuhan.
Firman Allah:
"Dan jangan kamu mengadakan perdebatan dengan ahli kitab melainkan
dengan perdebatan yang kiranya lebih baik, kecuali terhadap orang-orang yang
berbuat zalim dari antara mereka, (Namun begitu) katakanlah: kami beriman
kepada kitab yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan
kami dan Tuhan kamu adalah Esa, dan kepadaNya kami menyerah." (al-Ankabut: 46)
Kita semua sudah tahu, betapa Islam membenarkan makan makanan dan
sembelihan ahli kitab. Dan begitu juga dibolehkan kita mengadakan hubungan
perkawinan denyan perempuan-perempuan mereka, padahal perkawinan itu sendiri
intinya demi ketenteraman (sakinah), cinta (mawaddah) dan kasih-sayang (rahmah),
Firman Allah:
"Makanan orang-orang yang diberi kitab (ahli kitab), halal buat kamu
dan makananmu halal buat mereka, dan begitu juga perempuan mu'min yang
terpelihara dan perempuan-perempuan yang terpelihara dari orang-orang yang
telah diberi kitab sebelum kamu." (al-Maidah: 5)
Ini, dalam hubungannya
dengan ahli kitab secara umum. Adapun khusus terhadap orang-orang Nasrani,
al-Quran telah meletakkan mereka pada suatu tempat yang berdekatan sekali
dengan orang-orang Islam. Yaitu seperti diterangkan Allah:
"Sungguh kamu akan
menjumpai orang yang paling dekat cintanya kepada orang-orang mu'min, ialah
orang-orang yang mengatakan: kami ini adalah nashara; yang demikian itu
disebabkan di antara mereka ada pendeta-pendeta dan pastor-pastor, dan
sesungguhnya mereka itu tidak sombong." (al-Maidah:
82)
2 Ahludz Dzimmah (Orang Kafir yang Berada di Wilayah Pemerintahan Islam)
Ketentuan-ketentuan tersebut di atas meliputi seluruh ahli kitab di mana
saja mereka berada. Tetapi untuk mereka yang berada di bawah naungan
pemerintahan Islam ada satu tempat khusus. Mereka ini dalam istilah yang
dipakai ummat Islam dinamakan Ahludz Dzimmah.
Dzimmah itu sendiri artinya: perjanjian.
Kata-kata ini memberikan suatu isyarat, bahwa mereka itu mendapat
perjanjian Allah, Nabi dan jama'atul muslimin untuk hidup di bawah naungan
Islam dengan aman dan tenteram.
Mereka ini dalam
istilah sekarang disebut Warga Negara dalam suatu negara Islam.
Seluruh ummat Islam
dari dahulu sampai sekarang sudah sepakat, bahwa apa yang bermanfaat buat
mereka bermanfaat juga bagi ummat Islam dan apa yang membahayakan mereka,
berbahaya juga bagi ummat Islam. Kecuali masalah keyakinan dan urusan agama,
maka Islam berlepas diri dari mereka berikut cara-cara persembahannya.
Rasulullah s.a.w.
memperkeras wasiatnya tentang masalah ahli kitab ini, dengan suatu ancaman
siapa yang menentangnya akan mendapat murka dan siksaan Allah.
Seperti tersebut dalam
salah satu hadisnya yang berbunyi sebagai berikut:
"Barangsiapa
mengganggu seorang kafir dzimmi, maka sungguh ia mengganggu saya, dan
barangsiapa mengganggu saya, maka sungguh ia mengganggu Allah." (Riwayat
Thabarani)
"Barangsiapa
mengganggu seorang kafir dzimmi, maka saya adalah musuhnya, dan barangsiapa
memusuhi saya, maka akan saya musuhinya nanti di hari kiamat." (Riwayat
al-Khatib)
"Barangsiapa
berlaku zalim kepada seorang kafir 'ahdi, atau mengurangi haknya, atau memberi
beban melebihi kemampuannya, atau mengambil sesuatu daripadanya dengan niat
yang tidak baik, maka saya adalah pembelanya nanti di hari kiamat."
