Prasangka
Prasangka
Ada 
sebuah cerita yang kelihatannya ringan. Sebuah keluarga yang terdiri atas:  ayah, ibu, seorang anak laki-laki dan seorang 
anak perempuan, sudah gadis. Dari segi komposisi adalah merupakan keluarga ideal 
menurut program KB. Namun perlu dicatat, cerita ini sudah lama ada sebelum 
Indonesia merdeka. Saya mendengar cerita ini dari nenek semasa saya masih kecil. 
Diceritakan nenek menjelang tidur malam. Keempat anggota keluarga itu semuanya 
pekak. Artinya tuli betul, sebenar- benarnya tuli. Suatu hari si anak laki-laki 
sedang menggembalakan kambingnya di pinggir kampung.  Seorang asing liwat. Menanyakan arah jalan 
yang bercabang dua. Si anak menjawab: "Ini kambing saya, ini kambing bapak saya. 
Mengapa engkau mengatakan kambing ini milikmu. Awas, tunggu di sini, saya 
beritahu ibuku di rumah. "Anak itu menghalau kambingnya pulang ke rumah. Masih 
di tangga si anak berteriak: "Ibu, di pinggir kampung, di luar sana ada orang 
yang mengaku-ngaku kambing kita ini kambingnya." Dengan suara pasrah si ibu 
menjawab: "Biarlah nak, kita ini memang orang miskin. Tidak usah marah. 
Biarkanlah dia mencela celana bapakmu yang penuh dengan tambalan itu." 
Sepulangnya suaminya dari kebun, belum sempat melangkahkan kaki suaminya masuk 
rumah, si isteri berucap: "Pak, menurut anak kita ada yang mencela celanamu yang 
penuh tambalan. Saya katakan, sudahlah nak, tidak usah masukkan di hati, kita 
ini memang petani miskin." Si suami menjawab: "Haram, kalau saya makan pisang di 
kebun. Kalau ada yang menyampaikan kepadamu saya ini suka makan pisang secara 
sembunyi-sembunyi di kebun, itu fitnah." Si gadis di dapur melirik ke depan 
pintu tempat kedua orang tuanya berdialog. Dia tentu saja hanya mampu melirik, 
karena tidak sanggup menguping, maklumlah ia pekak. Setelah dialog berakhir, si 
gadis melompat ke dekat pintu dengan tersedu-sedu ia berkata: "Biarlah mak, 
biarlah pak, kalau ada yang meminang, jangan ditolak, terima saja."   
 
