Penutup
Penutup
KAMI tidak bermaksud dalam menulis kitab ini kecuali mengemukakan masalah halal dan haram yang berhubungan dengan masalah pekerjaan anggota dan amaliah lahiriah. Adapun amaliah batiniah, seperti gerakan jiwa, perasaan dan kehendak, Islam pun sebenarnya tidak membiarkan begitu saja, dengan arti kata bebas berkehendak tanpa ada suatu larangan apapun. Bahkan Islam justru lebih memperkeras persoalan haram yang bertalian dengan hati, seperti hasud, dengki, sombong, congkak, riya', nifaq, bakhil, tamak dan sebagainya. Namun persoalan ini bukanlah yang menjadi tujuan dari kitab ini, sekalipun kejahatan jiwa malah justru sebesar-besar larangan Allah yang senantiasa dilirik oleh Islam untuk diperanginya, dan Rasulullah pun memperingatkan akan bahayanya, yang sebahagian daripada kejahatan hati itu disebut penyakit ummat bagi ummat-ummat sebelum kita, dan kadang-kadang dinamakan juga pencukur, bukan mencukur rambut, tetapi mencukur agama.
Setiap orang yang mahu mengkaji al-Quran dan Sunnah Nabi, pasti akan mengetahui, bahawa kedua kitab ini menjadikan existensi rohani manusia yang disebut hati adalah pangkal segala kebagiaan, baik pribadi mahupun masyarakat, di dunia mahupun di akhirat. Firman Allah:
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu harus merubah jiwa mereka sendiri.” (ar-Ra'ad: 11)
Dan firmanNya pula: “Pada suatu hari di mana harta dan anak-cucu tidak lagi berguna, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati menyerah.” (as-Syu'ara': 88)
Dari sinilah Rasulullah s.a.w. kemudian menyebutkan dalam hadisnya yang amat masyhur, yang artinya: "Bahawa halal itu sudah jelas dan haram pun sudah jelas, di antara keduanya ada beberapa hal yang masih samar (syubhat).
Barangsiapa menjaga diri dari syubhat, maka sungguh dia telah bebas demi kepentingan agama dan harga dirinya, dan barangsiapa jatuh ke dalam syubhat, maka hampir-hampir ia jatuh ke dalam haram. Sesungguhnya tiap-tiap raja mempunyai daerah larangan, dan larangan Allah di bumi ini ialah yang haram-haram."
Kemudian diikutinya dengan menerangkan nilai hati dan hal-hal yang ditimbulkannya, seperti pendorong, kecenderungan dan kehendak, yang sebagai pangkal sikap hidup manusia, iaitu dengan sabdanya: "Ingatlah! Sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal darah, apabila dia baik maka baiklah tubuh seluruhnya, dan apabila dia rusak maka rusaklah tubuh seluruhnya. Ketahuilah, dia itu ialah hati."
Hati adalah kepala dan pengawal anggota tubuh manusia. Maka dengan baiknya pengawal, akan menjadi baiklah seluruh rakyat, dan dengan rusaknya pengawal akan rusaklah rakyat seluruhnya.
Sebagai standard diterimanya suatu amal adalah hati dan niat, bukan bentuk badan dan lidahnya. Seperti sabda Nabi yang mengatakan: "Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk badanmu, tetapi Ia akan melihat hati kamu." "Sesungguhnya semua amal itu harus disertai dengan niat, dan tiap-tiap seseorang akan mendapat balasan sesuai dengan niatnya." (Riwayat Bukhari)
Demikianlah kedudukan pekerjaan hati dan soal-soal kejiwaan dalam Islam. Tetapi tidak kami singgung dalam kitab ini, kerana lebih tepat dimasukkan ke dalam bab "Akhlak," daripada dimasukkan ke dalam bab "Halal dan Haram."
Justru itu ulama-ulama akhlak dan tasawuf Islam sangat menaruh perhatian tentang hati. Dan hal-hal yang haram disebutnya penyakit hati. Diuraikannya penyakit-penyakitnya dan ditentukan ubatnya berdasar al-Quran dan Sunnah. Yang oleh Imam Ghazali dihimpunnya dalam Ihya' Ulumiddin dengan nama Al-Muhlikaat (hal-hal yang merusak). Sebab penyakit-penyakit ini penyebab kerusakan di dunia dan kerugian nanti di akhirat.
Kalau kami menyebut masalah haram, maka tidak lain yang dimaksud adalah haram ijabiyah (positif). Sebab haram itu ada dua macam: Ada kalanya mengerjakan larangan, yang kemudian disebut ijabiyah; dan ada kalanya meninggalkan kewajiban, yang disebut salbiyah (negatif).
Yang kedua ini bukan menjadi tujuan utama dari kitab ini, kendati di satu saat akan bertemu.
