Adil Membagi Waktu
Adil Membagi Waktu
"Sebaik-baik manusia adalah yang diberi umur panjang dan baik amalnya. Dan sejelek-jelek manusia adalah yang diberi umur panjang dan jelek amalnya." (HR Ahmad)
Saudaraku, Islam sangat menaruh perhatian terhadap waktu. Dalam Alquran, bertebaran ayat-ayat yang berhubungan dengan waktu. Bahkan, berkali-kali Allah SWT bersumpah atas nama waktu. Misalnya di awal QS Al-Ashr [103], Al-Lail [92], Adh-Dhuha [93], dsb. Hal ini menandakan betapa pentingnya waktu dalam kehidupan manusia.
Maka tak usah heran bila Islam mengingatkan kita akan waktu minimal lima kali sehari semalam. Belum lagi anjuran untuk menghidupkan waktu disepertiga malam terakhir, waktu dhuha (saat matahari sepenggalahan).
"Sebaik-baik manusia adalah yang diberi umur panjang dan baik amalnya. Dan sejelek-jelek manusia adalah yang diberi umur panjang dan jelek amalnya." (HR Ahmad)
Saudaraku, Islam sangat menaruh perhatian terhadap waktu. Dalam Alquran, bertebaran ayat-ayat yang berhubungan dengan waktu. Bahkan, berkali-kali Allah SWT bersumpah atas nama waktu. Misalnya di awal QS Al-Ashr [103], Al-Lail [92], Adh-Dhuha [93], dsb. Hal ini menandakan betapa pentingnya waktu dalam kehidupan manusia.
Maka tak usah heran bila Islam mengingatkan kita akan waktu minimal lima kali sehari semalam. Belum lagi anjuran untuk menghidupkan waktu disepertiga malam terakhir, waktu dhuha (saat matahari sepenggalahan).
Mengingat pentingnya waktu, maka
kita layak bertanya, sejauh mana komitmen kita terhadap waktu? Bila kita
termasuk orang yang meremehkan waktu, tidak kecewa saat pertambahan waktu tidak
menghasilkan peningkatan kualitas diri, maka bersiap-siaplah menjadi pecundang
dalam hidup.
Kita ini telah, sedang, dan akan
selalu berpacu dengan waktu. Satu desah nafas sebanding dengan satu langkah
menuju maut. Alangkah ruginya manakala banyaknya keinginan, melambungnya
angan-angan, serta meluapnya harapan tidak diimbangi dengan meningkatnya
kualitas diri. Maka, siapapun yang bersungguh-sungguh mengisi waktunya dengan
kebaikan, niscaya Allah akan memberikan yang terbaik bagi orang
tersebut.
Kunci efektivitas
waktu
Efektivitas penggunaan waktu
sangat dipengaruhi keterampilan kita dalam membaginya. Ada hak belajar, hak
bekerja, hak tubuh, hak keluarga, hak ibadah juga hak evaluasi diri. Semuanya
harus dibagi secara adil. Sibuk dan hebatnya belajar tanpa disertai istirahat
dan ibadah misalnya, hanya akan mendatangkan masalah.
Mahasiswa yang akan mengikuti
ujian misalnya. Waktunya tinggal tiga bulan lagi. Maka menjadi keharusan baginya
untuk membuat perencanaan. Sehari belajar berapa jam? Katakanlah belajar 2 jam.
Seminggu mau berapa kali belajar? Enam kali. Berarti 12 jam perminggu atau 48
jam perbulan. Jadi, dalam tiga bulan ia harus belajar minimal 144 jam. Lalu,
mata kuliahnya ada 10. Satu mata kuliah rata-rata lima bab dan satu bab sepuluh
halaman, berarti 50 X 10 = 500 halaman. Sedangkan waktu yang dimiliki hanya 144
jam. Dengan demikian, dalam satu jam ia harus menguasai minimal tiga
lembar.
Kuncinya, kita harus memetakan
dulu potensi dan masalahnya. Lalu bergerak dengan acuan peta tersebut. Setelah
itu kita disiplin menjalankannya. Sebab banyak orang yang hanya pandai membuat
rencana, tapi kurang pandai menjalankannya. Karena itu, sebuah rencana tidak
perlu muluk-muluk. Buatlah secara proporsional dan fleksibel agar kita mudah
menjalankannya.
Menunda
pekerjaan
Ada satu kebiasaan yang akan
menghambat efektivitas dan optimalisasi waktu yang kita miliki, yaitu kebiasaan
menunda. Hebatnya, sebagian orang merasa bahwa menunda pekerjaan itu akan lebih
baik. Padahal kebiasaan menunda hampir pasti mengundang masalah bila tidak
didasarkan pada perhitungan matang.
Dalam setiap waktu ada kewajiban
yang harus kita tunaikan. Andaikan kita tunda maka pekerjaan lain pasti akan
menyusul, sehingga pekerjaan makin menumpuk. Akhirnya, banyak energi, waktu dan
biaya yang terbuang percuma selain berpeluang memunculkan rasa enggan untuk
mengerjakannya.
Contohnya ada seorang pelajar
yang akan menghadapi ujian. Dalam hati ia berkata, "Saya akan belajar nanti
malam saja supaya lebih tenang". Ketika malam datang ia berkata lagi, "Ah nanti
saja menjelang hari H saya akan belajar mati-matian". Saat malam hari H tiba
muncul lagi alasan, "Agar lebih masuk, saya akan belajar nanti Subuh". Apa yang
terjadi? Subuhnya terlambat dan ia pun bangun kesiangan dan telat masuk ruang
kelas.
Ada sebuah nasihat dari Imam
Hasan Al-Bashri yang layak kita renungkan. "Waspadalah kamu dari menunda
pekerjaan, karena kamu berada pada hari ini bukan pada hari esok. Kalaulah esok
hari menjadi milikmu, maka jadilah kamu seperti pada hari ini. Kalau esok tidak
menjadi milikmu, niscaya kamu tidak akan menyesali apa yang telah berlalu dari
harimu". Wallaahu a'lam
Post a Comment