(Riwayat Abu Daud)
Para khalifah Nabi telah melaksanakan
perlindungan hak dan kehormatan ini terhadap warga negara yang bukan beragama
Islam. Dan diperkuat pula oleh para ahli fiqih dalam berbagai madzhab.
Seorang ahli fiqih
Maliki Syihabuddin al-Qarafi mengatakan: "Perjanjian perlindungan adalah
menentukan hak yang harus kita patuhinya karena sesungguhnya mereka itu berada
di samping kita, dalam perlindungan kita, dalam perjanjian kita, dalam
perjanjian Allah, dalam perjanjian Rasulullah dan dalam perjanjian Islam. Oleh
karena itu barangsiapa mengganggu mereka kendati dengan sepatah kata yang tidak
baik, atau dengan mengumpat yang menodai kehormatan mereka, atau macam gangguan
apapun atau membantu perbuatan tersebut, maka sungguh ia telah mengenyampingkan
perjanjian Allah, perjanjian Rasulullah dan perjanjian Agama Islam."36
Ibnu Hazm, salah
seorang ahli fiqih Dhahiri mengatakan: "Kalau ada kafir harbi datang ke
negeri kita untuk mengganggu ahludz-dzimmi, maka kita wajib keluar untuk
melawannya dengan memanggul senjata dan bersedia mati demi melindungi orang
yang berada dalam lindungan Allah dan RasulNya. Sebab menyerahkan mereka ini
berarti mengabaikan perjanjian perlindungan."37
3 Bersahabat dengan Golongan Ghairul Islam dan Penganutnya
Barangkali ada perasaan
ingin bertanya dan menjadi tutur-kata oleh sementara orang: bagaimana mungkin
dapat diwujudkan suatu kebaikan, kasih-sayang dan pergaulan yang harmonis
dengan golongan ghairul Islam, padahal al-Quran sendiri dengan tegas melarang
berkasih-sayang dan bersahabat dengan orang-orang kafir, sebagaimana dinyatakan:
"Hai orang-orang
yang beriman! Jangan kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai ketua,
sebagian terhadap sebagiannya. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai ketua,
maka dia itu tergolong mereka, sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang zalim. Maka kamu melihat orang-orang yang dalam hatinya itu ada
penyakit, cepat-cepat pergi kepada mereka." (al-Maidah:
51-52)
Jawabnya: Bahwa
ayat-ayat ini tidak mutlak, tidak mengenai setiap Yahudi dan Nasrani atau
kafir. Kalau difahami demikian, niscaya akan terdapat kontradiksi antara
ayat-ayat tersebut dengan nas-nas lainnya yang mengundang supaya dijalin saling
pengertian dengan baik dengan seluruh pemeluk agama. Ditambah lagi dengan suatu
perkenan kawin dengan ahli kitab dengan penegasan ayat-ayat alQuran yang antara
lain berbunyi sebagai berikut:
"Allah menjadikan di antara kamu (suami-isteri) cinta dan
kasih-sayang." (ar-Rum: 21)
Dan khusus tentang Nasrani Allah mengatakan:
"Sungguh kamu akan menjumpai dari antara orang kafir yang lebih dekat
cintanya kepada orang-orang mu'min, yaitu orang-orang yang mengatakan: kami
adalah orang-orang Nasrani." (al-Maidah: 83)
Dengan demikian, maka ayat-ayat al-Maidah: 51-52 di atas ditujukan untuk
orang-orang yang menentang Islam dan yang memerangi kaum muslimin. Oleh karena
itu tidak halal seorang muslim memberi bantuan dan saling bantu-membantu dengan
mereka.
Inilah yang dimaksud dengan muwalat (bersahabat, mengangkat orang kafir
sebagai ketua).
Dan dilarangnya pula kaum muslimin menjadikan mereka ini sebagai sahabat
karib sehingga dengan mullah mereka dapat mengetahui rahasia-rahasia kita. Dan
menjadikan mereka sebagai kawan yang bertugas sebagai infiltran yang dibiayai
oleh golongan dan agamanya.