Dan kalau kami bermaksud mengarah kepada hal itu (haram salbiyah), niscaya kami beralih kepada persoalan lain yang selanjutnya pasti akan kami tuturkan semua kewajiban yang dibebankan Allah kepada setiap muslim. Jika ditinggalkan atau diabaikannya, tidak syak lagi hukumnya haram. Contohnya tentang mencari ilmu. Dalam Islam hukumnya wajib, baik bagi mu'min laki-laki ataupun mu'min perempuan; dan membiarkan dirinya dalam kegelapan kebodohan, hukumnya haram.
Ibadah-ibadah wajib, seperti sembahyang, puasa, zakat dan haji, yang merupakan dasar rukun Islam, tidak dibenarkan seorang muslim meninggalkannya tanpa alasan. Siapa meninggalkannya, berarti berbuat salah satu daripada dosa-dosa besar. Dan siapa yang mengabaikan dan menganggap enteng berarti dia melepas tali Islam dari lehernya.
Mempersiapkan kekuatan semampu mungkin guna melindungi existensi ummat dan menghalau lawan, hukumnya wajib bagi suatu ummat pada umumnya dan bagi pemerintah pada khususnya.
Mengabaikan kewajiban ini berarti suatu tindakan haram dan dosa besar ...
Begitulah halnya seluruh kewajiban hidup, baik yang menyangkut pribadi mahupun yang menyangkut ummat seluruhnya.
Kami tidak beranggapan, bahawa kami telah bentangkan seluruh hal yang halal dan haram, dari yang paling kecil sampai kepada yang paling besar. Tetapi kami mencukupkan dalam lembaran-lembaran ini untuk mengetengahkan hal-hal terpenting yang harus diketahui oleh setiap muslim, baik yang menyangkut pribadinya, keluarganya mahupun masyarakatnya. Khususnya yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang, atau yang mereka masih kabur, baik tentang hukum mahupun hikmahnya.
Kami telah singkap cadar yang menutupi hikmah kebijaksanaan Islam tentang masalah halal dan haram. Sehingga setiap orang yang mahu melihat dengan kedua matanya akan memahami dengan jelas, bahawa Allah s.w.t. tidak bermaksud membebaskan manusia dalam lapangan halal dan mempersempit dalam lapangan haram. Tetapi Allah membuat suatu peraturan (syariat) yang maslahah buat mereka, dapat melindungi agama, dunia, rasio, akhlak, harga diri, harta benda dan existensi manusia seluruhnya, baik pribadi mahupun masyarakat.
Ketahuilah, bahawa kelemahan undang-undang yang dibuat manusia, adalah keterbatasan dan kekurangannya. Penciptanya sendiri, baik secara pribadi, pemerintah mahupun DPR, membatasi hanya dalam hal-hal yang menyangkut kemaslahatan material, dengan mengkesampingkan persoalan agama dan akhlak. Mereka hanya membatasi pada nasionalisme dan chauvinisme, tanpa mahu menengok dunia luar yang begitu besar dan perikemanusiaan yang luas.
Mereka membuat undang-undang hanya untuk hari ini dengan melupakan hari esok, dan tidak memahami apa yang terjadi pada hari-hari berikutnya.
Hal ini logis, kerana mereka adalah manusia yang serba lemah, serba kekurangan dan banyak dipengaruhi oleh nafsu. Betul kata Allah:
“Sesungguhnya manusia banyak berbuat zalim dan tidak memahami.” (al-Ahzab: 72)
Oleh kerana itu tidak menghairankan, kalau undang-undang yang dibuatnya itu jangkauannya sempit, analisanya dangkal, banyak dipengaruhi oleh material, temporer dan subjektif.
Dan tidak menghairankan pula kalau anda ketahui, bahawa perkenan dan larangan yang dibuatnya, banyak dipengaruhi oleh hawa nafsu dan demi kepuasan selera umum, tanpa melihat bahaya besar yang mungkin terjadi.
Sebagai contoh: undang-undang Amerika Serikat yang menghalalkan arak sebagai ganti undang-undang sebelumnya yang melarang arak, betapapun besarnya kejahatan dan bahaya yang ditimbulkan oleh arak, baik terhadap pribadi, keluarga mahupun tanahair. Berbeza dengan hukum Islam yang samasekali jauh dari kekurangan-kekurangan ini. Sebab hukum Islam adalah hukum Allah yang maha tahu, maha arif terhadap hambanya dan apa yang layak buat mereka. Betapa tidak! kerana Allah sendiri sudah mengatakan:
“Dialah (Tuhan) yang mengetahui orang yang berbuat jahat dan orang yang berbuat baik.” (al-Baqarah: 220)
Allah sebagai pencipta, tahu apa yang dicipta. FirmanNya: “Tidakkah Tuhan yang menjadikan itu mengetahui; sedangkan Dia adalah maha halus dan maha tahu?” (al-Mulk: 74)
Hukum Islam adalah hukum Allah yang maha bijaksana. Oleh kerana itu Ia tidak mengharamkan sesuatu dengan sia-sa belaka, dan tidak menghalalkan sesuatu dengan percuma. Segala sesuatu dibuat dengan ukuran, dan segala sesuatu diundangkan dengan berimbang.
