RAHASIA PEMBERATAN DALAM MENGHUKUM KEMURTADAN
RAHASIA PEMBERATAN DALAM MENGHUKUM KEMURTADAN
Rahasia di balik kekerasan dalam menghadapi kemurtadan adalah bahwa
sesungguhnya masyarakat Islam itu pertama kali tegak di atas aqidah dan
keimanan. Aqidah merupakan asas identitasnya, pusat kehidupannya dan ruh
keberadaannya. Oleh karena itu tidak diperbolehkan bagi siapa pun untuk merusak
asas tersebut atau mengusik identitas ini. Dari sinilah maka kemurtadan yang
terangterangan merupakan kejahatan yang terbesar dalam pandangan Islam. Karena
hal itu bisa mengancam kepribadian masyarakat dan eksistensi kekuatannya. Mengancam
terhadap kebutuhan utama dalam lima kebutuhan, yaitu (agama, jiwa, keturunan,
akal, dan harta) di mana agama adalah yang paling primer karena seorang mukmin
itu berkorban dengan jiwa' tanah air dan hartanya demi agama yang dipeluknya.
Islam tidak memaksa seseorang untuk masuk ke dalamnya dan tidak juga
memaksa seseorang untuk keluar dari agamanya, karena keimanan yang sah adalah
keimanan (keyakinan) yang muncul dari pemilihan dan kesadaran. Allah SWT
berfirman dalam ayat Makkiyah, "Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia
supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?" (Yunus: 99). Dan di dalam ayat Madaniyah Allah
juga berfirman:
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat." (Al Baqarah: 256)
Tetapi Islam tidak menerima jika agama dijadikan sebagai bahan permainan. Hari
ini ia masuk' tetapi esok hari ia keluar. Seperti yang dilakukan oleh sebagian
orang-orang Yahudi yang mengatakan:
"Perlihatkan (seolah-olah) kamu beriman kepada apa yang diturunkan
kepada orang-orang beriman (sahabat-sahabat Muhammad) pada permulaan siang dan
ingkarilah ia pada akhirnya, supaya mereka (orang-orang mukmin) kembali (kepada
kekafiran)." (Ali 'Imran: 72)
Islam tidak memberikan hukuman mati kepada orang murtad yang tidak
terang-terangan dalam kemurtadannya dan tidak mengajak kepada orang lain untuk
murtad. Menyerahkan sepenuhnya kepada Allah yang akan menetapkan hukumannya di
akhirat apabila nantinya ia mati dalam keadaan kufur' sebagaimana firman Allah
SWT:
"Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamannya, lalu dia mati
dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalantya di dunia dan
akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya." (Al Baqarah: 217)
Kadang-kadang Islam memberikan hukuman kepadanya sebagai ta'zir
(pengajaran) yang sesuai.
Akan tetapi Islam menghukum orang yang murtad secara terang terangan dan
mempengaruhi orang lain untuk murtad. Hal itu demi memelihara identitas
kepribadian masyarakat, asas-asas dan persatuannya. Tidak satu pun masyarakat
di dunia ini kecuali ia memiliki prinsip-prinsip asasi yang tidak boleh seorang
pun mengusiknya. Maka tidak diterima aktivitas apa pun untuk merubah identitas
masyarakat atau mengalihkan loyalitas mereka kepada musuh-musuh, dan lain-lain.
Oleh karena itulah pengkhianatan terhadap tanah air, dan mendukung
musuh-musuhnya yaitu dengan menampakkan rasa cinta pada mereka dan membuka
rahasia (kaum Muslimin) di hadapan mereka merupakan dosa besar. Dan tidak
seorangpun mengatakan bolehnya memberikan hak kepada seorang warga negara untuk
merubah loyalitasnya terhadap tanah airnya kepada siapa saja dan kapan saja ia
menginginkan.
Kemurtadan bukanlah sekedar sikap pemikiran' tetapi ia juga merupakan
perubahan wala' (loyalitas), penggantian identitas dan perubahan komitmen,
orang yang murtad telah memindahkan wala'nya dan komitmennya dari ummat kepada
ummat yang lainnya dan dari tanah air ke tanah air lainnya, maksudnya dari
darul Islam ke tempat yang lainnya, ia telah melepaskan dirinya dari ummat
Islam yang semula menjadi anggota dalam tubuhnya, kemudian ia bergabung dengan
akal hati dan keinginannya kepada musuhnya, inilah yang dimaksud dalam sabda
Rasulullah SAW sebagai berikut, "Attaariku lidiinihi, al mufaariqu
lil-jamaa'ati" (orang yang meninggalkan agamanya dan yang memisahkan diri
dari berjamaah) sebagaimana tersebut dalam haditsnya Ibnu Mas'ud yang
muttafaq'alaih. Kata"Al Mufariqu lil jamaa'ati"ini sifat secara umum
yang nampak, bukan eksplisit, maka setiap orang yang murtad dari agamanya
berarti memisahkan diri dari jamaah.
