Sains yang Otonom dan Polos Perlu Diredefinisi
Sains yang Otonom dan Polos Perlu Diredefinisi
Secara gampangnya sains itu adalah proses penafsiran alam semesta yang
dapat ditangkap/dideteksi oleh pancaindera, biasanya dengan bantuan instrumen,
yang kemudian penafsiran itu harus diujicoba juga dengan bantuan instrumen. Jadi
dalam sains obyek ilmu yakni alam sekitar dideteksi dahulu, lalu ditafsirkan,
dan langkah terakhir diujicobalah penafsiran itu dengan instrumen pula. Atau
dengan gaya redaksional yang sedikit lebih canggih: Sains meliputi pengungkapan
hukum alam (ini istilah sekuler) tentang alam nyata dan perumusan
hipotesa-hipotesa sepanjang belum dapat diujicoba secara eksperimen, yang
memungkinkan orang dapat memprediksi peristiwa-peristiwa dan gejala-gejala
alamiyah dalam kondisi-kondisi tertentu. Para pakar di bidang sains dengan
demikian berurusan dengan penelitian dan pengungkapan fakta-fakta tentang sifat
alamiyah dari alam semesta.
Definisi di atas itu kelihatannya menurut apa yang difahami selama ini
adalah polos, tanpa nilai. Atau dengan permainan kata-kata yang lebih canggih:
mempunyai nilai tersendiri yaitu nilai ilmiyah dengan ciri khasnya yang otonom.
Dikatakan kelihatannya, oleh karena pada hakekatnya sains itu sesungguhnya
memihak, jadi tidak otonom, seperti yang akan dibahas berikut ini:
Manusia berdasarkan sikapnya terhadap Tuhan, dapat diklasifikasikan dalam
empat golongan, yaitu: a) Golongan yang percaya akan adanya Tuhan sebagai
Pencipta dan Pengatur alam semesta. Artinya setelah Tuhan mencipta, lalu
disertai tindak lanjut dengan memberikan petunjuk kepada manusia dengan
menurunkan wahyu kepada manusia pilihan yang disebut Nabi, yang akan meneruskan
petunjuk itu kepada ummat manusia. Golongan ini disebut dengan Theist. b)
Golongan yang percaya akan adanya Tuhan hanya sebagai Pencipta saja. Wahyu tidak
ada. Manusia cukup mengatur dirinya dengan akalnya saja. Sikap yang berpikir
demikian itu disebut sekuler. Golongan yang kedua ini disebut dengan Deist.
Adalah logis bahwa golongan ini walaupun sudah percaya kepada Tuhan Yang Maha
Esa, tetapi belum menganut sesuatu agama. c) Golongan yang tidak mau tahu
tentang adanya Tuhan. Adanya Tuhan atau tidak adanya Tuhan, bukanlah sesuatu
yang penting benar untuk dipikirkan, hanya membuang-buang energi saja. Golongan
ini disebut dengan Agnostik. Barangkali perlu menyebut nama orang dari golongan
ini, satu laki-laki dan satu perempuan yaitu: Betrand Russel dan Madam
Blavatsky. d) Golongan yang tidak percaya akan adanya Tuhan. Golongan ini
disebut dengan Atheist.
Semua ilmu yang diajarkan di sekolah-sekolah umum, apalagi sains adalah
memihak kepada golongan [b], [c] dan [d]. Dalam ilmu-ilmu itu tersebut, cobalah
diingat-ingat pernakah di sebut-sebut nama Tuhan? Menyebut nama Tuhan dalam
sains berarti hilanglah otonomi sains itu. Akan tetapi dapatkah otonomi atau
kepolosan itu tetap dipertahankan? Polos atau otonom artinya tidak memihak.
Padahal dengan tidak mau tahu tentang Tuhan di dalam sains, berarti sains sudah
memihak kepada golongan [b], [c] dan [d] tersebut itu. Artinya apa yang dikenal
selama ini bahwa nilai ilmiyah itu otonom, atau dengan ungkapan sederhana tanpa
nilai, sebenarnya adalah pernyataan yang palsu. Walhasil, karena tidak mungkin
ilmu itu tidak memihak di antara keempat golongan itu, maka tentu saja bagi yang
berpikiran sehat, akan memilih golongan pertama tempat ilmu itu memihak. Maka
dengarlah firman Allah di bawah ini: Inna fiy khalqi sSama-wa-ti wa lArdhi
wa-khtilaafi lLayli wa nNahaari laa-ya-tin liUli lAlbaab. Alladziena yadzkuruwna
Lla-ha qiyaaman wa qu'uwdan wa 'ala- Junuwbihim wa yatafakkaruwna fiy khalqi
sSama-wa-ti wa lArdhi Rabbanaa maa khalaqta ha-dzaa baathilan subha-naka faqinaa
'adzaaba nNaar (S. Ali 'Imraan, 190), artinya: Sesungguhnya dalam proses
penciptaan benda-benda langit dan bumi, dan pergantian malam dengan siang
menjadi keterangan bagi ululalba-b. Yaitu mereka yang ingat kepada Allah dalam
keadaan berdiri, duduk ataupun berbaring, lalu mereka berkata; Wahai Yang Maha
Pengatur kami, tidaklah Engkau menciptakan semuanya ini dengan sia-sia, maka
peliharalah kami dari azab neraka (3:190).
Kesimpulannya, perlu redefinisi sains, yaitu dengan mentransfer pemihakan
itu dari golongan [b], [c] dan [d] kepada golongan yang pertama, bunyinya
seperti berikut: Sains meliputi pengungkapan TaqdiruLlah (hukum-hukum Allah)
tentang alam syahadah yang ciptaan Allah sebagai Maka Pencipta (Al Khaliq) dan
Maha Pengatur (Ar Rabb), dan perumusan hipotesa-hipotesa sepanjang belum dapat
diujicoba dengan eksperimen, yang memungkinkan orang dapat mentakwilkan
peristiwa-peristiwa dan gejala-gejala alamiyah dalam kondisi-kondisi tertentu.
Para pakar di bidang sains berurusan dengan penelitian, pengungkapan fakta-fakta
tentang sifat alamiyah dari alam semesta. WaLlahu a'lamu bishshawab.
Post a Comment