Hukum Islam adalah undang-undang Tuhan yang maha mengatur dan maim belas-kasih, Ia bermaksud untuk memberikan kemudahan kepada hambanya, tidak menghendaki kesukaran. Bagaimana mungkin Ia akan mempersukar hambanya, sedang Dia maha belas-kasih kepada hambanya melebihi kasih seorang ibu kepada anaknya.
Hukum Islam adalah undang-undang Raja yang maha kuasa, tidak memerlukan bantuan hambanya, tidak memihak kepada suatu golongan, jenis mahupun generasi, sehingga Ia menghalalkan untuk satu golongan tetapi haram untuk golongan lain. Bagaimana mungkin akan terjadi demikian, padahal Dia adalah Tuhan yang mengatur seluruh makhluk ini!
Demikianlah keyakinan seorang muslim terhadap hukum halal dan haram yang dibuat Allah s.w.t. Justeru itu hukum ini akan diterima dengan penuh kesedaran, kesenangan, dan keyakinan. Sebab setiap muslim berkeyakinan, bahawa kebahagiaan duniawi dan ukhrawi seratus persen berpangkal kepada melaksanakan hukum-hukum Allah, baik yang berbentuk perintah mahupun larangan, yang halal mahupun yang haram.
Oleh kerana itu pula sudah seharusnya demi kebagiaan dunia dan akhirat, setiap muslim harus meletakkan dirinya pada batas-batas ketentuan Allah ini.
Sehubungan dengan masalah ini, akan kami bawakan dua contoh tentang kehidupan kaum muslimin pada perioda pertama, bagaimana mereka itu demi menjaga batas-batas hukum Allah tentang halal dan haram dan berlomba-lomba untuk melaksanakan perintah:
(1) Sebagaimana yang telah kami isyaratkan ketika membincangkan masalah haramnya arak, di mana orang-orang Arab waktu itu sudah sangat kecanduan bukan saja meminumnya, bahkan sampai pada slokinya dan pertemuan-pertemuannya. Tetapi Allah tahu semua itu, Oleh kerananya dibuatlah undang-undang bertahap tentang haramnya arak, sehingga turunlah ayat yang jelas-jelas mengharamkan untuk selama-lamanya. Bahkan dinyatakan sebagai barang najis yang berasal dari perbuatan syaitan. (Al-Maidah: 90).
Justru itu pula Rasulullah s.a.w. mengharamkan minumnya, menjualnya dan menghadiahkannya kepada orang lain Islam. Pada waktu itu kaum muslimin keluar dengan membawa simpanan dan guci-guci arak, kemudian dituangnya di jalan-jalan Madinah, sebagai menyatakan ketidak-sukaan mereka kepada arak.
Dan yang sangat menghairankan lagi, iaitu: ketika ayat ini sampai kepada suatu golongan, di saat mana mereka itu sedang memegang sloki arak yang sebahagiannya telah diminum, tinggal sebahagian lagi yang belum. Waktu itu arak yang berada di mulutnya ditumpahkan sebagai menyambut seruan Allah, apakah kamu tidak mahu berhenti? (Al-Maidah 91) sambil mereka mengatakan: "Sungguh kami telah berhenti ya Tuhan kami!"
Kalau kita mahu mengadakan perbandingan sukses gemilang yang dicapai untuk memberantas arak dalam masyarakat Islam, dengan kegagalan total yang dialami oleh Amerika Serikat, ketika hendak memberantas arak dengan undang-undang dan armada, maka niscaya kita akan mengetahui, bahawa pada hakikatnya tidak ada hukum yang cocok bagi manusia melainkan hukum Allah yang selalu berorientasi pada dhamir dan iman, sebelum menempuh dengan jalan kekuatan dan kekuasaan.
(2) Sikap orang-orang perempuan muslimah dahulu terhadap larangan Allah, seperti tabarruj, dan kewajipan yang harus mereka lakukan, seperti menutup aurat. Padahal orang-orang perempuan jahiliah kalau keluar rumah dadanya terbuka, tidak sehelai benang pun yang menutupinya, leher dan ekor kudanya nampak, termasuk juga kriulnya. Kemudian tahu-tahu Allah mengharamkan bertabarruj dan memerintahkan mereka supaya berbeza dengan perempuan-perempuan jahiliah, dan harus menutup aurat dan bersopan-santun dalam seluruh gerak dan tingkah lakunya, diantaranya ialah dengan melabuhkan kudung-kudung pada tengkuknya dan belahan dadanya. Maka waktu itu mereka langsung menutup tengkuk, leher dan telinga.
