Cara Cepat Meraih Keimanan
Cara Cepat Meraih
Keimanan |
Kami
mudahkan Al-Qur'an untuk diingat. Adakah yang mengambil perhatian?
(Surat al-Qamar: 17) |
Bagaimana memahami keberadaan Allah?
Tumbuhan, binatang, lautan, gunung-gunung, dan manusia
disekitar kita, dan semua jasad renik yang tidak kasat mata – hidup ataupun
mati, merupakan bukti nyata adanya Kebijakan Agung yang menciptakannya. Demikian
pula dengan kesetimbangan, keteraturan dan penciptaan sempurna yang nampak di
seluruh jagat. Semuanya membuktikan keberadaan Pemilik pengetahuan agung, yang
menciptakannya dengan sempurna. Pemilik kebijakan dan pengetahuan agung ini
adalah Allah.
Sistem-sistem sempurna yang diciptakanNya serta
sifat-sifat yang mengagumkan pada setiap mahluk, hidup maupun mati, menimbulkan
kesadaran akan keberadaan Allah. Kesempurnaan ini tertulis dalam Al-Qur’an:
Dia menciptakan tujuh langit yang berlapis-lapis.
Tak akan ditemui sedikit cacatpun dari ciptaanNya. Perhatikan berkali-kali -
apakah engkau melihat kekurangan padanya? Lalu, perhatikanlah sekali lagi.
Matamu akan silau dan lelah! (Surat Al-Mulk: 3-4)
PERTANYAAN 2
Bagaimana cara mengenal Allah?
Ciptaan yang sempurna di seluruh jagat raya menunjukkan
kekuasaan Allah Yang Maha Agung.
Allah sendiri telah memperkenalkan diriNya kepada kita
melalui Al-Qur’an - wahyu yang diturunkan kepada manusia sebagai petunjuk yang
benar bagi kehidupan. Semua sifat-sifat Allah yang mulia disampaikan kepada kita
di dalam Al-Qur’an. Dia Maha Bijaksana, Maha Mengetahui, Maha Pengasih, Maha
Penyayang, Maha Adil, Maha Meliputi seluruh alam, Maha Melihat dan Maha
Mendengar atas segala sesuatu. Dia lah Pemilik dan Tuhan satu-satunya atas
langit dan bumi dan segala sesuatu di antaranya. Dia lah penguasa seluruh
kerajaan langit dan bumi.
Dialah Allah – tiada tuhan selain Dia. Dia
mengetahui yang gaib dan yang nyata. Dia Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dia
lah Allah – tiada tuhan selain Dia. . . . MilikNya segala nama-nama yang baik.
Segala yang di langit dan di bumi bertasbih kepadaNya. Dia Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana. (Surat Al-Hasr: 22-24)
PERTANYAAN
3
Mengapa kita diciptakan?
Dalam Al-Qur’an Allah menyebutkan mengapa kita
diciptakan:
Aku ciptakan jin dan manusia semata-mata untuk
menyembahKu. (Surat Az-Zariyat: 56)
Seperti disebutkan dalam ayat ini, keberadaan manusia di
bumi ini semata-mata untuk menjadi hamba Allah, untuk menyembahNya dan untuk
memperoleh ridhaNya. Penghambaan manusia kepada Allah merupakan batu ujian
selama ia hidup di muka bumi.
PERTANYAAN 4
Mengapa kita diuji?
Allah menguji manusia di muka bumi untuk memisahkan
antara mereka yang beriman dan mereka yang tidak beriman, serta untuk menentukan
siapa yang terbaik amal perbuatannya. Oleh karena itu, pengakuan seperti “aku
beriman” tanpa bukti tindakan yang sesuai dengannya tidak lah cukup. Di
sepanjang hayatnya, manusia diuji dalam hal keimanan dan keta’atannya kepada
Allah, termasuk kegigihannya dalam memperjuangkan agama Allah. Pendek kata,
diuji dalam ketabahan sebagai hamba Allah dalam berbagai kondisi dan lingkungan
yang dikehendakiNya. Ini dinyatakan Allah dalam ayat berikut:
Dia Yang Mematikan dan Menghidupkan untuk menguji siapa di
antara kamu yang terbaik amalnya. Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (Surat
Al-Mulk: 2)
PERTANYAAN 5
Bagaimana cara mengabdi kepada Allah?
Menjadi hamba Allah berarti menyerahkan seluruh hidup
kita untuk tujuan mencapai kehendak dan ridhaNya. Yakni beramal sebaik mungkin
tanpa henti untuk mendapatkan ridha Allah, hanya takut kepada Allah dan
mengarahkan seluruh pikiran dan perkataan serta perbuatan untuk tujuan tersebut.
