Menabur Awan
Menabur Awan
Suatu Serendipitas Menabur awan adalah terjemahan dari seeding the clouds
ataupun het enten van woken. Kedua ungkapan asing itu biasanya diterjemahakan
dalam bahasa Indonesia dengan ungkapan
membuat hujan. Terjemahan ini dapat menyesatkan, lebih-lebih bagi mereka
yang begitu kagum bercampur fanatik, yang hampir-hampir mengkultuskan iptek.
Bagi yang tidak begitu mengetahui seluk-beluk hujan buatan itu dikiranya
seenaknya saja hujan itu dapat dibuat.
Hujan itu merupakan bagian dari apa yang disebut dalam dunia ilmiyah
dengan ungkapan daur hidrologik. Daur
adalah suatu yang melingkar. Hidrologi adalah ilmu tentang seluk beluk tabiat
air. Secara gampangnya, daur hidrologik itu dapat dijelaskan seperti berikut.
Air hujan turun ke bumi, ada air yang langsung mengalir di atas permukaan bumi,
yang disebut sungai. Ada yang masuk meresap dalam tanah, disebut air tanah. Di
mana mungkin air dalam tanah mengalir membentuk sungai dalam tanah, dan yang
sempat muncul di permukaan tanah disebut mata air, yang menjadi hulu sungai.
Sungai- sungai di atas tanah bersama-sama dengan sungai-sungai di bawah tanah
mengalirkan air ke laut. Di tengah jalan aliran air itu di beberapa tempat
berhenti mengalir, untuk beristirahat sejenak di danau-danau. Air di laut di
danau dan di sungai-sungai menguap ke udara, karena dipukul oleh radiasi
matahari. Di udara air itu berwujud awan. Dari awan ini turunlah hujan.
Demikianlah daur hidrologik itu melingkar terus. Bagaimana proses
terbentuknya hujan dari awan merupakan masalah yang musykil, memusingkan para
pakar. Pasalnya ialah walaupun suhu awan sudah jauh di bawah titik beku, air
masih berbentuk uap. Seharusnya dalam suhu yang rendah itu sudah terbentuk
butir-butir kristal es dari awan itu.
Seorang pakar bernama John Aitken berteori bahwa kristal es baru dapat terbentuk
apabila ada zat yang halus sekali apakah debu atau materi lain, yang menjadi
inti butir- butir kristal itu. Tanpa zat halus itu tak mungkin terbentuk
titik-titik kristal itu. Bermodalkan teori ini sejumlah pakar mengadakan
penelitian dari tahun ke tahun tanpa hasil. Macam-macamlah zat yang dicoba untuk
ditaburkan di atas awan. Tentu saja menaburnya dari atas kapal terbang.
Vincent Joseph Schaever mengadakan penelitian tidak pakai kapal terbang
dan tidak berurusan dengan awan di alam bebas, karena biayanya mahal. Ia membuat
simulasi, yaitu membuat contoh dengan meniru keadaan yang sebenarnya. Schaever
mengambil ruang dalam lemari es sebagai simulasi angkasa di atas sana yang
dingin. Sebagai simulasi awan ia mempergunakan hembusan napasnya ke dalam lemari
es. Sudah banyak zat yang dicobanya,
sampai-sampai kepada mentega. Tidak ada yang berhasil. Rupanya semua usahanya
seperti sia-sia.
Lalu
pada suatu hari sedang asyik-asyiknya Schaever meneliti didepan lemari es
simulasinya itu, seorang kawan datang mengajaknya makan siang. "Tinggalkan dulu
pekerjaanmu yang melelahkan itu, lebih baik kita pergi mengisi perut." Schaever
menurut, dan sebelum pergi ia meninggalkan lemari esnya dalam keadaan terbuka,
karena suhu cuaca sedang menurun. Dengan demikian suhu dalam ruang simulasi
turut turun suhunya. Setelah kembali ke laboratoriumnya sehabis makan, dengan
kecewa ia mendapati suhu udara bebas sedang naik. Suhu ruang simulasinya juga
ikut naik tentunya, sehingga penelitian tidak dapat dengan segera dimulainya.
Harus menunggu dahulu mesin refrigerator bekerja menurunkan suhu ruangan
simulasi. Schaever berpikir cepat, teringat bahwa di lemari es yang lain
tersimpan es kering.
Ingat jangan dikacaukan dengan es krim. Es kering adalah CO2 yang padat,
jauh lebih dingin dari es biasa. CO2 ini zat istimewa, tidak pernah dalam phase
cair, dari padat langsung jadi phase gas. Itulah sebabnya disebut dry ice, es
kering, karena tak pernah basah. Schaever memasukkan es kering ke dalamnya.