Ada suatu kisah yang sengaja dibawakan oleh Aisyah kepada kita bagaimana cara hukum Allah yang bertalian dengan masalah merombak sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan kaum wanita yang suka bergaya dan berhias, sebagai yang berlaku pada orang-orang perempuan Muhajirin dan Ansar dalam masyarakat Islam pertama. Maka kata Aisyah: "Semoga Allah memberi rahmat kepada perempuan muhajirin pertama, yang ketika ayat Allah: "... dan hendaklah mereka (perempuan) melabuhkan kudung-kudungnya di dada-dada mereka ..." itu turun, kemudian mereka menyobek pakaiannya yang terbuat dari wool atau sutera untuk dipakai bertudung." (Riwayat Bukhari).
Pernah juga terjadi ada sementara orang perempuan duduk-duduk sambil membincangkan keistimewaan perempuan-perempuan Quraisy. Kemudian Aisyah berkata: "Memang benar perempuan Quraisy mempunyai kelebihan, tetapi demi Allah belum pernah saya lihat keistimewaan yang dimiliki perempuan-perempuan Ansar; mereka sangat membenarkan kitabullah.
Sehingga waktu ayat: "... hendaklah perempuan-perempuan melabuhkan tudung dada-dada mereka ..." itu turun, laki-laki Ansar pada mengangkat kakinya pulang ke rumah untuk membacakan ayat itu kepada isteri-isterinya, anak perernpuannya, saudara perempuannya dan seluruh kerabatnya, sehingga tidak seorang perempuan pun yang tidak menyobek pakaiannya yang bergambar untuk diikatkan dan menyelubungi kepalanya, sebagai membenarkan dan mempercayai kebenaran ayat Allah di atas. Kemudian mereka berada di belakang Rasulullah dengan membalut kepalanya yang seolah-olah di atas kepalanya itu dikerumuni burung gagak."[41]
Demikianlah kedisiplinan perempuan-perempuan mu'minah terhadap hukum Allah. Dengan secepat kilat mereka mahu melaksanakan perintah Allah itu dan menjauhi larangannya tanpa ragu-ragu sedikitpun, tidak menunggu-nunggu sehari atau dua hari atau lebih dari itu, sambil menunggu kesempatan kalau sudah mampu membeli atau menjahitkan pakaian barunya yang serasi untuk menutup kepala dan membesarkan kudungnya itu supaya boleh melabuh sampai ke dada. Bahkan apapun pakaian yang didapat dan warna apapun yang ada, selalu cocok dan serasi. Kalau tidak ada, terpaksa mereka sobek pakaiannya untuk dililitkan pada kepalanya tanpa menghiraukan mode, kendati nampak kepalanya itu seperti dikerumuni gagak, seperti yang dikatakan oleh Aisyah di atas.
Kami membenarkan, bahawa sekadar memahami halal dan haram, belum cukup. Sebab induk halal dan haram itu sendiri sebenarnya cukup jelas; tidak seorang muslim pun yang tidak tahu. Justru itu dengan mudah dapat diketahui oleh kebanyakan orang-orang Islam yang tenggelam dalam haram dan terang-terangan terjun ke jahanam.
Oleh kerana itu perlu ada taqwallah. Sebab taqwallah lah satu-satunya yang dapat mengendalikan itu semua. Atau dengan kata lain yang mutaakhir perlu adanya jiwa hidup yang dapat mendisiplinkan seorang muslim pada batas-batas halal dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan haram. Jiwa semacam ini tidak akan tumbuh dengan subur, kecuali ditanam dalam ladang iman kepada Allah dan hari akhir. Kalau seorang muslim dapat memenuhi pengertiannya tentang batas-batas agama dan hukum Allah, dan mempunyai jiwa hidup yang dapat melindungi batas-batas hukum ini sehingga tidak terlanggar dan tersentuh, berarti dia telah memenuhi seluruh macam kebaikan.
Benarlah apa yang dikatakan Nabi s.a.w.: "Apabila Allah menghendaki kebaikan seseorang, maka Ia akan adalah penasihat dari dirinya sendiri."[42]
Akhirnya kami tutup tulisan ini dengan suatu doa yang sudah terkenal dari orang-orang tua kita dahulu: "Ya Tuhankul Cukupkanlah aku dengan mengikuti yang Engkau halalkan, jauh dari yang Engkau haramkan; cukup dengan mentaatiMu, jauh dari bermaksiat kepadaMu; dan cukup dengan anugerahMu bukan dari orang lain."
"Segala puji kepunyaan Allah yang telah menunjukkan kami, sungguh kami tidak akan mendapat petunjuk andaikata Allah tidak menunjukkan."