Allah mengingatkan dalam Al-Qur’an bahwa penghambaan kepadaNya meliputi seluruh
kehidupan individu:
Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku dan ibadahku, hidup dan
matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.’ (Surat Al-An’am: 162)
PERTANYAAN 6
Mengapa agama diperlukan?
Yang pertama kali harus dilakukan oleh seseorang yang
meyakini keberadaan Allah adalah mempelajari apa-apa yang diperintahkan dan
hal-hal yang disukai Penciptanya. Dia lah yang memberinya ruh dan kehidupan,
makanan, minuman dan kesehatan. Selanjutnya dia harus mengabdikan seluruh
hidupnya untuk patuh kepada perintah-perintah Allah dan mencari ridhaNya.
Agama lah yang membimbing kita kepada moral, perilaku
dan cara hidup yang diridhai Allah. Allah telah menjelaskan dalam Al-Qur’an
bahwa orang yang patuh kepada agama berada di jalan yang benar, sedangkan yang
lainnya akan tersesat.
Dia yang dadanya terbuka untuk Islam mendapat cahaya
dari Tuhannya. Sungguh celaka orang-orang yang berkeras untuk tidak mengingat
Allah! Mereka dalam kesesatan yang nyata. (Surat az-Zumar: 22)
PERTANYAAN 7
Bagaimana cara menjalankan agama (dien)?
Orang yang beriman kepada Allah dan menghambakan diri
kepadaNya, mengatur hidupnya agar sesuai dengan seruan Allah dalam Al-Qur’an.
Dia menjadikan agama sebagai petunjuk hidupnya. Patuh kepada hal-hal yang baik
menurut hati nuraninya, dan meninggalkan segala yang buruk yang ditolak hati
nuraninya.
Allah menyatakan dalam Al-Qur’an bahwa Dia menciptakan
manusia agar siap untuk menghidupkan agamaNya:
Maka, teguhkanlah pengabdianmu kepada Agama yang
benar yang Allah ciptakan untuk manusia. Tiada yang mampu merubah ciptaan Allah.
Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. (Surat
Ar-Rum: 30)
PERTANYAAN 8
Dapatkah moral tegak tanpa agama?
Pada lingkungan masyarakat yang tak beragama, orang
cenderung melakukan beragam tindakan yang tak bermoral. Perbuatan buruk seperti
penyogokkan, perjudian, iri hati atau berbohong merupakan hal yang biasa. Hal
demikian tidak terjadi pada orang yang ta’at kepada agama. Mereka tidak akan
melakukan semua perbuatan buruk tadi karena mengetahui bahwa ia harus
mempertanggungjawabkan semua tindakannya di akhirat kelak.
Sukar dipercaya jika ada orang mengatakan, “Saya ateis
namun tidak menerima sogokan”, atau “Saya ateis namun tidak berjudi”. Mengapa?
Karena orang yang tidak takut kepada Allah dan tidak mempercayai adanya
pertanggungjawaban di akhirat, akan melakukan salah satu hal di atas jika
situasi yang dihadapinya berubah.
Seseorang yang mengatakan, “Saya ateis namun tidak
berjinah” cenderung melakukannya jika perjinahan di lingkungan tertentu dianggap
normal. Atau seseorang yang menerima sogokan bisa saja beralasan, “Anak saya
sakit berat dan sekarat, karenanya saya harus menerimanya”, jika ia tidak takut
kepada Allah. Di negara yang tak beragama, pada kondisi tertentu maling pun bisa
dianggap sah-sah saja. Contohnya, masyarakat tak beragama bisa beranggapan bahwa
mengambil handuk atau perhiasan dekorasi dari hotel atau pusat rekreasi bukanlah
perbuatan pencurian.
Seorang yang beragama tak akan berperilaku demikian,
karena ia takut kepada Allah dan tak akan pernah lupa bahwa Allah selalu
mengetahui niat dan pikirannya. Dia beramal setulus hati dan selalu menghindari
perbuatan dosa.
Seorang yang jauh dari bimbingan agama bisa saja berkata
“Saya seorang ateis namun pema’af. Saya tak memiliki rasa dendam ataupun rasa
benci”. Namun sesuatu hal dapat terjadi padanya yang menyebabkannya tak mampu
mengendalikan diri, lalu mempertontonkan perilaku yang tak diinginkan. Dia bisa
saja melakukan pembunuhan atau mencelakai orang lain, karena moralnya berubah
sesuai dengan lingkungan dan kondisi tempat tinggalnya.