*** 
   
Dalam kehidupan kita sehari- sehari tidak jarang kita terlibat dalam hal 
prasangka. Sikap berprasangka yang dibentuk oleh kepicikan, pandangan sempit, 
curiga kepada bayangan sendiri. Cerita di atas itu dikarang  oleh nenek moyang kita untuk memberikan 
potret sekelompok manusia yang bersikap prasangka yang ekstrem. Memang nenek 
moyang kita, pengarang cerita itu, orang jenius. Keadaan pekak menggambarkan 
orang yang tidak mau mendengar pendapat orang lain. Yang penting adalah 
persepsinya sendiri, sangat sukar berkomunikasi dengannya. Sikap prasangka yang 
ekstrem, yang dibentuk  oleh kondisi 
kejiwaannya.    
Si 
anak laki-laki mendapat tugas menggembalakan kambingnya. Tanggung jawabnya itu 
menyebabkan ia bersikap waspada secara berlebihan. Apapun yang diucapkan atau 
dilakukan orang ditanggapinya mau meronrong kedudukannya sebagai gembala, mau 
mengambil, mau merampas kambing itu dari tangannya. Si ibu yang pekerjaan 
rutinnya menambal celana suaminya mnyebabkan ia dihinggapi penyakit rendah diri, 
minderwaadigheid complex. Semua tindak-tanduk orang selalu ditafsirkannya 
mengejek celana suaminya. Si suami yang suka makan pisang secara 
sembunyi-sembunyi, selalu ibarat mempunyai monyet di punggung.  Rasa kuatir  
bahwa isterinya akhir-akhirnya akan tahu juga, selalu mengusik jiwanya. 
Waktu isterinya melapor bahwa celananya dicela orang, ia menyangka rahasianya 
sudah terbuka. Yang bungkuk dimakan sarung. Si gadis, adalah gadis pingitan, 
yang jiwanya selalu meratap, mendambakan orang datang meminang. Seperti 
diungkapkan oleh Kelong Mangkasara' (pantun Makassar):    
Bosi 
minne baraqminne, bungaminne campagayya. Inakatte minne, lamaqlonjoq paqrisiqna. 
Turunlah hujan, musim barat tiba, pohon cempaka berbunga pula. Nasibku memang, 
selalu dirundung malang.    
Si 
gadis menanti harap-harap cemas dari tahun ke tahun. Yang ditandai dengan 
datangnya musim barat, bahkan pohon cempaka sudah berbunga pula. Tetapi selalu 
dirundung malang, belum ada yang datang meminang. Maka oleh pembicaraan ibu 
dengan bapaknya dekat pintu, begitu serius dilihatnya, timbullah prasangkanya: 
telah ada yang datang meminang.    
Sikap prasangka ini tidak terkecuali, juga subur bertumbuh dalam politik 
tingkat tinggi. Rezim militer Aljazair, ibarat anak pekak yang menggembala 
kambing itu. Selalu diusik oleh kekuatiran kambingnya diambil orang, lalu 
berprasangka. Golongan Islam yang membentuk kekuatan politik, yang menempuh cara 
demokratis, menjadi salah satu kontestan dalam pemilihan umum, dicap 
fundamentalis. Sebenarnya istilah fundamentalis ini pengertiannya baik-baik 
saja.  Tetapi dalam lapangan politik 
internasional istilah ini sudah mempunyai konotasi yang khas, suka menempuh cara 
kekerasan. Kalaupun pada akhirnya kelompok ini terlibat dalam kekerasan dan 
pertumpahan darah, itu karena lebih dahulu dikerasi dan dizalimi oleh rezim 
militer: pemilu lanjutan dibatalkan, partainya disudutkan untuk mendapatkan 
alasan pembubaran dan akhirnya memang dibubarkan oleh rezim militer. Nah kalau 
mereka akhirnya terpaksa terlibat dalam tindak kekerasan dan pertumpahan darah, 
semutpun kalau diinjak, niscaya menggigit.    
Amerika Serikat yang begitu menggemborkan dirinya pahlawan demokrasi, 
bungkam, bahkan bersikap menyokong rezim militer Aljazair, yang mentorpedo hasil 
dan proses pemilihan umum itu. Mengapa? Amerika sedang risau, Iran potensial 
bakal menggantikan kedudukan mantan Uni Sovyet untuk menantang, menjadi rival 
Amerika. Ambisi Amerika untuk menjadi negara adidaya tunggal, menjadi polisi 
dunia, bakal mendapat hambatan, gangguan, bahkan ancaman dari Iran. Ini 
membentuk sikap Amerika berprasangka kepada setiap gerakan Islam, tidak 
terkecuali di Aljazair.    
Nah, 
itulah semua sikap prasangka politik tingkat tinggi yang mengglobal. Tidak ada 
bedanya dengan anak pekak yang selalu diusik oleh kekuatiran kambingnya diambil 
orang, seperti cerita nenek menjelang tidur di atas itu. Adapun tentang hal 
sikap berprasangka yang disebabkan oleh rasa rendah diri si ibu, oleh rasa ada 
monyet di punggung si ayah dan oleh rasa cemas si gadis, pembaca dapat 
memperkembang sendiri, sebab ruangan ini terbatas untuk itu.   
 
Marilah kita tutup pembahasan ini dengan Firman Allah dalam Al Quran, 
S.Banie Israil, ayat 36: Wa laa taqfu ma laysa laka bihi- 'ilmun, inna ssam'a 
walbashara, walfuada, kullu ulaaika kaana 'anhu mas.uwlan, artinya: Dan 
janganlah engkau memperturutkan (prasangka) yang engkau tidak tahu seluk- 
beluknya, karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan rasio, kesemuaya itu 
akan dipermasalahkan (oleh Allah SWT di Hari Pengadilan). Ya-ayyuha lladziyna a- 
manu jtanibuw katsiyran mina zhzhanni inna ba'dha zhzhanni itsmun (s. 
alhujuraat, 12), artinya: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari 
prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa (49:12).  WaLlahu a'lamu bishshawab.    

 
Post a Comment