KAMI tidak bermaksud dalam menulis kitab ini kecuali mengemukakan masalah halal dan haram yang berhubungan dengan masalah pekerjaan anggota dan amaliah lahiriah. Adapun amaliah batiniah, seperti gerakan jiwa, perasaan dan kehendak, Islam pun sebenarnya tidak membiarkan begitu saja, dengan arti kata bebas berkehendak tanpa ada suatu larangan apapun. Bahkan Islam justru lebih memperkeras persoalan haram yang bertalian dengan hati, seperti hasud, dengki, sombong, congkak, riya', nifaq, bakhil, tamak dan sebagainya. Namun persoalan ini bukanlah yang menjadi tujuan dari kitab ini, sekalipun kejahatan jiwa malah justru sebesar-besar larangan Allah yang senantiasa dilirik oleh Islam untuk diperanginya, dan Rasulullah pun memperingatkan akan bahayanya, yang sebahagian daripada kejahatan hati itu disebut penyakit ummat bagi ummat-ummat sebelum kita, dan kadang-kadang dinamakan juga pencukur, bukan mencukur rambut, tetapi mencukur agama.
Setiap orang yang mahu mengkaji al-Quran dan Sunnah Nabi, pasti akan mengetahui, bahawa kedua kitab ini menjadikan existensi rohani manusia yang disebut hati adalah pangkal segala kebagiaan, baik pribadi mahupun masyarakat, di dunia mahupun di akhirat. Firman Allah:
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu harus merubah jiwa mereka sendiri.” (ar-Ra'ad: 11)
Dan firmanNya pula: “Pada suatu hari di mana harta dan anak-cucu tidak lagi berguna, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati menyerah.” (as-Syu'ara': 88)
Dari sinilah Rasulullah s.a.w. kemudian menyebutkan dalam hadisnya yang amat masyhur, yang artinya: "Bahawa halal itu sudah jelas dan haram pun sudah jelas, di antara keduanya ada beberapa hal yang masih samar (syubhat).
Barangsiapa menjaga diri dari syubhat, maka sungguh dia telah bebas demi kepentingan agama dan harga dirinya, dan barangsiapa jatuh ke dalam syubhat, maka hampir-hampir ia jatuh ke dalam haram. Sesungguhnya tiap-tiap raja mempunyai daerah larangan, dan larangan Allah di bumi ini ialah yang haram-haram."
Kemudian diikutinya dengan menerangkan nilai hati dan hal-hal yang ditimbulkannya, seperti pendorong, kecenderungan dan kehendak, yang sebagai pangkal sikap hidup manusia, iaitu dengan sabdanya: "Ingatlah! Sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal darah, apabila dia baik maka baiklah tubuh seluruhnya, dan apabila dia rusak maka rusaklah tubuh seluruhnya. Ketahuilah, dia itu ialah hati."
Hati adalah kepala dan pengawal anggota tubuh manusia. Maka dengan baiknya pengawal, akan menjadi baiklah seluruh rakyat, dan dengan rusaknya pengawal akan rusaklah rakyat seluruhnya.
Sebagai standard diterimanya suatu amal adalah hati dan niat, bukan bentuk badan dan lidahnya. Seperti sabda Nabi yang mengatakan: "Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk badanmu, tetapi Ia akan melihat hati kamu." "Sesungguhnya semua amal itu harus disertai dengan niat, dan tiap-tiap seseorang akan mendapat balasan sesuai dengan niatnya." (Riwayat Bukhari)
Demikianlah kedudukan pekerjaan hati dan soal-soal kejiwaan dalam Islam. Tetapi tidak kami singgung dalam kitab ini, kerana lebih tepat dimasukkan ke dalam bab "Akhlak," daripada dimasukkan ke dalam bab "Halal dan Haram."
Justru itu ulama-ulama akhlak dan tasawuf Islam sangat menaruh perhatian tentang hati. Dan hal-hal yang haram disebutnya penyakit hati. Diuraikannya penyakit-penyakitnya dan ditentukan ubatnya berdasar al-Quran dan Sunnah. Yang oleh Imam Ghazali dihimpunnya dalam Ihya' Ulumiddin dengan nama Al-Muhlikaat (hal-hal yang merusak). Sebab penyakit-penyakit ini penyebab kerusakan di dunia dan kerugian nanti di akhirat.
Kalau kami menyebut masalah haram, maka tidak lain yang dimaksud adalah haram ijabiyah (positif). Sebab haram itu ada dua macam: Ada kalanya mengerjakan larangan, yang kemudian disebut ijabiyah; dan ada kalanya meninggalkan kewajiban, yang disebut salbiyah (negatif).
Yang kedua ini bukan menjadi tujuan utama dari kitab ini, kendati di satu saat akan bertemu.
