ALASAN-ALASAN YANG MENGHALANGI SESEORANG UNTUK MELIHAT KEBAIKAN
ALASAN-ALASAN YANG MENGHALANGI SESEORANG UNTUK MELIHAT
KEBAIKAN
Sebagian orang mengira bahwa hidup mereka adalah suatu kebetulan
semata. Sebenarnya, tidaklah masuk akal untuk berpikir demikian. Segala sesuatu,
termasuk menderita kanker, tertimpa kecelakaan lalu lintas, mulai dari makanan
yang dimakan seseorang sampai kepada pakaian yang dipakai seseorang, semua itu
adalah hal-hal yang sebelumnya telah ditetapkan khusus atas seseorang. Seperti
yang telah kami tekankan berulang-ulang di sepanjang pembahasan buku ini, semua
peristiwa tersebut-dalam setiap detailnya-khusus diciptakan Allah untuk menguji
manusia.
Dalam hal inilah terlihat perbedaan mendasar antara orang yang
kafir dan beriman. Orang-orang beriman memiliki pandangan yang sangat berbeda
terhadap apa yang terjadi pada mereka dan apa yang terjadi di sekeliling mereka.
Pandangan ini sepenuhnya seperti apa yang diperintahkan Al-Qur`an, yaitu
menganggap setiap kejadian sebagai bagian dari ujian. Karena itu, dengan
menyadari bahwa mereka sedang diuji, orang-orang mukmin berusaha untuk
mengarahkan dirinya menuju jalan yang diridhai-Nya.
Orang yang tetap tidak acuh terhadap kebenaran Islam, ia membuat
tujuan-tujuan sesat bagi dirinya sendiri (masuk perguruan tinggi yang terkenal,
menikah dan berbahagia, memasukkan anak mereka ke sekolah, memperbaiki standar
hidup, mencapai status dalam masyarakat, dan lain-lain). Semua itu memiliki satu
kesamaan, yakni hanya berhubungan dengan dunia. Rencana dan aspirasi orang yang
menjadikan tujuan-tujuan seperti itu sebagai tujuan hidup utama, terbatas pada
pandangan yang dangkal ini. Hal ini karena pengetahuan kebanyakan orang hanya
terbatas pada eksistensi dunia. Sebenarnya, anggapan mereka tidaklah benar.
Bahkan, jika seseorang meraih semua tujuan yang telah ia rencanakan, hidupnya
berakhir pada titik yang tak dapat dielakkan: kematian. Maka dari itu, kehidupan
yang hanya tertuju pada dunia adalah kehidupan yang sia-sia, kecuali sebaliknya
seperti yang diinginkan oleh Allah.
Seseorang yang menjalani hidup seperti ini bahkan tidak akan pernah
mendapatkan segala yang diinginkannya. Ini adalah hukum abadi Allah. Tak ada
satu pun di bumi ini yang lepas dari kehancuran. Tak ada satu pun di bumi ini
yang lepas dari waktu. Contohnya buah yang perlahan menghitam dan membusuk
setelah dipetik dari tangkainya. Sebuah rumah yang dibangun dengan
sungguh-sungguh selama bertahun-tahun pada akhirnya tidak akan dapat ditempati.
Tubuh manusia dengan mudah terkena pengaruh waktu yang merusak. Setiap orang
terkena pengaruh waktu pada fisiknya. Rambut yang memutih, tidak berfungsinya
organ tubuh, berkerutnya kulit, dan banyak tanda penuaan lainnya. Semua itu
adalah tanda-tanda yang mengindikasikan adanya kematian.
Selain itu, kehidupan manusia yang jarang melampaui 6-7 dekade
dapat diakhiri dengan tiba-tiba. Peristiwa yang tidak diharapkan, seperti
kecelakaan lalu lintas atau penyakit fatal, dapat kapan saja mengakhiri
kehidupan manusia. Seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya, tak peduli
bagaimanapun seseorang akan berjuang menghindari kematian, pada akhirnya ia akan
menemui penghabisan yang tak dapat dielakkan: kematian. Tak peduli apakah ia
gadis yang cantik atau seorang yang terkenal, tak ada satu pun orang yang dapat
menghindarinya. Tidaklah kekayaan, harta kepemilikan, anak, teman, atau apa pun,
yang dapat melindungi seseorang dari kematian.