Sebaliknya, orang yang beriman kepada Allah dan hari
akhir tidak kan pernah menyimpang dari moral yang baik, seburuk apapun kondisi
lingkungannya. Moralnya tidak “berubah-ubah” melainkan tetap kokoh. Orang-orang
beriman memiliki moral yang tinggi. Sifat-sifat mereka disebut Allah dalam
ayatNya:
Mereka yang teguh dengan keyakinannya kepada Allah
dan tidak mengingkari janji; yang menghubungkan apa yang diperintahkan Allah
untuk menghubungkannya dan takut kepada Tuhan mereka dan takut pada hisab yang
buruk; mereka yang sabar untuk mencari perjumpaan dengan Tuhan mereka, dan
mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian harta yang kami berikan kepadanya
secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, menolak kejahatan dengan
kebaikan. Merekalah yang mendapat kedudukan yang tinggi. (Surat Ar-Ra’d:
20-22)
PERTANYAAN 9
Apa yang terjadi dengan sistem sosial jika tidak ada agama?
Konsep pertama yang akan hilang pada
sebuah lingkungan tak beragama adalah konsep keluarga. Nilai-nilai yang menjaga
keutuhan keluarga seperti kesetiaan, kepatuhan, kasih-sayang dan rasa hormat
akan ditinggalkan sama sekali. Harus diingat bahwa keluarga merupakan pondasi
dari sistem kemasyarakatan. Jika tata nilai keluarga runtuh, maka masyarakat pun
akan runtuh. Bahkan bangsa dan negara pun tidak akan ada lagi, karena seluruh
nilai moral yang menyokongnya telah musnah.
Lebih jauh lagi, tak akan ada lagi rasa
hormat dan kasih-sayang terhadap orang lain. Ini mengakibatkan anarki sosial.
Yang kaya membenci yang miskin, yang miskin membenci yang kaya. Angkara murka
tumbuh pada mereka yang merasa dirintangi, hidup susah atau miskin. Atau
menimbulkan agresi terhadap bangsa lain. Karyawan bersikap agresif kepada
atasannya. Demikian pula atasan kepada bawahannya. Para bapak berpaling dari
anaknya, dan anak berpaling dari bapaknya.
Sebab dari pertumpahanan darah yang
terus-menerus dan “berita-berita kriminalitas” di surat kabar adalah ketiadaan
agama. Setiap hari dapat kita baca tentang orang-orang yang saling bunuh karena
alasan yang sangat sepele.
Orang yang mengetahui bahwa ia akan
diminta pertanggungjawaban di akhirat kelak, tidak akan melakukan pembunuhan.
Dia tahu bahwa Allah melarang manusia melakukan kejahatan. Ia selalu menghindari
murka Allah karena rasa takutnya kepadaNya.
Janganlah berbuat kerusakan di muka bumi, setelah
(Allah) memperbaikinya. Dan berdo’alah kepadaNya dengan rasa takut dan harapan.
Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.
(Surat al-A’raf: 56)
Tindakan bunuh diri pun disebabkan oleh
ketiadaan agama. Orang yang melakukan bunuh diri sama saja dengan melakukan
pembunuhan. Orang yang hendak bunuh diri karena ditinggal pacar, misalnya, harus
mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut sebelum melakukannya: Apakah ia akan
melakukan bunuh diri jika pacarnya menjadi cacat? atau menjadi tua? atau jika
wajah pacarnya terbakar? Tentunya tidak. Dia terlalu berlebihan menilai pacarnya
seolah sebanding dengan Allah. Bahkan menganggap pacarnya lebih penting dari
Allah, lebih penting dari hari akhirat dan dari agama. Ia lebih mempertaruhkan
jiwanya bagi pacarnya tersebut dibanding bagi Allah.
Orang yang dibimbing Al-Qur’an tidak
akan melakukan hal semacam itu, bahkan tidak akan terlintas sedikitpun dalam
benaknya. Seorang yang beriman menyerahkan hidupnya hanya untuk keridhaan Allah,
dan menjalani dengan sabar segala kesusahan dan masalah yang Allah ujikan
padanya di dunia ini. Ia pun tidak lupa bahwa kesabarannya itu akan mendapatkan
balasan berlipat ganda baik di dunia maupun di akhirat.
Pencurian pun merupakan hal yang sangat
biasa pada masyarakat yang tak beragama. Seorang pencuri tak pernah berpikir
seberapa besar kesusahan yang ditimbulkannya terhadap orang yang dicurinya.
Harta yang dikumpulkan korbannya puluhan tahun diambilnya dalam semalam saja. Ia
tak peduli seberapa besar kesusahan yang akan diderita korbannya. Mungkin saja
ia pernah sadar dan menyesali perbuatannya yang telah menimbulkan kesusahan pada
orang lain. Jika tidak, keadaannya menjadi lebih buruk. Itu berarti bahwa
hatinya telah membatu dan selalu cenderung untuk melakukan segala tindakan yang
tak bermoral.
