DALIL-DALIL ORANG YANG MENGHARAMKAN LAGU
DALIL-DALIL ORANG YANG MENGHARAMKAN LAGU (NYANYIAN)
DAN BANTAHAN DARI ULAMA LAINNYA
Pertama. Mereka mengharamkan
lagu berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas'ud dan Ibnu
Abbas serta sebagian Tabi'in, bahwa mereka mengharamkan nyanyian berdasarkan
firman Allah SWT, "Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan
perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa
pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan
memperoleh adzab yang menghinakan. (Luqman: 6)
Mereka
menafsirkan "Lahwal Hadits" (perkataan yang tidak berguna) di sini
dengan nyanyian (lagu).
Ibnu
Hazm mengatakan, "Tak ada alasan untuk mempergunakan ayat tersebut sebagai
dalil atas haramnya lagu-lagu karena beberapa alasan:
1.
Sesungguhnya
tidak ada alasan (yang paling kuat) bagi siapa pun selain dari Rasulullah SAW.
2.
Pendapat
di atas bertentangan dengan pendapat para sahabat yang lainnya dan para
tabi'in.
3.
Sesungguhnya
keterangan ayat itu sendiri membatalkan hujjah mereka, karena di dalam ayat
tersebut terdapat sifat orang berbuat demikian maka kafir tanpa khilaf, yakni
apabila menjadikan jalan Allah sebagai pelecehan. Ibnu Hazm mengatakan,
"Seandainya ada seseorang yang mempergunakan mushaf untuk menyesatkan
(manusia) dari jalan Allah dan menjadikannya sebagai ejekan, maka ia kafir,
maka inilah yang dicela oleh Allah SWT dan Allah sama sekali tidak mencela
orang mempergunakan perkataan yang main-main untuk permainan dan menghibur
diri, bukan untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah. Maka batallah hujjah
mereka. Demikian juga sebaliknya, orang yang keasyikan membaca Al Qur'an dan
hadits atau ngobrol atau kesibukan dengan lagu-lagu dan lainnya sehingga
melalaikan shalat, maka dia fasik, dan bermaksiat kepada Allah Ta'ala. Dan
barangsiapa yang tidak menyia-nyiakan sedikit pun dari kewajiban-kewajiban itu
karena melakukan apa-apa yang telah kami sebutkan, maka ia seorang yang muhsin
(berbuat kebajikan)" (Al Muhalla: 9/60 cet. Al Munirah)
Dalil
yang kedua dari orang-orang
mengharamkan nyanyian adalah firman Allah SWT dalam memuji orang-orang yang
beriman. Allah berfirman:
"Dan
apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling dari
padanya." (Al Qashash: 55)
Dan
nyanyian termasuk "Al laghwu" (perkataan yang tidak berguna), maka
wajib bagi kita untuk menghindarinya. Pendapat ini dijawab, bahwa secara zhahir
dari ayat ini "Al laghwu" adalah perkataan kotor seperti mencaci
maki, perkataan yang menyakitkan dan sebagainya. Karena kesempurnaan ayat membuktikan
hal itu.
"Dan
mereka berkata, "Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amal-mu,
kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang
jahil." (Al Qashash: 55)
Ini
mirip dengan firman Allah SWT yang menjelaskan sifat-sifat 'Ibadur Rahman:
"Dan
apabila orang-orang jahil itu mengejek mereka, mereka (balas) mengatakan dengan
ucapan selamat ." (Al Furqan: 63)
Kalau
kita pasrah bahwa sesungguhnya Al laghwu dalam ayat tersebut meliputi nyanyian,
pasti kita mendapatkan ayat itu mendorong kita untuk berpaling dari
mendengarkan dan memujinya, padahal tidak demikian.
Kata
"Al Laghwu" seperti kata "Al Baathil" yang berarti tidak
berguna. Dan mendengarkan apa-apa yang tidak berguna itu tidak haram selama
tidak menelantarkan hak atau melalaikan yang wajib.
Diriwayatkan
dari Ibnu Juraij, bahwa ia memberi keringanan dalam masalah mendengarkan lagu,
maka ia ditanya, "Apakah hal itu kelak di hari kiamat akan dimasukkan
sebagai kebaikanmu atau keburukanmu?" Beliau menjawab, "Tidak
termasuk hasanaat dan tidak termasuk sayyiaat, karena itu mirip dengan Al
laghwu." Allah SWT berfirman:
"Allah
tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang main-main (yang tidak dimaksud
untuk bersumpah)." (Al Baqarah: 225)
Imam Al
Ghazali mengatakan, "Apabila menyebut Asma Allah Ta'ala atas sesuatu
dengan cara bersumpah, dengan tanpa aqad dan tidak bersungguh-sungguh saja
tidak dikenakan sanksi, apa lagi dengan syair dan lagu-lagu.22)
Selain
itu kita katakan bahwa tidak semua nyanyian itu termasuk "Al laghwu."