"Katakanlah, 'Sesungguhnya, kematian yang kamu lari darinya,
maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan
dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia
beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.'" (al-Jumu'ah: 8)
Itu berarti hidup di dunia ini adalah sementara dan dunia ini
bukanlah tempat terakhir manusia. Karena itu, seorang manusia harus
mengorientasikan semua usaha dalam hidupnya untuk akhirat saja.
"Maka sesuatu apa pun yang diberikan kepadamu, itu adalah
kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih
kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka
bertawakal." (asy-Syuura: 36)
Jika kita mengetahui bahwa hidup di dunia ini adalah sementara dan
tubuh manusia akan dimakan oleh kematian, kita dibawa pada satu hal yang mesti
kita renungkan, yaitu tujuan penciptaan manusia di bumi. Dalam ayat ini,
diberitahukan bahwa Allah membuat tujuan itu mudah,
"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di
antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun."
(al-Mulk: 2)
Dalam banyak ayat di dalam Al-Qur`an, Allah memperjelas bahwa
manusia diciptakan untuk menjadi hamba-Nya. Ia juga menekankan bahwa kehidupan
dunia ini adalah ujian dan telah dibuat untuk membedakan kebaikan dari
kejahatan.
"Sesungguhnya, Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi
sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka
yang terbaik perbuatannya." (al-Kahfi: 7)
Karena seluruh hidup manusia adalah bagian dari ujian, tak ada satu
pun kejadian yang menimpanya yang merupakan ketidaksengajaan. Jika seseorang
tidak dapat memahami bahwa ada maksud di balik peristiwa-peristiwa itu dan malah
mengira bahwa hal itu terjadi dengan sendirinya-terpisah dari campur tangan
Allah-maka ia telah melakukan kesalahan. Hal ini karena semua peristiwa yang
terjadi dalam tiap detik kehidupan sebenarnya adalah ujian yang Allah rencanakan
bagi dirinya. Manusia bertanggung jawab atas reaksi dan sikapnya terhadap ujian
tersebut. Cara ia mengarahkan dirinya dan menunjukkan moralitasnya, menentukan
balasan atau hukumannya di kehidupan akhirat.
Bahwa tak satu pun pengalaman-kecil ataupun besar, berarti atau
tidak-terjadi secara kebetulan dan bahwa segala yang terjadi dalam kehidupan
kita telah ditentukan sebelumnya dalam takdir kita, semua itu adalah kenyataan
yang harus diingat oleh seseorang. Selama itu diingatnya, ia tidak akan pernah
lupa bahwa segala yang ia temui dalam kehidupan pada hakikatnya adalah baik
untuknya. Dengan demikian, apa yang ia hadapi hanyalah apa yang Allah kehendaki
baginya. Kesimpulannya, penting kiranya untuk mengingat bahwa dunia ini adalah
tempat ujian yang dengannya kita diharapkan dapat melihat kebaikan dan maksud
Ilahiah dalam kehidupan ini.