Dan kalau kami bermaksud mengarah kepada hal itu (haram salbiyah), niscaya kami beralih kepada persoalan lain yang selanjutnya pasti akan kami tuturkan semua kewajiban yang dibebankan Allah kepada setiap muslim. Jika ditinggalkan atau diabaikannya, tidak syak lagi hukumnya haram. Contohnya tentang mencari ilmu. Dalam Islam hukumnya wajib, baik bagi mu'min laki-laki ataupun mu'min perempuan; dan membiarkan dirinya dalam kegelapan kebodohan, hukumnya haram.
Ibadah-ibadah wajib, seperti sembahyang, puasa, zakat dan haji, yang merupakan dasar rukun Islam, tidak dibenarkan seorang muslim meninggalkannya tanpa alasan. Siapa meninggalkannya, berarti berbuat salah satu daripada dosa-dosa besar. Dan siapa yang mengabaikan dan menganggap enteng berarti dia melepas tali Islam dari lehernya.
Mempersiapkan kekuatan semampu mungkin guna melindungi existensi ummat dan menghalau lawan, hukumnya wajib bagi suatu ummat pada umumnya dan bagi pemerintah pada khususnya.
Mengabaikan kewajiban ini berarti suatu tindakan haram dan dosa besar ...
Begitulah halnya seluruh kewajiban hidup, baik yang menyangkut pribadi mahupun yang menyangkut ummat seluruhnya.
Kami tidak beranggapan, bahawa kami telah bentangkan seluruh hal yang halal dan haram, dari yang paling kecil sampai kepada yang paling besar. Tetapi kami mencukupkan dalam lembaran-lembaran ini untuk mengetengahkan hal-hal terpenting yang harus diketahui oleh setiap muslim, baik yang menyangkut pribadinya, keluarganya mahupun masyarakatnya. Khususnya yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang, atau yang mereka masih kabur, baik tentang hukum mahupun hikmahnya.
Kami telah singkap cadar yang menutupi hikmah kebijaksanaan Islam tentang masalah halal dan haram. Sehingga setiap orang yang mahu melihat dengan kedua matanya akan memahami dengan jelas, bahawa Allah s.w.t. tidak bermaksud membebaskan manusia dalam lapangan halal dan mempersempit dalam lapangan haram. Tetapi Allah membuat suatu peraturan (syariat) yang maslahah buat mereka, dapat melindungi agama, dunia, rasio, akhlak, harga diri, harta benda dan existensi manusia seluruhnya, baik pribadi mahupun masyarakat.
Ketahuilah, bahawa kelemahan undang-undang yang dibuat manusia, adalah keterbatasan dan kekurangannya. Penciptanya sendiri, baik secara pribadi, pemerintah mahupun DPR, membatasi hanya dalam hal-hal yang menyangkut kemaslahatan material, dengan mengkesampingkan persoalan agama dan akhlak. Mereka hanya membatasi pada nasionalisme dan chauvinisme, tanpa mahu menengok dunia luar yang begitu besar dan perikemanusiaan yang luas.
Mereka membuat undang-undang hanya untuk hari ini dengan melupakan hari esok, dan tidak memahami apa yang terjadi pada hari-hari berikutnya.
Hal ini logis, kerana mereka adalah manusia yang serba lemah, serba kekurangan dan banyak dipengaruhi oleh nafsu. Betul kata Allah:
“Sesungguhnya manusia banyak berbuat zalim dan tidak memahami.” (al-Ahzab: 72)
Oleh kerana itu tidak menghairankan, kalau undang-undang yang dibuatnya itu jangkauannya sempit, analisanya dangkal, banyak dipengaruhi oleh material, temporer dan subjektif.
Dan tidak menghairankan pula kalau anda ketahui, bahawa perkenan dan larangan yang dibuatnya, banyak dipengaruhi oleh hawa nafsu dan demi kepuasan selera umum, tanpa melihat bahaya besar yang mungkin terjadi.
Sebagai contoh: undang-undang Amerika Serikat yang menghalalkan arak sebagai ganti undang-undang sebelumnya yang melarang arak, betapapun besarnya kejahatan dan bahaya yang ditimbulkan oleh arak, baik terhadap pribadi, keluarga mahupun tanahair. Berbeza dengan hukum Islam yang samasekali jauh dari kekurangan-kekurangan ini. Sebab hukum Islam adalah hukum Allah yang maha tahu, maha arif terhadap hambanya dan apa yang layak buat mereka. Betapa tidak! kerana Allah sendiri sudah mengatakan:
“Dialah (Tuhan) yang mengetahui orang yang berbuat jahat dan orang yang berbuat baik.” (al-Baqarah: 220)
Allah sebagai pencipta, tahu apa yang dicipta. FirmanNya: “Tidakkah Tuhan yang menjadikan itu mengetahui; sedangkan Dia adalah maha halus dan maha tahu?” (al-Mulk: 74)
Hukum Islam adalah hukum Allah yang maha bijaksana. Oleh kerana itu Ia tidak mengharamkan sesuatu dengan sia-sa belaka, dan tidak menghalalkan sesuatu dengan percuma. Segala sesuatu dibuat dengan ukuran, dan segala sesuatu diundangkan dengan berimbang.
