Kebebasan Memilih
Kebebasan Memilih
Kebebasan memlih dalam pemilu? Bukan hanya dalam sekadar ruang lingkup
sesempit itu, melainkan kebebasan memilih dalam skala makro yang akan
dibicarakan. Ada yang datang pada saya membawakan salah satu Kitab Tafsir Al
Quran dan memperlihatkan terjemahan S. Al Baqarah, 212:
Wa
Llahu yarzuqu man yasyaau, diterjemahkan dengan : Dan Allah memberi rezeki
kepada orang-orang yang dikehendakiNya. Pada hal dalam tulisan Seri 038 yang
baru lalu, terjemahannya demikian: Dan Allah memberi rezeki kepada orang yang
menghendaki (untuk mendapatkan rezeki).
Di
zaman pra-Islam ada dua aliran filsafat yang saling bertentangan. Di pihak yang
satu berfaham bahwa manusia itu sama sekali tidak mempunyai ikhtiar apa-apa,
Tuhanlah Yang aktif. Aliran ini menempatkan manusia dalam keadaan pasif
sebenar-benarnya. Inilah Jabariyah, Fatalisme. Sedangkan pada pihak yang lain,
yang bertolak belakang dengan aliran tersebut adalah faham Qadariyah. Faham ini
walaupun masih percaya adanya Maha Pencipta, tetapi menganggap Tuhan dalam
keadaan pasif, manusialah yang aktif dalam berkeinginan dan berikhtiar. Jadi
setingkat di bawah faham Deisme, yang mengingkari komunikasi antara Tuhan dengan
makhlukNya.
Memang ada dua penafsiran ayat tersebut. Perbedaan ini terletak dalam hal
siapakah yang menjadi fa'il (= pelaku) dari perbuatan yasyaau (= menghendaki)
dalam ayat itu. Apakah Allah atau man. Pada penafsiran yang pertama, Allah Yang
menjadi Fa'il. Dengan demikian ayat itu berarti: Allah memberi rezeki kepada
orang yang (Allah) kehendaki, atau dengan ungkapan lain: dikehendakiNya.
Penafsiran ini diwarnai oleh faham Jabariyah. Allah aktif, manusia pasif tanpa
ikhtiar.
Sedangkan pada penafsiran yang kedua, man = siapa, atau orang yang
menjadi pelaku. Maka ayat itu berarti: Allah memberi rezeki kepada orang yang
menghendaki (untuk mendapatkan rezeki). Penafsiran ini tidak diwarnai oleh faham
Jabariyah. Juga tidak diwarnai oleh Qadariyah. Dalam penafsiran ini Allah aktif
dan manusia aktif. Inilah faham Ahlussunnah.
Sebenarnya ada ayat lain yang senada dengan ayat di atas itu, yakni: Wa
Llaahu yahdie man yasyaau. (S. Al Baqarah 213) Yahdie artinya memberi petunjuk.
Sudah dijelaskan dalam seri 023, yang berjudul 17 Ramadhan Nuzulu-
lQuran?, bahwa dalam hal ada penafsiran yang berbeda, maka perbedaan itu harus
diujicoba, jangan dibiarkan dalam keadaan status quo. Pendekatan Kitabiyah
jangan seperti keadaannya dengan ilmu di zaman Yunani Kuno. Kalau dikatakan ini
pendapat Socrates, ini menurut Anaxagoras, maka selesailah sudah, tetap dalam
keadaan status quo. Inipun sudah dikemukakan dalam seri yang lalu, bahwa
Pendekatan Kitabiyahpun jangan berhenti pada status quo, menurut qaul (pendapat)
si Fulan begini, menurut si Fulan yang lain begitu.
Sudah juga dijelaskan bahwa yang diujicoba bukan kebenaran ayat.
Kebenaran ayat itu mutlak, sebab ayat itu bersumber dari Yang Maha Mutlak. Yang
diujicoba adalah hasil penafsiran manusia, hasil pekerjaan akal manusia.
Penafsiran itu harus diperhadapkan kepada ayat-ayat yang lain. Marilah kita
rujukkan kedua penafsiran yang bertolak belakang itu terhadap ayat-ayat di bawah
ini:
Inna
Llaaha laa yughayyiru maa bi qawmin hattaa yugayyiruw maa bi anfusihim. artinya:
Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, hingga mereka itu mengubah keadaan
dirinya. (Ar Ra'd 11)
(Sedikit catatan, banyak yang menulis arti yughayyiru dengan merubah. Ini
tidak betul. Rubah adalah binatang sejenis keluarga anjing, dalam bahasa Inggris
disebut fox. Asal katanya ubah, mendapat awalan me+sengau ng menjadi mengubah).
