Para Ahli Tafsir Terkenal Dari Kalangan Shahabat
Para Ahli Tafsir Terkenal Dari Kalangan Shahabat
Beberapa shahabat dikenal sebagai ahli tafsir, di antaranya
–sebagaimana yang disebutkan as-Suyuthy adalah empat khalifah Islam; Abu Bakar,
‘Umar, ‘Utsman dan ‘Aly.
Hanya saja riwayat mengenai tiga orang pertama (selain ‘Aly) tidaklah terlalu banyak karena kesibukan mereka mengurusi pemerintahan (kekhalifahan), di samping masih belum diperlukan adanya riwayat mengenai hal itu karena begitu banyaknya kalangan para shahabat yang memahami tafsir.
Di antara kalangan para shahabat yang dikenal sebagai ahli tafsir juga adalah ‘Abdullah bin Mas’ud dan ‘Abdullah bin ‘Abbas.
Berikut riwayat hidup singkat ‘Aly, ‘Abdullah bin Mas’ud dan ‘Abdullah bin ‘Abbas.
1. ‘ALY BIN ABI THALIB RA
Beliau adalah anak paman Rasulullah SAW (sepupunya) dan suami dari anaknya, Fathimah, alias menantunya serta orang yang pertama-tama beriman dengannya dari kalangan keluarga dekatnya. Ia lebih dikenal dengan nama ini sedangkan Kun-yah (sapaan) nya adalah Abu al-Hasan dan Abu Turab.
Dilahirkan sepuluh tahun sebelum diutusnya Nabi SAW sebagai Nabi, tergambleng di sisi Nabi SAW, mengikuti semua peperangan Rasulullah SAW dan pemegang panji di sebagian besarnya serta tidak pernah mangkir kecuali pada perang Tabuk karena diminta Nabi tinggal untuk menjaga keluarga beliau. Ketika itu, beliau SAW berkata kepadanya, “Tidakkah engkau rela kedudukanmu bagiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa? Hanya saja, tidak ada Nabi setelahku.”
Manaaqib (sisi positif dari kehidupan seseorang) dan keutamaannya banyak sekali diriwayatkan, tidak seperti para shahabat lainnya. Ditanganya-lah dua kelompok berhasil dihancurkan, yaitu: pertama kelompok an-Nawaashib yang menancapkan permusuhan terhadapnya dan berusaha meyembunyikan sama sekali sisi positif dari kehidupannya. Kedua, Kaum Rafidlah (Syiah Ekstrem) yang berlebih-lebihan –menurut klaim mereka- dalam mencintainya dan membikin-bikin saja sisi positif kehidupannya yang tidak semestinya bahkan bila direnungi, malah banyak cacatnya (tidak benar).
Beliau RA terkenal sebagai seorang yang pemberani dan pintar, berilmu dan suci hatinya. Maka, tidak heran bilamana ‘Umar bin al-Khaththab RA berharap agar jangan sampai bila menghadapi suatu rintangan tanpa keberadaan Abu Hasan. Para Ahli Nahwu mengungkapkannya dengan istilah, “Masalah yang tanpa Abu Hasannya.” (alias menunjukkan betapa penting perannya-red.,)
Diriwayatkan dari ‘Aly RA, bahwasanya dia pernah berkata, “Tanyakan kepadaku, tanyakan kepadaku, tanyakan kepadaku tentang Kitabullah. Demi Allah, tidak satu ayat pun kecuali aku mengetahui apakah diturunkan pada malam atau siang hari.”
Ibn ‘Abbas RA berkata, “Bila ada riwayat dari periwayat Tsabat (yang dapat dipercaya) yang meriwayatkan dari ‘Aly, maka kami tidak akan mengambil yang lainnya.”
