Menjadi Hakim Sendiri, Apa motifnya?
Menjadi Hakim Sendiri, Apa motifnya?
Besok, 6 Juli 1992, insya Allah akan berlangsung Lomba Kadarkum Wanita
Tingkat KMUP. Pesertanya ada empat: Bunga Matahari, Bunga Melati, Bunga Seruni,
dan Bunga Teratai. Urutan peserta tersebut disusun secara abjad. Ini agar
obyektif, maklumlah ini perlombaan. Nanti dikira susunan itu dapat dianggap
mendahului juri. Kadarkum adalah singkatan dari Keluarga Sadar Hukum. Saya tidak
habis pikir mengenai singkatan. Seenaknya saja, tidak ada aturannya. Ka biasanya
singkatan dari kepala, mengapa di sini singkatan dari keluarga.
Beberapa hari yang lalu mobil saya dipecahkan kaca samping kanan yang di
belakang oleh maling. Tape di dalamnya digerayangi. Kejadiannya menjelang subuh,
saya masih sempat melihat maling itu melompati pagar. Dua mobil sekali gus
digarapnya. Mobil yang satunya yang digarap adalah mobil tetangga di sebelah.
Pemiliknya cukup terkenal, Koordinator Kopertis Wilayah IX. Yang sempat digarap
jam mobil, juga dengan memecahkan kaca belakang.
Sesudah shalat subuh, terjadi dialog antara ibu dengan anak. Anak saya
yang laki-laki dengan kesal mengatakan andaikata dia dapat menangkap maling itu,
tidak usah diserahkan ke polisi. Tape diambil kembali dan dipasang di mobil.
Maling yang telah memecahkan kaca mobil diberi imbalan, digebuk sesuai dengan
hasil perbuatannya. Isteri saya mengatakan itu tidak boleh. Tidak boleh menjadi
hakim sendiri. Isteri saya berusaha memberikan penyuluhan hukum kepada anaknya.
Maklumlah dia itu Ketua Kadarkum Bunga Matahari (Kadarkumnya 'Aisyiyah).
Pada
pokoknya dialog di pagi hari itu antara ibu dengan anak berlangsung seru. Dan
dari dialog itu saya dapat menyimak motif yang mendorong orang menjadi hakim
sendiri. Barang yang dicuri disimpan di kantor polisi sebagai tanda bukti,
kemudian diserahkan ke pengadilan. Jadi selama itu barang tersebut tidak
dinikmati oleh saksi korban. Itu yang pertama. Yang kedua, keputusan hakim tidak
menyangkut tebusan kerugian barang yang dirusak oleh maling, karena ini
menyangkut pidana, bukan perdata. Penggabungan pidana dan perdata biasanya
hanyalah untuk kerugian yang besar, itupun harus ada gugatan kerugian.
(K)itab (U)ndang-undang (H)ukum (A)cara Pidana [KUHAP] kita menaruh saksi
korban di luar garis. KUHAP kita mencuekkan hak asasi saksi korban. KUHAP kita
hanya memperhatikan hak asasi terdakwa. Apa sih salahnya kalau dalam KUHAP itu
dimuat ketentuan sebelum jaksa akan menerima keputusan hakim, jaksa diwajibkan
bicara dahulu dengan saksi korban, mau menerima atau naik banding. Atau secara
administratifnya jaksa dan saksi korban bertanda tangan bersama-sama, menerima
atau naik banding. Dengan demikian saksi korban tidak di taruh di luar garis.
Motivasi untuk menjadi hakim sendiri dapat diredam.
Dalam Hukum Islam saksi korban sangat diperhatikan. Hukum Qishash seperti
tercantum dalam S. Al Maidah, 45 dibuka kelonggaran. Dan yang berhak membuka
kelonggaran itu adalah saksi korban. Kalau dia bersedekah, tashaddaqa bihie,
dalam arti memaafkan, melepaskan hak membalasnya, terdakwa dapat luput dari
Hukum Qishash.
Tentu kita semua masih ingat suatu kejadian yang sebenarnya terjadi di
zaman Khalifah Umar ibn Khattab. Yang telah ditayangkan oleh TVRI beberapa tahun
lalu. Amar keputusan Umar ibn Khattab sebagai hakim: Menghukum mati terdakwa
pembunuh sesuai Hukum Qishash. Memerintahkan ahli waris korban terbunuh untuk
mengganti kuda yang dibunuh oleh korban terbunuh, sesuai dengan Hukum Qishash.
Ganti rugi itu harus diberikan kepada ahli waris terhukum. Ternyata ahli waris
korban terbunuh membatalkan hukuman mati itu. Dalam hal ini saksi korban
termasuk dalam man tashaddaqa bihie, yang menyedekahkan hak balasnya menurut S.
Al Maidah, 45. Dari kejadian tersebut ada
hal yang penting yang dapat kita simak. Yaitu amar keputusan hakim
menyangkut pidana dan perdata. Hukuman mati bagi terdakwa, itulah keputusan
pidananya. Dan memerintahkan mengganti kuda yang mati, itulah perdatanya. Baik
aspek pidana maupun perdatanya, keduanya berlandaskan Hukum Qishash.
Disinilah terletak perbedaannya dalam arti kelebihannya Hukum Islam atas
Hukum Nasional. Dan sudah semestinya demikian, karena Hukum Islam berasal dari
Wahyu yang non-historis, yang kualitasnya adalah kebenaran mutlak, sedangkan
Hukum Nasional yang berdasar atas kesepakatan komunitas (baca: Bangsa Indonesia)
hanyalah berkualitas kebenaran relatif yang historis dalam arti produk sejarah
yang tergantung pada waktu dan tempat. Di mana itu letak kelebihan trsebut?
Yaitu Hukum Qishash mengharuskan penggabungan perkara pidana dengan perdata
dalam hal ganti rugi. Sedangkan dalam KUHAP penggabungan perkara pidana dengan
perdata, tidaklah dengan sendirinya. Harus ada gugatan ganti kerugian dahulu.
Dan kerugian dalam hal perkara perdata itu itu harus dalam skala yang besar.
Lalu bagaimana dengan kerugian kecil-kecil tetapi besar artinya bagi saksi
korban. Katakanlah kaca mobil yang dipecahkan maling misalnya. Inilah yang
memberikan motivasi yang mendorong anak saya ingin mengambil jalan pintas, ingin
menjadi hakim sendiri, bahkan ingin menjadi hakim beramai-ramai dengan
mengerahkan teman-temannya.
Di
samping kekurangan KUHAP yang mengabaikan saksi korban itu, juga (K)itab
(U)ndang-Undang (H)ukum (P)idana [KUHP] harus memuat hukuman minimum. Jangan
cuma seperti keadaanya sekarang. Hanya mencantumkan hukuman maksimum. Jadi
hukuman itu ada lingkup/range-nya. Dengan adanya hukuman minimum tercegahlah
misalnya vonis satu tahun bagi pembunuh seperti terjadi di beberapa pengadilan
di negeri kita ini. WaLlahu a'lamu bishshawab.
Post a Comment