M u d i k
M u d i k
Menjelang lebaran saya ikut pergi ke udik atau mengudik disingkat menjadi
mudik. Sebenarnya bagi saya bukan mudik melainkan menghilir, karena betul-betul
pergi ke hilir, bahkan menempuh laut, ke kabupaten terselatan dari provinsi ini.
Walaupun sebenarnya menghilir, namun akan tetap dipakai istilah mudik, sebab
istilah ini sudah mempunyai konotasi yang khas. Terakhir saya mudik tahun 1987,
jadi sudah 5 tahun berselang. Tujuan mudik tentu utamanya sama dengan yang
lain-lain, pulang ke kampung halaman bertemu sanak keluarga yang sudah lama
tidak bertemu. Di samping tujuan utama itu ada pula tujuan utama yang lain,
yaitu diminta oleh masyarakat sana melalui PHBI-nya untuk membaca khuthbah 'Iedi
lFithri.
Membaca khuthbah di hilir sana terus terang lebih sulit dari membaca
khuthbah di lapangan Karebosi. Pertama, jama'ah 'Ied sangat heterogen, baik dari
segi pendidikan, maupun dari segi komunikasi dan yang terakhir ini menyebabkan
kesulitan yang kedua, yaitu khuthbah di samping bahasa Indonesia harus dicampur
dengan bahasa daerah, dan memang ini diminta oleh PHBI setempat. Kesulitan
ketiga adalah kesulitan teknis, karena khuthbah minta diperbanyak. Nah, dengan
disket tidak mungkin. Bukan berarti di sana tidak ada komputer, melainkan
kesulitannya pada tuntutan adanya selingan bahasa daerah itulah. Untuk aksara
Lontara, belum ada programnya. Membaca kata dan kalimat bahasa daerah dengan
huruf Latin susah juga. Coba untuk kata passarikbattangngang panjang sekali,
susah dibaca, karena terdiri banyak huruf, dalam hal ini jumlahnya 20 buah,
sedangkan kalau dalam aksara Lontara hanya terdiri atas 6 huruf, yaitu pa, sa,
ra, ba, ta, nga. Jadi dibuat kesepakatan dengan PHBI, penggandaan naskah
khuthbah tidak distensil, melainkan dengan foto kopi. Aksara Lontara saya
tuliskan dengan pena. Kata orang, menulis dengan pena sudah tradsional, dengan
mesin tik masuk katagori maju/advanced, dan pakai komputer itu canggih. Jadi di
sini kelihatan pula, bahwa tidak selamanya teknologi canggih itu dapat
memecahkan masalah, termasuk misalnya tanda tangan, tidak mungkin dengan
komputer, tidak akan sah secara hukum. Demikian pula halnya dengan aksara Latin,
tidak selamanya lebih unggul dari aksara Lontara, yang lebih hemat huruf dari
segi menulisnya dan lebih gampang dari segi membacanya. Seperti contoh di atas
20 huruf Latin dapat dihemat menjadi 6 huruf Lontara.
Al
hasil tersusunlah khuthbah dengan teknik memanjat/nenanjak. Dimulai dengan
konsumsi yang dapat diserap dengan mudah oleh penduduk setempat dan ini dalam
bahasa daerah beraksara Lontara, seperti misalnya pengertian/makna takbir,
tahlil, tahmid dan tasbih. Di lanjutkan dengan yang lebih menanjak. Seperti
misalnya potensi yang dimiliki oleh manusia yang bertaqwa. Seterusnya menanjak
kepada situasi internasional dan di sini dikemukakan problematika yang dihadapi
ummat Islam sedunia, antara lain bagaimana ummat Islam sedunia menghadapi
tantangan, hambatan, gangguan bahkan ancaman negara yang begitu berambisi
menjadi polisi dunia. Akhirnya dikemukakan problematika ummat Islam Indonesia
dalam mengelola Zakat Mal/harta ke arah yang produktif, dengan menekankan bahwa
ada zakat yang tidak boleh dipakai untuk pembangunan, yaitu zakat fithri artinya
zakat yang dimakan, ini kalau difokuskan kepada yang menerima zakat yang harus
dikonsumsi itu atau dengan istilah zakat fithrah kalau ini difokuskan kepada
orang yang mengeluarkan zakat konsumtif itu, untuk memfithrahkan/membersihkan
dirinya.
Inilah secuil oleh-oleh dari aktivitas mudik, yang tidak terlepas dari
ruang lingkup Wahyu dan Akal - Iman dan Ilmu, yang insya-Allah akan disambung
hari Ahad depan. Minal 'aidien wa lfaizin, taqabbala Llahu minna wa minkum.
WaLlahu a'lamu bishshawab.
Post a Comment