POLIGAMI
POLIGAMI
Orang-orang Kristen dan
Orientalis menjadikan tema poligami ini seakan merupakan syi'ar dari
syi'ar-syi'ar Islam, atau salah satu perkara yang wajib, atau minimal sunnah
untuk dilaksanakan. Yang demikian ini tidak benar alias penyesatan, karena dalam
praktek pada umumnya seorang Muslim itu menikah dengan satu isteri yang menjadi
penentram dan penghibur hatinya, pendidik dalam rumah tangganya dan tempat
untuk menumpahkan isi hatinya. Dengan demikian terciptalah suasana tenang,
mawaddah dan rahmah, yang merupakan sendi-sendi kehidupan suami isteri menurut
pandangan Al Qur'an.
Oleh karena itu ulama
mengatakan, "Dimakruhkan bagi orang yang mempunyai satu isteri yang mampu
memelihara dan mencukupi kebutuhannya, lalu dia menikah lagi. Karena
hal itu membuka peluang bagi dirinya untuk melakukan sesuatu yang haram. Allah
berfirman:
"Dan kamu sekali-kali ridak akan dapat berlaku adil di antara
isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu
biarkan yang lain terkatung-katung.." (An-Nisa':
129)
Rasulullah SAW bersabda:
"Barangsiapa yang mempunnyai dua isteri, kemudian lebih mencintai
kepada salah satu di antara keduanya maka ia datang pada hari kiamat sedangkan
tubuhnya miring sebelah. " (HR. Al Khamsah)
Adapun orang yang lemah (tidak mampu) untuk mencari nafkah kepada isterinya
yang kedua atau khawatir dirinya tidak bisa berlaku adil di antara kedua
isterinya, maka haram baginya untuk menikah lagi, Allah SWT berfirman,
"Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja..." (An-Nisa': 3)
Apabila yang utama di dalam masalah pernikahan adalah cukup dengan satu
isteri karena menjaga ketergelinciran, dan karena takut dari kepayahan di dunia
dan siksaan di akhirat, maka sesungguhnya di sana ada pertimbangan-pertimbangan
yang manusiawi, baik secara individu ataupun dalam skala masyarakat sebagaimana
yang kami jelaskan. Islam memperbolehkan bagi seorang Muslim untuk menikah
lebih dari satu (berpoligami), karena Islam adalah agama yang sesuai dengan
fithrah yang bersih, dan memberikan penyelesaian yang realistis dan baik tanpa
harus lari dari permasalahan.
Poligami pada Ummat Masa Lalu dan Pada Zaman Islam
Sebagian orang berbicara tentang poligami, seakan-akan Islam merupakan yang
pertama kali mensyari'atkan itu. Ini adalah suatu kebodohan dari mereka atau
pura-pura tidak tahu tentang sejarah. Sesungguhnya banyak dari ummat dan
agama-agama sebelum Islam yang memperbolehkan menikah dengan lebih dari satu
wanita, bahkan mencapai berpulah-puluh orang atau lebih, tak ada persyaratan
dan tanpa ikatan apa pun.
Di dalam Injil Perjanjian Lama diceritakan bahwa Nabi Dawud mempunyai
isteri tiga ratus orang, dan Nabi Sulaiman mempunyai tujuh ratus orang isteri.
Ketika Islam datang, maka dia meletakkan beberapa persyaratan untuk
bolehnya berpoligami, antara lain dari segi jumlah adalah maksimal empat. Sehingga
ketika Ghailan bin Salamah masuk Islam sedang ia memiliki sepuluh isteri, maka
Nabi SAW bersabda kepadanya, "Pilihlah dari sepuluh itu empat dan
ceraikanlah sisanya." Demikian juga berlaku pada orang yang masuk Islam
yang isterinya delapan atau lima, maka Nabi SAW juga memerintahkan kepadanya
untuk menahan empat saja.