Hukum Islam adalah undang-undang Tuhan yang maha mengatur dan maim belas-kasih, Ia bermaksud untuk memberikan kemudahan kepada hambanya, tidak menghendaki kesukaran. Bagaimana mungkin Ia akan mempersukar hambanya, sedang Dia maha belas-kasih kepada hambanya melebihi kasih seorang ibu kepada anaknya.
Hukum Islam adalah undang-undang Raja yang maha kuasa, tidak memerlukan bantuan hambanya, tidak memihak kepada suatu golongan, jenis mahupun generasi, sehingga Ia menghalalkan untuk satu golongan tetapi haram untuk golongan lain. Bagaimana mungkin akan terjadi demikian, padahal Dia adalah Tuhan yang mengatur seluruh makhluk ini!
Demikianlah keyakinan seorang muslim terhadap hukum halal dan haram yang dibuat Allah s.w.t. Justeru itu hukum ini akan diterima dengan penuh kesedaran, kesenangan, dan keyakinan. Sebab setiap muslim berkeyakinan, bahawa kebahagiaan duniawi dan ukhrawi seratus persen berpangkal kepada melaksanakan hukum-hukum Allah, baik yang berbentuk perintah mahupun larangan, yang halal mahupun yang haram.
Oleh kerana itu pula sudah seharusnya demi kebagiaan dunia dan akhirat, setiap muslim harus meletakkan dirinya pada batas-batas ketentuan Allah ini.
Sehubungan dengan masalah ini, akan kami bawakan dua contoh tentang kehidupan kaum muslimin pada perioda pertama, bagaimana mereka itu demi menjaga batas-batas hukum Allah tentang halal dan haram dan berlomba-lomba untuk melaksanakan perintah:
(1) Sebagaimana yang telah kami isyaratkan ketika membincangkan masalah haramnya arak, di mana orang-orang Arab waktu itu sudah sangat kecanduan bukan saja meminumnya, bahkan sampai pada slokinya dan pertemuan-pertemuannya. Tetapi Allah tahu semua itu, Oleh kerananya dibuatlah undang-undang bertahap tentang haramnya arak, sehingga turunlah ayat yang jelas-jelas mengharamkan untuk selama-lamanya. Bahkan dinyatakan sebagai barang najis yang berasal dari perbuatan syaitan. (Al-Maidah: 90).
Justru itu pula Rasulullah s.a.w. mengharamkan minumnya, menjualnya dan menghadiahkannya kepada orang lain Islam. Pada waktu itu kaum muslimin keluar dengan membawa simpanan dan guci-guci arak, kemudian dituangnya di jalan-jalan Madinah, sebagai menyatakan ketidak-sukaan mereka kepada arak.
Dan yang sangat menghairankan lagi, iaitu: ketika ayat ini sampai kepada suatu golongan, di saat mana mereka itu sedang memegang sloki arak yang sebahagiannya telah diminum, tinggal sebahagian lagi yang belum. Waktu itu arak yang berada di mulutnya ditumpahkan sebagai menyambut seruan Allah, apakah kamu tidak mahu berhenti? (Al-Maidah 91) sambil mereka mengatakan: "Sungguh kami telah berhenti ya Tuhan kami!"
Kalau kita mahu mengadakan perbandingan sukses gemilang yang dicapai untuk memberantas arak dalam masyarakat Islam, dengan kegagalan total yang dialami oleh Amerika Serikat, ketika hendak memberantas arak dengan undang-undang dan armada, maka niscaya kita akan mengetahui, bahawa pada hakikatnya tidak ada hukum yang cocok bagi manusia melainkan hukum Allah yang selalu berorientasi pada dhamir dan iman, sebelum menempuh dengan jalan kekuatan dan kekuasaan.
(2) Sikap orang-orang perempuan muslimah dahulu terhadap larangan Allah, seperti tabarruj, dan kewajipan yang harus mereka lakukan, seperti menutup aurat. Padahal orang-orang perempuan jahiliah kalau keluar rumah dadanya terbuka, tidak sehelai benang pun yang menutupinya, leher dan ekor kudanya nampak, termasuk juga kriulnya. Kemudian tahu-tahu Allah mengharamkan bertabarruj dan memerintahkan mereka supaya berbeza dengan perempuan-perempuan jahiliah, dan harus menutup aurat dan bersopan-santun dalam seluruh gerak dan tingkah lakunya, diantaranya ialah dengan melabuhkan kudung-kudung pada tengkuknya dan belahan dadanya. Maka waktu itu mereka langsung menutup tengkuk, leher dan telinga.