Sesungguhnya itu tergantung pada niat orangnya, karena niat yang baik itu bisa
merubah suatu permainan menjadi suatu ibadah, dan bergurau menjadi suatu
ketaatan sementara niat yang kotor itu bisa menghapus amal kita yang zhahirnya
beribadah sementara bathinnya riya, Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya
Allah tidak melihat pada rupa kamu dan harta kamu, tetapi Dia melihat pada hati
dan amalmu ." (HR. Muslim)
Di sini
kita bisa mengutip kata-kata Ibnu Hazm yang baik di dalam kitabnya "Al
Muhalla" sebagai sanggahan terhadap orang-orang yang melarang lagu-lagu.
Beliau mengatakan, "Mereka yang mengharamkan menyanyi itu berhujjah dan
mengatakan, 'Apakah menyanyi itu barang yang haq atau tidak', tidak perlu
pendapat yang ketiga, yang jelas Allah SWT sendiri mengatakan,
"Maka
tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan" (Yunus: 32)
Maka
jawaban kita, Wabillahit Taufiq, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda,
"Sesungguhnya diterimanya segala amal perbuatan itu tergantung pada
niatnya, dan sesungguhnya setiap (amal) seseorang tergantung pada niatnya
..." (H. Muttafaqun 'Alaih). Maka barang siapa yang mendengarkan lagu-lagu
untuk membantu dia bermaksiat kepada Allah, maka dia fasiq. Demikian juga
terjadi pada selain lagu-lagu. Tetapi barangsiapa yang dengan lagu itu dia
berniat untuk menghibur dirinya dan untuk memperkuat taatnya kepada Allah dan
dengan lagu-lagu itu ia bersemangat untuk berbuat kebajikan maka ia termasuk
berbuat ketaatan dan kebaikan, dan perbuatannya termasuk barang haq. Dan barang
siapa tidak berniat taat atau maksiat maka itu termasuk laghwun yang dimaafkan,
seperti orang yang keluar ke kebunnya dan duduk di pintu rumahnya untuk
bersenang hati dan mewarnai bajunya dengan warna keemasan atau hijau atau yang
lainnya serta memanjangkan betisnya atau menekuknya serta seluruh
aktifitasnya." (Al Muhalla: 9/60)
Ketiga. Dalil yang ketiga
adalah hadits Rasulullah SAW:
"Setiap
permainan yang dilakukan oleh seorang mukmin maka itu suatu kebathilan, kecuali
tiga permainan: pemainan suami dengan isterinya, pelatihannya terhadap kudanya,
dan melemparkan anak panah dari busurnya" (HR. Ashabus Sunan - Muththarib)
Sementara
lagu-lagu adalah termasuk selain tiga permainan yang disebutkan dalam hadits
ini.
Orang-Orang
yang memperbolehkan menyanyi mengatakan bahwa hadits tersebut dha'if,
seandainya shahih pasti menjadi hujjah, bahwa ungkapan Nabi "Itu adalah
bathil" itu tidak menunjukkan pengharaman, tetapi menunjukkan tidak
berguna. Abu Darda' pernah mengatakan, "Sesungguhnya aku akan melakukan
untuk diriku sedikit dari yang bathil agar diriku kuat untuk melakukan yang haq
(kebenaran)." Karena sesungguhnya pembatasan tiga hal dalam hadits
tersebut tidak dimaksudkan untuk pembatasan mutlak. Buktinya pernah terjadi
orang-orang Habasyah bermain pedang di Masjid Nabawi, itu juga di luar dari
tiga hal tersebut, dan ini ditetapkan dalam hadits shahih.
Tidak
diragukan lagi bahwa bersenang-senang di kebun dan mendengar suara-suara burung
serta berbagai permainan yang dilakukan oleh seseorang itu sama sekali tidak
diharamkan, meskipun boleh kita katakan itu bathil (tanpa guna) secara
langsung.