Adapun pernikahan Rasulullah SAW dengan sembilan wanita ini merupakan
kekhususan yang Allah berikan kepadanya, karena kebutuhan dakwah ketika
hidupnya dan kebutuhan ummat terhadap mereka setelah beliau wafat, dan sebagian
besar dari usia hidupnya bersama satu isteri.
Adil Merupakan Syarat Poligami
Adapun syarat yang diletakkan oleh Islam untuk bolehnya berpoligami adalah
kepercayaan seorang Muslim pada dirinya untuk bisa berlaku adil di antara para
isterinya, dalam masalah makan, minum, berpakaian, tempat tinggal, menginap dan
nafkah. Maka barangsiapa yang tidak yakin terhadap dirinya atau kemampuannya
untuk memenuhi hak-hak tersebut dengan adil, maka diharamkan baginya untuk
menikah lebih dari satu. Allah berfirman:
"Jika kamu takut berlaku tidak adil maka cukuplah satu isteri" (An-Nisa':3)
Kecenderungan yang diperingatkan di dalam hadits ini adalah penyimpangan
terhadap hak-hak isteri, bukan adil dalam arti kecenderungan hati, karena hal
itu termasuk keadilan yang tidak mungkin dimiliki manusia dan dimaafkan oleh
Allah.
Allah SWT berfirman:
"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara
isteri-isten(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu
biarkan yang lain terkatung-katung." (An-Nisa':
129)
Oleh karena itu, Rasulullah SAW menggilir isterinya dengan adil, beliau
selalu berdoa, "Ya Allah inilah penggiliranku (pembagianku) sesuai dengan
kemampuanku, maka janganlah Engkau mencelaku terhadap apa-apa yang Engkau
miliki dan yang tidak saya miliki." Maksud dari doa ini adalah kemampuan
untuk bersikap adil di dalam kecenderungan hati kepada salah seorang isteri
Nabi.
Rasulullah SAW apabila hendak bepergian membuat undian untuk isterinya,
mana yang bagiannya keluar itulah yang pergi bersama beliau. Beliau melakukan
itu untuk menghindari keresahan hati isteri-isterinya dan untuk memperoleh
kepuasan mereka.
Hikmah Diperbolehkannya Poligami
Sesungguhnya Islam adalah risalah terakhir yang datang dengan syari'at yang
bersifat umum dan abadi. Yang berlaku sepanjang masa, untuk seluruh manusia.
Sesungguhnya Islam tidak membuat aturan untuk orang yang tinggal di kota
sementara melupakan orang yang tinggal di desa, tidak pula untuk masyarakat
yang tinggal di iklim yang dingin, sementara melupakan masyarakat yang tinggal
di iklim yang panas. Islam tidak pula membuat aturan untuk masa tertentu,
sementara mengabaikan masa-masa dan generasi yang lainnya. Sesungguhnya ia
memperhatikan kepentingan individu dan masyarakat.
Ada manusia yang kuat keinginannya untuk mempunyai keturunan, akan tetapi
ia dikaruniai rezki isteri yang tidak beranak (mandul) karena sakit atau sebab
lainnya. Apakah tidak lebih mulia bagi seorang isteri dan lebih utama bagi
suami untuk menikah lagi dengan orang yang disenangi untuk memperoleh keinginan
tersebut dengan tetap memelihara isteri yang pertama dan memenuhi hak-haknya.
Ada juga di antara kaum lelaki yang kuat keinginannya dan kuat syahwatnya,
akan tetapi ia dikaruniai isteri yang dingin keinginannya terhadap laki-laki
karena sakit atau masa haidnya terlalu lama dan sebab-sebab lainnya. Sementara
lelaki itu tidak tahan dalam waktu lama tanpa wanita. Apakah tidak sebaiknya
diperbolehkan untuk menikah dengan wanita yang halal daripada harus berkencan
dengan sahabatnya atau daripada harus mencerai yang pertama.
