Perusak Harga Diri
Perusak Harga Diri
Harga diri adalah barang teramat
mahal yang sekali-kali tidak akan bisa dibeli dengan uang. Namun sayang,
sebagain besar manusia justeru beranggapan bahwa harga diri akan datang bila
asesoris duniawi ada dalam genggaman tangannya. Padahal, demi Allah, itulah jiwa
materialistis yang akan menghancurkan harga diri seseorang.
Saudaraku, setidaknya ada lima
ciri manusia yang telah terasuki karakter kapitalistik. Pertama, segalanya hanya
diukur dengan materi. Kedua, rakus, tamak serta tidak pernah merasa puas
memperturutkan keinginan. Ketiga, aji mumpung. Keempat, individualistis atau
lebih mementingkan dirinya sendiri. Kelima, hanya mau berkalkulasi untung rugi.
Sekiranya kita telah ikut terasuki lima ciri ini, maka kehancuran harga diri
tinggal menunggu waktu.
Apa saja yang dapat menghancurkan
harga diri kita? Di sini saya sebutkan dua hal. Pertama, tak tahu malu. Sekali
seseorang tebal muka, (maaf) bermuka badak, maka ia tidak akan malu kalau
hidupnya membebani orang lain. Di rumah, di kantor atau pun di masyarakatnya ia
hanya menjadi beban lantaran tangannya ditengadahkan kepada orang lain.
Hidup berkeluarga misalnya.
Bertahun-tahun ikut numpang di rumah mertua. Namun semuanya ia jalani dengan
ringan, tanpa berpikir sama sekali untuk turut membayarkan listrik, telepon atau
air yang sehari-hari dipakainya. Pemuda yang telah tamat sekolah, susah mencari
kerja, tetapi sehari-hari hanya duduk-duduk saja, sementara batang demi batang
rokok ia beli dari uang orangtuanya.
Siapa pun yang hidupnya hanya
mengharapkan uluran tangan orang tanpa mau membalas kebaikan, maka sedikit demi
sedikit harga dirinya akan jatuh. Padahal, Islam mengajarkan bahwa harga diri
kita harus dijaga sebaik-baiknya. Benar, kita memiliki kekurangan yang membuat
kita membutuhkan pertolongan orang lain. Namun, kita pun harus ingat bahwa
setiap kali membebani orang lain, maka kita harus berjuang agar bisa meringankan
beban orang lain pada sisi yang mampu dan sanggup kita lakukan. Belajarlah untuk
malu menikmati sesuatu yang bukan menjadi hak kita.
Kedua, tidak tahu balas budi.
Membalas budi baik sebenarnya bukan hal sulit. Namun tidak banyak orang yang
memiliki kemauan dan kemampuan melaksanakannya secara istiqamah. Padahal, ketika
sedang membutuhkan bantuan orang lain, kita mengiba dan berharap agar dia sudi
memberikan pertolongan. Sayangnya. begitu masalah terpecahkan, kita pun segera
lupa seolah-olah jalan keluar itu datang dengan sendirinya.
Ada satu contoh. Ketika sakit
biasanya kita, segera pergi ke dokter. Apa yang terjadi setelah penyakit sirna
dari tubuh? Kita pun segera kembali tenggelam dengan kesibukan sehari-hari.
Hampir tidak pernah terlintas dalam pikiran kita untuk mengangkat gagang telepon
atau menulis SMS sekadar mengucapkan terimakasih.
Sebuah pepatah menyebutkan,
Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Bertahun-tahun seseorang membiayai
kita. Dari asalnya seorang menganggur, diberinya kita lapangan pekerjaan.
Kebutuhan kita pun jadi tercukupi berkat imbalan yang diberikan. Terkadang kita
lalai, terkadang pula mungkin sempat mengambil yang bukan menjadi hak kita.
Namun, tidak membuat kita diberhentikan dari pekerjaan. Apa yang terjadi
kemudian? Ketika orang itu menyinggung perasaan, serta-merta kita menghapus
daftar kebaikannya dalam memori. Yang tersisa dalam pikiran hanya keburukan yang
mungkin hanya sekali dua kali. Bahkan bukan tidak mungkin, itu hanya sebuah
kesalahpahaman. Semoga Allah menuntun kita menjadi orang yang tahu malu dan tahu
balas budi. Amin
Post a Comment