Keempat. Mereka juga berdalil
dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (Mu 'allaq), dari Abi Malik
atau 'Amir Al Asy'ari, satu keraguan dari perawi, dari Nabi SAW ia bersabda:
"Benar-benar
akan ada suatu kaum dari ummatku yang menghalalkan kemaluan (zina), sutera,
khamr (minuman keras) dan alat-alat musik." (HR. Bukhari - Mu'allaq)
Hadist
tersebut meskipun ada di dalam shahih Bukhari, tetapi ia termasuk
"Mu'allaq," bukan termasuk hadits yang sanadnya muttashil
(bersambung). Oleh karena itu Ibnu Hazm menolak karena sanadnya terputus,
selain hadits ini mu 'allaq, para ulama mengatakan bahwa sanad dan matanya
tidak selamat dari kegoncangan (idhtiraab).
Al
Hafidz Ibnu Hajar berusaha untuk menyambung hadits ini, dan beliau berhasil
untuk menyambung dari sembilan sanad, tetapi semuanya berkisar pada satu perawi
yang dibicarakan oleh sejumlah ulama' ahli. Satu perawi itu adalah "Hisyam
Ibnu 'Ammar," perawi ini meskipun sebagai Khatib Damascus dan muqri'nya
serta muhaddits dan alimnya, bahkan Ibnu Ma'in dan Al 'Ajli men-tautsiq. Tetapi
Abu Dawud mengatakan, "Dia meriwayatkan empat ratus hadits yang tidak ada
sandarannya (yang benar dari Rasul)."
Abu
Hatim juga berkata, "Ia shaduq (sangat jujur), tetapi telah berubah
(hafalannya), sehingga Ibnu Sayyar pun mengatakan seperti itu."
Imam
Ahmad mengatakan, "Ia thayyasy dan khafif (hafalannya berkurang).' Imam
Nasa'i mengatakan, "Tidak mengapa (ini bukan pentautsiq-an secara
mutlak)."
Meskipun
Imam Adz-Dzahabi membelanya, dengan mengatakan, Shadaq dan banyak meriwayatkan,
namun ada kemunkarannya.
Para ulama juga
mengingkari karena ia tidak meriwayatkan hadits kecuali memakai upah.
Orang
seperti ini tidak bisa diterima haditsnya pada saat-saat terjadi perselisihan
pendapat, terutama dalam masalah yang pada umumnya sudah menjadi fitnah.
Meskipun
dalil tersebut, katakanlah, ada, tetapi kata-kata "Al Ma'aazil" itu
belum ada kesepakatan maknanya secara pasti, apa sebenarnya. Sehingga ada yang
mengatakan "permainan-permainan," ini sangat global. Ada juga yang mengatakan alat-alat musik.
Kalau
seandainya kita katakan bahwa yang dimaksud adalah alat-alat musik, maka
redaksi hadits yang mu'allaq di dalam Bukhari itu tidak sharih (tidak jelas) di
dalam mengartikan haramnya "Al Ma'azif." Karena ungkapan
"Yastahilluna" (menghalalkan) menurut Ibnu 'Arabi mempunyai dua
makna, pertama meyakini bahwa itu halal, dan yang kedua, suatu majaz (ungkapan
tidak langsung) tentang memperlonggar dalam mempergunakan itu semua, karena
seandainya itu adalah arti yang sebenarnya maka itu kufur, karena menghalalkan
yang haram secara pasti seperti minuman keras, zina itu kufur secara ijma'.
Seandainya
kita sepakat atas haramnya itu semua, maka apakah itu berarti pengharaman
terhadap seluruh apa yang disebutkan di dalam hadits itu, atau masing-masing ada
hukumnya sendiri-sendiri? Maka yang pertama itulah yang rajih, karena pada
kenyataannya hadits ini menjelaskan perilaku sekelompok manusia yang tenggelam
dalam kemewahan, malam-malam merah dan minuman keras . Mereka yang hidup di
antara khamr dan wanita, permainan dan lagu-lagu, zina dan sutera. Karena
itulah Ibnu Majah meriwayatkan hadits ini dari Abi Malik Al Asy'ari dengan
kata-kata sebagai berikut:
"Sungguh
akan ada manusia dari ummatku yang meminum khamr, mereka menamakannya bukan
dengan namanya, kepala mereka dipenuhi dengan alat-alat musik dan biduanita
(lagu-lagu dan artis). Sungguh Allah akan memasukkan mereka ke dalam tanah dan
akan mengganti rupa mereka dengan kera dan babi." (HR. Ibnu Majah, Ibnu
Hibban dan Bukhari dalam Tarikhnya)
Seluruh
perawi yang meriwayatkan hadits dari selain Hisyam bin Ammar telah menjadikan
ancaman itu pada orang yang meminum minuman keras, dan bukanlah pada ma'azif
(alat-alat musik) itu sebagai penyempurna dan yang mengikuti bagi mereka.