- Allah Tidak Membebani Seseorang Melebihi Kemampuannya
Allah menguji setiap manusia dengan ujian yang berbeda, beragam
jenisnya, serta melalui pengenalan yang berbeda pula. Akan tetapi, perlu
disebutkan bahwa Allah Mahaadil dan Dia sabar dalam menghadapi hamba-hamba-Nya
(al-Halim). Dia tak pernah membebani seseorang melebihi apa yang ia mampu. Ini
adalah janji Allah,
"Kami tiada membebani seseorang melainkan menurut
kesanggupannya, dan pada sisi Kami ada suatu kitab yang membicarakan kebenaran,
dan mereka tidak dianiaya." (al-Mu`minuun: 62)
"Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang
saleh, Kami tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sekadar
kesanggupannya, mereka itulah penghuni-penghuni surga; mereka kekal di
dalamnya." (al-A'raaf: 42)
Penyakit, kecelakaan, semua bentuk tekanan, dan segala macam ujian
yang dihadapi seseorang dalam kehidupan dunia, adalah dalam rangkaian batasan
kemampuan seseorang untuk mengatasinya. Akan tetapi, jika seseorang memilih
untuk mengingkari dan tidak bersyukur kepada Allah dan lebih memilih perbuatan
setan daripada memelihara nilai-nilai mulia Al-Qur`an-misalnya kesabaran-maka
pada akhirnya ia akan menanggung balasannya.
Dalam beberapa kasus, seseorang bisa saja merasa bahwa ia telah
melakukan segala cara yang memungkinkannya untuk keluar dari masalah, namun ia
tidak melihat jalan keluar. Karena ia tidak ingat bahwa tetap ada kebaikan dalam
peristiwa tersebut, ia memberontak dan marah. Ini semata-mata merupakan rasa
yang tak berguna yang diembuskan oleh setan. Apa pun yang dihadapinya dalam
hidup ini, seorang mukmin yang ikhlas harus tetap ingat bahwa ia dihadapkan pada
situasi yang di dalamnya ia dapat menetapi kebajikan dan kesabaran. Jika ia
putus asa, itu hanyalah tipu daya setan. Allah memerintahkan hamba-Nya untuk
tidak berputus asa.
"Dan tidaklah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan rezeki
dan menyempitkannya bagi siapa yang dikehendaki-Nya? Sesungguhnya, pada yang
demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang beriman.
Katakanlah, 'Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka
sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya, Allah
mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya, Dialah Yang Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah
kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong
(lagi).'" (az-Zumar: 52-54)
Seseorang yang menerima dan berusaha menetapi perintah Allah
tersebut mengetahui bahwa dari kebaikan akan timbul kebaikan pula. Seseorang
yang putus asa akan sendirian di dunia ini dan tidak mempunyai jalan keluar.
Allah mengatakan pada kita bahwa mereka yang putus asa terhadap kasih Allah
adalah orang-orang yang tidak beriman,
"Dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan
pertemuan dengan Dia, mereka putus asa dari rahmat-Ku, dan mereka itu mendapat
siksa yang pedih." (al-'Ankabuut: 23)
"… dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya, tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir."
(Yusuf: 87)
Dalam menetapi perintah Allah, seorang mukmin tidak boleh berputus
asa, tetapi harus mencoba untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam
tentang apa yang terjadi di sekitarnya melalui perenungan. Ketika seorang mukmin
menemukan kesulitan, kesulitan itu membuatnya sadar bahwa ada kebaikan di
dalamnya dan ia memastikan bahwa selama cobaan itu, ia menjadi bersemangat,
sabar, pemurah, setia, tekun, pengasih, dan penuh pengorbanan. Karena itu,
sekarang ini adalah saat seorang mukmin melatih rasa percayanya kepada Allah.
Mengetahui bahwa saat di akhirat, ia dianugerahi surga sebagai balasan atas
kebaikan sikapnya di dunia, bertambahlah sumber kebahagiaannya. Seseorang yang
telah diuji di dunia akan mengatasi kesulitan dengan ketegaran. Ia menerima
berkah dan janji surga, dan begitu menghargai keduanya. Karena itulah, ia
menikmati kebahagiaan di dalam semua itu. Penting untuk diingat bahwa seseorang
yang mengalami kesulitan tidak dapat menghargai kemudahan, bahkan jika mampu
pun, ia tidak pernah memiliki perasaan yang mendalam sebagai orang yang telah
melewati banyak kesulitan hidup.
Karena itu, setiap kesulitan yang dialami seseorang pada akhirnya
akan menjadi sember kebahagiaaan di akhirat.
