Maimunah Binti Al-Harits -radhiallaahu 'anha-
Maimunah Binti Al-Harits -radhiallaahu 'anha-
Dialah Maimunah binti al-Harits bin Huzn bin al-Hazm bin
Ruwaibah bin Abdullah bin Hilal bin Amir bin Sha’sha’ah al-Hilaliyah. Saudari
dari Ummul Fadhl istri Abbas. Beliau adalah bibi dari Khalid bin Walid dan juga
bibi dari Ibnu Abbas.
Beliau termasuk pemuka kaum wanita yang masyhur dengan keutamaannya, nasabnya dan kemuliaannya. Pada mulanya beliau menikah dengan Mas’ud bin Amru ats-Tsaqafi sebelum masuk Islam sebagaimana beliau. Namun beliau banyak mondar-mandir ke rumah saudaranya Ummul Fadhl sehingga mendengar sebagian kajian-kajian Islam tentang nasib dari kaum muslimin yang berhijrah. Sampai kabar tentang Badar dan Uhud yang mana hal itu menimbulkan bekas yang mendalam dalam dirinya.
Tatkala tersiar berita kemenangan kaum muslimin pada perang Khaibar, kebetulan ketika itu Maimunah berada didalam rumah saudara kandungnya yaitu Ummu Fadhl, maka dia juga turut senang dan sangat bergembira. Namun manakala dia pulang ke rumah suaminya ternyata dia mendapatkannya dalam keadaan sedih dan berduka cita karena kemenangan kaum muslimin. Maka hal itu memicu mereka pada pertengkaran yang mengakibatkan perceraian. Maka beliau keluar dan menetap di rumah al-‘Abbas.
Ketika telah tiba waktu yang telah di tetapkan dalam perjanjian Hudaibiyah yang mana Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam diperbolehkan masuk Mekkah dan tinggal di dalamnya selama tiga hari untuk menunaikan haji dan orang-orang Quraisy harus membiarkannya. Pada hari itu kaum muslimin masuk Mekkah dengan rasa aman, mereka mencukur rambut kepalanya dengan tenang tanpa ada rasa takut. Benarlah janji yang haq dan terdengarlah suara orang-orang mukmin membahana,”Labbaikallâhumma Labbaika Labbaika Lâ Syarîka Laka Labbaik…”. Mereka mendatangi Mekkah dalam keadaan tertunda setelah beberapa waktu bumi Mekkah berada dalam kekuasaan orang-orang musyrik. Maka debu tanah mengepul di bawah kaki orang-orang musyrik yang dengan segera menuju bukit-bukit dan gunung-gunung karena mereka tidak kuasa melihat Muhammad dan para sahabatnya kembali ke Mekkah dengan terang-terangan, kekuatan dan penuh wibawa. Yang tersisa hanyalah para laki-laki dan wanita yang menyembunyikan keimanan mereka sedangkan mereka mengimani bahwa pertolongan sudah dekat.