Apapun dosanya kita tidak ingin membedah hatinya dan memugar rumahnya, kita
tidak mengatakan sesuatu kepadanya kecuali sesuai dengan apa yang ia katakan
secara terang-terangan melalui lesan, pena dan perbuatannya yaitu dari sesuatu
yang menjadikan ia kufur yang terang dan nyata, tidak perlu ada tatwil atau
kemungkinankemungkinan lainnya, maka keraguan apa pun dalam hal itu bisa memberikan
kemashlahatan orang yang dituduh murtad.
Sesungguhnya bermain-main dalam menghukum orang murtad yang terang-terangan
dan yang mengajak orang lain bisa membuka kesempatan bagi masyarakat seluruhnya
untuk menghadapi bahaya dan bisa membuka pintu fitnah yang tidak ada yang
mengetahui akibatnya kecuali Allah SWT. Maka tidak henti-hentinya orang yang
murtad itu mempengaruhi orang lain, terutama orang-orang lemah dan miskin, dan
dibuatlah jamaah tandingan untuk ummat sehingga memperbolehkan dirinya untuk meminta
bantuan kepada musuh, dengan demikian terjadilah konfrontasi dan perpecahan
pemikiran, sosial dan politik yang mungkin akan berkembang menjadi pertarungan
berdarah, bahkan perang saudara yang memakan yang hijau dan yang kering'
(banyak membawa kurban).
Inilah yang benar-benar terjadi di Afghanistan, di mana muncul sekelompok
terbatas yang keluar dari agamanya mereka memeluk aqidah Komunis setelah mereka
belajar di Rusia, mereka dilatih dalam shaf hizb (partai) komunis yang suatu
saat mereka akan melompat menjadi penguasa, lalu merubah identitas masyarakat
secara keseluruhan, karena mereka memiliki kekuasaan dan wewenang. Putera-putera
Afghan tidak mau menyerah kepada mereka, sehingga terjadi perlawanan dan
semakin meluas (melebar) perlawanan itu yang berhasil menghimpun barisan jihad
yang tangguh melawan orang-orang komunis yang murtad, yaitu mereka yang tidak
peduli untuk meminta bantuan Rusia dalam melawan keluarga dan kaumnya sendiri,
Rusia yang menghancurkan tanah airnya dengan tank-tank, membombardir dengan
pesawat-pesawat tempur serta melumatkannya dengan bom dan roket. Perang saudara
yang berjalan selama empat belas tahun dan mengorbankan jutaan manusia, ada
yang terbunuh, cacat, terluka, yatim, menjadi janda dan kehilangan ibu. Kehancuran
yang menimpa seluruh negara. dan yang merusak tanaman dan ladang serta hewan.
Semua ini terjadi tidak lain kecuali akibat dari kelalaian dalam bersikap
terhadap orang-orangyang murtad dan menganggap ringan terhadap aktivitas mereka
serta mendiamkan kejahatan mereka pada awal mula. Kalau seandainya orang-orang
yang keluar dari agama dan yang berkhianat itu dihukum sebelum menjadi besar
niscaya rakyat dan tanah air akan terhindar dari peperangan yang kejam/keras
dan pengaruh-pengaruhnya yang menghancurkan negara dan manusia.
PERMASALAHAN PENTING YANG WAJIB DIPERHATIKAN
<< Kembali ke Daftar Isi
>>
Di sini ada sejumlah permasalahan yang ingin saya kemukakan, yaitu: Pertama: bahwa menghukumi seorang Muslim sebagai murtad dari agamanya' adalah sesuatu perkara yang sangat berbahaya yang akan berakibat hilangnya seluruh wala' dan keterikatan dia dengan keluarga dan masyarakat. Bahkan sampai harus dipisahkan antara dia dengan isteri dan anaknya' karena tidak halal bagi seorang Muslimah berada di bawah kekuasaan orang kafir. Demikian juga terhadap anak-anaknya, ia tidak bisa dipercaya lagi untuk mendidik anak-anak, apalagi/terutama dari segi sanksi materi yang telah disepakati oleh,fuqaha' secara keseluruhan.
Oleh karena itu wajib bagi kita untuk berhati-hati dengan sepenuh hati-hati
ketika menghukumi kufurnya seorang Muslim yang keislamannya masih ada. Karena
ia benar-benar Muslim dengan keyakinannya, maka tidak bisa keyakinan itu
dihilangkan dengan keraguan.
Termasuk di antara permasalahan yang sangat berbahaya adalah mengkufurkan
orang yang tidak kafir, dan Sunnah telah memperingatkan hal itu dengan keras.
Saya telah menulis tentang masalah tersebut dalam suatu risalah (buku)
dengan tema "Zhahiratul Ghuluwwifit Takdir," dengan tujuan untuk
memberantas gelombang yang merusak yang menyebar dengan leluasa dalam hal
mengkufurkan orang, dan ini selalu ada yang memeluknya.