Diriwayatkan juga darinya (Ibn ‘Abbas) bahwasanya dia berkata, “Apa yang aku ambil dari tafsir Qur’an, maka pastilah ia dari ‘Aly bin Abi Thalib. Ia salah seorang dari anggota dewan syuro yang dinominasikan ‘Umar guna menunjuk khalifah. ‘Abdurrahman menawarkan jabatan itu kepadanya namun ia menolaknya kecuali dengan syarat-syarat yang sebagiannya tidak dapat diterimanya, kemudian dia (‘Abdurrahman bin ‘Auf) membai’at ‘Utsman, kemudian ‘Ali dan orang-orang pun membai’atnya. Setelah ‘Utsman, ia dibai’at untuk menjabat sebagai khalifah hingga terbunuh sebagai syahid di Kufah pada malam 17 Ramadlan tahun 40 H.
2. ‘ABDULLAH BIN MAS’UD RA
Beliau adalah ‘Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil al-Hadzaly sedangkan ibunya Ummu ‘Abd yang terkadang nasab beliau dinisbatkan kepadanya*.
Ia merupakan salah seorang dari orang-orang yang masuk Islam terdahulu, berhijrah dua kali dan ikut serta dalam perang Badar dan peperangan setelahnya.
Ia mengambil al-Qur’an dari Nabi SAW sebanyak tujuh puluh-an surat. Pada permulaan Islam, Nabi SAW pernah berkata kepadanya, “Sesungguhnya engkau adalah si anak yang (berpredikat) pengajar.” Beliau juga bersabda, “Barangsiapa yang ingin membaca al-Qur’an dalam kondisi masih segar sebagaimana diturunkan, maka bacalah sesuai bacaan Ibn Ummu ‘Abd.”
Di dalam shahih al-Bukhari disebutkan bahwa Ibn Mas’ud RA berkata, “Para shahabat Rasulullah SAW telah mengetahui bahwa aku adalah orang yang paling mengetahui mengenai Kitabullah di kalangan mereka.” Dalam momen yang lain, ia berkata, “Demi Allah Yang Tiada Tuhan –yang berhak disembah- selain-Nya, tidaklah satu surat pun dari Kitabullah yang diturunkan melainkan aku mengetahui di mana ia diturunkan dan tidaklah satu ayat dari Kitabullah yang diturunkan melainkan aku mengetahui pada siapa ia turun. Andaikatan aku mengetahui ada seseorang yang lebih mengetahui dariku mengenai Kitabullah di mana untuk mencapainya harus menggunakan onta (kendaraan), maka pasti aku akan berangkat ke sana.”
Ia termasuk Orang yang mengabdi kepada Nabi SAW, yang memasangkan kedua sandalnya, mengambilkan air untuk wudlunya dan mengambilkan bantal untuk tidurnya. Sampai-sampai Abu Musa al-Asy’ari berkata, “Saat aku datang bersama saudaraku dari Yaman, kami tinggal beberapa waktu. Dalam masa itu, kami hanya melihat ‘Abdullah sebagai seorang Ahli Bait Nabi SAW karena kami melihat betapa seringnya ia dan ibunya menemui Nabi SAW. Dan karena ‘nyantri’nya yang begitu lama dengan Nabi SAW, ia begitu terpengaruh dengannya dan dengan petunjuknya hingga Hudzaifah berkata mengenainya, “Aku tidak mengenal seorang pun yang lebih dekat petunjuk dan sifatnya dengan Nabi SAW selain Ibn Ummu ‘Abd (Ibn Mas’ud).”
Ia pernah diutus ‘Umar bin al-Khaththab ke Kufah untuk mengajarkan urusan agama kepada penduduknya dan mengutus ‘Ammar bin Yasir sebagai Amirnya. ‘Umar mengomentari, “Sesungguhnya keduanya termasuk orang-orang cerdas di kalangan shahabat Nabi SAW, karena itu ikutilah mereka.”