Maimunah adalah salah seorang yang menyembunyikan keimanannya tersebut. Beliau mendengarkan suara yang keras penuh keagungan dan kebesaran. Beliau tidak berhenti sebatas menyembunyikan keimanan akan tetapi beliau ingin agar dapat masuk Islam secara sempurna dengan penuh Izzah (kewibawaan) yang tulus agar terdengar oleh semua orang tentang keinginannya untuk masuk Islam. Dan diantara harapannya adalah kelak akan bernaung di bawah atap Nubuwwah sehingga dia dapat minum pada mata air agar memenuhi perilakunya yang haus akan aqidah yang istimewa tersebut, yang akhirnya merubah kehidupan beliau menjadi seorang pemuka bagi generasi yang akan datang. Dia bersegera menuju saudara kandungnya yakni Ummu fadhl dengan suaminya ‘Abbas dan diserahkanlah urusan tersebut kepadanya. Tidak ragu sedikitpun Abbas tentang hal itu bahkan beliau bersegera menemui Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan menawarkan Maimunah untuk Nabi. Akhirnya Nabi menerimanya dengan mahar 400 dirham. Dalam riwayat lain, bahwa Maimunah adalah seorang wanita yang menghibahkan dirinya kepada Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam maka turunlah ayat dari Allah Tabaraka Ta’ala (artinya) :
“….Dan perempuan mukmin yang menyerahkan diri kepada Nabi kalau Nabi mengawininya sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin….”( al-Ahzab: 50)
Ketika sudah berlalu tiga hari sebagaimana yang telah ditetapkan dalam perjanjian Hudaibiyah, orang-orang Quraisy mengutus seseorang kepada Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengatakan: ”Telah habis waktumu maka keluarlah dari kami”. Maka Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjawab dengan ramah:
“Bagaimana menurut kalian jika kalian bairkan kami dan aku marayakan pernikahanku ditengah-tengah kalian dan kami suguhkan makanan untuk kalian???!”
Maka mereka manjawab dengan kasar: ”Kami tidak butuh makananmu maka keluarlah dari negeri kami!”.
Sungguh ada rasa keheranan yang disembunyikan pada diri kaum musyrikin selama tinggalnya Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam di Mekkah, yang mana kedatangan beliau meninggalkan kesan yang mendalam pada banyak jiwa. Sebagai bukti dialah Maimunah binti Harits, dia tidak cukup hanya menyatakan keislamannya bahkan lebih dari itu beliau daftarkan dirinya menjadi istri Rasul Shallallâhu ‘alaihi wa sallam sehingga membangkitkan kemarahan mereka. Untuk berjaga-jaga, Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam tidak mengadakan walimatul ‘Urs dirinya dengan Maimunah di Mekkah. Beliau mengizinkan kaum muslimin berjalan menuju Mekkah. Tatkala sampai disuatu tempat yang disebut ”Sarfan” yang beranjak 10 mil dari Mekkah maka Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam memulai malam pertamanya bersama Maimunah radhiallaahu 'anha. Hal itu terjadi pada bulan Syawal tahun 7 Hijriyah.
Mujahid berkata:”Dahulu namanya adalah Bazah namun Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam menggantinya dengan Maimunah. Maka sampailah Maimunah ke Madinah dan menetap di rumah nabawi yang suci sebagaimana cita-citanya yang mulai, yakni menjadi Ummul Mukminin yang utama, menunaikan kewajiban sebagai seorang istri dengan sebaik-baiknya, mendengar dan ta’at, setia serta ikhlas. Setelah Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam menghadap ar-Rafiiqul A’la, Maimunah hidup selama bertahun-tahun hingga 50 tahunan. Semuanya beliau jalani dengan baik dan takwa serta setia kepada suaminya penghulu anak Adam dan seluruh manusia yakni Muhammad bin Abdullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Hingga, karena kesetiaannya kepada suaminya, beliau berpesan agar dikuburkan di tempat dimana dilaksanakan Walimatul ‘urs dengan Rasulullah.
‘Atha’ berkata:”Setelah beliau wafat, saya keluar bersama Ibnu Abbas. Beliau berkata:”Apabila kalian mengangkat jenazahnya, maka kalian janganlah menggoncang-goncangkan atau menggoyang-goyangkan”. Beliau juga berkata:”Lemah lembutlah kalian dalam memperlakukannya karena dia adalah ibumu”.
Berkata ‘Aisyah setelah wafatnya Maimunah: ”Demi Allah! telah pergi Maimunah, mereka dibiarkan berbuat sekehendaknya. Adapun, demi Allah! beliau adalah yang paling takwa diantara kami dan yang paling banyak bersilaturrahim”.
