Lupakan Jasa dan Kebaikan Diri
Lupakan
Jasa dan Kebaikan Diri
Semakin kita sering
menganggap diri penuh jasa dan penuh kebaikan pada orang lain, apalagi
menginginkan orang lain tahu akan jasa dan kebaikan diri kita, lalu berharap
agar orang lain menghargai, memuji, dan membalasnya maka semua ini berarti kita
sedang membangun penjara untuk diri sendiri dan sedang mempersiapkan diri
mengarungi samudera kekecewaan dan sakit hati.
Ketahuilah bahwa
semakin banyak kita berharap sesuatu dari selain Allah SWT, maka semakin banyak
kita akan mengalami kekecewaan. Karena, tiada sesuatu
apapun yang dapat terjadi tanpa ijin Allah. Sesudah mati-matian berharap
dihargai makhluk dan Allah tidak menggerakkan orang untuk menghargai, maka hati
ini akan terluka dan terkecewakan karena kita terlalu banyak berharap kepada
makhluk. Belum lagi kerugian di akhirat karena amal yang dilakukan berarti
tidak tulus dan tidak ikhlas, yaitu beramal bukan karena Allah.
Selayaknya kita menyadari bahwa yang namanya jasa atau kebaikan kita
terhadap orang lain, sesungguhnya bukanlah kita berjasa melainkan Allah-lah
yang berbuat, dan kita dipilih menjadi jalan kebaikan Allah itu berwujud. Sesungguhnya
terpilih menjadi jalan saja sudah lebih dari cukup karena andaikata Allah
menghendaki kebaikan itu terwujud melalui orang lain maka kita tidak akan
mendapat ganjarannya.
Jadi, ketika ada seseorang yang sakit, lalu sembuh berkat usaha seorang
dokter. Maka, seberulnya bukan dokter yang menyembuhkan pasien tersebut,
melainkan Allah-lah yang menyembuhkan, dan sang dokter dipilih menjadi jalan. Seharusnya
dokter sangat berterima kasih kepada sang pasien karena selain telah menjadi
ladang pahala untuk mengamalkan ilmunya, juga telah menjadi jalan rizki dari
Allah baginya. Namun, andaikata sang dokter menjadi merasa hebat karena
jasanya, serta sangat menuntut penghormatan dan balas jasa yang berlebihan maka
selain memperlihatkan kebodohan dan kekurangan imannya juga semakin tampak
rendah mutu kepribadiannya (seperti yang kita maklumi orang yang tulus dan
rendah hati selalu bernilai tinggi dan penuh pesona). Selain itu, di akhirat
nanti niscaya akan termasuk orang yang merugi karena tidak beroleh pahala
ganjaran.
Juga, tidak selayaknya seorang ibu menceritakan jasanya mulai dari
mengandung, melahirkan, mendidik, membiayai, dan lain-lain semata-mata untuk
membuat sang anak merasa berhutang budi. Apalagi jika dilakukan secara
emosional dan proporsional kepada anak-anaknya, karena hal tersebut tidak
menolong mengangkat wibawa sang ibu bahkan bisa jadi yang terjadi adalah
sebaliknya. Karena sesungguhnya sang anak sama sekali tidak memesan untuk
dilahirkan oleh ibu, juga semua yang ibunya lakukan itu adalah sudah menjadi
kewajiban seorang ibu.
Percayalah bahwa kemuliaan dan kehormatan serta kewibawaan aeorang
ibu/bapak justru akan bersinar-sinar seiring dengan ketulusan ibu menjalani
tugas ini dengan baik, Insya Allah. Allah-lah yang akan menghujamkan rasa cinta
di hati anak-anak dan menuntunnya untuk sanggup berbalas budi.
Seorang guru juga harus bisa menahan diri dari ujub dan merasa berjasa
kepada murid-muridnya. Karena memang kewajiban guru untuk mengajar dengan baik
dan tulus. Dan memang itulah rizki bagi seseorang yang ditakdirkan menjadi
guru. Karena setiap kebaikan yang dilakukan muridnya berkah dari tuntunan sang
guru akan menjadi ganjaran tiada terputus dan dapat menjadi bekal penting untuk
akhirat. Kita boleh bercerita tentang suka duka dan keutamaan mengajar dengan
niat bersyukur bukan ujub dan takabur.
Perlu lebih hati-hati menjaga lintasan hati dan lebih menahan diri
andaikata ada salah seorang murid kita yang sukses, jadi orang besar. Biasanya
akan sangat gatal untuk mengumumkan kepada siapapun tentang jasanya sebagai
gurunya plus kadang dengan bumbu penyedap cerita yang kalau tidak pada
tempatnya akan menggelincirkan diri dalam riya dan dosa.
Andaikata ada sebuah mobil yang mogok lalu kita membantu mendorongnya
sehingga mesinnya hidup dan bisa jalan dengan baik. Namun ternyata sang supir
sama sekali tidak berterima kasih. Jangankan membalas jasa, bahkan menengok ke
arah kita pun tidak sama sekali.. andaikata kita merasa kecewa dan dirugikan
lalu dilanjutkan dengan acara menggerutu, menyumpahi, lalu menyesali diri plus
memaki sang supir. Maka lengkaplah kerugiannya lahir maupun batin. Dan tentu
saja amal pun jadi tidak berpahala dalam pandangan Allah karena tidak ikhlas,
yaitu hanya berharap balasan dari makhluk.
Seharusnya yang kita yakini sebagai rizki dan keberuntungan kita adalah
takdir diri ini diijinkan Allah bisa mendorong mobil. Silahkan bayangkan
andaikata ada mobil yang mogok dan kita tidak mengetahuinya atau kita sedang
sakit tidak berdaya, niscaya kita tidak mendapat kesempatan beramal dengan
mendorong mobil. Atau diri ini sedang sehat perkasa tapi mobil tidak ada yang
mogok, lalu kita akan mendorong apa?
Takdir mendorong mobil adalah investasi besar, yakni kalau dilaksanakan
penuh dengan ketulusan niscaya Allah yang Maha Melihat akan membalasnya dengan
balasan yang mengesankan. Bukankah kita tidak tahu kapan kita akan mendapatkan
kesulitan di perjalanan, maka takdir beramal adalah investasi.
Mari kita bersungguh-sungguh untuk terus berbuat amal kebajikan sebanyak
mungkin dan sesegera mungkin. Setelah itu mari kita lupakan seakan kita tidak
pernah melakukannya, cukuplah Allah yang Maha Melihat saja yang mengetahuinya. Allah
SWT pasti menyaksikannya dengan sempurna dan membalasnya dengan balasan yang
sangat tepat baik waktu, bentuk, ataupun momentumnya. Salah satu ciri orang
yang ikhlas menurut Imam Ali adalah senang menyembunyikan amalannya bagai
menyembunyikan aib-aibnya.
Selamat berbahagia bagi siapapun yang paling gemar beramal dan paling cepat
melupakan jasa dan kebaikan dirinya, percayalah hidup ini akan jauh lebih
nikmat, lebih ringan, dan lebih indah. Insya Allah.***
Post a Comment