Ayat
di bawah lebih mempertegas apa yang dimaksud dengan keadaan tersebut:
Dzaalika bi anna Llaaha alam yaku mughayyiran ni'matan an'amahaa 'alaa
qawmin hattaa yughayyiruw maa bi anfusihim. artinya: Demikianlah Allah tidak
akan membuat perubahan untuk memberi ni'mat atas suatu kaum, hingga mereka
mengubah keadaan dirinya. (Al Anfal 53)
Jadi
sudah jelas, bahwa yang dimaksud dengan keadaan adalah ni'mat Allah. Adapun
ni'mat Allah dapat berupa petunjuk seperti dalam S. Al Baqarah 213 di atas,
ataupun berupa rezeki seperti dalam S. Al Baqarah 212. Baik S. Ar Ra'd 11,
maupun S. Al Anfal 35, keduanya tidak berpola Qadariyah juga tidak berpola
Jabariyah. Allah memberikan ni'mat yang bersyarat. Syaratnya ialah siapa yang
berusaha mengubah dirinya untuk mendapatkan ni'mat itu. Jadi Allah aktif,
manusia juga aktif. Secara aktif, ni'mat Allah dipancarkan oleh Allah tak
putus-putusnya, ibarat matahari yang memancarkan sinarnya ke sekelilingnya. Pada
pihak yang lain manusia harus aktif pula berikhtiar untuk mendapatkan ni'mat
Allah yang dipancarkan Allah itu. Ibarat seorang manusia yang ada di dalam gua
yang gelap gulita, mana mungkin akan mendapatkan sinar matahari, apabila orang
itu tetap tinggal di dalam gua itu. Ia harus berikhtiar, keluar dari gua untuk
mendapatkan sinar matahari itu.
Ayat-ayat rujukan di atas itu berhubungan dengan pola makna ayat, atau
istilah canggihnya pola kontekstual. Berikut ini dikemukakan rujukan ayat
mengenai pola redaksionalnya. Firman Allah dalam S. Ar Ra'd 27:
Inna Llaaha yudhillu man yasyaau, wa yahdie ilayhie man
anaaba sesungguhnya disesatkan Allah orang yang
menghendaki (kesesatan) dan memberi petunjuk kepada orang yang tobat. Pola
secara redaksional ini jelas. Man adalah pelaku perbuatan yasyaau dan
anaaba.
Jadi
penafsiran yang dikukuhkan oleh hasil ujicoba di atas adalah Allah aktif dan
manusia aktif seperti pola kontekstual yang ditunjukkan oleh S. Ar Ra'd,11 dan
S. Al Anfal,35, dan pola redaksional yang ditunjukkan oleh S. Ar Ra'd,27. Dan
pola Allah aktif, manusia aktif, inilah faham Ahlussunnah, dengan penafsiran
seperti berikut:
Allah hanya berkenan memberikan petunjuk kepada orang yang berkeinginan
dan berikhtiar untuk mendapatkan petunjuk. Dan Allah hanya berkenan memberikan
rezeki kepada orang yang berkeinginan dan berikhtiar untuk mendapatkan rezeki.
Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk menentukan pilihannya: Apa mau
sesat di tempat yang gelap, atau berikhtiar mendapatkan petunjuk, mina
zhzhulumaati ila nNur, dari kegelapan ke terang-benderang.
Wa quli lhaqqu min rabbikum faman syaa.a falyu"min wa man syaa.a
falyakfur, artinya: Kebenaran dari Maha Pengaturmu,
siapa yang mau maka berimanlah, siapa uang mau maka kafirlah (S. Al Kahf, 29).
Dengan kebebasan memilih itu manusia memikul tanggung jawab penuh atas hasil
pilihan dan perbuatannya. Janganlah pula orang kafir itu mengatakan mengapa ia
harus dihukum, bukankah ia menjadi kafir itu atas kehendak Allah? Allah Maha
Adil, Yang menghukum manusia atas hasil pilihaan manusia itu sendiri. Manusia
harus mempertanggung-jawabkan hasil pilihannya itu kepada Maaliki Yawmi
dDien, Pemilik Hari Keadilan. WaLlahu a'lamu bishshawab.
Post a Comment