Hadits Hudzaifah Rodhiallohu Ta’ala ‘Anhu
NASH HADITS
“Artinya: Dari Hudzaifah Ibnul Yaman rodhiallohu ta’ala ‘anhu berkata: Manusia bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena khawatir jangan-jangan menimpaku. Maka aku bertanya; Wahai Rasulullah, sebelumnya kita berada di zaman Jahiliah dan keburukan, kemudian Alloh mendatangkan kebaikan ini. Apakah setelah ini ada keburukan? Beliau bersabda: ‘Ada’. Aku bertanya: Apakah setelah keburukan itu akan datang kebaikan? Beliau bersabda: “Ya, akan tetapi di dalamnya ada dakhanun”. Aku bertanya: Apakah dakhanun itu? Beliau menjawab: “Suatu kaum yang mensunnahkan selain sunnahku dan memberi petunjuk dengan selain petunjukku. Jika engkau menemui mereka maka ingkarilah”. Aku bertanya: Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan? Beliau bersabda: “Ya”, dai - dai yang mengajak ke pintu Jahanam. Barang siapa yang mengijabahinya, maka akan dilemparkan ke dalamnya. Aku bertanya: Wahai Rasulullah, berikan ciri-ciri mereka kepadaku. Beliau bersabda: “Mereka mempunyai kulit seperti kita dan berbahasa dengan bahasa kita”. Aku bertanya: Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menemuinya? Beliau bersabda: “Berpegang teguhlah pada Jama’ah Muslimin dan imamnya”. Aku bertanya: “Bagaimana jika tidak ada jama’ah maupun imamnya?” Beliau bersabda: “Hindarilah semua firqah itu, walaupun dengan menggigit pokok pohon hingga maut menjemputmu sedangkan engkau dalam keadaan seperti itu”. (Riwayat Bukhari VI615-616, XIII/35. Muslim XII/135-238 Baghawi dalam Syarh Sunnah XV/14. Ibnu Majah no. 3979, 3981. Hakim IV/432. Abu Dawud no. 4244-4247.Baghawi XV/8-10. Ahmad V/386-387 dan hal. 403-404, 406 dan hal. 391-399)
“Artinya: Dari Hudzaifah Ibnul Yaman rodhiallohu ta’ala ‘anhu berkata: Manusia bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena khawatir jangan-jangan menimpaku. Maka aku bertanya; Wahai Rasulullah, sebelumnya kita berada di zaman Jahiliah dan keburukan, kemudian Alloh mendatangkan kebaikan ini. Apakah setelah ini ada keburukan? Beliau bersabda: ‘Ada’. Aku bertanya: Apakah setelah keburukan itu akan datang kebaikan? Beliau bersabda: “Ya, akan tetapi di dalamnya ada dakhanun”. Aku bertanya: Apakah dakhanun itu? Beliau menjawab: “Suatu kaum yang mensunnahkan selain sunnahku dan memberi petunjuk dengan selain petunjukku. Jika engkau menemui mereka maka ingkarilah”. Aku bertanya: Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan? Beliau bersabda: “Ya”, dai - dai yang mengajak ke pintu Jahanam. Barang siapa yang mengijabahinya, maka akan dilemparkan ke dalamnya. Aku bertanya: Wahai Rasulullah, berikan ciri-ciri mereka kepadaku. Beliau bersabda: “Mereka mempunyai kulit seperti kita dan berbahasa dengan bahasa kita”. Aku bertanya: Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menemuinya? Beliau bersabda: “Berpegang teguhlah pada Jama’ah Muslimin dan imamnya”. Aku bertanya: “Bagaimana jika tidak ada jama’ah maupun imamnya?” Beliau bersabda: “Hindarilah semua firqah itu, walaupun dengan menggigit pokok pohon hingga maut menjemputmu sedangkan engkau dalam keadaan seperti itu”. (Riwayat Bukhari VI615-616, XIII/35. Muslim XII/135-238 Baghawi dalam Syarh Sunnah XV/14. Ibnu Majah no. 3979, 3981. Hakim IV/432. Abu Dawud no. 4244-4247.Baghawi XV/8-10. Ahmad V/386-387 dan hal. 403-404, 406 dan hal. 391-399)
MAKNA HADITS
Pertama, Mengenali Sabilul Mujrimin adalah kewajiban Syar’i.