Kemudian ‘Utsman mengangkatnya jadi Amir di Kufah, lalu mencopotnya dan memeritahkannya agar kembali ke Madinah. Di Madinah lah beliau (‘Aly) wafat (dibunuh oleh Ibn Muljam, orang persia-red.,), tepatnya pada tahun 32 H dan dikuburkan di pekuburan Baqi’ dalam usia 70-an tahun.
3. ‘ABDULLAH BIN ‘ABBAS
Beliau adalah anak paman (sepupu) Rasulullah SAW, lahir tiga tahun sebelum hijrah. Beliau hidup bersama Rasulullah SAW dan ‘nyantri’ karena ia adalah anak pamannya (sepupunya), sedangkan bibinya Maimunah di tanggung oleh Nabi SAW. Rasulullah pernah merengkuhnya ke dada beliau seraya berdoa, “Ya Allah, ajarilah ia al-Hikmah.” Dalam suatu riwayat disebutkan, “(Ajarilah ia) al-Kitab (al-Qur’an).”
Ketika mengajarinya berwudlu beliau SAW berdoa, “Ya Allah, anugerahilah pemahaman agama kepadanya.” Berkat doa yang diberkahi ini, ia kemudian benar-benar menjadi ‘tinta’ nya Umat (lautan ilmu) di dalam menyebarkan tafsir dan fiqih. Allah menganugerahinya taufiq di dalam bergiat mendapatkan ilmu dan bersungguh-sungguh di dalam menuntutnya serta bersabar di dalam menerimanya. Dengan begitu, ia meraih kedudukan yang tinggi sampai-sampai Amirul Mukminin, ‘Umar bin al-Khaththab RA mengundangnya ke majlis-majlisnya dan mengambil pendapatnya. Orang-orang Muhajirin berkata (kepada ‘Umar), “Tidakkah engkau undang anak-anak kami sebagaimana engkau undang Ibn ‘Abbas.?” Maka, ia menjawab, “Itulah pemuda yang menginjak dewasa, yang memiliki lisan yang banyak bertanya dan hati yang banyak akalnya.”
Pada suatu hari, ‘Umar mengundang mereka, lalu tak berapa lama menghadirkan Ibn ‘Abbas bersama mereka untuk memperlihatkan kepada mereka kebenaran langkahnya tersebut. ‘Umar berkata, “Apa pendapat kalian mengenai firman Allah, “Bila telah datang pertolongan Allah dan Penaklukan.” (surat an-Nahsr hingga selesai). Maka, sebagian mereka berkata, “Kita diperintahkan agar memuji Allah dan meminta ampun kepada-Nya bila kita menang (dapat menaklukkan Mekkah).” Sebagian lagi hanya terdiam saja. Lalu, ‘Umar pun berkata kepada Ibn ‘Abbas, “Apakah kamu juga mengatakan demikian.?” Ia menjawab, “Tidak.” Lalu ‘Umar bertanya, “Kalau begitu, apa yang akan kamu katakan.?” Ia menjawab, “Itu berkenaan dengan ajal Rasulullah SAW di mana Allah membeitahukan kepadanya bila telah datang pertolongan-Nya dan penaklukan kota Mekkah, maka itulah tanda ajalmu (Yakni Rasulullah-red.,), karena itu sucikanlah Dia dengan memuji Rabbmu dan minta ampunlah kepada-Nya karena Dia Maha Menerima taubat.” ‘Umar pun berkata, “Yang aku ketahui memang seperti yang engkau ketahui itu.” Ibn Mas’ud berkata, “Sebaik-baik Turjumaan al-Qur’an (penerjemah) adalah Ibn ‘Abbas. Andaikata ia seusia kami, niscaya tidak seorang pun dari kami yang menandinginya.” Padahal, Ibn ‘Abbas hidup setelahnya (Ibn Mas’ud) selama 36 tahun kemudian. Nah, bagaimana pendapat anda mengenai ilmu yang diraihnya setelah itu.?