Ada suatu kisah yang sengaja dibawakan oleh Aisyah kepada kita bagaimana cara hukum Allah yang bertalian dengan masalah merombak sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan kaum wanita yang suka bergaya dan berhias, sebagai yang berlaku pada orang-orang perempuan Muhajirin dan Ansar dalam masyarakat Islam pertama. Maka kata Aisyah: "Semoga Allah memberi rahmat kepada perempuan muhajirin pertama, yang ketika ayat Allah: "... dan hendaklah mereka (perempuan) melabuhkan kudung-kudungnya di dada-dada mereka ..." itu turun, kemudian mereka menyobek pakaiannya yang terbuat dari wool atau sutera untuk dipakai bertudung." (Riwayat Bukhari).
Pernah juga terjadi ada sementara orang perempuan duduk-duduk sambil membincangkan keistimewaan perempuan-perempuan Quraisy. Kemudian Aisyah berkata: "Memang benar perempuan Quraisy mempunyai kelebihan, tetapi demi Allah belum pernah saya lihat keistimewaan yang dimiliki perempuan-perempuan Ansar; mereka sangat membenarkan kitabullah.
Sehingga waktu ayat: "... hendaklah perempuan-perempuan melabuhkan tudung dada-dada mereka ..." itu turun, laki-laki Ansar pada mengangkat kakinya pulang ke rumah untuk membacakan ayat itu kepada isteri-isterinya, anak perernpuannya, saudara perempuannya dan seluruh kerabatnya, sehingga tidak seorang perempuan pun yang tidak menyobek pakaiannya yang bergambar untuk diikatkan dan menyelubungi kepalanya, sebagai membenarkan dan mempercayai kebenaran ayat Allah di atas. Kemudian mereka berada di belakang Rasulullah dengan membalut kepalanya yang seolah-olah di atas kepalanya itu dikerumuni burung gagak."[41]
Demikianlah kedisiplinan perempuan-perempuan mu'minah terhadap hukum Allah. Dengan secepat kilat mereka mahu melaksanakan perintah Allah itu dan menjauhi larangannya tanpa ragu-ragu sedikitpun, tidak menunggu-nunggu sehari atau dua hari atau lebih dari itu, sambil menunggu kesempatan kalau sudah mampu membeli atau menjahitkan pakaian barunya yang serasi untuk menutup kepala dan membesarkan kudungnya itu supaya boleh melabuh sampai ke dada. Bahkan apapun pakaian yang didapat dan warna apapun yang ada, selalu cocok dan serasi. Kalau tidak ada, terpaksa mereka sobek pakaiannya untuk dililitkan pada kepalanya tanpa menghiraukan mode, kendati nampak kepalanya itu seperti dikerumuni gagak, seperti yang dikatakan oleh Aisyah di atas.
Kami membenarkan, bahawa sekadar memahami halal dan haram, belum cukup. Sebab induk halal dan haram itu sendiri sebenarnya cukup jelas; tidak seorang muslim pun yang tidak tahu. Justru itu dengan mudah dapat diketahui oleh kebanyakan orang-orang Islam yang tenggelam dalam haram dan terang-terangan terjun ke jahanam.
Oleh kerana itu perlu ada taqwallah. Sebab taqwallah lah satu-satunya yang dapat mengendalikan itu semua. Atau dengan kata lain yang mutaakhir perlu adanya jiwa hidup yang dapat mendisiplinkan seorang muslim pada batas-batas halal dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan haram. Jiwa semacam ini tidak akan tumbuh dengan subur, kecuali ditanam dalam ladang iman kepada Allah dan hari akhir. Kalau seorang muslim dapat memenuhi pengertiannya tentang batas-batas agama dan hukum Allah, dan mempunyai jiwa hidup yang dapat melindungi batas-batas hukum ini sehingga tidak terlanggar dan tersentuh, berarti dia telah memenuhi seluruh macam kebaikan.
Benarlah apa yang dikatakan Nabi s.a.w.: "Apabila Allah menghendaki kebaikan seseorang, maka Ia akan adalah penasihat dari dirinya sendiri."[42]
Akhirnya kami tutup tulisan ini dengan suatu doa yang sudah terkenal dari orang-orang tua kita dahulu: "Ya Tuhankul Cukupkanlah aku dengan mengikuti yang Engkau halalkan, jauh dari yang Engkau haramkan; cukup dengan mentaatiMu, jauh dari bermaksiat kepadaMu; dan cukup dengan anugerahMu bukan dari orang lain."
"Segala puji kepunyaan Allah yang telah menunjukkan kami, sungguh kami tidak akan mendapat petunjuk andaikata Allah tidak menunjukkan."
Post a Comment