Perlu diketahui bahwa Manhaj Rabbani yang abadi yang tertuang dalam uslub Qurani yang diturunkan ke hati Penutup Para Nabi tersebut tidak hanya mengajarkan yang haq saja untuk mengikuti jejak orang-orang beriman (Sabilul Mu’minin). Akan tetapi juga membuka kedok kebatilan dan menyingkap kekejiannya supaya jelas jalannya orang-orang yang suka berbuat dosa (Sabilul Mujrimin).
Pertama, Mengenali Sabilul Mujrimin adalah kewajiban Syar’i.
Perlu diketahui bahwa Manhaj Rabbani yang abadi yang tertuang dalam uslub Qurani yang diturunkan ke hati Penutup Para Nabi tersebut tidak hanya mengajarkan yang haq saja untuk mengikuti jejak orang-orang beriman (Sabilul Mu’minin). Akan tetapi juga membuka kedok kebatilan dan menyingkap kekejiannya supaya jelas jalannya orang-orang yang suka berbuat dosa (Sabilul Mujrimin).
Alloh berfirman,
“Dan demikianlah, kami jelaskan ayat-ayat,
supaya jelas jalannya orang-orang yang suka berbuat dosa”. (QS Al-An’am:
55)
Yang demikian itu karena istibanah (kejelasan)
jalannya orang-orang yang suka berbuat dosa (Sabilul Mujrimin) secara langsung
berakibat pada jelasnya pula Sabilul Mu’minin. Oleh karena itu istibanah
(kejelasan) Sabilul Mujrimin merupakan salah satu sasaran dari beberapa sasaran
penjelasan ayat-ayat Rabbani. Karena ketidakjelasan Sabilul Mujrimin akan
berakibat langsung pada keraguan dan ketidakjelasan Sabilul Muminin. Oleh karena
itu, menyingkap rahasia kekufuran dan kekejian adalah suatu kebutuhan yang
sangat mendesak untuk menjelaskan keimanan, kebaikan dan kemaslahatan. Ada
sebagian cendikiawan syair menyatakan.
“Aku kenali keburukan tidak untuk berbuat
buruk, akan tetapi untuk menjaga diri”
“Barang siapa yang tidak dapat membedakan
antara kebaikan dan keburukan, maka akan terjerumus ke dalamnya”
Hakikat inilah yang dimengerti oleh generasi
pertama umat ini -Hudzaifah Ibnul Yaman rodhiallohu ‘anhu. Maka ia berkata,
“Manusia bertanya kepada Rosululloh tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya
tentang keburukan, karena khawatir akan terjebak di dalamnya”.
Kedua, Kekokohan Kita Dihancurkan dari
Dalam
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda berkenan dengan keinginan kaum kafir untuk membinasakan kaum muslimin dan Islam, seperti yang dinyatakan dalam hadits Tsaubah rodhiallohu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian seperti menyerbu makanan di atas piring. Berkata seseorang: Apakah karena sedikitnya kami waktu itu? Beliau bersabda: Bahkan kalian pada waktu itu banyak sekali, akan tetapi kamu seperti buih di atas air. Dan Alloh mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn. Seseorang bertanya: Wahai Rasulullah, apakah wahn itu? Beliau bersabda: Mencintai dunia dan takut mati”. (Riwayat Abu Dawud no. 4297. Ahmad V/278. Abu Na’im dalam Al-Hilyah)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda berkenan dengan keinginan kaum kafir untuk membinasakan kaum muslimin dan Islam, seperti yang dinyatakan dalam hadits Tsaubah rodhiallohu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian seperti menyerbu makanan di atas piring. Berkata seseorang: Apakah karena sedikitnya kami waktu itu? Beliau bersabda: Bahkan kalian pada waktu itu banyak sekali, akan tetapi kamu seperti buih di atas air. Dan Alloh mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn. Seseorang bertanya: Wahai Rasulullah, apakah wahn itu? Beliau bersabda: Mencintai dunia dan takut mati”. (Riwayat Abu Dawud no. 4297. Ahmad V/278. Abu Na’im dalam Al-Hilyah)
Dari hadits di atas dapat disimpulkan bahwa.