Terhadap mereka ini al-Quran dengan tegas menyatakan:
"Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu menjadikan sahabat karib
orang-orang selain golonganmu, mereka itu tidak mau menolong kamu dari
kecelakaan, mereka itu senang kalau kamu susah; sungguh telah nampak kebencian
dari mulut-mulut mereka, sedang apa yang tersembunyi dalam hati mereka lebih
besar. Sungguh kami telah menerangkan kepadamu ayat-ayat kami kalau kamu mau
berfikir. Kamu ini adalah orang-orang yang kasih kepada mereka, tetapi mereka
tidak mau kasih kepadamu." (ali-Imran:
118-119)
Ayat ini menjelaskan kepada kita tentang sifat-sifat mereka kepada kita,
bahwa mereka itu menyembunyikan permusuhan dan kebenciannya kepada kaum
muslimin dan telah dinyatakan dalam lidah mereka.
Dan firmanNya pula:
"Engkau tidak dapati orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari
akhir itu menunjukkan kecintaannya kepada orang-orang yang menentang Allah dan
RasuINya, sekalipun mereka itu ayah-ayahnya sendiri, anak-anaknya sendiri,
saudara-saudaranya sendiri dan keluarganya sendiri." (al-Mujadalah: 22)
Orang yang menentang Allah dan Rasul tidak sekedar karena kufur tetapi
justru karena mereka memusuhi Islam dan kaum muslimin.
Dan firman Allah:
"Hai orang-orang
yang beriman! Jangan kamu jadikan musuhku dan musuhmu sebagai ketua, kamu
tampakkan kepada mereka rasa cinta, padahal mereka telah kufur terhadap
kebenaran yang datang kepadamu, mereka akan mengusir Rasul dan kamu juga,
lantaran kamu beriman kepada Allah sebagai Tuhanmu." (al-Mumtahinah: 1)
Ayat ini diturunkan
berkenaan dengan masalah persahabatan dengan orang-orang musyrik Makkah yang
pada waktu itu mereka memerangi Allah dan Rasul, dan mengusir orang-orang Islam
dari Makkah justru karena mereka mengatakan kami beriman kepada Allah.
Orang-orang seperti ini
tidak boleh kita ajak bersahabat.
Kendatipun demikian,
al-Quran tidak memutus harapan kejernihan mereka, dan tidak pula mengatakan
sikap pesimis. Bahkan al-Quran memberikan suatu harapan kiranya dapat
merombak sikap mereka itu dan menjernihkan hati mereka. Untuk itu dalam surah
itu juga al-Quran mengatakan:
"Barangkali Allah akan menjadikan antara kamu dan antara orang-orang
yang kamu musuhi itu perasaan cinta, sedang Allah Maha Kuasa, dan Allah pun
Maha Pengampun dan Belas-kasih." (al-Mumtahinah:
7)
Peringatan al-Quran ini kiranya cukup dapat melunakkan ketajaman pertentangan
dan berkobarnya api permusuhan. Sebagaimana disebutkan dalam salah satu hadis yang berbunyi sebagai
berikut:
"Bencilah kamu kepada musuhmu itu sekedarnya saja, agar satu saat dia
akan mencintaimu." (Riwayat Tarmizi dan Baihaqi)38
Lebih keras lagi haramnya berkawan dengan musuh, apabila mereka itu
orang-orang kuat, optimis dan menakutkan, sehingga karenanya orang-orang
munafik dan yang sakit hati berusaha untuk berkawan dengan mereka dan
mengangkatnya sebagai kawan pelindung untuk memperkuat barisannya, dengan suatu
harapan akan sangat berguna di hari esok,
Untuk itulah, maka Allah berfirman:
"Maka kamu akan melihat orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit,
pergi dengan cepat-cepat kepada mereka sambil berkata: kami takut akan mendapat
kecelakaan, tetapi mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan atau suatu
urusan dari sisiNya, sehingga dengan demikian mereka akan menyesali apa-apa
yang mereka rahasia akan dalam hati-hati mereka itu." (al-Maidah: 52)
"Beritahulah orang-orang munafik itu, bahwa mereka akan mendapat siksaan
yang pedih, yaitu orang-orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai ketua,
bukan kepada orang-orang mu'min. Apakah mereka mengharapkan kejayaan dari sisi
mereka? Sesungguhnya kejayaan adalah milik Allah seluruhnya." (an-Nisa':
138-139)
4 Orang Islam Minta Batuan Kepada Ghairul Islam
Tidak ada salahnya kaum muslimin --baik sebagai pemerintah maupun sebagai
rakyat biasa-- minta bantuan kepada golongan ghairul Islam dalam bidang
pengetahuan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan persoalan agama (tidak
merugikan agama - peny.), misalnya ilmu kedokteran, perindustrian, pertanian
dan lain-lain. Sekalipun sebaiknya ummat Islam dapat berdiri sendiri dalam
hal-hal tersebut.