Keselamatan semoga tercurahkan kepada Maimunah yang mana dengan langkahnya yang penuh keberanian tatkala masuk Islam secara terang-terangan membuahkan pengaruh yang besar dalam merubah pandangan hidup orang-orang musyrik dari jahiliyah menuju dienullah seperti Khalid dan Amru bin ‘Ash radhiallaahu 'anhu dan semoga Allah meridhai para sahabat seluruhnya.
Beliau termasuk pemuka kaum wanita yang masyhur dengan keutamaannya, nasabnya dan kemuliaannya. Pada mulanya beliau menikah dengan Mas’ud bin Amru ats-Tsaqafi sebelum masuk Islam sebagaimana beliau. Namun beliau banyak mondar-mandir ke rumah saudaranya Ummul Fadhl sehingga mendengar sebagian kajian-kajian Islam tentang nasib dari kaum muslimin yang berhijrah. Sampai kabar tentang Badar dan Uhud yang mana hal itu menimbulkan bekas yang mendalam dalam dirinya.
Tatkala tersiar berita kemenangan kaum muslimin pada perang Khaibar, kebetulan ketika itu Maimunah berada didalam rumah saudara kandungnya yaitu Ummu Fadhl, maka dia juga turut senang dan sangat bergembira. Namun manakala dia pulang ke rumah suaminya ternyata dia mendapatkannya dalam keadaan sedih dan berduka cita karena kemenangan kaum muslimin. Maka hal itu memicu mereka pada pertengkaran yang mengakibatkan perceraian. Maka beliau keluar dan menetap di rumah al-‘Abbas.
Ketika telah tiba waktu yang telah di tetapkan dalam perjanjian Hudaibiyah yang mana Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam diperbolehkan masuk Mekkah dan tinggal di dalamnya selama tiga hari untuk menunaikan haji dan orang-orang Quraisy harus membiarkannya. Pada hari itu kaum muslimin masuk Mekkah dengan rasa aman, mereka mencukur rambut kepalanya dengan tenang tanpa ada rasa takut. Benarlah janji yang haq dan terdengarlah suara orang-orang mukmin membahana,”Labbaikallâhumma Labbaika Labbaika Lâ Syarîka Laka Labbaik…”. Mereka mendatangi Mekkah dalam keadaan tertunda setelah beberapa waktu bumi Mekkah berada dalam kekuasaan orang-orang musyrik. Maka debu tanah mengepul di bawah kaki orang-orang musyrik yang dengan segera menuju bukit-bukit dan gunung-gunung karena mereka tidak kuasa melihat Muhammad dan para sahabatnya kembali ke Mekkah dengan terang-terangan, kekuatan dan penuh wibawa. Yang tersisa hanyalah para laki-laki dan wanita yang menyembunyikan keimanan mereka sedangkan mereka mengimani bahwa pertolongan sudah dekat.
Maimunah adalah salah seorang yang menyembunyikan keimanannya tersebut. Beliau mendengarkan suara yang keras penuh keagungan dan kebesaran. Beliau tidak berhenti sebatas menyembunyikan keimanan akan tetapi beliau ingin agar dapat masuk Islam secara sempurna dengan penuh Izzah (kewibawaan) yang tulus agar terdengar oleh semua orang tentang keinginannya untuk masuk Islam. Dan diantara harapannya adalah kelak akan bernaung di bawah atap Nubuwwah sehingga dia dapat minum pada mata air agar memenuhi perilakunya yang haus akan aqidah yang istimewa tersebut, yang akhirnya merubah kehidupan beliau menjadi seorang pemuka bagi generasi yang akan datang. Dia bersegera menuju saudara kandungnya yakni Ummu fadhl dengan suaminya ‘Abbas dan diserahkanlah urusan tersebut kepadanya. Tidak ragu sedikitpun Abbas tentang hal itu bahkan beliau bersegera menemui Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan menawarkan Maimunah untuk Nabi. Akhirnya Nabi menerimanya dengan mahar 400 dirham. Dalam riwayat lain, bahwa Maimunah adalah seorang wanita yang menghibahkan dirinya kepada Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam maka turunlah ayat dari Allah Tabaraka Ta’ala (artinya) :
“….Dan perempuan mukmin yang menyerahkan diri kepada Nabi kalau Nabi mengawininya sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin….”( al-Ahzab: 50)
Ketika sudah berlalu tiga hari sebagaimana yang telah ditetapkan dalam perjanjian Hudaibiyah, orang-orang Quraisy mengutus seseorang kepada Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengatakan: ”Telah habis waktumu maka keluarlah dari kami”. Maka Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjawab dengan ramah:
“Bagaimana menurut kalian jika kalian bairkan kami dan aku marayakan pernikahanku ditengah-tengah kalian dan kami suguhkan makanan untuk kalian???!”