Selain itu jumlah wanita terbukti lebih banyak daripada jumlah pria,
terutama setelah terjadi peperangan yang memakan banyak korban dari kaum
laki-laki dan para pemuda. Maka di sinilah letak kemaslahatan sosial dan
kemaslahatan bagi kaum wanita itu sendiri. Yaitu untuk menjadi bersaudara dalam
naungan sebuah rumah tangga, daripada usianya habis tanpa merasakan hidup
berumah tangga, merasakan ketentraman, cinta kasih dan pemeliharaan, serta
nikmatnya menjadi seorang ibu. Karena panggilan fithrah di tengah-tengah
kehidupan berumah tangga selalu mengajak ke arah itu.
Sesungguhnya ini adalah salah satu dari tiga pilihan yang terpampang di
hadapan para wanita yang jumlahnya lebih besar daripada jumlah kaum laki-laki. Tiga
pilihan itu adalah:
1. Menghabiskan usianya dalam kepahitan karena tidak pernah merasakan
kehidupan berkeluarga dan menjadi ibu.
2. Menjadi bebas (melacur, untuk menjadi umpan dan permainan kaum laki-laki
yang rusak. Muncullah pergaulan bebas yang mengakibatkan banyaknya anak-anak
haram, anak-anak temuan yang kehilangan hak-hak secara materi dan moral,
sehingga menjadi beban sosial bagi masyarakat.
3. Dinikahi secara baik-baik oleh lelaki yang mampu untuk memberikan nafkah
dan mampu memelihara dirinya, sebagai istri kedua, ketiga atau keempat.
Tidak diragukan bahwa cara yang ketiga inilah yang adil dan paling baik
serta merupakan obat yang mujarab. Inilah hukum Islam. Allah berfirman:
"Dan hukum siapakah yang lehih baik daripada (hukum) Allah bagi
orang-orang yang yakin." (Al Maidah: 50)
Poligami Merupakan Sistem yang Bermoral dan Manusiawi
Sesungguhnya sistem poligami yang diatur dalam Islam adalah sistem yang
bermoral dan manusiawi. Manusiawi, karena Islam tidak memperbolehkan bagi
laki-laki untuk berhubungan dengan wanita yang ia sukai di luar pernikahan. Dan
sesungguhnya tidak boleh baginya untuk berhubungan dengan lebih dari tiga
wanita selain isterinya. Tidak boleh baginya berhubungan dengan satu dari tiga
tersebut secara rahasia, tetapi harus melalui aqad dan mengumumkannya, meskipun
dalam jumlah yang terbatas. Bahkan harus diketahui juga oleh para wali
perempuan tentang hubungan yang syar'i ini, dan mereka menyetujui atau mereka
tidak menentangnya. Harus juga dicatat menurut catatan resmi di kantor yang
tersedia untuk aqad nikah, kemudian disunnahkan mengadakan walimah bagi
laki-laki dengan mengundang kawan-kawannya serta dibunyikan rebana atau musik
sebagai ungkapan gembira.
Poligami merupakan sistem yang manusiawi, karena ia dapat meringankan beban
masyarakat yaitu dengan melindungi wanita yang tidak bersuami dan
menempatkannya ke shaf para isteri yang terpelihara dan terjaga.
Selain itu poligami dapat menghasilkan mahar, perkakas rumah dan nafkah. Keberadaannya
juga dapat memberi manfaat sosial yaitu terbinanya bidang kemasyarakatan yang
memberi produktivitas bagi ummat keturunan yang bekerja.
Anak-anak yang dilahirkan dari hasil poligami yang kemudian hidup di
masyarakat sebagai hasil jalinan cinta yang mulia sangat dibanggakan oleh
seorang ayah. Demikian juga oleh ummatnya di masa yang akan datang.
Sesungguhnya sistem poligami sebagaimana yang dikatakan oleh Doktor
Musthafa As-Siba'i -rahimahullah-- memberi kesempatan kepada manusia untuk
menyalurkan syahwatnya dengan sah dalam batas tertentu, tetapi beban, kepayahan
dan tanggung jawabnya tidak terbatas.
