Peranan Pemuda dalam Islam (2): Pemuda Sebagai Generasi Yang Memahami Kondisi Realitas Ummat
Peranan Pemuda dalam Islam (2): Pemuda Sebagai Generasi Yang Memahami Kondisi Realitas Ummat
Jika kita menyaksikan kondisi mayoritas ummat Islam saat ini,
maka terlihat bahwa sebagian besar ummat berada pada keadaan yang sangat
memprihatinkan, mereka bagaikan buih terbawa banjir, tidak memiliki bobot dan
tidak memiliki nilai. Jika dilakukan analisis secara mendalam dari sudut pandang
agama, maka akan terlihat bahwa realitas ummat yang demikian disebabkan oleh
hal-hal sbb:
• Penyakit ummat Islam saat ini (baik di Indonesia maupun di
berbagai negara Islam) berpangkal pada sikap infirodiyyah (individualisme).
Maksudnya adalah bahwa mayoritas ummat Islam saat ini bekerja sendiri-sendiri
dan sibuk dengan masalahnya masing-masing tanpa berusaha untuk menggalang
persatuan dan membuat suatu bargaining position demi kepentingan ummat. Para
ulama dan muballigh sibuk bertabligh, para pengusaha muslim sibuk dengan
usahanya dan para pejabatnya sibuk mempertahankan jabatannya, tidak ada
koordinasi dan spesialisasi untuk bekerja sesuai dengan bidangnya kemudian
hasilnya dimusyawarahkan untuk kepentingan bersama. Demikian pula di tingkat
ORMAS dan ORPOL, masing-masing bekerja sendiri tidak ada kerjasama satu dengan
lainnya. Hal inilah yang menyebabkan jurang pemisah antara masing-masing
kelompok semakin besar.
• Secara kejiwaan beberapa penyakit yang memperparah kondisi
ummat Islam saat ini diantaranya adalah:
1. Emosional, artinya bahwa ikatan keislaman mayoritas ummat
saat ini baru pada ikatan emosional saja, belum disertai dengan kefahaman yang
mendalam akan ajaran agamanya. Sehingga disiplin untuk bekerja, semangat untuk
berdakwah, gairah berinfak, dsb baru pada taraf emosional, bersifat reaktif dan
sesaat saja (QS 22/11).
2. Orientasi kultus. Dalam pelaksanaan ibadah ritual,
menjalankan pola hidup sampai dengan mensikapi berbagai peristiwa kontemporer,
mayoritas masyarakat muslim tidak berpegang kepada dasar (dhawabith)
kaidah-kaidah Islam yang jelas, karena pengetahuan keislaman yang pas-pasan,
sehingga lebih memandang kepada pendapat berbagai tokoh yang dikultuskan.
Celakanya para tokoh tersebut kebanyakan dikultuskan oleh berbagai lembaga yang
tidak memiliki kompetensi sama sekali dalam bidang agama, seperti media massa,
sehingga bermunculanlah para ulama selebriti yang berfatwa tanpa ilmu, sehingga
sesat dan menyesatkan.
3. Sok pintar. Sifat kejiwaan lain yang menonjol pada mayoritas
kaum muslimin saat ini adalah merasa sok pintar dalam hal agama. Jika dalam
bidang kedokteran misalnya, mereka sangat menghargai spesialisasi profesi,
sehingga yang memiliki otoritas untuk berbicara masalah penyakit adalah dokter,
demikian seterusnya kaidah ini berlaku untuk bidang-bidang lainnya, kecuali
bidang agama. Dalam bidang agama, dengan berbekal pengetahuan Islam yang ala
kadarnya setiap orang sudah merasa cukup dan merasa tidak perlu belajar lagi
untuk berani berbicara, berpendirian, bahkan berfatwa. Seolah-olah agama tidak
memiliki kaidah-kaidah dan hukum-hukum yang perlu dipelajari dan dikuasai
sehingga seorang layak berbicara dengan mengatasnamakan Islam.
4. Meremehkan yang lain. Sifat lain yang muncul sebagai
kelanjutan dari rasa sok pintar diatas adalah meremehkan pendapat orang lain.