Dengan demikian ia dapat menghemat waktu. Secara kebetulan bersamaan dengan
masuknya es kering itu ia mengeluarkan napas. Ia segera membelalak. Segala jerih
payahnya selama ini terbayar. Ia menyaksikan terjadinya hujan di dalam ruangan
simulasi itu. Tentu saja penemuan yang tak disangka-sangka ini belum final,
karena baru pada simulasi. Harus dicoba
di alam bebas. Awan ditabur dengan es kering dari atas kapal terbang. Dan
ternyata memang turun hujan betul-betul. Tentu dicoba beberapa kali mengubah
awan menjadi hujan dengan jalan menaburnya. Dan inilah yang disebut dengan
seeding the clouds, menabur awan. Schaever berhasil dalam penelitiannya tetapi
tidak dengan sengaja. Inilah yang disebut dengan serendipity, discovery by
accident, penemuan yang tak disangka- sangka. Istilah itu diciptakan oleh Horace
Walpole, seorang penulis terkenal, dalam tahun 1754. Konon diambil dari nama
kota dalam dongeng Sindbad the Sailor. Pelaut itu menemukan kota Serendib by
accident. Saya usulkan untuk menobatkan istilah ini menjadi bahasa Indonesia,
serendipitas. Sebab belum ada bahasa Indonesianya. Dalam kamus hanya dijelaskan
serendipity, penemuan tak disangka- sangka.
Rupanya teori inti dari Aitken ini akan gugur. Hasil serendipitas
Schaever menunjukkan tidak perlu ada inti. Cukup dengan es kering. Namun Bernard
Vonnegut tanpa disengaja (again by accident) suatu hari ia melihat titik air di
udara bertuliskan Pepsi Cola. Sebuah pesawat terbang dalam rangka reklame Pepsi
Cola, membuat tulisan asap nama minuman itu di udara. Vonnegut melihat bahwa
terbentuk gerimis hujan dari asap yang membuat tulisan nama minuman itu. Dari
peristiwa itu Vonnegut berkesimpulan teori inti Aitken tidak gugur. Vonnegut
lalu mendalami teori kristal es bersisi enam dari seorang pakar bernama
Findeisen. Vonnegut berkesimpulan bahwa inti itu di samping halus harus memenuhi
bentuk sisi enam. Akhirnya ia mendapatkan zat kimia yang memenuhi persyaratan
itu, iodida perak. Zat ini dicoba Vonnegut untuk menabur awan, dan hujan turun.
Sampai sekarang ini kedua cara itu dipakai untuk menabur awan, dengan es
kering dan dengan iodida perak. Tentu
saja penelitian dilanjutkan terus untuk mendapatkan zat penabur awan yang lebih
murah harganya. Penemuan itu oleh keduanya didapatkan tidak dengan sengaja.
Schaever tidak sengaja dalam menabur es kering, dan Vonnegut tidak sengaja
melihat Pepsi Cola untuk tetap bertahan pada teori inti dan mendapatkan iodida
perak untuk menabur. Jadi kesimpulan sementara dari hasil serendipiti Shaever
dan Vonnegut itu seperti berikut ini. Kalau suhunya cukup rendah, pembentukan
kristal es tidak perlu pakai inti. Kalau tidak cukup rendah harus pakai inti.
Berfirman Allah dalam S.Al Baqarah 212 dan S.An Nur 38: Wa Llahu yarzuqu man
yasyaau bi ghayri hisab, artinya: Allah
memberi rezeki kepada siapa yang mau (untuk mendapatkan rezeki), dengan tidak
disangka-sangka. Schaever dan Vonnegut telah mendapatkan rezeki yang tak
disangka-sangka. Allah berkehendak memberikan rezeki kepada keduanya, karena
keduanya berkeinginan dan berikhtiar bersungguh-sungguh mendapatkan rezeki yang
dalam hal ini rezeki itu berwujud ilmu pengetahuan. Mungkinkah ayat tersebut
berlaku untuk Schaever dan Vonnegut? Keduanya bukan orang Islam! Allah adalah Ar
Rahman, Maha Pengasih. Allah dengan sifat RahmanNya itu tidak membeda-bedakan
hamba sahayaNya di dunia ini, apakah ia Islam, atau bukan, bahkan yang ingkar
kepadaNya sekalipun. Siapa saja yang mencari rezeki termsuk ilmu dengan
bersungguh-sungguh, Allah akan memberikan. Karena Allah adalah Sumber dari
segala-galanya, antara lain Sumber rezeki dan Sumber ilmu. WaLlahu a'lamu
bishshawab
Post a Comment