Setengah Gelas Kopi, Proses dan Hasil Akhir
Setengah Gelas Kopi, Proses dan Hasil Akhir
Ada
ciri khas yang menunjukkan perbedaan antara eksakta dengan non-eksakta. Di
bidang eksakta apabila A tidak sama dengan B, jika A benar, maka B mesti salah.
Akan tetapi dalam bidang non-eksakta jika A tidak sama dengan B, apabila A
benar, maka B belum tentu salah. Contohnya: Menanak beras dengan menanak nasi.
Itu adalah ungkapan dalam berbahasa, jadi termasuk yang non-eksakta. Sehingga
jika menanak beras yang betul, maka menanak nasi belum tentu salah. Ungkapan di
atas itu kedua-duanya benar. Jika orientasinya proses, maka yang relevan adalah
menanak beras, yaitu membuat supaya beras itu dapat dimakan dengan jalan
menanak. Akan tetapi jika orientasinya adalah output, hasil yang ingin dicapai,
objective, maka yang relevan adalah menanak nasi.
Setengah gelas air kopi. Kita dapat katakan, bahwa gelas itu setengah
penuh. Juga tidak salah jika dikatakan setengah kosong. Tetapi dari segi proses
itu berbeda. Apabila pada mulanya gelas itu kosong kemudian diisi kopi sampai
setengahnya, maka itu adalah setengah penuh. Lain halnya jika pada mulanya gelas
itu penuh dengan kopi, kemudian kopinya diminum setengahnya, maka gelas itu
setengah kosong. Walaupun proses berbeda, namun hasil akhir sama. Jadi jika
orientasinya adalah proses, maka setengah penuh tidak sama dengan setengah
kosong. Gelas dengan setengah penuh dengan kopi, bukan sisa. Tetapi gelas yang
setengah kosong, berarti kopi yang di dalamnya adalah sisa. Dalam hal yang
terakhir ini umumnya mubazzir, kopi itu dibuang, karena umumnya orang tidak mau
minum sisa. Sedangkan kalau orientasinya pada hasil akhir, output, setengah
penuh dengan setengah kosong tidak berbeda. Kedua umgkapan itu disederhanakan
menjadi setengah gelas kopi.
Ada
pepatah Belanda yang berbunyi: Het gaat niet om de knikker, maar om 't spel.
Bukan masalah kelerengnya, melainkan cara mainnya. Pepatah itu berorientasi pada
proses. Namun dalam MBO, Management By Objectives, yang penting adalah hasil
akhir, objective. Proses tidak begitu penting. Cara mencapainya diserahkan
kepada pelaksana. Dan tentu ini dapat saja menjurus kepada yang negatif, yaitu
prinsip Machiavelli: Tujuan menghalalkan segala cara.
Dalam hal Undang-Undang No.14/1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
kelihatannya lembaga-lembaga pembuat undang-undang tersebut, yaitu lembaga
legislatif dan eksekutif, nampaknya berorientasi utamanya kepada objective,
hasil yang ingin dicapai, pokoknya tujuan UU Lantas itu baik. Kalau
dipikir-pikir, kelihatannya pola pikir ini logik. Pembuatan undang-undang itu,
tidak perlu berorientasi pada proses. Mengapa? Bukankah melalui pemilu aspirasi
rakyat diwakilkan kepada para wakil yang dipilihnya? Apapun produk lembaga hasil
pilihan rakyat itu logikanya mesti diterima oleh rakyat. Kenapa mesti
ribut-ribut. Mestinya yang ribut itu adalah golput, yang merasa aspirasinya
tidak diwakili oleh lembaga hasil pemilu itu, karena mereka memang tidak ikut
memilih. Yang bukan golput, logikanya ya diam saja, tidak perlu ribut-ribut.
Namun undang-undang itu bukan bidang eksakta, melainkan non-eksakta. Kalau dalam
bidang eksakta, maka itu tunduk pada hukum-hukum logika. Di bidang non-eksakta
hukum-hukum logika tidak berlaku secara umum. Buktinya? Ya apa yang dibahas di
atas itu. Sekiranya hukum logika itu berlaku secara umum dalam bidang
non-eksakta, maka orang-orang yang ikut memilih dalam pemilu tidak akan ribut.
Kenyataannya ribut, jadi logika di sini tidak berlaku.
Oleh
sebab itu proses sama pentingnya dengan hasil akhir. Sudah ada contoh
sebelumnya, yaitu Undang-Undang Peradilan Agama. Sebelum diundangkan, artinya
pada waktu masih dalam taraf rancangan, dilempar dahulu secara terbuka kepada
masyarakat. Masyarakat ikut dilibatkan dalam proses. Seperti apa yang dilakukan
oleh Rasulullah dalam persiapan atau prolog Perang Uhud. Masyarakat Madinah
diikut sertakan dalam tahapan proses. Seharusnya proses pembentukan UU Lantas
ini bercermin pada pembentukan Undang-Undang Peradilan Agama. Sudah ada cermin
proses yang bagus. Mengapa mesti lagi buat terobosan baru, diputuskan secara
tertutup dahulu, ada hasil baru dibuka. Nah, ributlah orang. Untung saja menurut
para pakar hukum masih ada reserve, yaitu Peraturan Pemerintah. Hal-hal yang
masih kurang dalam undang-undang itu masih dapat ditanggulangi dalam Peraturan
Pemerintah. Syukurlah, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerinah Pengganti
Undang Undang No.1, tahun 1992, untuk menunda pelaksanaan UU Lantas itu selama
setahun. Itu berarti bahwa pemerintah bersikap terbuka dalam proses pembuatan
Peraturan Pemerintah yang sementara digodok itu. Sayangnya proses pembuatan UU
Lantas dengan proses tertutup itu telah mengeluarkan energi, yang semestinya
tidak perlu dikeluarkan, tidak efisien. Sama halnya dengan hanya melihat hasil
akhir, kopi setengah gelas. Belakangan ketahuan bahwa setengah gelas itu adalah
setengah kosong, artinya setengahnya habis diminum. Dan itu sisa, lalu kopinya
dibuang, jadi tidak efisien. Tetapi tentu saja ini lebih baik dari: Sesal
kemudian tidak berguna.
Jadi
pada pokoknya, dua-duanya penting. Materi keputusan sebagai tujuan penting, dan
juga proses tidak kurang pentingnya. Dalam Al Quran hal tersebut jelas
disebutkan. Misalnya materi tentang larangan makan harta orang dengan batil.
Bagaimana proses makan harta orang itu? Yakni dengan proses membawanya ke dalam
sidang pengadilan, ke muka hakim, yang dewasa ini sudah mempunyai kecenderungan
dalam taraf mendekati globalisasi, dengan ungkapan mafia peradilan. Sekadar
data, di Indonesia saja menurut Menkeh Ismail Saleh, sudah 266 hakim nakal yang
ditindak.
Firman Allah: Wa laa ta'kuluw amwalakum baynakum bi lbaathili, wa tudluw
bihaa ila lhukkaami lita'kuluw farieqan min amwaali nnaasi bi l-ismi, wa antum
ta'lamuwn, artinya: Dan janganlah kamu makan harta orang di antaramu dengan
batil, yaitu dengan membawanya di depan para hakim, dan dengan demikian dapatlah
kamu makan harta orang lain dengan berdosa, padahal kamu mengetahuinya (S. Al
Baqarah, 188). WaLlahu a'lamu bishshawab.
Post a Comment