Kelima. Mereka juga berdalil
dengan hadits dari 'Aisyah RA
"Sesungguhnya
Allah telah mengharamkan biduanita (artis), menjual belikannya, menghargainya,
dan mengajarinya."
Sebagai
jawabannya sebagai berikut:
1.
Hadits
ini dha'if, dan seluruh hadits yang mengharamkan jual beli artis penyanyi
adalah dha'if. (Ibnu Hazm dalam Al Muhalla: 9/59-62)
2.
Imam
Al Ghazali mengatakan, "Yang dimaksud penyanyi di sini adalah penyanyi
wanita yang bernyanyi di hadapan pria dalam majelis khamr, dan menyanyinya para
wanita di hadapan laki-laki fasik dan orang yang dikhawatirkan ada fitnah itu
haram, mereka tidak bermaksud dengan fitnah itu kecuali dilarang. Adapun
menyanyinya budak wanita di hadapan pemiliknya itu tidak difahami haram dari
hadits ini. Bahkan kepada selain pemiliknya pun ketika tidak ada fitnah, dengan
dalil hadits yang diriwayatkan di dalam Shahihain yaitu nyanyian dua budak
wanita di rumah 'Aisyah RA, yang akan kami jelaskan nanti. (Al Ihya':1 148)
3.
Para penyanyi dari budak
wanita itu memiliki unsur penting dalam aturan perbudakan, di mana Islam datang
untuk memberantasnya secara bertahap. Dan Islam tidak sependapat, hikmah ini
menetapkan adanya kelas tertentu pada masyarakat Islam. Maka apabila ada hadits
yang melarang memiliki budak penyanyi dan memperjual belikan, itu berarti dalam
rangka merobohkan sistem perbudakan yang kokoh.
Keenam. Mereka juga berdalil dengan hadits yang
diriwayatkan oleh Nafi', bahwa sesungguhnya Ibnu Umar itu pernah mendengar
suara seruling penggembala, maka beliau meletakkan kedua jari telunjuknya di
dalam telinganya dan mengalihkan kendaraannya dari jalan, beliau berkata,
"Hai Nafi', apakah kamu mendengar?" maka Nafi' berkata,
"Ya" lalu berjalan terus sampai Nafi' berkata, "Tidak" maka
Ibnu Umar mengangkat tangannya dan mengalihkan kendaraannya ke jalan (lainnya)
dan berkata, "Aku pernah melihat Rasulullah SAW mendengar seruling
penggembala maka Nabi berbuat demikian." (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu
Majah. Abu Dawud mengatakan, "Ini hadits munkar")
Seandainya
hadits ini shahih, maka akan menjadi hujjah yang mengalahkan orang-orang yang
mengharamkan, bukan mendukung mereka. Karena seandainya mendengar seruling itu
haram, maka Nabi SAW tidak memperbolehkan Ibnu Umar untuk mendengarkannya, dan
kalau seandainya Ibnu Umar itu mengharamkan maka tidak akan diperbolehkan kepada
Nafi' untuk mendengarkannya. Dan pasti Rasulullah SAW memerintahkan untuk
melarang dan merubah kemunkaran itu. Pengikraran Nabi SAW kepada Ibnu Umar
sebagai dalil bahwa itu halal.
Tetapi
Rasulullah SAW menjauhi untuk mendengar seruling itu sebagaimana beliau
menjauhi banyak sekali hal-hal yang diperbolehkan dari masalah dunia, seperti
makan sambil bersandar atau beliau tidak suka kalau ada dinar dan dirham yang
bermalam di sisinya.
Ketujuh, Mereka yang mengharamkan lagu juga berdalil
dengan riwayat yang mengatakan, "Sesungguhnya nyanyian itu dapat
menimbulkan kemunafikan dalam hati," tetapi ini bukan hadits dari
Rasulullah SAW, melainkan perkataan sahabat atau tabi'in. Ini adalah suatu
pendapat orang yang tidak ma'sum yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Sebagian manusia ada juga yang mengatakan, terutama dari kalangan sufi, bahwa
sesungguhnya nyanyian itu bisa melunakkan hati, dan dapat membangkitkan
perasaan sedih, menyesal atas kemaksiatan serta dapat menjadi sarana untuk
memperbarui jiwa dan semangat mereka dan membangkitkan kerinduan. Mereka
mengatakan, "Ini tidak mungkin bisa diketahui kecuali dengan perasaan,
pengalaman dan kebiasaan, karena itu barangsiapa merasakan maka dia mengetahui,
informasi ini tidak bisa ditangkap dengan mata."