Maka mereka manjawab dengan kasar: ”Kami tidak butuh makananmu maka keluarlah dari negeri kami!”.
Sungguh ada rasa keheranan yang disembunyikan pada diri kaum musyrikin selama tinggalnya Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam di Mekkah, yang mana kedatangan beliau meninggalkan kesan yang mendalam pada banyak jiwa. Sebagai bukti dialah Maimunah binti Harits, dia tidak cukup hanya menyatakan keislamannya bahkan lebih dari itu beliau daftarkan dirinya menjadi istri Rasul Shallallâhu ‘alaihi wa sallam sehingga membangkitkan kemarahan mereka. Untuk berjaga-jaga, Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam tidak mengadakan walimatul ‘Urs dirinya dengan Maimunah di Mekkah. Beliau mengizinkan kaum muslimin berjalan menuju Mekkah. Tatkala sampai disuatu tempat yang disebut ”Sarfan” yang beranjak 10 mil dari Mekkah maka Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam memulai malam pertamanya bersama Maimunah radhiallaahu 'anha. Hal itu terjadi pada bulan Syawal tahun 7 Hijriyah.
Mujahid berkata:”Dahulu namanya adalah Bazah namun Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam menggantinya dengan Maimunah. Maka sampailah Maimunah ke Madinah dan menetap di rumah nabawi yang suci sebagaimana cita-citanya yang mulai, yakni menjadi Ummul Mukminin yang utama, menunaikan kewajiban sebagai seorang istri dengan sebaik-baiknya, mendengar dan ta’at, setia serta ikhlas. Setelah Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam menghadap ar-Rafiiqul A’la, Maimunah hidup selama bertahun-tahun hingga 50 tahunan. Semuanya beliau jalani dengan baik dan takwa serta setia kepada suaminya penghulu anak Adam dan seluruh manusia yakni Muhammad bin Abdullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Hingga, karena kesetiaannya kepada suaminya, beliau berpesan agar dikuburkan di tempat dimana dilaksanakan Walimatul ‘urs dengan Rasulullah.
‘Atha’ berkata:”Setelah beliau wafat, saya keluar bersama Ibnu Abbas. Beliau berkata:”Apabila kalian mengangkat jenazahnya, maka kalian janganlah menggoncang-goncangkan atau menggoyang-goyangkan”. Beliau juga berkata:”Lemah lembutlah kalian dalam memperlakukannya karena dia adalah ibumu”.
Berkata ‘Aisyah setelah wafatnya Maimunah: ”Demi Allah! telah pergi Maimunah, mereka dibiarkan berbuat sekehendaknya. Adapun, demi Allah! beliau adalah yang paling takwa diantara kami dan yang paling banyak bersilaturrahim”.
Keselamatan semoga tercurahkan kepada Maimunah yang mana dengan langkahnya yang penuh keberanian tatkala masuk Islam secara terang-terangan membuahkan pengaruh yang besar dalam merubah pandangan hidup orang-orang musyrik dari jahiliyah menuju dienullah seperti Khalid dan Amru bin ‘Ash radhiallaahu 'anhu dan semoga Allah meridhai para sahabat seluruhnya.
Post a Comment