Rumah Tangga yang Menyenangkan (Meminimalkan Potensi Konflik)
Rumah Tangga yang Menyenangkan
(Meminimalkan Potensi Konflik)
(Meminimalkan Potensi Konflik)
Banyak orang yang menyangka bahwa pernikahan itu indah. Padahal sebetulnya?
Indah ...sekali. Tak sedikit yang menyesal, kenapa tak dari dulu menikah.
Sahabat, itu adalah secuplik ungkapan yang lazim terdengar tentang
pernikahan. Namun jelas, tak segampang yang dibayangkan untuk membina sebuah
keluarga. Membangun sebuah keluarga sakinah adalah suatu proses. Keluarga
sakinah bukan berarti keluarga yang diam tanpa masalah. Namun lebih kepada
adanya keterampilan untuk manajemen konflik.
Ada tiga jenis manajemen konflik dalam rumah tangga, yaitu pencegahan
terjadinya konflik, menghadapai tatkala konflik terlanjur berlangsung, dan apa
yang harus dilakukan setelah konflik reda.
Pada kesempatan pertama, insya Allah kta akan mengurai tentang bagaimana
meminimalkan terjadinya konflik di dalam rumah tangga kia.
1. Siap dengan hal yang tidak kita duga
Pada dasarnya kita selalu siap untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Mudah
bagi kita bila yang terjadi cocok dengan harapan kita. Namun, bagaimanapun,
setiap orang itu berbeda-beda. Tidak semuanya harus sama
"gelombangnya" dengan kita. Maka yang harus kita lakukan adalah
mempersiapkan diri agar potensi konflik akibat perbedaan ini tidak merusak.
Dalam rumah tangga, bisa jadi pasangan kita teryata tidak seideal yang kita
impikan. Maka kita harus siap melihat ternyata dia tidak rapi, tidak secantik
yang dibayangkan atau tidak segesit yang kita harapkan., misalnya. Kita harus
berlapang dada sekali andai ternyata apa yang kita idamkan, tidak ada pada
dirinya. Juga sebaliknya, apabila yang luar biasa kita benci. Ternyata isteri
atau suami kita memiliki sikap tersebut.
2. Memperbanyak pesan Aku
Tindak lanjut dan kesiapan kita menghadapi perbedaan yang ada, adalah
memeperbanyak pesan aku. Sebab, umumnya makin orang lain menegetahui kita,
makin siap dia menghadapi kita. Misalnya sebagai isteri kita terbiasa
katakanlah mengorok ketika tidur. Maka agar suami dapat siap menghadapi hal
ini, kita bisa mengatakan "Mas, orang bilang, kalau tidur saya itu suka
ngorok,.... jadi Mas siap-siap saja. Sebab, sebetulnya, saya sendiri enggak
niat ngorok."
Lalu sebagai suami, misalnya kita menyatakan keinginan kita: "Saya
kalau jam tiga suka bangun. Tolonglah bangunkan saya. Saya suka menyesal kalau
tidak Tahajjud. Dan kalau sedang Tahajjud, saya tidak ingin ada suara yang
mengganggu."
Dengan demikian, diharapkan tidak terjadi riak-riak masalah akaibat satu
sama lain tidak memahami nilai-nilai yang dipakai oleh pasangan hidupnya. Sebab
sangat mungkin orang membuat kesalahan akibat dia tidak tahu tata nilai kita. Yang
dampaknya akan banyak muncul ketersinggungan-ketersinggungan. Maka di sinilah
perlunya kita belajar memberitahukan. Memberitahukan apa yag kita inginkan.
Inilah esensi dari pesan aku.
Dengan demikian ini akan membuat peluang konflik tidak membesar. Karena
kita telah mengkondisikan agar orang memahami kita. Sungguh tidak usah malu
menyatakan harapan ataupun keberatan-keberatan kita. Sebab justru dengan
keterbukaan seperti ini pasangan hidup kita dapat lebih mudah dalam menerima
diri kita. Termasuk dalam hal keberadaan orang lain.
Misalnya orang tua kita akan datang. Maka adalah suatu tindakan bijaksana
apabila kita mengatakan kepada suami tentang mereka. Sebagai contoh, orang tua
kita mempunyai sikap cukup cerewet, senang mengomentari ini itu. Maka katakan
saja: "Pak... saya tidak bermaksud meremehkan. Namun begitulah adanya. Orang
tua saya banyak bicara. Jangan terlalu difikirkan, itu memang sudah kebiasaan
mereka. Juga dalam hal makanan, yang ikhlas saja ya Pak...kalau nanti mereka
makannya pada lumayan banyak..."
Sungguh sahabat, makin kita jujur maka akan semakin menentramkan perasaan
masing-masing di antara kita.
Alkisah, ada sebuah keluarga. Sering sekali terjadi pertengkaran. Akhirnya,
suatu ketika si isteri bicara "Pak, maaf ya, keluarga kami memang
bertabiat keras. Sehingga bagi kami kemarahan itu menjadi hal yang amat
biasa."
Lalu suaminya membalas "Sedangkan Papa lahir dari keluarga pendiam,
dan jarang sekali ada pertempuran..."
Jelas itu akan membuat keadaan berangsur lebih baik dibanding terus menerus
bergelut dalam pertengkaran-pertengkaran yang semestinya tak terjadi.
Jadi kita pun harus berani untuk mengumpulkan input-input tentang pasangan
kita. Misalnya ternyata dia punya BB atau bau badan. Maka kita bisa menyarankan
untuk meminum jamu, sekaligus memberitahukan bahwa kadar ketahanan kita
terhadap bau-bauan rendah sekali. Sehingga ketika kita tiba-tiba memalingkan
muka dari dia, isteri kita itu tidak tersinggung. Karena tata nilainya sudah
disamakan.
Tentunya, dengan saling keterbukaan seperti itu masalah akan menjadi lebih
mudah dijernihkan dibanding masing-masing saling menutup diri.
Ketertutupan, pada akhirnya akan membuat potensi masalah menjadi besar. Kita
menjadi mengarang kesana kemari, membayangkan hal yang tidak tidak berkenaan
dengan pasanagan hidup kita. Dongkol, marah, benci dan seterusnya. Padahal
kalau saja didiskusikan, bisa jadi masalahnya menjadi sangat mudah diselesaikan.
Dan potensi konflik pun menjadi minimal.
3. Tentang aturan
Kita harus memiliki aturan-aturan yang disepakati bersama. Karena kalau tak
tahu aturan, bagaimana orang bisa nurut? Bagaimana kita bisa selaras? Jadi kita
harus membuat aturan sekaligus...sosialisasikan!
Misalnya isteri kita jarang mematikan kran setelah mengguanakan. Bisa jadi
kita dongkol. Disisi lain, boleh jadi isteri malah tak merasa bersalah sama
sekali. Sebab dia berasal dari desa. Dan di desa.. pancuran toh tak pernah
ditutup.
Begitu pula pada anak-anak. Kita harus mensosialisasikan peraturan ini. Tidak
usah kaku. Buat saja apa yang bisa dilaksanakan oleh semua. Makin orang tahu
peraturan, maka peluang berbuat salah makin minimal.
Post a Comment