Maka yang demikian itu, sekali lagi, merupakan sistem yang bermoral yang
memelihara akhlaq, dan sistem yang manusiawi yang memuliakan manusia.
Poligami Orang-orang Barat Tidak Bermoral dan Tidak Manusiawi
Bagaimana dengan konsep
poligami yang ada pada realitas kehidupan orang-orang Barat, yang ditentang
oleh salah satu penulis dari kalangan mereka? Ada seseorang yang ketika berada di ambang kematian, dia mengungkapkan pengakuannya
kepada dukun. Penulis itu menentang mereka jika ada salah satu di antara mereka
yang tidak mau menyatakan pengakuannya bahwa ia pernah menjalin hubungan dengan
seorang wanita walaupun hanya sekali dalam hidupnya.
Sesungguhnya poligami
di kalangan orang-orang Barat seperti yang digambarkan di atas merupakan
perilaku hidup yang tidak diatur oleh undang-undang. Mereka tidak
menamakan wanita yang dikumpulinya sebagai isteri, tetapi mereka menamakannya
sahabat atau pacar (teman kencan). Mereka tidak membatasi hanya empat orang,
tetapi sampai batas yang tak terhitung. Mereka tidak berterus-terang kepada
keluarganya, tetapi melakukan semuanya secara sembunyi-sembunyi. Mereka tidak
mau bertanggung jawab atas biaya untuk para wanita yang pernah dijalininya,
bahkan seringkali mengotori kehormatannya, kemudian ia tinggalkan dalam
kehinaan dan memikul beban sakitnya mengandung dan melahirkan yang tidak halal.
Sesungguhnya mereka tidak mengharuskan pelaku poligami untuk mengakui anak
yang diperoleh dari hubungannya dengan wanita, tetapi anak-anak itu dianggap anak
haram yang menanggung sendiri kehinaan selama hidup.
lnilah praktek poligami yang mereka namakan sah secara hukum. Dan mereka
tidak mau menamakan ini semua dengan istilah poligami. Praktek seperti ini jauh
dari perilaku moral atau kesadaran hati atau perasaan manusiawi.
Sesungguhnya itu merupakan poligami yang memperturutkan syahwat dan egoisme
dan membuat orang lari dari segala tanggung jawab. Maka dari dua sistem
tersebut, sistem manakah yang paling bermoral, lebih bisa mengendalikan
syahwat, lebih menghargai wanita dan yang lebih membuktikan kemajuan serta
lebih baik untuk manusia?
Kesalahan dalam Pelaksanaan Poligami
Kita tidak mengingkari adanya banyak dan kaum Muslimin sendiri yang salah
dalam melaksanakan keringanan hukum untuk berpoligami sebagaimana yang telah
disyari'atkan oleh Allah. Kita juga melihat mereka salah dalam mempergunakan
rukhsah (keringanan) tentang bolehnya cerai (talak). Dengan demikian yang salah
bukan hukum Islamnya, tetapi kesalahan ada pada manusia dalam penerapannya,
disebabkan kekurangfahaman mereka terhadap ajaran agama atau karena keburukan
akhlaq mereka.
Kita lihat ada sebagian mereka yang berpoligami, tetapi ia tidak punya
cukup kemauan untuk bersikap adil sebagaimana disyari'atkan dan disyaratkan
oleh Allah dalam masalah poligami, sebagian mereka ada juga yang berpoligami,
tetapi tidak mempunyai kemampuan yang cukup untuk memberi nafkah kepada
isteri-isteri dan anak-anaknya sebagai wujud dari rasa tanggungjawab. Dan
sebagian lagi mereka ada yang mampu untuk memberikan nafkah, tetapi dia tidak
mampu untuk menjaga diri.
Kesalahan dalam menggunakan kebenaran ini seringkali menimbulkan
akibat-akibat yang membahayakan keberadaan rumah tangga. Sebagai akibat dari
perhatian yang lebih terhadap isteri baru dan menzhalimi isteri yang lama. Kecintaan
yang berlebihan itulah yang menyebabkan ia membiarkan isteri tuanya
terkatung-katung, seakan tidak lagi sebagai isteri dan tidak pula dicerai. Seringkali
sikap seperti itu juga mengakibatkan anak-anak saling membenci, padahal mereka
anak dari satu bapak.