Ibn ‘Umar pernah berkata kepada salah seorang yang bertanya mengenai suatu ayat kepadanya, “Berangkatlah menuju Ibn ‘Abbas lalu tanyakanlah kepadanya sebab ia adalah sisa shahabat yang masih hidup yang paling mengetahui wahyu yang diturunkn kepada Nabi SAW.”
‘Atha` berkata, “Aku tidak pernah melihat sekali pun ada suatu majlis yang lebih mulia dari majlis Ibn ‘Abbas dari sisi fiqih, demikian juga yang paling agung dari sisi wibawanya. Sesungguhnya para ahli fiqih berada di sisinya, para ahli Qur’an berada di sisinya dan para ahli sya’ir juga berada di sisinya. Ia menimbakan untuk mereka semua dari lembah yang luas.” (alias mengajarkan ilmu yang banyak-red.,)
Abu Wa`il berkata, “Saat Ibn ‘Abbas menjadi Amir haji atas perintah khalifah ‘Utsman, pernah ia berbicara kepada kami dengan membuka dengan surat an-Nur; membaca dan menafsirkannya. Selama ia begitu, aku pun bertutur pada diriku, ‘Aku tidak pernah melihat atau pun mendengar ucapan seseorang sepertinya. Andaikata didengar oleh orang-orang Persia, Romawi dan Turki (waktu sebelum Islam-red.,), pastilah mereka semua masuk Islam.”
Saat ia diangkat jadi Amir haji tersebut oleh khalifah ‘Utsman itu adalah tahun 35 H, lalu diangkat jadi penguasa di Bashrah oleh khalifah ‘Aly bin Abi Thalib namun tatkala ia (‘Aly) meninggal karena terbunuh, ia pulang ke Hijaz, bermukim di Mekkah kemudian keluar dari sana menuju Tha`if dan wafat di sana pada tahun 68 H dalam usia 71 tahun.
CATATAN:
* Hal ini karena ayahnya mati dalam ‘agama’ jahiliyyah sedangkan ibunya hidup dalam masa Islam dan memeluk agama Islam
(SUMBER: Ushuul Fi at-Tafsiir karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, h.33-37
Hanya saja riwayat mengenai tiga orang pertama (selain ‘Aly) tidaklah terlalu banyak karena kesibukan mereka mengurusi pemerintahan (kekhalifahan), di samping masih belum diperlukan adanya riwayat mengenai hal itu karena begitu banyaknya kalangan para shahabat yang memahami tafsir.
Di antara kalangan para shahabat yang dikenal sebagai ahli tafsir juga adalah ‘Abdullah bin Mas’ud dan ‘Abdullah bin ‘Abbas.
Berikut riwayat hidup singkat ‘Aly, ‘Abdullah bin Mas’ud dan ‘Abdullah bin ‘Abbas.
1. ‘ALY BIN ABI THALIB RA
Beliau adalah anak paman Rasulullah SAW (sepupunya) dan suami dari anaknya, Fathimah, alias menantunya serta orang yang pertama-tama beriman dengannya dari kalangan keluarga dekatnya. Ia lebih dikenal dengan nama ini sedangkan Kun-yah (sapaan) nya adalah Abu al-Hasan dan Abu Turab.
Dilahirkan sepuluh tahun sebelum diutusnya Nabi SAW sebagai Nabi, tergambleng di sisi Nabi SAW, mengikuti semua peperangan Rasulullah SAW dan pemegang panji di sebagian besarnya serta tidak pernah mangkir kecuali pada perang Tabuk karena diminta Nabi tinggal untuk menjaga keluarga beliau. Ketika itu, beliau SAW berkata kepadanya, “Tidakkah engkau rela kedudukanmu bagiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa? Hanya saja, tidak ada Nabi setelahku.”
