Kursi Iman dan Kursi Ilmu. Dibedakan Tetapi Tidak Dipisahkan
Kursi Iman dan Kursi Ilmu. Dibedakan Tetapi Tidak Dipisahkan
Di
dalam diri kita harus disediakan dua kursi, yaitu kursi iman dan kursi ilmu.
Kedua kursi itu harus dapat dibedakan, tetapi tidak boleh dipisahkan, karena
keduanya merupakan satu sistem. Kedua kursi itu harus dibedakan, oleh karena
apabila kita menempatkan sesuatu hal tidak pada kursinya, misalnya suatu hal
yang harus didudukkan pada kursi ilmu, tetapi kita dudukkan pada kursi iman,
pikiran kita akan beku, tidak berkembang, karena sesuatu yang patut kita
pertanyakan, kita tidak berani mempertanyakannya. Sebaliknya, jika sesuatu hal
yang seharusnya didudukkan pada kursi iman, tetapi kita dudukkan pada kursi
ilmu, maka iman kita akan cacat, karena kita akan mempertanyakan sesuatu, yang
sepatutnya kita tidak boleh mempertanyakannya.
Uraian di atas itu berpangkal pada perbedaan sikap dalam beriman dan
berilmu. Sikap kita harus skeptik, jika kita menghadapi obyek ilmu. Apakah yang
menjadi obyek llmu itu? Yang menjadi obyek ilmu adalah produk akal manusia.
Yaitu fakta dan hasil penafsiran manusia terhadap fakta itu, yang lazim disebut
dengan teori ataupun hipotesa. Dan apakah fakta itu? Fakta adalah hasil
observasi dari sumber informasi yang dapat ditangkap oleh pancaindera secara
langsung, maupun secara tidak langsung. Maksudnya dideteksi terlebih dahulu oleh
instrumen dalam laboratorium. Skeptik berarti ragu, tidak menolak, tetapi belum
menerima, dan sebaliknya tidak menerima, tetapi belum menolak. Sikap ragu itu
akan berakhir dengan menerima, atau menolak, tergantung hasil jawaban
pertanyaan-pertanyaan berikut: Betulkah begitu? Apa fakta-fakta yang menguatkan
pembuktian itu?
Sebaliknya, kita tidak boleh bersikap skeptik terhadap obyek iman.
Terhadap apa yang harus diimani, akal kita tidak boleh bertanya seperti rentetan
pertanyaan dalam berilmu di atas itu. Dan apakah obyek iman itu? Obyek iman itu
berasal dari sumber informasi berupa wahyu dari Allah SWT yang diturunkan kepada
para nabi dan rasul. Informasi wahyu ini tentu saja yang otentik berasal dari
nabi dan rasul yang menerima wahyu itu. Apakah kriteria sumber informasi wahyu
yang otentik itu? Tidak boleh ada penafsiran/interpretasi manusia yang
disisipkan ke dalamnya. Tidak boleh ada perubahan kalimat ataupun kata, baik
berupa penambahan, atau pengurangan. Harus dalam bahasa asli bangsa dari rasul
yang diutus itu. Satu-satunya sumber informasi wahyu yang dapat memenuhi
kriteria itu adalah Al Quran. Semua wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW
ada dalam Al Quran yang dituliskan oleh para juru tulis Rasulullah. Itulah
sebabnya Al Quran (yang dibaca) disebut pula Al Kitab (yang dituliskan). Dan tak
ada satupun yang bukan wahyu yang ikut dimasukkan dalam Al Quran. Dan Al Quran
itu adalah dalam bahasa Arab yang dipergunakan oleh suku bangsa Quraisy, yaitu
suku bangsa di mana Nabi Muhammad SAW tergolong dalam suku itu. Inna anzalnahu
Quranan Arabiyyan la'allakum ta'qilun. Sesungguhnya Kami turunkan Al Quran dalam
bahasa Arab, mudah-mudahan kamu pergunakan akalmu (S.Yusuf 1). Keadaan Al Quran
yang dapat bertahan keotentikannya terhadap zaman, adalah konsekwensi logik
bahwa Nabi Muhammad Rasulullah SAW adalah nabi dan rasul yang terakhir, Khatamun
Nabiyyien, penutup para nabi.