Dalam masyarakat yang tak beragama,
nilai-nilai moral seperti keramahan, mau berkorban untuk orang lain, solidaritas
dan sikap murah hati telah lenyap sama sekali. Orang-orangnya tidak menghargai
orang lain sebagaimana layaknya manusia. Bahkan ada yang memandang orang lain
sebagai mahluk yang berevolusi dari kera. Tak satu pun dari mereka mau menerima,
melayani, menghargai atau memberikan sesuatu yang baik kepada orang lain.
Apalagi terhadap mereka yang dianggapnya sebagai berasal dari kera.
Orang-orang yang berpikiran seperti ini
tidak menghargai orang lain. Tak satu pun memikirkan kesehatan, kesejahteraan
atau kenyamanan orang lain. Mereka tak peduli jika orang lain terluka, atau
pernah berusaha agar orang lain terhindar dari kecelakaan semacam itu.
Di rumah sakit, misalnya, orang yang
hampir meninggal dibiarkan begitu saja terlentang di ranjang-gotong dalam jangka
waktu yang tak tentu; tak seorangpun pun peduli kepadanya. Contoh lain misalnya,
pemilik restoran yang menjalankan restorannya tanpa peduli dengan kebersihan.
Tempatnya yang kotor dan tidak sehat tak digubrisnya, tidak peduli dengan bahaya
yang mungkin ditimbulkan terhadap kesehatan orang lain yang makan di sana. Ia
hanya peduli kepada uang yang dihasilkannya. Ini hanya sebagian kecil contoh
yang kita temui sehari-hari.
Logikanya, orang hanya baik terhadap
orang lain jika bisa mendapat imbalan yang menguntungkan. Namun bagi mereka yang
menjalankan standar moral Al-Qur’an, menghargai orang lain merupakan pengabdian
kepada Allah. Mereka tak mengharapkan imbalan apa pun. Semuanya merupakan usaha
untuk mencari ridha Allah dengan terus-menerus melakukan amal baik, dan
berlomba-lomba dalam kebaikan.
PERTANYAAN 10
Apa manfa’at material dan spiritual bagi masyarakat jika
mereka ta’at pada Al-Qur’an?
Perlu kami ingatkan bahwa pengertian
agama di sini adalah cara hidup yang bermoral. Cara hidup yang disukai Allah.
Cara yang dipilihNya dan yang paling tepat bagi semua jenis manusia. Cara hidup
yang terbebas dari takhyul-takhyul dan mitos-mitos, dan sepenuhnya di bawah
bimbingan Al-Qur’an.
Agama menciptakan lingkungan moral yang
sangat aman dan nyaman. Sikap anarkis yang menyebabkan kerusakan pada bangsa
negara terhenti sama sekali karena rasa takut kepada Allah. Orang tidak lagi
melakukan tindakan yang merugikan ataupun berbuat kerusuhan. Orang-orang yang
memegang nilai-nilai moral siap bangkit bagi bangsa dan negaranya serta tidak
hendak berhenti untuk berkorban. Orang-orang semacam ini selalu berusaha untuk
kesejahteraan dan keamanan negaranya.
Di dalam masyarakat yang mengamalkan
moral Al-Qur’an, orang-orangnya sangat menghargai satu sama lain. Setiap orang
selalu berusaha agar orang lain merasa nyaman dan aman, karena menurut ajaran
islam, solidaritas, persatuan dan kerjasama merupakan hal yang sangat penting.
Setiap orang merasa berkewajiban untuk mendahulukan kenyamanan dan kepentingan
orang lain. Ayat berikut merupakan contoh moralitas dari orang-orang yang
beriman:
Mereka yang lebih dulu tinggal di Madinah, dan telah
beriman sebelum mereka datang, mencintai mereka yang datang kepada mereka untuk
berhijrah, dan tak terbetik keinginan di hati mereka akan barang-barang yang
diberikan kepada mereka, melainkan mendahulukan mereka dibanding dirinya sendiri
meskipun mereka sendiri sangat membutuhkannya. Siapa yang terpelihara dari
ketamakan, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Surat Al-Hashr: 9)
Dalam lingkungan yang orang-orangnya takut kepada Allah,
setiap orang berusaha untuk kesejahteraan masyarakat. Tak seorang pun bersikap
boros. Setiap orang bekerja sama dan bersatu padu sambil memperhatikan
kepentingan orang lain. Hasilnya berupa masyarakat yang kaya dengan tingkat
kesejahteraan yang tinggi.
Masyarakat demikian kaya akan moral dan
material. Kekacauan yang mengandung sikap memberontak sama sekali sirna. Setiap
orang dapat mengekang hawa nafsunya dan setiap masalah diselesaikan dengan cara
yang logis. Segala persoalan dipecahkan dengan kepala dingin. Dan kehidupan,
karenanya, selalu aman tentram.
Post a Comment