Hal ini karena bapaknya tidak mampu berlaku adil di hadapan anak-anaknya,
dan tidak bisa sama dalam memberi materi dan sikap.
Meskipun penyimpangan ini ada, tetapi tidak sampai pada kerusakan
sebagaimana yang dialami oleh orang-orang barat, yaitu dengan melakukan
pelecehan moral, sehingga poligami bukanlah menjadi problem di dalam masyarakat
Islam pada umumnya, karena pernikahan dengan satu isteri sekarang ini pun
menimbulkan banyak problem.
Seruan untuk Menolak Poligami
Patut disayangkan bahwa sebagian Du'at Taghrib (Westernisasi) di
negara-negara Arab dan Islam memanfaatkan data dari sebagian kaum Muslimin yang
melakukan penyimpangan, sehingga mereka mengangkat suara mereka (vokal) untuk
menutup pintu diperbolehkannya berpoligami secara mutlak. Mereka bekerja pagi
dan petang dan terus menerus mempropagandakan tentang keburukan poligami. Di
saat yang sama mereka diam seperti diamnya orang yang berada di kuburan -diam
seribu bahasa-- terhadap keburukan zina yang mereka perbolehkan dan diperbolehkan
oleh hukum internasional Barat yang berlaku juga secara defacto di
negara-negara Islam saat ini.
Beberapa mass media telah berperan aktif, khususnya film-film dan sinetron
berseri untuk menanamkan kebencian terhadap poligami, terutama di kalangan kaum
wanita, sehingga sebagian wanita lebih rela jika suaminya jatuh dalam perbuatan
dosa besar yaitu zina, daripada harus menikah lagi.
Satu Argumen dari Kaum Anti Poligami
Mereka benar-benar telah berhasil -dalam misinya- di sebagian negara-negara
Arab dan Islam, berupa banyaknya pembuatan undang-undang yang mengharamkan apa
yang dihalalkan oleh Allah, yaitu poligami. Mereka mengikuti undang-undang
Barat dan masih ada dari mereka yang terus berupaya untuk menyebarkannya di
negara-negara lainnya. celakanya lagi, dalam masalah ini mereka berusaha
mengatasnamakan syari'at dan berdalil dengan dalil-dalil Al Qur'an yang
diputarbalikkan
Mereka beralasan bahwa di antara hak seorang walliyul amri (pemerintah)
adalah melarang sebagian hal-hal yang diperbolehkan demi untuk memperoleh
kemaslahatan atau menghindarkan kerusakan. Bahkan sebagian mereka ada yang
terlalu berani untuk berdalil dengan Al Qur'an atas pendapatnya. Mereka
mengatakan, "Sesungguhnya Al Qur'an mensyaratkan bagi orang yang ingin
menikah lebih dari satu untuk memastikan bahwa dirinya akan mampu bersikap adil
di antara para isterinya. Sehingga bagi siapa saja yang takut tidak bisa adil
maka cukup dengan satu isteri, sesuai dengan firman Allah SWT:
"Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja..." (An-Nisa': 3)
lnilah syarat yang dijelaskan oleh Al Qur'an dalam masalah poligami, yakni
adil. Tetapi Al Qur'an, menurut anggapan mereka, juga menjelaskan dalam surat
yang sama bahwa adil yang disyaratkan di sini tidak mungkin bisa dipenuhi dan
tidak mungkin bisa dilakukan. Itulah firman Allah SWT:
"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara
isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu
biarkan yang lain terkatung-katung ..."(An-Nisa':
129)
Dengan demikian (kesimpulan mereka) bahwa ayat ini menafikan apa yang sudah
ditetapkan oleh ayat tersebut di atas.