Telah disebutkan di atas iman dan ilmu harus dibedakan, tetapi tidak
boleh dipisahkan. Karena memisahkan iman dengan ilmu akan mengakibatkan pecahnya
kepribadian seseorang. Di satu saat ia akan bicara sebagai seorang ilmuwan, di
satu saat yang lain akan bicara sebagai seorang yang beriman. Misalnya di satu
saat sebagai seorang pakar kebudayaan, akan memasukkan agama ke dalam
kebudayaan, artinya agama itu adalah bagian dari kebudayaan, dan di suatu saat
yang lain ia bicara sebagai orang beriman lalu mengatakan bahwa agama itu bukan
bagian dari kebudayaan, karena agama itu sumbernya dari wahyu Allah SWT. Apabila
ia menjumpai adanya pertentangan antara apa yang mesti dia imani dengan yang
mesti dia ilmui, dia akan bingung. Salah satu alternatif ini yang akan terjadi,
ia akan berhenti menjadi pakar dan akan frusturasi, lalu ia akan beragama secara
dogmatik, akalnya beku, yang akan menjerumuskannya ke dalam taklid buta. Atau
sebaliknya ia akan memilih ilmunya dan mencapakkan imannya, dan menjadi acuh tak
acuh terhadap agamnya, menjadi orang agnostik.
Apabila iman dan ilmu tidak kita pisahkan, kepribadian kita akan menjadi
utuh, sehingga kita tidak akan terjerumus ke dalam sikap beragama yang bertaklid
buta, dan juga tidak terjerumus ke dalam sikap yang agnostik. Kalau suatu saat
kita melihat adanya pertentangan di antara keduanya, kita tambah ilmu untuk
mendapatkan informasi yang relevan untuk iman kita. Atau kita tinjau kembali
ilmu kita, melakukan reinterpretasi, penafsiran kembali, karena kebenaran
ilmiyah itu sifatnya sementara, artinya relatif dalam arti menurut tempat,
situasi, waktu dan peralatan ilmu bantu. Untuk contoh di atas, kalau kita
sedikit jeli, mengapa terjadi pertentangan, karena ada agama yang berasal dari
akar yang historik, maka itu adalah agama kebudayaan, ia termasuk dalam bagian
kebudayaan. Ada agama yang berasal dari akar yang non-historik, yaitu wahyu,
maka itu adalah agama wahyu, ia bukan bagian dari kebudayaan. Dan ada agama yang
sebagian mempunyai akar historis dan sebagian bersumber dari wahyu. Agama jenis
ketiga ini, sebagiannya menjadi bagian dari kebudayaan, dan sebagiannya bukan
bagian dari kebudayaan.
Di
dalam berilmu ada sebuah pendekatan yang dirasa perlu dikemukakan di sini, yaitu
pendekatan sistem. Melihat obyek ilmu secara kaffah (totalitas), yang mempunyai
fungsi dan trujuan, yang terdiri atas komponen-komponen yang mempunyai kaitan
tertentu antara satu dengan yang lain, dan yang kaffah itu melebihi dari sekadar
kumpulan komponen-komponen itu semuanya. Pendekatan ini dapat diterapkan dalam
obyek iman, oleh karena pendekatan ini tidak akan merusak iman kita, bahkan
Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk memegang prinsip kaffah ini, seperti
firmanNya dalam S. Al Baqarah, ayat 208: Ya ayyuhalladziena amanu udkhulu fie
ssilmi kaffah, artinya: Hai orang-orang beriman, masukilah keselamatan secara
kaffah/totalitas.
Maka
dengan metode pendekatan sistem ini, dapatlah kita menjadikan iman dan ilmu
menjadi satu sistem, dan terlepaslah kita insya Allah, yang pakar dan bukan
pakar, dari bahaya pecahnya kepribadian, terhindarlah kita dari alternatif atau
beragama yang dogmatik, atau bersikap agnostik, acuh tak acuh mencuekkan agama.
WaLlahu a'lamu bishshawab.
Post a Comment