Meskipun
demikian, Imam Al Ghazali menjadikan hukum kalimat ini bagi si penyanyi, bukan
pendengar, karena tujuan penyanyi adalah menampilkan dirinya di hadapan orang
lain dan mengkomersialkan suaranya, dan secara terus menerus ia berbuat
kemunafikan dan berusaha menarik perhatian manusia agar mereka senang terhadap
lagunya. Al Ghazali mengatakan, "Demikian itu tidak menjadikan haram,
karena sesungguhnya memakai pakaian serta berbangga-banggaan dengan tanaman,
binatang ternak, ladang dan yang lainnya itu juga bisa menimbulkan kemunafikan
dalam hati, dan ini bukan berarti haram seluruhnya. Karena bukanlah penyebab
munculnya kemunafikan dalam hati itu maksiat, tetapi sesungguhnya hal-hal yang
mubah pun ketika menjadi perhatian manusia itulah yang banyak berpengaruh 23).
Kedelapan, Mereka juga berdalil atas haramnya nyanyian
wanita dengan alasan bahwa suara wanita itu aurat, padahal ini tidak ada
dalilnya, tidak pula ada yang mirip dengan dalil dari agama Allah bahwa suara
wanita itu aurat. Karena sahabat wanita dahulu juga bertanya kepada Rasulullah
SAW ketika Nabi sedang berada di tengah-tengah para sahabat laki-laki. Dan para
sahabat sendiri juga pernah pergi kepada ummahatul mukminin (para isteri
Rasulullah) untuk meminta fatwa dan mereka pun memberikan fatwa dan berbicara
dengan orang-orang yang datang. Dan tidak ada seorang pun mengatakan,
"Sesungguhnya ini dari Aisyah atau selain Aisyah telah melihat aurat yang
wajib ditutupi," padahal isteri-isteri Nabi mendapat perintah dengan keras
yang tidak pernah dirasakan bagi wanita lainnya Allah SWT berfirman:
"Dan
berkatalah kamu (wahai isteri-isteri Nabi) dengan kata-kata yang baik." (Al Ahzab: 32)
Mereka
mengatakan, "Itu berkaitan dengan percakapan biasa, bukan dalam
nyanyian." Kita katakan, diriwayatkan di dalam Shahihain, bahwa Nabi SAW
pernah mendengar nyanyian dua wanita budak dan tidak mengingkari keduanya, dan
Nabi bersabda kepada Abu Bakar, "Biarkan mereka berdua." Ibnu Ja'far
dan lainnya dari kalangan sahabat dan tabi'in juga pernah mendengar budak-budak
wanita menyanyi.
Kesembilan. Mereka juga berdalil dengan hadits Tirmidzi
dari Ali, marfu' "Apabila ummatku melakukan lima belas perkara, maka akan mendapat cobaan
.. (salah satunya adalah) mengambil biduanita dan alat-alat musik." Hadits
ini disepakati atas kedha'ifannya, maka tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
Kesimpulan bahwa nash-nash yang
dijadikan dalil oleh orang yang mengatakan haramnya lagu-lagu itu mungkin
shahih, tetapi tidak sharih (jelas), atau sharih tetapi tidak shahih, dan tidak
ada satu pun hadits yang marfu' (sampai) pada Rasulullah SAW yang pantas
dipakai sebagai dalil untuk mengharamkan. Dan seluruh hadits-hadits yang mereka
pergunakan itu didhai'fkan oleh golongan Zhahiriyah, Malikiyah, Hanabilah dan
Syafi'iyah.
Al Qadhi
Abu Bakar Ibnu 'Arabi mengatakan di dalam kitabnya Al Ahkaam, tidak benar dalam
pengharaman sedikit pun. Demikianlah juga dikatakan oleh Al Ghazali, dan Ibnu
Nahwi di dalam kitab "Al 'Umdah."
Ibnu
Thahir dalam kitabnya "As-Simaa' " mengatakan "Tidak benar satu
huruf pun dari hadist-hadist itu.