Karena itu, sikap sabar, bijaksana, logis, stabil, memaafkan,
menyayangi, semuanya menujukkan tingkatan kemuliaan seorang mukmin dan
menawarkan kebahagiaan kepada manusia yang hanya didapatkan dari keimanan. Atas
izin Allah, kebahagiaan ini akan dinikmati selamanya.
- Setiap Kemalangan yang Menimpa Manusia Berasal dari Dirinya
Sendiri
Orang yang tidak mengamalkan akhlaq yang diperintahkan di dalam
Al-Qur`an sering menunjukkan ciri sifat yang sama. Jika segala sesuatu berjalan
sesuai kehendak, mereka mengira semua itu terjadi karena diri mereka sendiri.
Mereka bangga atas apa yang terjadi sesuai kehendak mereka. Namun, saat kesialan
menimpa, mereka mencari-cari kambing hitam. Tetapi Allah Mahaadil, orang itu
sendirilah yang pada akhirnya bertanggung jawab atas setiap kemalangan yang
menimpanya, seperti yang ditunjukkan oleh ayat berikut:
"Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah nikmat dari Allah,
dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami
mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusiaa. Dan cukuplah Allah menjadi
saksi." (an-Nisaa` 79)
*Al-Qur`an memberikan beragam contoh untuk menjelaskan bagaimana
orang-orang kafir membolak-balikkan pemahaman atas segala sesuatu yang terjadi.
Sebagai contoh, Allah berfirman kepada kita dalam surat al A'raf bahwa Fir'aun
dan sifat-sifat setannya menjadi makar atas Musa a.s. dan kaumnya. Bagaimanapun
juga, mereka adalah sumber kejahatan.
"Kemudian apaabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka
berkata, 'Ini adalah karena (usaha) kami'. Dan jika mereka ditimpa kesusahan,
mereka melemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang
besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari
Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui." (al-A'raaf: 131)
Sebagaimana contoh yang dituliskan dalam ayat di atas, dalam
kondisi apa pun, orang yang jauh dari moralitas Al-Qur`an mencari-cari kambing
hitam. Mereka mengabaikan kesalahan mereka sendiri dan menuduh orang lain.
Bagaimanapun juga, seperti apa yang Allah firmankan dalam ayat di atas,
merekalah yang sebenarna bertanggung jawab atas kejahatan tersebut. Jika
orang-orang ini menafsirkan kejahatan sebagai kebaikan dan sebaliknya, maka
merekalah yang harus disalahkan.
Takdir yang Disalahpahami
Selama hidupnya, orang terus-menerus merencanakan masa depan
mereka, bahkan keesokan harinya atau sejam berikutnya. Pada waktu tertentu,
rencana ini berjalan seperti apa yang direncanakan. Tetapi, kadangkala mereka
tak dapat mencapainya karena hal-hal yang tidak diharapkan. Mereka yang jauh
dari ajaran Islam mengangap hal tersebut sebagai kesulitan yang tidak
disengaja.
Sebenarnya, tak ada rencana yang pasti terselesaikan, ataupun
kesulitan yang tak dapat dicegah. Semua kejadian yang dihadapi seseorang dalam
hidupnya telah ditentukan sebelumnya oleh Allah dalam takdirnya. Hal ini
disebutkan dalam ayat berikut,
"Dia meengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan)
itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya (laamanya) adalah seribu tahun
menurut perhitunganmu." (as-Sajdah: 5)
"Sesungguhnya, Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran."
(al-Qamar: 49)
Seorang mukmin salah mengira bahwa hari-hari yang dilaluinya adalah
apa yang telah ia rencanakan sebelumnya. Kenyataan sebenarnya adalah bahwa ia
hanya menyesuaikan diri dengan takdir Allah yang telah ditetapkan atasnya.