Dalam sirah nabawiyah (sejarah perjalanan nabi), bagaimana beliau bisa
menggaji Abdullah bin Uraiqith --padahal dia seorang musyrik-- untuk menjadi
pemandu dalam hijrahnya.
Justru itu para ulama berpendapat: karena kufurnya seseorang tidak berarti
samasekali tidak boleh dipercaya dalam setiap hal. Sebab sedikitpun tidak ada
bahayanya orang kafir menunjukkan jalan. Apalagi seperti jalan hijrah ke
Madinah.
Kebanyakan para ulama membenarkan kepala negara Islam minta bantuan kepada
ghairul muslimin --khususnya ahli kitab-- dalam bidang kemiliteran, dan mereka
pun harus diberi ghanimah seperti tentera Islam juga.
Az-Zuhri meriwayatkan, bahwa Rasulullah s.a.w. pernah minta bantuan kepada
orang-orang Yahudi dalam bidang militer dan memberinya ghanimah. Dan Shafwan
bin Umaiyah pernah berperang bersama Nabi dalam peperangan Hunain, dan tetapi
ia menjadi tentara sekutu Nabi. (Riwayat Said dalam sunannya).
Namun disyaratkan, orang yang diminta bantuan itu haruslah orang yang
beri'tikad baik terhadap kaum muslimin. Kalau tidak, sudah barang tentu tidak
boleh minta bantuannya. Sebab kalau kita sudah tidak boleh minta bantuan kepada
orang Islam yang tidak dapat dipercaya, misalnya orang yang meninggalkan perang
dan suka menyiarkan berita-berita bohong, apalagi minta bantuan kepada orang
kafir yang bersifat demikian?! (al-Mughni 8:41).
Orang Islam dibenarkan juga memberi hadiah kepada ghairul Islam dan begitu
juga menerima hadiah dari mereka. Sebab Rasulullah s.a.w. sendiri pernah
menerima hadiah dari raja kafir.39 Bahkan
ahli-ahli hadis mengatakan: hadis-hadis yang menerangkan Nabi pernah menerima
hadiah dari orang kafir itu sangat banyak. Di antaranya hadis yang diriwayatkan
oleh Ummu Salamah, bahwa Rasulullah s.a.w. pernah bersabda kepadanya:
"Sungguh saya
pernah memberi hadiah kepada raja Najasyi sebuah baju dan beberapa uqiyah dari
sutera ..." (Riwayat Ahmad dan Thabarani)
Islam selalu menghargai
manusia dari segi kemanusiaannya, bagaimana pula kalau dia itu ahli kitab atau
kafir dzimmi?
Pernah ada suatu
jenazah diusung di hadapan Nabi, kemudian Nabi berdiri. Salah seorang sahabat
ada yang bertanya: Ya Rasulullah! Itu adalah jenazah Yahudi! Jawab Nabi:
Bukankah dia manusia juga?!40 Benar!
Karena setiap manusia dalam Islam mendapat tempat dan penghormatan.
5 Islam Membawa Rahmat untuk Segenap Ummat Manusia Sampai kepada Binatang
Bagaimana mungkin Islam membenarkan ummatnya untuk berbuat jahat dan
menyakiti golongan ghairul Islam, sedang Islam itu sendiri sudah berwasiat
kepada ummatnya untuk menaruh belas-kasih kepada setiap yang bernyawa, dan
melarang berlaku kasar terhadap binatang.
Islam telah mendahului mengadakan gerakan kasih kepada binatang 13 abad
yang lalu, sehingga dimasukkan dalam bagian iman dan berlaku kasar kepada
binatang sebagai penyebab masuk neraka.
