Mengharamkan yang Halal dan Menghalalkan yang Haram Sama dengan Syirik
Mengharamkan yang Halal dan Menghalalkan yang Haram Sama dengan Syirik
KALAU Islam mencela sikap orang-orang yang suka menentukan haram dan halal
itu semua, maka dia juga telah memberikan suatu kekhususan kepada mereka yang
suka mengharamkan itu dengan suatu beban yang sangat berat, karena memandang,
bahwa hal ini akan merupakan suatu pengungkungan dan penyempitan bagi manusia
terhadap sesuatu yang sebenarnya oleh Allah diberi keleluasaan. Di samping hal
tersebut memang karena ada beberapa pengaruh yang ditimbulkan oleh sementara
ahli agama yang berlebihan.
Nabi Muhammad sendiri telah berusaha untuk memberantas perasaan berlebihan
ini dengan segala senjata yang mungkin. Di antaranya ialah dengan mencela dan
melaknat orang-orang yang suka berlebih-lebihan tersebut, yaitu sebagaimana
sabdanya:
"Ingatlah! Mudah-mudahan binasalah orang-orang yang berlebih-lebihan
itu." (3 kali). (Riwayat Muslim dan lain-lain)
Dan tentang sifat risalahnya itu beliau tegaskan:
"Saya diutus dengan membawa suatu agama yang toleran." (Riwayat
Ahmad)
Yakni suatu agama yang teguh dalam beraqidah dan tauhid, serta toleran
(lapang) dalam hal pekerjaan dan perundang-undangan. Lawan daripada dua sifat
ini ialah syirik dan mengharamkan yang halal. Kedua sifat yang akhir ini oleh
Rasulullah s.a.w. dalam Hadis Qudsinya dikatakan, firman Allah:
"Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi
kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan
mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan
kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan
sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya." (Riwayat Muslim)
Oleh karena itu, mengharamkan sesuatu yang halal dapat dipersamakan dengan
syirik. Dan justeru itu pula al-Quran menentang keras terhadap sikap
orang-orang musyrik Arab terhadap sekutu-sekutu dan berhala mereka, dan tentang
sikap mereka yang berani mengharamkan atas diri mereka terhadap makanan dan
binatang yang baik-baik, padahal Allah tidak mengizinkannya. Diantaranya mereka
telah mengharamkan bahirah (unta betina yang sudah melahirkan anak kelima),
saibah (unta betina yang dinazarkan untuk berhala), washilah (kambing yang
telah beranak tujuh) dan ham (Unta yang sudah membuntingi sepuluh kali; untuk
ini dikhususkan buat berhala).
Orang-orang Arab di zaman Jahiliah beranggapan, kalau seekor unta betina
beranak sudah lima kali sedang anak yang kelima itu jantan, maka unta tersebut
kemudian telinganya dibelah dan tidak boleh dinaiki. Mereka peruntukkan buat
berhalanya. Karena itu tidak dipotong, tidak dibebani muatan dan tidak dipakai
untuk menarik air. Mereka namakan unta tersebut al-Bahirah yakni unta yang
dibelah telinganya.
Dan kalau ada seseorang datang dari bepergian, atau sembuh dari sakit dan
sebagainya dia juga memberikan tanda kepada seekor untanya persis seperti apa
yang diperbuat terhadap bahirah itu. Unta tersebut mereka namakan saibah.
Kemudian kalau ada seekor kambing melahirkan anak betina, maka anaknya itu
untuk yang mempunyai; tetapi kalau anaknya itu jantan, diperuntukkan buat
berhalanya. Dan jika melahirkan anak jantan dan betina, maka mereka katakan:
Dia telah sampai kepada saudaranya; oleh karena itu yang jantan tidak
disembelih karena diperuntukkan buat berhalanya. Kambing seperti ini disebut
washilah.
Dan jika seekor binatang telah membuntingi anak-anaknya, maka mereka
katakan: Dia sudah dapat melindungi punggungnya. Yakni binatang tersebut tidak
dinaiki, tidak dibebani muatan dan sebagainya. Binatang seperti ini disebut
al-Haami.