Yang benar bahwa sesungguhnya kesimpulan di atas semuanya tidak benar, dan
tidak berdasarkan kritik ilmiyah yang benar, dan akan kami jelaskan satu demi
satu.
Syari'at Tidak Membolehkan Apa Saja yang Mengandung Mafsadah Rajih (Keburukan yang Nyata)
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa poligami itu menimbulkan kerusakan-kerusakan
den bahaya-bahaya dalam rumah tangga dan masyarakat, ini merupakan suatu
perkataan yang memuat kesalahan yang nyata.
Kita katakan kepada mereka bahwa syari'at Islam itu tidak mungkin
menghalalkan atas manusia sesuatu yang membahayakan mereka, sebagaimana tidak
mengharamkan kepada mereka sesuatu yang berguna bagi mereka Bahkan suatu
ketetapan yang ada pada nash dan penelitian bahwa syari'at Islam itu tidak
menghalalkan kecuali yang baik dan bermanfaat, dan tidak mengharamkan kecuali
yang kotor dan berbahaya. Inilah yang digambarkan oleh Al Qur'an dengan
kata-kata yang mantap dan singkat dalam menyebutkan sifat Rasulullah SAW Allah
berfirman:
." . . Yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang
mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi yang mereka segala
yang baik dan menghararnkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari
mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka..." (Al A'raf:157)
Segala sesuatu yang diperbolehkan oleh syari'at Islam pasti bernilai
manfaat yang murni dan segala sesuatu yang diharamkan oleh syari'at Islam pasti
bernilai madharat murni atau yang lebih kuat, ini jelas sebagaimana disebutkan
oleh Al Qur'an tentang khamr dan perjudian:
"Mereka bertanya
kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, "Pada keduanya itu terdapat
dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia tetapi dosa keduanya lebih besar
dari manfantnya. . ." (Al Baqarah: 219)
Inilah yang dipelihara
oleh syari'at dalam masalah poligami, sungguh Islam telah menimbang antara
faktor kemaslahatan dan mufsadah, antara manfaat dan bahaya, sehingga akhirnya
memperbolehkan untuk berpoligami bagi orang yang membutuhkan dan memberikan
syarat kepadanya bahwa ia mampu untuk memelihara keadilan, dan takut untuk
berbuat penyelewengan dan kecenderungan yang tidak sehat. Allah SWT berfirman,
"Jika kamu takut
tidak bisa berbuat adil maka (nikahilah) satu isteri." (An-Nisa': 3)
Apabila kemaslahatan
isteri yang pertama itu tetap dalam kesendiriannya dalam mahligai rumah tangga,
tanpa ada yang menyainginya, dan dia melihat akan mendatangkan malapetaka jika
tidak ada isteri yang kedua, maka merupakan kemaslahatan bagi suami untuk
menikah lagi yang dapat memelihara dirinya dari perbuatan haram atau akan
melahirkan seorang anak yang diharapkan dan karena sebab yang lainnya. Termasuk
juga kemaslaharan isteri kedua adalah bahwa ia mempunyai seorang suami di mana
ia dapat hidup di bawah naungannya dan hidup dalam tanggungannya, daripada ia
hidup menyendiri sebatang kara atau menjanda.
Juga merupakan
kemaslahatan masyarakat jika masyarakat itu memelihara orang-orangnya, menutupi
aurat anak-anak gadisnya, di antaranya dengan pernikahan halal di mana
masing-masing lelaki dan wanita saling menanggung beban tanggungjawab terhadap
dirinya, isterinya dan anak-anaknya. Daripada harus menganut free sex gaya
Barat yang anti poligami model Islam, sementara mereka memperbolehkan banyak
teman kencan yang merupakan poligami amoral dan tidak manusiawi karena
masing-masing dari kedua belah pihak menikmati hubungan tanpa ada beban, dan
seandainya hadir seorang anak dari hubungan kotor ini maka itu merupakan
tumbuhan syetan, tanpa ada bapak yang merawatnya dan tanpa keluarga yang
menyayanginya serta tanpa nasab yang ia banggakan. Maka manakah bahaya besar
yang harus dijauhi?