Bahkan jika seseorang mengira bahwa ia telah berperan dalam sebuah situasi, ia
menganggap ia dapat mengubah takdirnya. Sebenarnya ia mengalami momen lain yang
telah ditakdirkan untuknya. Tak ada satu waktupun dalam kehidupan kita terjadi
di luar takdir. Seseorang yang sedang koma, tak lama kemudian meninggal karena
Allah telah mentakdirkannya demikian. Sedangkan orang dengan kondisi yang sama
sembuh berbulan-bulan kemudian karena ia telah ditakdirkan demikian pula.
Bagi orang yang tak benar-benar mengerti arti takdir, semua
peristiwa terjadi karena ketidaksengajaan. Ia salah mengasumsikan bahwa segala
yang ada di alam semesta ini mandiri keberadaannya. Itulah mengapa ketika ia
terkena bencana, ia menganggapnya sebagai suatu kesialan.
Meski demikian, manusia terbatas kearifan dan pemahamannya, ia
bahkan dibatasi oleh ruang dan waktu. Di sisi lain, semua yang menimpa seseorang
telah direncanakan oleh Allah swt., Pemilik Kebijaksanaan Yang Tak Terbatas, Dia
yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
"Tak ada suatu bencanapun yang menimpa di muka bumi dan (tidak
pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfudz)
sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya, yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah." (al-Hadiid: 22)
Pada dasarnya, apa yang harus dilakukan seseorang adalah
menyerahkan dirinya pada akdir yang telah ditetapkan oleh penciptanya, dan tetap
menyadari bahwa segalanya akan berakhir. Sesungguhnya, orang yang benar
keimanannya menggunakan setiap detik kehidupan mereka dengan mengakui kenyataan
bahwa apa pun yang terjadi, semuanya merupakan bagian dari takdir mereka, dan
bahwa Allah telah merencanakan keadaan tersebut dengan maksud-maksud tertentu.
Mereka terus mengambil manfaat dari pandangan yang positif ini. Mereka bahkan
menilainya sebagai suatu kebaikan. Akhlaq mulia dan penyerahan diri total yang
dijalankan oleh orang-orang beriman dijelaskan di dalam Al-Qur`an sebagai
berikut,
"Katakanlah, 'Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa
yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah
kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal." (at-Taubah: 51)
Pada akhirnya, seseorang tidak akan pernah bisa mencegah terjadinya
suatu peristiwa, baik ia menilainya sebagai suatu kebaikan ataupun keburukan.
Jika ia melihat kebaikan dalam segala hal, maka ia akan selalu mendapatkan
manfaat. Jika sebaliknya, ia hanya akan membahayakan dirinya sendiri. Menyesal
atau memberontak tak akan mengubah apa pun dalam takdir seseorang. Karena
itulah, tanggung jawab seorang manusia sebagai abdi Allah adalah untuk
menyerahkan dirinya kepada keadilannya yang tak terbatas dan takdir yang telah
ditentukan-Nya demi untuk menghargai semua peristiwa sebagai suatu kebaikan dan
orang yang demikian menyaksikan takdirnya dengan hati yang tenang dan damai.
Setan Berusaha Menghalangi Manusia untuk Menyadari Kebaikan
Di dalam Al-Qur`an, Allah mengatakan bahwa setan sangatlah kufur
dan suka melawan. Kita juga belajar dari Al-Qur`an bahwa setan akan mendekati
manusia dari setiap arah dan ia akan berusaha dengan segala cara untuk membawa
manusia kepada kebejatan moral. Metode yang paling sering dilakukan setan dalam
rencana jahatnya adalah menghalangi manusia dari melihat kebaikan dalam segala
peristiwa yang menimpanya. Dengan cara demikian, ia juga berusaha untuk
menyesatkan manusia kepada pemberontakan dan kekufuran. Orang yang tidak mampu
memahami keindahan akhlaq Al-Qur`an akan jauh dari ajaran Islam dan mereka yang
menghabiskan hidup mereka untuk mengejar kesia-siaan dan melupakan akhirat akan
mudah jatuh ke dalam perangkap setan.