Ibnu
Hazm berkata, "Tidak benar sedikit pun dalam bab ini, dan setiap riwayat,
tentang masalah itu maudhu' (palsu). Demi Allah, kalau seandainya seluruhnya
atau salah satu dari riwayat itu disandarkan dari/melalui jalan orang-orang
yang tsiqah kepada Rasulullah SAW pasti kita tidak akan ragu untuk
mengambilnya."
23) Lihat Al Ihya Kitabus-Samaa' hal. 1151.
DALIL-DALIL ULAMA YANG MEMPERBOLEHKAN LAGU
<<
Kembali ke Daftar Isi >>
Dalil-dalil
yang mereka pergunakan adalah dalil-dalil yang dipakai oleh orang-orang yang
mengharamkan lagu itu juga, dan satu demi satu telah berguguran (mereka tolak).
Sehingga tidak ada satu pun dari dalil-dalil itu yang mereka pegang.
Apabila
dalil-dalil yang mengharamkan itu sudah tidak berfungsi, maka yang tetap adalah
bahwa hukum menyanyi itu dikembalikan pada asalnya yaitu boleh, tanpa
diragukan. Dan seandainya tidak ada lagi bersama kita satu dalil pun atas hal
itu selain menggugurkan dalil-dalil yang mengharamkan maka bagaimana mungkin,
sedangkan kita masih mempunyai nash-nash yang shahih dan sharih. Bersama kita
juga ada ruh Islam yang mudah kaidah-kaidah umumnya serta dasar-dasarnya yang
pokok. Berikut ini penjelasannya
Pertama, dari segi nash-nash
Mereka
berdalil dengan sejumlah hadits shahih, di antaranya adalah hadits tentang
menyanyinya dua budak wanita di rumah Nabi SAW di sisi Aisyah RA dan bentakan
Abu Bakar terhadap kedua wanita itu beserta perkataannya, "Seruling syetan
di rumah Nabi SAW" Ini membuktikan bahwa kedua wanita itu bukan anak kecil
sebagaimana anggapan sebagian orang. Sebab kalau memang keduanya anak kecil,
pasti tidak akan memancing kemarahan Abu Bakar RA.
Yang
menjadi penekanan di sini adalah jawaban Nabi SAW kepada Abu Bakar RA dan
alasan yang dikemukakan oleh Rasulullah SAW bahwa beliau ingin mengajarkan
kepada kaum Yahudi bahwa di dalam agama kita itu ada keluwesan. Dan bahwa
beliau diutus dengan membawa agama yang bersih dan mudah. Ini menunjukkan atas
wajibnya memelihara tahsin shuratil Islam (gambaran Islam yang baik) di hadapan
kaum lainnya, dan menampakkan sisi kemudahan dan kelonggaran yang ada dalam
Islam.
Imam
Bukhari dan Ahmad meriwayatkan dari 'Aisyah ra, bahwa ia pernah menikahkan
seorang wanita dengan laki-laki dari Anshar, maka Nabi bersabda, "Wahai
'Aisyah mereka tidak ada permainan? Sesungguhnya Anshar itu senang dengan
permainan."
Ibnu
Majah juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas,
ia berkata, 'Aisyah pernah
menikahkan salah seorang wanita dari familinya dengan laki-laki Anshar, maka
Rasulullah SAW datang dan bertanya, "Apakah kalian sudah memberi hadiah
pada gadis itu?" Mereka berkata, "Ya (sudah)." Nabi berkata,
Apakah kamu sudah mengirimkan bersamanya orang yang menyanyi? 'Aisyah berkata,
"Belum, maka Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya sahabat Anshar
itu kaum yang senang dengan hiburan, kalau seandainya kamu kirimkan bersama
gadis itu orang yang menyanyikan, "Kami datang kepadamu... kami datang
kepadamu... selamat untuk kami dan selamat untuk kamu."
Hadits
ini menunjukkan akan pentingnya memelihara tradisi suatu kaum yang berbeda-beda
dan kecenderungan mereka yang beraneka ragam, dan ini berarti tidak bisa
memaksakan kecenderungannya kepada semua orang.
Imam
Nasa'i dan Hakim meriyawatkan dan menganggap shahih, dari 'Amir bin Sa'ad, ia
berkata, "Saya pernah masuk ke rumah Qurdhah bin Ka'b dan Abi Mas'ud Al
Anshari dalam pesta perkawinan. Ternyata di sana ada budak-budak gadis wanita yang sedang
menyanyi, maka aku katakan, "Wahai dua sahabat Rasulullah SAW ahli Badar,
apakah pantas ini dilakukan di rumahmu? Maka kedua sahabat itu berkata,
"Duduklah jika kamu berkenan, mari dengarkan bersama kami, dan jika kamu
ingin pergi, maka pergilah, sesungguhnya telah diberi keringanan (rukhsah)
kepada kita untuk bersenang-senang ketika pesta perkawinan."