Selain itu isteri
pertama juga dilindungi hak-haknya oleh syari'at dalam masalah persamaan hak
antara dia dengan isteri yang lainnya di dalam persoalan nafkah, tempat
tinggal, pakaian dan menginap. Inilah keadilan yang disyaratkan di dalam poligami.
Benar bahwa
sesungguhnya sebagian suami kurang memperhatikan masalah keadilan yang telah
diwajibkan atas mereka, akan tetapi kesalahan orang perorang dalam pelaksanaan
bukan berarti pembatalan prinsip (hukum) dasarnya. Karena jika
prinsip ini tidak diterima karena hal tersebut, maka syari'at Islam akan
terhapus secara keseluruhan. Untuk itu dibuatlah standardisasi yang harus
dilakukan.
Wewenang Waliyul Amri untuk Melarang Hal-hal yang diperbolehkan
Adapun sesuatu yang dikatakan oleh mereka bahwa ada hak atau wewenang
pemerintah untuk mencegah hal-hal yang diperbolehkan, maka kita katakan,
"Sesungguhnya hak (wewenang) yang diberikan oleh syari'at kepada waliyyul
amri (pemerintah) adalah hak membatasi sebagian hal-hal yang mubah karena
kemaslahatan yang lebih mantap di dalam sebagian waktu dan keadaan atau berlaku
kepada sebagian orang. Dan bukan melarang secara mutlak dan selamanya, karena
larangan secara mutlak --dan selamanya--itu mirip dengan
"mengharamkan" yang merupakan hak dan wewenang mutlak Allah SWT. Inilah
yang diingkari oleh Al Qur'an dari orang-orang ahli kitab, yaitu:
.".. mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai
tuhan selain Allah." (At Taubah: 31)
Ada suatu hadits yang menafsirkan ayat tersebut, "Sesungguhnya mereka
(para rahib) itu telah menghalalkan dan mengharamkan sesuatu atas kaum Ahlul
Kitab, maka kaum itu mengikuti mereka (para rahib)." Sesungguhnya
pembatasan terhadap yang mubah (hukum yang diperbolehkan), seperti melarang
menyembelih hewan pada hari-hari rertentu, karena untuk memperkecil pemakaian,
sebagaimana pernah terjadi di masa Umar RA Seperti juga melarang menanam
tanaman tertentu yang telah over produksi seperti kapas di Mesir, sehingga
tidak boleh secara leluasa menanamnya melebihi biji-bijian (palawija) sebagai
makanan pokok.
Seperti juga melarang para jendral atau para diplomat untuk menikah dengan
wanita asing, karena takut terbongkarnya rahasia negara melalui wanita tersebut
ke pihak lawan (negara lain).
Seperti juga melarang menikah dengan wanita-wanita Ahlul Kitab apabila
dikhawatirkan akan membahayakan bagi para gadis Muslimah. Demikian itu di masyarakat minoritas
Islam yang relatif kecil dan terbatas penduduknya.
Adapun kita, kita
mendatangkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah SWT dan yang telah diizinkan
secara nyata, baik oleh Al Qur'an maupun Sunnah Nabi-Nya dan dikuatkan oleh
kesepakatan ummat, seperti talak dan poligami. Maka melarangnya secara mutlak
dan selamanya, hal itu tidak termasuk pembatasan hal yang mubah seperti
contoh-contoh yang kita kemukakan di atas.
Makna "Kamu tidak Akan Mampu Berbuat Adil diantara Isterimu"
Adapun berdalil dengan Al Qur'an Al Karim seperti ayat tersebut, itu
merupakan pengambilan dalil yang tidak tepat dan ditolak serta tahrif (terjadi
penyimpangan) terhadap ayat dari makna yang sebenarnya. Ini termasuk penuduhan
buruk terhadap Nabi SAW dan para sahabatnya RA, bahwa mereka tidak memahami Al
Qur'an atau mereka memahaminya tetapi mereka menentangnya secara sengaja.