Manaaqib (sisi positif dari kehidupan seseorang) dan keutamaannya banyak sekali diriwayatkan, tidak seperti para shahabat lainnya. Ditanganya-lah dua kelompok berhasil dihancurkan, yaitu: pertama kelompok an-Nawaashib yang menancapkan permusuhan terhadapnya dan berusaha meyembunyikan sama sekali sisi positif dari kehidupannya. Kedua, Kaum Rafidlah (Syiah Ekstrem) yang berlebih-lebihan –menurut klaim mereka- dalam mencintainya dan membikin-bikin saja sisi positif kehidupannya yang tidak semestinya bahkan bila direnungi, malah banyak cacatnya (tidak benar).
Beliau RA terkenal sebagai seorang yang pemberani dan pintar, berilmu dan suci hatinya. Maka, tidak heran bilamana ‘Umar bin al-Khaththab RA berharap agar jangan sampai bila menghadapi suatu rintangan tanpa keberadaan Abu Hasan. Para Ahli Nahwu mengungkapkannya dengan istilah, “Masalah yang tanpa Abu Hasannya.” (alias menunjukkan betapa penting perannya-red.,)
Diriwayatkan dari ‘Aly RA, bahwasanya dia pernah berkata, “Tanyakan kepadaku, tanyakan kepadaku, tanyakan kepadaku tentang Kitabullah. Demi Allah, tidak satu ayat pun kecuali aku mengetahui apakah diturunkan pada malam atau siang hari.”
Ibn ‘Abbas RA berkata, “Bila ada riwayat dari periwayat Tsabat (yang dapat dipercaya) yang meriwayatkan dari ‘Aly, maka kami tidak akan mengambil yang lainnya.”
Diriwayatkan juga darinya (Ibn ‘Abbas) bahwasanya dia berkata, “Apa yang aku ambil dari tafsir Qur’an, maka pastilah ia dari ‘Aly bin Abi Thalib. Ia salah seorang dari anggota dewan syuro yang dinominasikan ‘Umar guna menunjuk khalifah. ‘Abdurrahman menawarkan jabatan itu kepadanya namun ia menolaknya kecuali dengan syarat-syarat yang sebagiannya tidak dapat diterimanya, kemudian dia (‘Abdurrahman bin ‘Auf) membai’at ‘Utsman, kemudian ‘Ali dan orang-orang pun membai’atnya. Setelah ‘Utsman, ia dibai’at untuk menjabat sebagai khalifah hingga terbunuh sebagai syahid di Kufah pada malam 17 Ramadlan tahun 40 H.
2. ‘ABDULLAH BIN MAS’UD RA
Beliau adalah ‘Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil al-Hadzaly sedangkan ibunya Ummu ‘Abd yang terkadang nasab beliau dinisbatkan kepadanya*.
Ia merupakan salah seorang dari orang-orang yang masuk Islam terdahulu, berhijrah dua kali dan ikut serta dalam perang Badar dan peperangan setelahnya.
Ia mengambil al-Qur’an dari Nabi SAW sebanyak tujuh puluh-an surat. Pada permulaan Islam, Nabi SAW pernah berkata kepadanya, “Sesungguhnya engkau adalah si anak yang (berpredikat) pengajar.” Beliau juga bersabda, “Barangsiapa yang ingin membaca al-Qur’an dalam kondisi masih segar sebagaimana diturunkan, maka bacalah sesuai bacaan Ibn Ummu ‘Abd.”
Di dalam shahih al-Bukhari disebutkan bahwa Ibn Mas’ud RA berkata, “Para shahabat Rasulullah SAW telah mengetahui bahwa aku adalah orang yang paling mengetahui mengenai Kitabullah di kalangan mereka.” Dalam momen yang lain, ia berkata, “Demi Allah Yang Tiada Tuhan –yang berhak disembah- selain-Nya, tidaklah satu surat pun dari Kitabullah yang diturunkan melainkan aku mengetahui di mana ia diturunkan dan tidaklah satu ayat dari Kitabullah yang diturunkan melainkan aku mengetahui pada siapa ia turun. Andaikatan aku mengetahui ada seseorang yang lebih mengetahui dariku mengenai Kitabullah di mana untuk mencapainya harus menggunakan onta (kendaraan), maka pasti aku akan berangkat ke sana.”