Ibnu
Hazm meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnu Sirin, bahwa sesungguhnya ada
seorang lelaki datang ke Madinah dengan membawa budak-budak wanita, maka orang
itu datang kepada Abdullah bin Ja'far dan menawarkan budak-budak itu kepadanya.
Maka beliau memerintahkan salah seorang budak wanita untuk menyanyi, sedangkan
Ibnu Umar mendengarkan. Maka Abdullah bin Ja'far membelinya setelah ditawar.
Kemudian orang itu datang kepada Ibnu Umar sambil mengatakan, "Wahai Aba
Abdir Rahman, saya dirugikan tujuh ratus dirham." Maka Ibnu Umar datang
kepada Abdullah bin Ja'far kemudian berkata kepadanya, "Sesungguhnya ia
merugi tujuh ratus dirham, maka (pilihlah) kamu harus memberinya, atau kamu
kembalikan kepadanya" Maka Abdullah bin Ja'far berkata, "Kita akan
memberinya."
Ibnu
Hazm berkata, "Inilah Ibnu Umar telah mendengar nyanyian (lagu-lagu) dan
ikut berusaha untuk menjualkan budak yang menyanyi. Ini sanadnya shahih, bukan
seperti hadist-hadist yang palsu." 24)
Mereka
juga berdalil dengan firman Allah SWT:
"Dan
apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju
kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah,
"Apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan
perniagaan," dan Allah sebaik-baik pemberi rizki." (Al Jum'ah: 11)
Disertakannya
permainan dengan perniagaan berarti yakin akan halalnya, dan Allah tidak
mencela keduanya, kecuali ketika suatu saat sahabat disibukkan dengan permainan
dan perniagaan dengan datangnya kafilah kemudian mereka memukul rebana karena
gembira. Dengan kesibukan itu sampai mereka lupa dengan Nabi SAW yang sedang
berdiri (berkhutbah) di hadapan mereka.
Para ulama juga berdalil
dengan riwayat yang datang dari sejumlah sahabat Nabi ra, bahwa mereka itu
mendengar langsung atau menyatakan boleh, sedangkan mereka adalah kaum yang
paling pantas diikuti sehingga kita mendapat petunjuk.
Mereka
juga berdalil dengan ijma' yang dinukil bukan oleh seorang saja, atas bolehnya
mendengar nyanyian sebagaimana yang akan kami sebutkan.
Kedua, nyanyian ditinjau dari ruh Islam dan kaidah-kaidahnya
Pertama,
Tidak ada masalah mengenai lagu kecuali hanya kebaikan dunia yang dinikmati
oleh jiwa dan dianggap baik oleh akal dan fitrah serta disenangi oleh telinga.
Ia merupakan kelezatan telinga, sebagaimana makanan yang enak itu kelezatan
bagi lidah, pemandangan yang indah itu kelezatan bagi mata dan seterusnya. Lalu
apakah kebaikan dan kelezatan yang demikian itu diharamkan di dalam Islam atau
dihalalkan?
Sesuatu
yang dimaklumi, bahwa sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan bagi Bani
Israil sebagian kenikmatan dunia, sebagai siksaan atas perbuatan mereka yang
buruk, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT:
"Maka
disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan
makanan) yang baik-baik (yang dahulu) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka
banyak menghalangi manusia dari jalan Allah, dan disebabkan mereka makan riba,
padahal sesungguhnya mereka telah dilarang dari padanya, dan karena mereka
memakan harta orang dengan jalan yang bathil.. " (An-Nisa': 160-161)
Maka
tidak ada dalam Islam sesuatu yang baik artinya dan yang di anggap baik oleh
jiwa yang bersih dan akal yang sehat kecuali telah dihalalkan oleh Allah
sebagai kasih sayang untuk semua. Karena risalahnya yang universal dan abadi,
sebagaimana Allah SWT berfirman,
"Mereka
menanyakan kepadamu, "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?"