Ayat yang dijadikan sebagai dalil inilah yang akhirnya membantah mereka
sendiri, kalau saja mereka mau merenungkan. Karena Allah SWT telah mengizinkan
untuk berpoligami dengan syarat harus yakin dapat berbuat adil. Kemudian Allah
menjelaskan keadilan yang dituntut dalam surat yang sama, sebagaimana firman-Nya:
"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara
isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu
biarkan yang lain terkatung-katung ..." (An-Nisa':
129)
Ayat ini menjelaskan bahwa sesungguhnya adil yang mutlak dan sempurna
terhadap para isteri itu tidak bisa dilakukan oleh manusia, sesuai dengan
tabiat (watak) mereka. Karena adil yang sempurna itu menuntut sikap yang sama
dalam segala sesuatu, sampai masalah kecenderungan hati dan keinginan seks. Ini
sesuatu yang tidak mungkin ada pada manusia. Ia pasti mencintai salah satunya
lebih dari yang lainnya dan cenderung kepada yang satu lebih dari yang lainnya.
Karena hati itu berada dalam tangan Allah, dan Allah senantiasa merubah-rubah
sesuai dengan kehendak-Nya.
Oleh karena itu Nabi SAW berdoa setelah menggilir isteri-isterinya dalam
masalah urusan zhahir seperti nafkah, pakaian dan menginap (bermalam) dengan
doa beliau, "Ya Allah inilah pembagianku sesuai dengan apa yang aku
miliki, maka janganlah Engkau murka kepadaku terhadap apa yang Engkau miliki
dan aku tidak memilikinya .. . (yaitu hati)."
Oleh karena itu Al Qur'an mengatakan setelah firman Allah tersebut
("Dan kamu sekali-kali tidak akan mampu untuk berbuat adil di antara
isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian") dengan firman-Nya,
."..karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai),
sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung." Maksud dari ayat ini
adalah bahwa sebagian kelebihan dalam masalah cinta itu dimaafkan, itulah
kecenderungan perasaan.
Yang sangat diherankan adalah bahwa sebagian negara Arab Islam ikut
mengharamkan poligami, sementara mereka pada saat yang sama tidak mengharamkan
zina, padahal Allah SWT berfirman:
"Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." (Al Isra': 32)
Saya pernah mendengar dari Syaikh Imam Abdul Halim Mahmud
--rahimahullah--bahwa ada seorang Muslim di negara Arab Afrika yang menikah
secara rahasia dengan wanita kedua setelah isterinya yang pertama, dan ia
melaksanakan aqad secara syar'i yang memenuhi syarat. Akan tetapi ia tidak
disahkan oleh hukum yang berlaku di negaranya, bahkan dianggap sebagai
pelanggaran hukum, sehingga membuat ia kebingungan ke sana ke mari. Akhirnya
diketahui oleh polisi intelijen bahwa wanita itu istrinya, dan ia dijera pasal
karena dianggap telah melakukan pelanggaran hukum.
Pada suatu malam ia ditangkap di rumah wanita itu dan dibawa ke pengadilan
untuk diverbal karena dituduh menikah dengan isteri yang kedua.
Tetapi orang itu cerdik, maka ia katakan kepada para hakim, Siapa yang
mengatakan kepadamu bahwa itu isteri saya? Sebenarnya ia bukan isteriku, akan
tetapi pacarku yang aku jadikan kekasihku yang aku kunjungi
sewaktu-waktu."
Di sinilah para hakim terkejut dan mengatakan dengan sopan, "Kami
mohon maaf yang sebesar-besarnya karena kesalahfahaman kami yang terjadi, kami
mengira ia isterimu, dan kami tidak tahu kalau ia sebagai sahabat saja."
Akhirnya mereka melepaskan kembali orang itu, karena bersahabat dengan
wanita dalam keharaman dan menjadikannya sebagai kekasih itu termasuk kebebasan
pribadi yang dilindungi oleh undang-undang.
Post a Comment