WUDHU BATAL DI PERTENGAHAN THAWAF

Alhamdulillah, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Ini satu permasalahan ketika haji atau umrah, yaitu ketika wudhu batal di tengah-tengah thawaf. Thawaf adalah mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali dan Ka’bah berada di sebelah kiri orang yang berthawaf. Di dalam thawaf berisi dzikir dan do’a, boleh pula diisi dengan membaca Al Qur’an. Perlu diketahui bahwa di musim haji, apalagi saat-saat puncak haji ketika thawaf ifadhoh (yang termasuk rukun haji), keadaan akan penuh sesak. Sehingga jika ada yang batal wudhunya di pertengahan thawaf, maka akan sulit keluar dari jalur. Lalu bagaimana mengenai masalah ini? Misalnya jika sudah mengitari thawaf sebanyak empat kali, lalu thawafnya batal, haruskah diulangi dari awal ataukah boleh dilanjutkan sisa tiga putaran yang ada?
Perlu diketahui bahwa thoharoh (harus bersuci) bukanlah syarat dalam ihram dan bukan pula syarat dalam amalan umrah atau haji lainnya selain thawaf (yang masih diperselisihkan). Ketika sa’i, melempar jumrah, mabit dan wukuf tidak disyaratkan untuk berthoharoh (dalam keadaan suci).
Menurut mayoritas ulama (baca: jumhur), orang yang berhadats (besar atau kecil) tidak boleh berthawaf mengelilingi Ka’bah. Dari Ibnu ‘Abbas, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ صَلَاةٌ فَأَقِلُّوا مِنْ الْكَلَامِ
Thawaf di Ka’bah seperti shalat, namun di dalamnya dibolehkan sedikit bicara.” (HR. An Nasai no. 2922)
Dalam hadits lainnya disebutkan,
الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ صَلاَةٌ إِلاَّ أَنَّ اللَّهَ أَحَلَّ فِيهِ الْمَنْطِقَ ، فَمَنْ نَطَقَ فِيهِ فَلاَ يَنْطِقْ إِلاَّ بِخَيْرٍ
Thawaf di Ka’bah seperti shalat, namun Allah masih membolehkan berbicara saat itu. Barangsiapa yang berbicara ketika thawaf, maka janganlah ia berkata selain berkata yang benar.” (HR. Ad Darimi no. 1847 dan Ibnu Hibban no. 3836).
Jika kita mengikuti pendapat jumhur ulama, maka barangsiapa yang batal wudhunya di tengah-tengah thawaf, wajib baginya mengulangi wudhu. Apakah thawafnya diulangi lagi dari awal (putaran pertama) atau boleh melanjutkan thawaf sebelumnya? Hal ini ada dua pendapat di antara para ulama. Kembali pada permasalahan apakah thoharoh merupakan syarat dalam thawaf tadi. Jika kita menyatakan bahwa thoharoh bukan syarat sebagaimana pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan diikuti oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahumallah, maka tidak ada masalah untuk melanjutkan thawaf.
Berbagai alasan yang mendukung thawaf tidak dipersyaratkan thoharoh
Pertama: Hadits yang menyatakan bahwa thawaf itu seperti shalat, tidaklah marfu’ (sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Hadits ini hanya mauquf (perkatan sahabat) sampai pada Ibnu ‘Abbas. Sebagaimana hal ini dikuatkan oleh At Tirmidzi, Al Baihaqi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Hajar dan selainnya (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1: 144).
Kedua: Jika kita katakan hadits tersebut shahih, maka tidak selamanya kita katakan bahwa thawaf itu sama dengan shalat sehingga dipersyaratkan pula thoharoh sebagaimana shalat. Thawaf jauh berbeda dengan shalat. Di antara perbedaannya:
  1. Shalat disyaratkan berdiri, thawaf tidak disyaratkan demikian. Seandainya ada yang thawaf sambil merangkak, thawafnya sah.
  2. Shalat disyaratkan takbiratul ihram, thawaf tidak demikian.
  3. Shalat disyaratkan menghadap kiblat, sedangkan thawaf hanya disyaratkan Ka’bah berada di sebelah kiri.
  4. Shalat diwajibkan membaca Al Fatihah, sedangkan thawaf hanya dianjurkan membaca Qur’an namun tidak disyaratkan mesti Al Fatihah.