Pertama, Kaum kafir saling menghasung untuk menjajah Islam, negeri-negerinya
serta penduduknya. Kedua, Negeri-negeri muslimin adalah negeri-negeri sumber
kebaikan dan barakah yang mengundang air liur kaum kafir untuk menjajahnya.
Ketiga, kaum kafir mengambil potensi alam negeri muslimin tanpa rintangan dan
halangan sedikit pun. Keempat, kaum kafir tidak lagi gentar terhadap kaum
Muslimin karena rasa takut mereka kepada kaum Muslimin sudah dicabut Alloh dari
dalam hati mereka. Padahal pada mulanya Alloh menjanjikan kepada kaum Muslimin
dalam firman-Nya,
“Akan kami jangkitkan di dalam hati
orang-orang kafir rasa takut, disebabkan mereka mempersekutukan Alloh, di mana
Alloh belum pernah menurunkan satu alasan pun tentangnya”. (QS Ali Imran:
151)
Dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
pernah bersabda artinya, “Aku diberi lima perkara yang belum pernah diberikan
kepada seorang nabi pun sebelumku: Aku ditolong dengan rasa ketakutan dengan
jarak satu bulan perjalanan; dan dijadikan bumi untukmu sebagai tempat sujud ;
…. dan seterusnya”. (Riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari I/436. Muslim dalam
Nawawi V/3-4 dari Jabir bin Abdullah rodhiallohu ‘anhu)
Akan tetapi kekhususan tersebut dibatasi oleh
sabda beliau ShallAllohu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Tsauban yang lalu, yang
menyatakan, “Alloh akan mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian
…”.
Dari hadits ini mengertilah kita bahwa kekuatan
umat Islam bukanlah terletak pada jumlah dan perbekalannya, atau pada artileri
dan logistiknya. Akan tetapi kekuatannya terletak pada aqidahnya. Seperti yang
kita saksikan ketika beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab pertanyaan
yang berkenan dengan jumlah, maka beliau jawab, “Bahkan ketika itu kalian banyak
sekali, akan tetapi kalian seperti buih di atas aliran air”. Kemudian apa yang
menjadikan “pohon yang akarnya menghujam ke bumi dan cabangnya menjulang ke
langit” itu seperti buih yang mengambang di atas air?
Sesungguhnya racun yang meluruhkan kekuatan kaum
muslimin dan melemahkan gerakannya serta merenggut barokahnya bukanlah senjata
dan pedang kaum kafir yang bersatu untuk membuat makar terhadap Islam, para
pemeluknya dan negeri-negerinya. Akan tetapi adalah racun yang sangat keji yang
mengalir dalam jasad kaum muslimin yang disebut oleh Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam sebagai “Dakhanun”. Ibnu Hajar dalam Fathul Bari XIII/36
mengartikannya dengan hiqd (kedengkian), atau daghal (pengkhianatan dan makar),
atau fasadul qalb (kerusakan hati). Semua itu mengisyaratkan bahwa kebaikan yang
datang setelah keburukan tersebut tidak murni, akan tetapi keruh. Dan Imam
Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim XII/236-237, mengutip perkataan Abu ‘Ubaid
yang menyatakan bahwa arti dakhanun adalah seperti yang disebut dalam hadits
lain, “Tidak kembalinya hati pada fungsi aslinya”. (Riwayat Abu Dawud no.
4247)
Sedangkan makna aslinya adalah apabila warna
kulit binatang itu keruh/suram. Maka seakan-akan mengisyaratkan bahwa hati
mereka tidak bening dan tidak mampu membersihkan antara yang satu dengan yang
lain. Kemudian berkata Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah XV/15: Bahwa sabda
beliau: “Dan di dalamnya ada Dakhanun, yakni tidak ada kebaikan murni, akan
tetapi di dalamnya ada kekeruhan dan kegelapan”. Adapun Al ‘Adzimul Abadi dalam
‘Aunil Ma’bud XI/316 menukil perkataan Al Qari yang berkata: “Asal kata dakhanun
adalah kadurah (kekeruhan) dan warna yang mendekati hitam. Maka hal ini
mengisyaratkan bahwa kebaikan tersebut tercemar oleh kerusakan
(fasad)”.