Penafsiran dan penjelasan terhadap keempat macam binatang ini banyak
sekali, juga berkisar dalam masalah tersebut
Al-Quran bersikap keras terhadap sikap pengharaman ini, dan tidak
menganggap sebagai suatu alasan karena taqlid kepada nenek-moyangnya dalam kesesatan
ini. Firman Allah:
"Allah tidak menjadikan (mengharamkan) bahirah, saibah, washilah dan
ham, tetapi orang-orang kafirlah yang berbuat dusta atas (nama) Allah, dan
kebanyakan mereka itu tidak mau berfikir. Dan apabila dikatakan kepada mereka:
Mari kepada apa yang telah diturunkan Allah dan kepada Rasul, maka mereka
menjawab: Kami cukup menirukan apa yang kami jumpai pada nenek-nenek moyang
kami; apakah (mereka tetap akan mengikutinya) sekalipun nenek-nenek moyangnya
itu tidak berpengetahuan sedikitpun dan tidak terpimpin?" (al-Maidah : 103-104)
Dalam surah al-An'am ada semacam munaqasyah (diskusi) mendetail terhadap
prasangka mereka yang telah mengharamkan beberapa binatang, seperti: unta,
sapi, kambing biri-biri dan kambing kacangan.
Al-Quran membawakan diskusi tersebut dengan suatu gaya bahasa yang cukup
dapat mematikan, akan tetapi dapat membangkitkan juga.
Kata al-Quran:
"Ada delapan macam binatang; dari kambing biri-biri ada dua, dan dari
kambing kacangan ada dua pula; katakanlah (Muhammad): Apakah kedua-duanya yang
jantan itu yang diharamkan, atau kedua-duanya yang betina ataukah semua yang
dikandung dalam kandungan yang betina kedua-duanya? (Cobalah) beri penjelasan
aku dengan suatu dalil, jika kamu orang-orang yang benar! Begitu juga dari unta
ada dua macam,- dan dari sapi ada dua macam juga; katakanlah (Muhammad!) apakah
kedua-duanya yang jantan itu yang diharamkan, ataukah kedua-duanya yang
betina?" (al-An'am: 143-144)
Di surah al-A'raf pun ada juga munaqasyah tersebut dengan suatu penegasan keingkaran
Allah terhadap orang-orang yang suka mengharamkan dengan semaunya sendiri itu;
di samping Allah menjelaskan juga beberapa pokok binatang yang diharamkan untuk
selamanya. Ayat itu berbunyi sebagai berikut:
"Katakanlah! Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan Allah yang
telah diberikan kepada hamba-hambaNya dan beberapa rezeki yang baik itu? Katakanlah!
Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan
apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu
menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya
dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak
mengetahui." (al-A'raf: 32-33)
Seluruh munaqasyah ini terdapat pada surah-surah Makiyyah yang diturunkan
demi mengkukuhkan aqidah dan tauhid serta ketentuan di akhirat kelak. Ini
membuktikan, bahwa persoalan tersebut, dalam pandangan al-Quran, bukan termasuk
dalam kategori cabang atau bagian, tetapi termasuk masalah-masalah pokok dan
kulli.
Di Madinah timbul di kalangan pribadi-pribadi kaum muslimin ada orang-orang
yang cenderung untuk berbuat keterlaluan, melebih-lebihkan dan mengharamkan
dirinya dalam hal-hal yang baik. Untuk itulah maka Allah menurunkan ayat-ayat
muhkamah (hukum) untuk menegakkan mereka dalam batas-batas ketentuan Allah dan
mengernbalikan mereka ke jalan yang lempang.
Di antara ayat-ayat itu berbunyi sebagai berikut:
"Hai orang-orang yang beriman: Janganlah kamu mengharamkan yang
baik-baik (dari) apa yang Allah telah halalkan buat kamu, dan jangan kamu
melewati batas, karena sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang
suka melewati batas. Dan makanlah sebagian rezeki yang Allah berikan kepadamu
dengan halal dan baik, dan takutlah kamu kepada Allah zat yang kamu beriman
dengannya." (al-Maidah: 87-88)
6. Ini dapat diperkuat dengan riwayat-riwayat para
sahabat, bahwa mereka itu tidak meninggalkan khamar (arak) secara
keseluruhannya setelah ayat al-Baqarah 219 itu turun, karena ayat ini dalam
anggapan mereka tidak qath'i (positif) mengharamkan arak, sehingga ayat
al-Maidah itu turun, baru mereka menjauhi seluruhnya.
7. Kiranya ahli-ahli taqlid itu mengerti, jangan
cepat-cepat mengatakan ini "haram" yang tanpa dalil atau yang
mendekati kepada dalil.
Post a Comment