Ia termasuk Orang yang mengabdi kepada Nabi SAW, yang memasangkan kedua sandalnya, mengambilkan air untuk wudlunya dan mengambilkan bantal untuk tidurnya. Sampai-sampai Abu Musa al-Asy’ari berkata, “Saat aku datang bersama saudaraku dari Yaman, kami tinggal beberapa waktu. Dalam masa itu, kami hanya melihat ‘Abdullah sebagai seorang Ahli Bait Nabi SAW karena kami melihat betapa seringnya ia dan ibunya menemui Nabi SAW. Dan karena ‘nyantri’nya yang begitu lama dengan Nabi SAW, ia begitu terpengaruh dengannya dan dengan petunjuknya hingga Hudzaifah berkata mengenainya, “Aku tidak mengenal seorang pun yang lebih dekat petunjuk dan sifatnya dengan Nabi SAW selain Ibn Ummu ‘Abd (Ibn Mas’ud).”
Ia pernah diutus ‘Umar bin al-Khaththab ke Kufah untuk mengajarkan urusan agama kepada penduduknya dan mengutus ‘Ammar bin Yasir sebagai Amirnya. ‘Umar mengomentari, “Sesungguhnya keduanya termasuk orang-orang cerdas di kalangan shahabat Nabi SAW, karena itu ikutilah mereka.”
Kemudian ‘Utsman mengangkatnya jadi Amir di Kufah, lalu mencopotnya dan memeritahkannya agar kembali ke Madinah. Di Madinah lah beliau (‘Aly) wafat (dibunuh oleh Ibn Muljam, orang persia-red.,), tepatnya pada tahun 32 H dan dikuburkan di pekuburan Baqi’ dalam usia 70-an tahun.
3. ‘ABDULLAH BIN ‘ABBAS
Beliau adalah anak paman (sepupu) Rasulullah SAW, lahir tiga tahun sebelum hijrah. Beliau hidup bersama Rasulullah SAW dan ‘nyantri’ karena ia adalah anak pamannya (sepupunya), sedangkan bibinya Maimunah di tanggung oleh Nabi SAW. Rasulullah pernah merengkuhnya ke dada beliau seraya berdoa, “Ya Allah, ajarilah ia al-Hikmah.” Dalam suatu riwayat disebutkan, “(Ajarilah ia) al-Kitab (al-Qur’an).”
Ketika mengajarinya berwudlu beliau SAW berdoa, “Ya Allah, anugerahilah pemahaman agama kepadanya.” Berkat doa yang diberkahi ini, ia kemudian benar-benar menjadi ‘tinta’ nya Umat (lautan ilmu) di dalam menyebarkan tafsir dan fiqih. Allah menganugerahinya taufiq di dalam bergiat mendapatkan ilmu dan bersungguh-sungguh di dalam menuntutnya serta bersabar di dalam menerimanya. Dengan begitu, ia meraih kedudukan yang tinggi sampai-sampai Amirul Mukminin, ‘Umar bin al-Khaththab RA mengundangnya ke majlis-majlisnya dan mengambil pendapatnya. Orang-orang Muhajirin berkata (kepada ‘Umar), “Tidakkah engkau undang anak-anak kami sebagaimana engkau undang Ibn ‘Abbas.?” Maka, ia menjawab, “Itulah pemuda yang menginjak dewasa, yang memiliki lisan yang banyak bertanya dan hati yang banyak akalnya.”