Dengan ringannya seorang yang baru belajar agama di sebuah universitas di Barat
berani menyatakan bahwa jilbab adalah sekedar simbol saja bukan suatu kewajiban
syar’i, yang dengan “fatwa-prematurnya” ini ia telah berani menafsirkan tanpa
kaidah atas ayat al-Qur’an, menta’wil secara bathil hadits-hadits shahih serta
membuang sirah nabawiyyah (perjalanan kehidupan Nabi SAW dan para sahabatnya)
dan ijma’ (kesepakatan) fatwa para ulama sedunia, baik salaf (terdahulu) maupun
khalaf (kontemporer).
• Adapun secara aktifitas (amaliyyah) beberapa penyakit yang
menimpa mayoritas ummat Islam saat ini diantaranya adalah :
1. Sembrono. Dalam aspek aktifitas, maka mayoritas ummat
melakukan kegiatan dakwah secara sembrono, tanpa perencanaan dan perhitungan
yang matang sebagaimana yang mereka lakukan jika mereka mengelola suatu usaha.
Akibat aktifitas yang asal jadi ini, maka dampak dari dakwah tersebut kurang
atau tidak terasa bagi ummat. Kegiatan tabligh, ceramah, perayaan hari-hari
besar agama yang dilakukan hanya sekedar menyampaikan, tanpa ada follow up dan
reevaluasi terhadap hasilnya. Khutbah jum’at hanya sekedar melaksanakan
rutinitas tanpa dilakukan pembuatan silabi yang berbobot sehingga jama’ah
sebagian besar datang untuk tidur daripada mendengarkan isi khutbah. Kegiatan
membaca al-Qur’an hanya terbatas kepada menikmati keindahan suara pembacanya,
tanpa diiringi dengan keinginan untuk menikmati dan merenungkan isinya, sehingga
disamakan dengan menikmati lagu-lagu dan nyanyian belaka.
2. Parsial. Dalam melaksanakan Islam, mayoritas ummat tidak
berusaha untuk mengamalkan keseluruhan kandungan al-Qur’an dan as-Sunnah,
melainkan lebih memilih kepada bagian-bagian yang sesuai dengan keinginannya dan
menghindari hal-hal yang tidak sesuai dengan hawa nafsunya (QS 2/85). Sehingga
seorang sudah dipandang sebagai muslim sejati, hanya dengan indikator melakukan
shalat atau puasa saja. Padahal shalat hanya bagian yang sangat kecil saja yang
menjadi kewajiban seorang muslim, disamping aturan-aturan lain yang juga wajib
dilaksanakan oleh seorang muslim dalam berekonomi, politik, pergaulan, pola
pikir, cita-cita, bekerja, dsb. Yang kesemuanya tanpa kecuali akan diminta
pertanggungjawaban kita di akhirat kelak (QS 2/208).
3. Tradisional. Islam yang dilaksanakan masih bersifat
tradisional, baik dari sisi sarana maupun muatannya. Dari sisi sarana, kaum
muslimin belum mampu menggunakan media-media modern secara efektif untuk
kepentingan dakwah, seperti ceramah dengan simulasi komputer, VCD film-film yang
islami, iklan-iklan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, kebanyakan masih
mengandalkan kepada cara tradisional seperti ceramah di mesjid, musholla dan di
lapangan. Sementara dari sisi muatannya, maka isi ceramah yang disampaikan
kebanyakan masih bersifat fiqih oriented; masalah-masalah aqidah, ekonomi yang
islami, sistem politik yang islami, apalagi masalah-masalah dunia Islam
kontemporer sama sekali belum banyak disentuh.
4. Tambal-sulam. Dalam menyelesaikan berbagai persoalan ummat,
pendekatan yang dilakukan bersifat tambal sulam dan sama sekali tidak menyentuh
esensi permasalahan yang sebenarnya. Sebagai contoh, mewabahnya AIDS cara
mengatasinya sama sekali bertentangan dengan Islam, yaitu dengan membagi-bagi
kondom. Seolah-olah lupa atau sengaja melupakan bahwa pangkal sebab dari AIDS
adalah melakukan hubungan seks tidak dengan pasangan yang sah. Dan cara
menanggulanginya adalah dengan memperbaiki muatan pendidikan agama yang
diajarkan dari sejak sekolah menengah sampai perguruan tinggi. Demikian pula
masalah2 lainnya seperti tawuran pelajar, meningkatnya angka kriminalitas,
penyalahgunaan Narkoba, menjamurnya KKN ; kesemuanya berpangkal pada satu sebab
yaitu lemahnya pemahaman dan kepedulian pemerintah dalam mengajarkan dan
menerapkan aturan-aturan Islam.
Post a Comment