  5. Shalat diwajibkan ruku’ dan sujud, thawaf tidak demikian.
  6. Shalat tidak dibolehkan makan dan minum, thawaf masih dibolehkan. (Syarhul Mumthi’, 7: 260)
Dalam Fathul Qadir dan Al Mabsuth disebutkan bahwa thawaf itu mirip shalat dalam sisi pahala, bukan dalam hal hukum. Karena berbicara dan berbicara dalam shalat itu membatalkan shalat, berbeda dengan thawaf (Lihat An Nawazil fil Hajj, 319).
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Yang benar, thawaf mengelilingi Ka’bah bukanlah seperti shalat. Thawaf adalah ibadah yang berdiri sendiri seperti halnya i’tikaf.” (Syarhul Mumthi’, 7: 261)
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah juga mengatakan, “Inilah pendapat yang lebih menenangkan hati yaitu thawaf tidak dipersyaratkan thoharoh dari hadats kecil. Namun jika seseorang berthoharoh (dengan berwudhu’), maka itu lebih sempurna dan lebih mencontohi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan jangan sampai kita bermudah-mudahan menyelisihi pendapat jumhur ulama (mayoritas ulama). Akan tetapi, kadangkala, apalagi dalam kondisi darurat, kita memilih pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Seperti misalnya ketika dalam kondisi sangat padat. Jika kita mengharuskan untuk berwudhu ketika wudhunya batal, lalu ia balik ke tempat thawaf dalam keadaan padat jama’ah, lebih-lebih lagi jika thawafnya masih tersisa beberapa putaran saja, maka ini tentu jadi beban yang amat berat. Padahal kondisi sudah sulit seperti ini, namun kita masih berpegang dengan dalil yang tidak jelas. Jadi kami sarankan tidak perlu mewajibkan untuk thoharoh dalam kondisi demikian. Namun hendaklah mengambil sikap yang mudah dan toleran. Karena memaksa manusia padahal ada kesulitan saat itu justru malah bertentangan dengan firman Allah Ta’ala,
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al Baqarah: 185).” (Syarhul Mumthi’, 7: 262-263)
Jadi, langkah hati-hatinya adalah tetap berwudhu dan mengulangi wudhu jika batal saat melakukan thawaf selama tidak mengalami kesulitan. Jika sulit seperti kondisi yang penuh sesak saat thawaf, maka kita boleh ambil keringanan untuk terus melanjutkan thawaf kala wudhu batal.
Wanita Haidh Terhalang untuk Thawaf
Perlu dipahami terlebih dahulu:
  1. Para ulama sepakat bahwa thawaf asalnya adalah dengan berthoharoh (bersuci). Tidak boleh wanita haidh berthawaf padahal ia mampu nantinya berthawaf setelah ia suci.
  2. Para ulama sepakat bahwa thawaf qudum (thowaf yang disyari’atkan bagi orang yang datang dari luar Makkah sebagai penghormatan kepada Baitullah Ka’bah) dan thawaf wada’ (thawaf ketika meninggalkan Makkah) tidak wajib bagi wanita haidh.
  3. Para ulama sepakat bahwa wanita haidh dianjurkan untuk menunggu hingga suci ketika ia mendapati haidh sebelum melakukan thawaf ifadhoh. Ketika ia suci barulah ia melakukan thawaf dan boleh meninggalkan Makkah (Lihat An Nawazil fil Hajj, 310-311).
Para ulama berselisih pendapat dalam hal jika wanita haidh harus meninggalkan Makkah dan belum melaksanakan thawaf ifadhoh (yang merupakan rukun haji) dan tidak bisa lagi kembali ke Makkah, apakah ia boleh thawaf dalam keadaan haidh? Apakah sah?
Yang tepat dalam kondisi wanita haidh seperti ini, bolehnya thawaf dalam keadaan haidh meskipun kita mensyaratkan mesti harus berthoharoh ketika thawaf. Di antara alasannya, jika thoharoh adalah syarat thowaf, maka kita analogikan (qiyaskan) seperti keadaan shalat. Syarat shalat jadi gugur jika dalam keadaan tidak mampu (‘ajez). Seperti kita dalam keadaan sakit dan tidak mampu berwudhu dan tayamum, maka tetap harus shalat meskipun dalam keadaan hadats. Hal ini sama pula dengan thawaf (Lihat An Nawazil fil Hajj, 311-312).
Semoga sajian singkat ini bermanfaat bagi yang berhaji, atau yang punya niatan haji dan umrah.
Wallahu waliyyut taufiq.

Tidak ada komentar