Setan menyerang kelemahan manusia dan membisikkan tipu daya yang
menyenangkan kepada manusia. Ia memanggilnya untuk melawan Allah dan takdir-Nya.
Sebagai contoh, seorang mungkin tidak akan merasa kesulitan untuk melihat bahwa
tetangganya terkena musibah karena itu adalah bagian dari takdirnya. Namun, dia
mungkin tidak bersikap demikian saat ia atau kelurganya tertimpa musibah yang
sama. Karena hasutan setan, ia lebih mudah melawan kepada Allah. Seseorang harus
melatih kesabarannya supaya ia dapat berusaha melihat kebaikan dalam semua
peristiwa, untuk menunjukkan ketundukan dan kepercayaannya kepada Allah.
Ketidakmampuan untuk melatih kesadaran seseorang hanya akan membawa kepada sikap
yang salah.
Usaha setan untuuk menghalangi manusia untuk melihat kebaikan
dengan perbuatan mereka sendiri. Sebagai contoh, setan berusaha untuk meletakkan
rasa takut di dalam hati seseorang yang ingin memanfaatkan kekayaannya karena
Allah. Godaan setan ini disebutkan di dalam ayat berikut,
"Setan menjanjikan (manakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan
menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu
ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha
Mengetahui." (al-Baqarah: 268)
Bagaimanapun juga, semua perasaan itu adalah sia-sia. Rencana
rahasia setan ini tidak dapat mempengaruhi orang-orang beriman, karena tujuan
mereka dalam menggunakan kekayaannya bukanlah untuk mendapatkan keuntungan dunia
ataupun kesenangannya sendiri. Tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan
keridhaan Allah, rahmat, dan jannah-Nya. Karena itulah, setan tidak dapat menipu
orang-orang beriman dengan bisikan yang sia-sia. Dalam ayat berikut dinyatakan
bahwa setan tidak dapat mempengaruhi orang-orang beriman,
"Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan, maka
berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. Sesungguhnya, orang-orang yang bertaqwa bila mereka ditimpa was-was
dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat
kesalahan-kesalahannya." (al-A'raaf: 200-201)
Dari hal-hal tersebut di atas, kita harus memahami bahwa setan
memakai dua cara untuk menghalangi manusia dari perbuatan baik. Pertama-tama, ia
berusaha menghalangi kebaikan dan perbuatan yang bermanfaat, dan menyodorkan
kesengan dunia sebagai tujuan hidup satu-satunya. Kemudian, ia
bersungguh-sungguh menghalangi manusia dari melihat kebaikan dan maksud yang
terkandung di balik setiap peristiwa.
Bagaimanapun juga, begitu banyak keberkahan yang diberikan
cuma-cuma kepada seseorang hingga ia tidak akan bisa menghitungnya. Sejak lahir,
manusia dianugerahi keberkahan yang tak terhitung dari Tuhannya, anugerah yang
tidak ada henti sepanjang hidupnya. Itulah mengapa, orang beriman yang
menjadikan Tuhan mereka sebagai satu-satunya kawan dan pelindung mereka akan
memberikan rasa percaya mereka sepenuhnya kepada Allah. Ketika sesuatu terjadi
tidak sesuai keinginan, mereka sadar bahwa ada kebaikan di dalamnya. Mereka
bersabar bahkan sekalipun saat mereka tidak bisa langsung menemukan maksud
Ilahiah di balik kejadian tersebut. Seperti yang dikatakan Nabi saw., "Mintalah
pertolongan Allah dari kesulitan akan malapetaka yang hebat." (Bukhari). Tak
peduli apa pun yang terjadi pada mereka, orang-orang beriman tidak pernah
memberontak atau bahkan mengeluh. Mereka selalu mengingat bahwa kejadian yang
berlawanan dengan keinginan mereka itu akan menjadi keberkahan bagi mereka. Dan
dengan kehendak Allah, kesulitan tersebut pada akhirnya terbukti menjadi tolak
ukur utama dalam kehidupan mereka dan membawa kepada keselamatan abadi.
Post a Comment