Dan sesungguhnya penanam racun yang keji dan
menjalar di kalangan umat ini tidak lain adalah oknum-oknum dari dalam sendiri.
Seperti yang dinyatakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Mereka adalah
dari kalangan bangsa kita dan berbahasa dengan bahasa kita”. Berkata Ibnu Hajar
rohimahulloh dalam Fathul Bari XIII/36: “Yakni dari kaum kita, berbahasa seperti
kita dan beragama dengan agama kita. Ini mengisyaratkan bahwa mereka adalah
bangsa Arab”. Sedangkan Al Qabisi menyatakan -seperti dinukil oleh Ibnu Hajar-
secara lahir maknanya adalah bahwa mereka adalah pemeluk dien (agama) kita, akan
tetapi batinnya menyelisihi. Dan kulit sesuatu adalah lahirnya, yang pada
hakikatnya berarti penutup badan. Mereka mempunyai sifat seperti yang dikatakan
dalam hadits riwayat Muslim yang artinya “Akan ada di kalangan mereka orang yang
berhati iblis dengan jasad manusia” (Riwayat Muslim)
Yakni mereka memberikan harapan-harapan kepada
manusia berupa mashalih (pembangunan), siyadah (kepemimpinan) dan istiqlal
(kemerdekaan dan kebebasan) .. dan umat merasa suka dengan propaganda mereka.
Untuk itu mereka mengadakan pertemuan-pertemuan, muktamar-muktamar dan
diskusi-diskusi. Oleh sebab itu mereka diberi predikat sebagai dai atau du’at
-dengan dlamah pada huruf dal- merupakan bentuk jamak dari da’a yang berarti
sekumpulan orang yang melazimi suatu perkara dan mengajak serta menghasung
manusia untuk menerimanya. (Lihat ‘Aunil Ma’bud XI/317).
Ketiga, Jamaah minal Muslimin dan bukan
Jamaah Muslimin/’Umm.
Kalau kita mengamati kenyataan, maka kita akan melihat bahwa faham hizbiyah (kelompok) telah mengalir di dalam otak sebagian besar kelompok yang menekuni medan dakwah ilalloh, di mana seolah-olah tidak ada kelompok lain kecuali kelompoknya, dan menafikan kelompok lain di sekitarnya. Persoalan ini terus berkembang, sehingga ada sebagian yang mendakwahkan bahwa merekalah Jama’ah Muslimin/Jamaah ‘Umm (Jama’ah Induk) dan pendirinya adalah imam bagi seluruh kaum muslimin, serta mewajibkan berbaiat kepadanya. Selain itu mereka mengkafirkan sawadul a’dzam (sebagian besar) muslimin, dan mewajibkan kelompok lain untuk bergabung dengan mereka serta berlindung di bawah naungan bendera mereka.
Kalau kita mengamati kenyataan, maka kita akan melihat bahwa faham hizbiyah (kelompok) telah mengalir di dalam otak sebagian besar kelompok yang menekuni medan dakwah ilalloh, di mana seolah-olah tidak ada kelompok lain kecuali kelompoknya, dan menafikan kelompok lain di sekitarnya. Persoalan ini terus berkembang, sehingga ada sebagian yang mendakwahkan bahwa merekalah Jama’ah Muslimin/Jamaah ‘Umm (Jama’ah Induk) dan pendirinya adalah imam bagi seluruh kaum muslimin, serta mewajibkan berbaiat kepadanya. Selain itu mereka mengkafirkan sawadul a’dzam (sebagian besar) muslimin, dan mewajibkan kelompok lain untuk bergabung dengan mereka serta berlindung di bawah naungan bendera mereka.
Kebanyakan mereka lupa, bahwa mereka bekerja
untuk mengembalikan kejayaan Jamaatul Muslimin. Kalaulah Jamaatul Muslimin dan
imam-nya itu masih ada, maka tidaklah akan terjadi ikhtilaf dan perpecahan ini
di mana Alloh tidak menurunkan sedikit pun keterangan tentangnya.