Pada suatu hari, ‘Umar mengundang mereka, lalu tak berapa lama menghadirkan Ibn ‘Abbas bersama mereka untuk memperlihatkan kepada mereka kebenaran langkahnya tersebut. ‘Umar berkata, “Apa pendapat kalian mengenai firman Allah, “Bila telah datang pertolongan Allah dan Penaklukan.” (surat an-Nahsr hingga selesai). Maka, sebagian mereka berkata, “Kita diperintahkan agar memuji Allah dan meminta ampun kepada-Nya bila kita menang (dapat menaklukkan Mekkah).” Sebagian lagi hanya terdiam saja. Lalu, ‘Umar pun berkata kepada Ibn ‘Abbas, “Apakah kamu juga mengatakan demikian.?” Ia menjawab, “Tidak.” Lalu ‘Umar bertanya, “Kalau begitu, apa yang akan kamu katakan.?” Ia menjawab, “Itu berkenaan dengan ajal Rasulullah SAW di mana Allah membeitahukan kepadanya bila telah datang pertolongan-Nya dan penaklukan kota Mekkah, maka itulah tanda ajalmu (Yakni Rasulullah-red.,), karena itu sucikanlah Dia dengan memuji Rabbmu dan minta ampunlah kepada-Nya karena Dia Maha Menerima taubat.” ‘Umar pun berkata, “Yang aku ketahui memang seperti yang engkau ketahui itu.” Ibn Mas’ud berkata, “Sebaik-baik Turjumaan al-Qur’an (penerjemah) adalah Ibn ‘Abbas. Andaikata ia seusia kami, niscaya tidak seorang pun dari kami yang menandinginya.” Padahal, Ibn ‘Abbas hidup setelahnya (Ibn Mas’ud) selama 36 tahun kemudian. Nah, bagaimana pendapat anda mengenai ilmu yang diraihnya setelah itu.?
Ibn ‘Umar pernah berkata kepada salah seorang yang bertanya mengenai suatu ayat kepadanya, “Berangkatlah menuju Ibn ‘Abbas lalu tanyakanlah kepadanya sebab ia adalah sisa shahabat yang masih hidup yang paling mengetahui wahyu yang diturunkn kepada Nabi SAW.”
‘Atha` berkata, “Aku tidak pernah melihat sekali pun ada suatu majlis yang lebih mulia dari majlis Ibn ‘Abbas dari sisi fiqih, demikian juga yang paling agung dari sisi wibawanya. Sesungguhnya para ahli fiqih berada di sisinya, para ahli Qur’an berada di sisinya dan para ahli sya’ir juga berada di sisinya. Ia menimbakan untuk mereka semua dari lembah yang luas.” (alias mengajarkan ilmu yang banyak-red.,)
Abu Wa`il berkata, “Saat Ibn ‘Abbas menjadi Amir haji atas perintah khalifah ‘Utsman, pernah ia berbicara kepada kami dengan membuka dengan surat an-Nur; membaca dan menafsirkannya. Selama ia begitu, aku pun bertutur pada diriku, ‘Aku tidak pernah melihat atau pun mendengar ucapan seseorang sepertinya. Andaikata didengar oleh orang-orang Persia, Romawi dan Turki (waktu sebelum Islam-red.,), pastilah mereka semua masuk Islam.”
Saat ia diangkat jadi Amir haji tersebut oleh khalifah ‘Utsman itu adalah tahun 35 H, lalu diangkat jadi penguasa di Bashrah oleh khalifah ‘Aly bin Abi Thalib namun tatkala ia (‘Aly) meninggal karena terbunuh, ia pulang ke Hijaz, bermukim di Mekkah kemudian keluar dari sana menuju Tha`if dan wafat di sana pada tahun 68 H dalam usia 71 tahun.
CATATAN:
* Hal ini karena ayahnya mati dalam ‘agama’ jahiliyyah sedangkan ibunya hidup dalam masa Islam dan memeluk agama Islam
(SUMBER: Ushuul Fi at-Tafsiir karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, h.33-37
Post a Comment