Kedua: Sesungguhnya orang-orang yang berhak memberikan fatwa tentang
kemurtadan seorang Muslim adalah mereka yang mendalam ilmunya dari orang-orang
yang ahli. Yaitu yang dapat membedakan antara yang qath 'i dan yang zhanni,
antara yang muhkam dan mutasyabih, antara yang menerima ta'wil dan yang tidak
menerima ta'wil. Maka mereka tidak mengkafirkan kecuali sesuatu yang tidak ada
alternatif lainnya seperti pengingkaran sesuatu yang pasti dari agama atau
penghinaan terhadap aqidah atau syari'ah, seperti juga mencaci Allah SWT,
Rasul, dan kitabNya secara terang-terangan dan lain-lain.
Contoh dari pada itu adalah apa yang difatwakan oleh para ulama tentang
Salman Rusydi, demikian juga Rasyad Khalifah yang mengingkari Sunnah, kemudian
mengingkari dua ayat dari akhir surat At-Taubah, kemudian mengakhiri
kekufurannya dengan pengakuannya sebagai Rasul Allah, dengan mengatakan bahwa
Muhammad SAW adalah penutup para Nabi, bukan penutup para Rasul. Fatwa ini
dikeluarkan oleh Majlis Mujtama' Fiqhi Rabithah 'Alam Islami.
Masalah ini tidak boleh diserahkan kepada orang-orang yang tergesa-gesa
atau kepada orang-orang yang berlebihan atau orang-orang yang sedikit ilmunya
karena mereka akan mengatakan atas nama Allah apa-apa yang mereka tidak
mengetahuinya.
Ketiga: Sesungguhnya yang berhak memberikan fatwa adalah waliyul amri
syar'i yang telah ditetapkan dan tidak menghukumi kecuali kepada hukum Allah
SWT dan tidak dikembalikan kecuali pada ayat-ayat muhkamat yang jelas dari
kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Keduanya (Kitab Allah dan Sunnah Rasul)
itulah yang menjadi rujukan apabila ada perselisihan antar manusia, Allah SWT
berfirman:
"Maka jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, mata kembalikanlah
ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rusul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian." (An-Nisaa':
59)
Pada dasarnya qadhi dalam Islam itu harus dari ahli ijtihad, dan apabila
tidak memenuhi syarat, maka ia minta tolong kepada ahli ijtihad, sehingga
kebenaran itu menjadi jelas. Tidak memutuskan perkara dengan kebodohan dan hawa
nafsu' karena jika demikian maka ia termasuk qadhi-qadhi neraka.
Keempat: Jumhur ulama mengatakan wajibnya menyuruh taubat kepada orang yang
murtad sebelum dilaksanakannya hukuman, bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan dalam kitabnya "Ash Sharimm Al Maslul 'Alaa Syaatimir
Rasul" Qan ini merupakan ijma' para sahabat dan sebagian fuqaha'--ada yang
membatasi tiga hari, ada yang kurang dan ada yang lebih dari tiga hari' dan
juga yang mengatakan disuruh bertaubat selamanya."
Sebagian ulama mengecualikan orang yang zindiq, karena ia menampakkan
sesuatu yang berlainan dengan batinnya, maka tidak ada taubat baginya. Demikian
juga orang yang mencaci/melecehkan Rasulullah SAW karena kemuliaan Rasulullah
SAW dan kehormatannya, maka tidak diterima taubatnya. Ibnu Taimiyah mengarang
kitabnya dalam masalah tersebut.
Yang dimaksud dengan hukum tersebut adalah memberikan kesempatan kepadanya
agar melihat kembali dirinya, dengan harapan agar syubhat itu bisa hilang dan
hujjah semakin kuat, jika ia ingin mencari kebenaran dengan ikhlas, meskipun ia
juga memiliki hawa nafsu atau berbuat sesuatu atas perhitungan orang lain,
Allah akan menolongnya.
Ada sementara kalangan orangyang mengatakan bahwa yang berhak menerima
taubat itu Allah, bukan manusia. Tetapi itu hukum di akhirat, adapun hukum di
dunia maka kita menerima taubat yang nampak dan kita menerima Islam yang
zhahir. Dan kita memang tidak ingin melubangi hati manusia, karena kita telah
diperintahkan untuk menghukumi dengan zhahirnya, sedangkan Allah yang mengurus
yang tidak nampak. Tersebut dalam hadits shahih bahwa barangsiapa yang
mengatakan "Laa ilaahaillallaah" maka ia terpelihara darah dan
hartanya. Adapun hisabnya ada pada Allah SWT sesuai dengan apa yang ia yakini.
Di sinilah kita katakan bahwa sesungguhnya menghukumi kepada seseorang
dengan murtad, kemudian menetapkan bahwa ia berhak dihukum serta menentukan
hukuman mati dan tidak ada lainnya dan melaksanakan hukum itu tanpa
kehati-hatian, maka yang demikian ini membawa bahaya besar terhadap darah,
harta dan kehormatan bagi manusia. Karena ini berarti memberikan kepada orang
biasa yang tidak ahli di bidang fatwa tidak pula memiliki hikmah ahlil qadha',
dan tidak memiliki tanggung jawab ahli tanfidz tiga kekuasaan di tangannya,
memberi fatwa (dengan menuduh), memvonis hukumannya dan melaksanakannya
sekaligus.
Post a Comment