Rasulullah s.a.w. pernah menceriterakan kepada para sahabatnya tentang
seorang laki-laki yang menjumpai seekor anjing melolong karena kehausan, kemudian
dia melepas kasutnya dipenuhi air untuk memberi minum anjing tersebut sehingga
merasa puas. Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Maka Allah berterimakasih kepada orang itu (karena pertolongannya)
serta mengampuninya. Lantas para sahabat bertanya: Apakah ada pahalanya
lantaran binatang ya Rasulullah? Jawab Nabi: Dalam tiap hati yang masih basah
ada pahalanya." (Riwayat Bukhari)
Di balik lukisan cemerlang yang menyebabkan diperolehnya keampunan Allah
ini, maka Rasulullah melukiskan bentuk lain pula yang menyebabkan murka dan
siksaan Allah. Maka bersabdalah Nabi:
"Seorang perempuan akan masuk neraka sebab kucing yang ditahannya,
tidak diberinya makan dan tidak dilepaskannya untuk mencari makan dari serangga
darat." (Riwayat Bukhari)
Begitu kerasnya masalah kehormatan binatang, sampai-sampai pernah suatu
ketika Rasulullah s.a.w. melihat seekor keledai yang dicap (dicos dengan besi
yang membara) mukanya, kemudian Nabi memarahinya sambil ia bersabda:
"Demi Allah saya tidak memberi tanda, kecuali pada tempat yang jauh
dari mukanya." (Riwayat Muslim)
Dalam hadis lain diceriterakan, bahwa suatu ketika Rasulullah s.a.w. pernah
melewati seekor keledai yang diberi tanda di mukanya. Kemudian Rasulullah
s.a.w. bersabda:
"Apakah belum sampai kepadamu, bahwa saya melaknat orang yang memberi
tanda (dengan key) pada binatang di mukanya, atau memukul binatang di
mukanya?!" (Riwayat Abu Daud)
Sebelum ini sudah pernah juga kita tuturkan, bahwa Ibnu Umar pernah
menyaksikan beberapa orang yang menjadikan ayam sebagai sasaran latihan
memanah, kemudian ia berkata:
"Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang menjadikan sesuatu
yang bernyawa sebagai sasaran (memanah)." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Abdullah bin Abbas juga berkata:
"Rasulullah s.a.w. melaknat mengadu binatang." (Riwayat Abu Daud dan Tarmizi)
Sedang yang dimaksud
dengan tahrisy (mengadu), yaitu binatang-binatang itu diadu sampai mati atau
hampir mati.
Dan Ibnu Abbas juga berkata:
"Sesungguhnya Rasulullah s a w. melarang keras mengkebiri
binatang." (Riwayat Bazzar dengan sanad sahih)
Begitu juga al-Quran mengecam perbuatan jahiliah yang membelah telinga
binatang. Dinilainya perbuatan tersebut sebagai bisikan syaitan. (Lihat surah
an-Nisa': 119),
Kita sudah mengetahui dalam pembicaraan tentang masalah penyembelihan,
betapa tekanan Islam agar penyembelihan itu dilakukan dengan memberikan
keringanan pada binatang dengan cara yang semudah-mudahnya, misalnya dengan
menajamkan pisau dan dilakukan pada urat-urat nadi binatang itu. Dan
dilarangnya menyembelih binatang di hadapan binatang lainnya.
Waktu itu dunia belum mengenal kasih-sayang kepada binatang sejauh ini. Masih di luar khayal.
35.Tafsir ar-Razi 6: 51.
36.Dari Kitabul Furuq lil Qarafi.
37.Dari
Kitab Maratibil ijma' libni Hazm.
38.Imam
Suyuthi memberikan tanda hadis ini dengan derajat hasan dengan suatu tambahan
pada awalnya yang berbunyi: "Cintailah kekasihmu sekedarnya saja, agar
kebenciannya kepadamu itu hanya sesaat raja." Lihat juga Bukhari Adabul
Mufrad, Mauquf.
39.Riwayat
Ahmad dan Tarmizi.
40.Riwayat Bukhari. Riwayat Bukhari
Post a Comment