Sebenarnya para pengamal untuk Islam itu adalah
Jamaah minal muslimin (kumpulan sebagian dari muslimin) dan bukan Jamaatul
Muslimin atau Jamaatul ‘Umm (Jamaah Induk), karena kaum muslimin sekarang ini
tidak mempunyai Jamaah ataupun Imam. Ketahuilah wahai kaum muslimin, bahwa yang
disebut Jamaah Muslimin adalah yang tergabung di dalamnya seluruh kaum muslimin
yang mempunyai imam yang melaksanakan hukum-hukum Alloh. Adapun jamaah yang
bekerja untuk mengembalikan daulah khilafah, mereka adalah jamaah minal muslimin
yang wajib saling tolong menolong dalam urusannya dan menghilangkan perselisihan
yang ada di antara individu supaya ada kesepakatan di bawah kalimat yang lurus
dalam naungan kalimat tauhid.
Al-Hafidz Ibnu Hajar rohimahulloh dalam Fathul
Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rohimahullo h yang menyatakan:
“Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa Jamaah adalah Sawadul A’dzam. Kemudian
diceritakan dari Ibnu Sirin dari Abi Mas’ud, bahwa beliau mewasiatkan kepada
orang yang bertanya kepadanya ketika ‘Utsman dibunuh, untuk berpegang teguh pada
Jamaah, karena Alloh tidak akan mengumpulkan umat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa
sallam dalam kesesatan. Dan dalam hadits dinyatakan bahwa ketika manusia tidak
mempunyai imam, dan manusia berpecah belah menjadi kelompok-kelompok maka
janganlah mengikuti salah satu firqah. Hindarilah semua firqah itu jika kalian
mampu untuk menghindari terjatuh ke dalam keburukan”.
Keempat, menjauhi semua
firqah
Dinyatakan dalam hadits Hudzaifah tersebut supaya menjauhi semua firqah jika kaum muslimin tidak mempunyai jamaah dan tidak pula imam pada hari terjadi keburukan dan fitnah. Semua firqah tersebut pada dasarnya akan menjerumuskan ke dalam kesesatan, karena mereka berkumpul di atas perkataan/teori mungkar (mungkari minal qaul) atau perbuatan mungkar, atau hawa nafsu. Baik yang mendakwahkan mashalih (pembangunan) atau mathami’ (ketamakan) dan mathamih (utopia). Atau yang berkumpul di atas asas pemikiran kafir, seperti; sosialisme, komunisme, kapitalisme, dan demokrasi. Atau yang berkumpul di atas asas kedaerahan, kesukuan, keturunan, kemazhaban, atau yang lainnya. Sebab mereka semua itu akan menjerumuskan ke dalam neraka Jahanam, dikarenakan membawa misi selain Islam atau Islam yang sudah diubah…!
Dinyatakan dalam hadits Hudzaifah tersebut supaya menjauhi semua firqah jika kaum muslimin tidak mempunyai jamaah dan tidak pula imam pada hari terjadi keburukan dan fitnah. Semua firqah tersebut pada dasarnya akan menjerumuskan ke dalam kesesatan, karena mereka berkumpul di atas perkataan/teori mungkar (mungkari minal qaul) atau perbuatan mungkar, atau hawa nafsu. Baik yang mendakwahkan mashalih (pembangunan) atau mathami’ (ketamakan) dan mathamih (utopia). Atau yang berkumpul di atas asas pemikiran kafir, seperti; sosialisme, komunisme, kapitalisme, dan demokrasi. Atau yang berkumpul di atas asas kedaerahan, kesukuan, keturunan, kemazhaban, atau yang lainnya. Sebab mereka semua itu akan menjerumuskan ke dalam neraka Jahanam, dikarenakan membawa misi selain Islam atau Islam yang sudah diubah…!
