Mengapa Para Aktifis Gerakan Islam Harus Menjauhi Dari Sikap Ekstrem Dalam Beragama?
Mengapa Para Aktifis Gerakan Islam Harus Menjauhi Dari Sikap Ekstrem Dalam Beragama?
Bedah Buku: Ash-Shahwah Islamiyyah Baynal Juhud Wa
Tatharruf (Gerakan Islam antara Bersungguh-Sungguh Menjalankan Agamanya yangg
Terpuji denga Ekstremitas yang Tercela), oleh DR. Yusuf al-Qardhawi.
( ألصحوة ألإسلا مية بين الجهود والتطرف )ألدكتور يوسف ألقرضا وي
Tanda-Tanda Ekstremitas dalam Beragama
1. Ta’ashub (fanatisme buta) pada satu pendapat dan
menyalahkan pendapat yang berbeda dengannya walaupun pendapat yang lain itu
terdapat dalil yang kuat.
Hal ini misalnya dengan menuduh fasik dan durhaka kepada orang
yang berbeda pendapat dengannya. Yang sangat mengherankan adalah di antara
mereka hanya menerima ijtihad bagi dirinya dan kelompoknya dalam masalah-masalah
yang sangat pelik dan rumit istinbath hukumnya, tetapi menolak ijtihad para
ulama spesialis baik perorangan maupun kelompok untuk berijtihad berbeda dengan
pendpt mereka tersebut. Seolah-olah mereka berkata pada anda: “Hakku untuk
berbicara dan berpendapat dan kewajibanmu hanyalah mendengarkan dan taat.
Pendapatku benar dan tidak pernah salah sementara pendapatmu salah dan tidak
pernah benar.” Yang lebih berbahaya lagi jika sikap ini diikuti dengan membawa
tongkat pemukul, yang bukan terbuat dari besi atau kayu melainkan berupa tuduhan
seperti bid’ah, kufur, sesat, dan sebagainya. Kita berlindung kepada ALLAH SWT
dari yang demikian…
2. Mewajibkan kepada manusia sesuatu yang tidak diwajibkan
ALLAH SWT atas mereka.
Tidak ada larangan bagi seseorang untuk mewajibkan untuk
dirinya tentang suatu pendapat sepanjang berdasarkan dalil, tetapi syariat tidak
dapat menerima jika ia lalu mewajibkannya juga kepada orang lain, karena
kemampuan dan keinginan ummat berbeda-beda, bukankah ALLAH SWT berfirman tentang
sifat Nabi SAW: “…menghalalkan segala yang baik bagi mereka mengharamkan segala
yang buruk, serta membuang beban-beban berat dan melepaskan belenggu yang ada
pada diri mereka.” (QS al-A’raaf: 157)
Termasuk dalam hal ini adalah juga mengkafirkan hanya karena
mereka berbeda dalam hal-hal yang masih diperselisihkan dan memungkinkan
terjadinya perbedaan dalam penafsiran dan istinbath hukumnya.
3. Selalu memperberat saat ada kesempatan untuk
memilih.
Seperti memperlakukan negara bukan Islam sebagai negara Islam,
atau memperlakukan aturan Islam secara ketat bagi semua kaum muslimin tanpa
melihat tingkat keimanan dan pengetahuan mereka tentang Islam. Hendaknya
pendekatan fiqh dakwah digunakan saat mensikapi dan menyampaikan dakwah, yaitu
memusatkan pada hal-hal yang ‘ushul’ (pokok, dasar) dalam agama, dan pendekatan
fiqh dakwah ini merupakan ketetapan sunnah Nabi SAW, sebagaimana pesan Nabi SAW
saat mengutus Mu’adz untuk berdakwah ke Yaman (HR Bukhari Muslim).
Seperti sikap bersikeras melarang duduk di atas kursi dengan
alasan hal tersebut bukan sunnah Nabi SAW, melarang wanita berbicara dalam
diskusi karena takut terkena fitnah, melarang menggunakan celana karena
merupakan cara orang Barat, mewajibkan memakai gamis, dan sebagainya.
4. Mudah memvonis dan mengkafirkan.
Padahal ALLAH SWT menyebutkan dalam al-Qur’an: “Serulah manusia
kepada jalan RABB-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Dan bantahlah mereka
dengan cara yang lebih baik.” (QS an-Nahl: 125). Dalam ayat yang lain
disebutkan: “Maka karena rahmat ALLAH kepadamu maka kamu bersikap lemah-lembut
kepada mereka, dan jika sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar maka
mereka akan lari dari sekelilingmu.” (QS ali-Imran: 153).
Bahkan kepada Fir’aun saja untuk dakwah pertamanya ALLAH SWT
memerintahkan Musa as untuk bersikap lembut: “Pergilah kamu berdua kepada
Fir’aun sesungguhnya ia telah durhaka. Bicaralah kamu berdua kepadanya dengan
lembut, mudah-mudahan ia menjadi ingat dan takut” (QS Thaha: 43-44). Barulah
setelah Fir’aun menolak dan mengabaikan dakwah, maka Musa as mendoakan
kecelakaan untuknya.
5. Buruk sangka (su’uzhan) kepada para Ulama Islam.
Yaitu memandang mereka selalu dengan kacamata hitam, selalu
menyembunyikan kebenaran dan kebaikan mereka dan membesar-besarkan keburukan dan
kesalahan mereka. Mereka menganggap kesalahan kecil dalam masalah ijtihad
sekalipun sebagai sebuah dosa besar dan menabuh genderang perang terhadap
pelakunya.
Jika ada sebuah fatwa yang mengandung 2 kemungkinan yaitu
kebaikan dan keburukan, maka mereka serta-merta mengambil sisi buruknya, hal ini
sangat berbeda dengan sikap salafus-shalih yang selalu berkata: “Sungguh aku
selalu mencarikan alasan pembenaran bagi pendapat saudaraku sampai 70 kali,
setelah itu akupun masih berkata: Mungkin masih ada alasan lain yang belum
kuketahui..” Nabi SAW bersabda: “Jika kalian mendengar seorang menyatakan:
Manusia lainnya telah celaka, maka orang itulah yang paling celakan diantara
mereka.” (HR Muslim)
6. Bahaya pengkafiran.
Akumulasi dari ekstremitas mencapai puncaknya jika seorang
sudah bermain dengan label pengkafiran. Sikap inilah yang telah membinasakan
kaum Khawarij, sekalipun mereka adalah kaum paling hebat dalam pelaksanaan
berbagai ibadah dalam sejarah Islam, tetapi mereka celaka karena telah
terjerumus kepada jurang pengkafiran kepada ummat Islam yang lain bahkan pada
para ulama ummat seperti khalifah Ali ra.
Kelompok ini karena kerendahan ilmunya tidak mengetahui
bagaimana kemarahan Rasul SAW yang luar biasa terhadap anak dari anak angkatnya
yang paling disayanginya yaitu Usamah bin Zaid ra, ketika mendengar Usamah
membunuh seorang kafir yang telah mengucapkan syahadah saat terdesak dalam
peperangan. Walaupun Usamah ra telah memberikan argumentasi: “Wahai RasuluLLAH
ia hanya mengucapkan itu karena takut dengan pedang.” Maka jawab Nabi SAW:
“Mengapa tidak engkau belah dadanya (jika bisa mengetahui isi hatinya)?” Maka
jawab Usamah ra: “Ya RasuluLLAH, mohonkan ampun bagi saya.” Maka jawab Nabi
SAW: “Apakah yang akan engkau perbuat jika nanti di hari Kiamat berhadapan
dengan La ilaha illaLLAH??” Selanjutnya kata Usamah ra: “Tidak henti-hentinya
Nabi SAW mengulang-ulang pertanyaannya itu, sampai aku menginginkan alangkah
inginnya jika saat itu aku baru masuk Islam karena takutnya.”
WaliLLAHil hamdu wal minah… []
Post a Comment