Kelima, jalan
penyelesaiannya
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada Hudzaifah untuk menjauhi semua firqah yang menyeru dan menjerumuskan ke neraka Jahanam, dan supaya memegang erat-erat pokok pohon (ashlu syajarah) hingga ajal menjemputnya sedangkan ia tetap dalam keadaan seperti itu. Dari pernyataan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada Hudzaifah untuk menjauhi semua firqah yang menyeru dan menjerumuskan ke neraka Jahanam, dan supaya memegang erat-erat pokok pohon (ashlu syajarah) hingga ajal menjemputnya sedangkan ia tetap dalam keadaan seperti itu. Dari pernyataan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
Pertama,
bahwa pernyataan itu mengandung perintah untuk melazimi Al Kitab dan As-Sunnah
dengan pemahaman Salafuna Shalih. Hal ini seperti yang diisyaratkan dalam hadits
riwayat ‘Irbadh Ibnu Sariyah yang artinya “Barang siapa yang masih hidup di
antara kalian maka akan melihat perselisihan yang banyak. Dan waspadalah
terhadap perkara-perkara yang diada-adakan karena hal itu sesat. Dan barang
siapa yang menemui yang demikian itu, maka berpegang teguhlah pada sunnahku dan
sunnah khulafa’ur rasyidin. Gigitlah ia dengan geraham-geraham kalian”. (Riwayat
Abu Dawud no. 4607, Tirmidzi no. 2676, Ibnu Majah no. 440 dan yang
lainnya)
Jika kita menggabungkan kedua hadits tersebut,
yakni hadits Hudzaifah Ibnul Yaman rodhiallohu ‘anhu yang berisi perintah untuk
memegang pokok-pokok pohon (ashlu syajarah) dengan hadits ‘Irbadh ini, maka
terlihat makna yang sangat dalam. Yaitu perintah untuk ber-iltizam pada
As-Sunnah An-Nabawiyah dengan pemahaman Salafuna As-Shalih Ridhwanullah ta’ala
‘alaihim manakala muncul firqah-firqah sesat dan hilangnya Jamaah Muslimin serta
Imamnya.
Kedua,
di sini ditunjukkan pula bahwa lafadz (an ta’adhdha bi ashli syajarah) dalam
hadits Hudzaifah tersebut tidak dapat diartikan secara zhahir hadits. Tetapi
maknanya adalah perintah untuk berpegang teguh, dan bersabar dalam memegang
Al-Haq serta menjauhi firqah-firqah sesat yang menyaingi Al-Haq. Atau bermakna
bahwa pohon Islam yang rimbun tersebut akan ditiup badai topan hingga mematahkan
cabang-cabangnya dan tidak tinggal kecuali pokok pohonnya saja yang kokoh. Oleh
karena itu maka wajib setiap muslim untuk berada di bawah asuhan pokok pohon ini
walaupun harus ditebus dengan jiwa dan harta. Karena badai topan itu akan datang
lagi lebih dahsyat.
Ketiga,
oleh karena itu menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk mengulurkan tangannya
kepada kelompok (firqah) yang berpegang teguh dengan pokok pohon itu untuk
menghadapi kembalinya fitnah dan bahaya bala. Kelompok ini seperti disabdakan
beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam akan selalu ada dan akan selalu muncul untuk
menyokong kebenaran hingga yang terakhir dibunuh Dajjal.
Maraji’:
-
Al Ilzamat wa at Tatabu oleh Ad-Daruquthni
-
Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, oleh Ibnu Katsir
-
Al Jami’ As Shahih, oleh Bukhari dengan Fathul Bari
-
Haliyatul Auliya’ oleh Abu Na’im Al- Ashbahani
-
Silsilah Al-Hadits As-Shahihah, oleh Muhammad Nashiruddien Al-Albani
-
As-Sunnan, oleh Ibnu Majah
-
As-Sunnan, oleh Abu Dawud
-
As-Sunnan, oleh Tirmidzi
-
Syiar A’lam An-Nubala, oleh Adz-Dzahabi
-
Syarhu Sunnah, oleh Baghawi
-
As-Shahih, oleh Muslim bin Al-Hujjaj
-
‘Aunil Ma’bud, oleh Syamsul Al-Abadi
-
Al-Kaasyif, oleh Dzahabi
-
Al-Mustadrak, oleh Hakim
-
Al-Musnad, oleh Ahmad bin Hambal
Post a Comment