Katakanlah. "Dihalalkan bagimu yang baik-baik." (Al Maidah: 4)
Allah
tidak memperbolehkan seorang pun dari hamba-Nya untuk mengharamkan atas dirinya
atau atas orang lain sesuatu yang baik-baik dari apa yang diberikan oleh Allah
dengan niat yang baik-baik untuk mencari keridhaan Allah, karena masalah halal
dan haram itu hak Allah saja, bukan hak hamba-Nya. Allah SWT berfirman:
"Katakanlah,
"Teranglanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu
kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal." Katakanlah,
"Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang hal ini) atau kamu
mengada-adakan saja terhadap Allah?" (Yunus:
59)
Allah
SWT melarang pengharaman terhadap apa yang dihalalkan-Nya dari yang baik-baik,
seperti juga penghalalan terhadap sesuatu yang diharamkan-Nya dari
kemunkaran-kemunkaran. Keduanya mendatangkan murka Allah dan adzab-Nya, dan
menyeret seseorang ke jurang kerugian yang nyata dan kesesatan yang jauh. Allah
SWT berfirman dalam mencela perbuatan orang-orang jahiliyah:
"Sesungguhnya
rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka karena kebodohan lagi tidak
mengetahui, dan mereka mengharamkan apa yang telah Allah rizkikan kepada mereka
dengan semata-mata mengada-adakan terhadap Allah. Sesungguhnya mereka telah
sesat dan tidaklah mereka mendapat petunjuk." (Al
An'am: 140)
Kedua,
Kalau kita renungkan niscaya kita akan mendapatkan bahwa senang terhadap lagu,
musik dan suara yang indah itu hampir merupakan instink manusia dan fitrah yang
melekat pada mereka. Sehingga kita bisa melihat pada anak kecil (bayi) yang
menyusu di ayunan ibunya bisa ditenangkan dengan suara-suara yang indah, dan
mengalihkan perhatian dari tangisnya kepada suara itu. Oleh karena itu sejak
dahulu kala para ibu yang sedang menyusui selalu mengumandangkan lagu-lagu
untuk anak-anaknya. Bahkan kita katakan bahwa burung-burung dan binatang
lainnya itu bisa terpengaruh dengan suara yang indah dan alunan suara yang
merdu dan teratur. Sampai Imam Al Ghazali mengatakan di dalam kitabnya Ihya',
"Barangsiapa tidak tergerak oleh suara yang terdengar, maka ia kurang atau
telah keluar dari keseimbangan, jauh dari keindahan dan semakin bertambah keras
tabiatnya terhadap keindahan. Karena keindahan dan suara merdu itu berpengaruh,
yang dengan pengaruh itu menjadi ringanlah segala sesuatu yang dirasa sangat
berat dan jarak yang jauh pun terasa pendek serta dapat membangkitkan semangat
baru. Sehingga unta pun apabila mendengar suara yang merdu, dia segera
memanjangkan lehernya, memperhatikan dari mana arah suara itu dan cepat untuk
menuju suara tersebut, sehingga apa yang dibawanya menjadi
bergerak-gerak."
Apabila
cinta pada lagu-lagu itu merupakan insting dan fitrah manusia, maka apakah
agama ini datang untuk memerangi insting dan fitrah tersebut? Sama sekali
tidak! Sesungguhnya agama ini datang justru untuk meluruskannya dan menghargainya
dengan baik. Imam Ibnu Taimiyah mengatakan, "Sesungguhnya para Nabi itu
diutus untuk menyempurnakan fithrah dan menetapkannya, tidak untuk mengganti
dan merubahnya."
Sebagai
bukti dari semua, bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW itu datang ke Madinah,
sementara penduduk Madinah mempunyai dua hari istimewa yang mereka pergunakan
untuk bermain-main. Maka Nabi bertanya, "Apa dua hari itu?," mereka
menjawab, "Kita dahulu bermain-main dalam dua hari itu masa
jahiliyah." Maka Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah telah
mengganti dua hari untukmu dengan yang lebih baik, itulah hari raya Idul Adha
dan Idul Fithri." (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Nasa'i)
'Aisyah
berkata, "Sungguh aku pernah melihat Nabi SAW menutupiku dengan
selendangnya, saat itu saya sedang menyaksikan orang-orang Habasyah bermain di
masjid, hingga aku merasa bosan dengan permainan itu, maka hargailah gadis muda
yang senang untuk bermain-main."
Apabila
nyanyian itu termasuk permainan maka permainan atau hiburan tidaklah haram,
karena manusia tidak akan tahan untuk hidup serius secara terus-menerus.
Nabi SAW
pernah bersabda kepada Handzalah ketika ia mengira bahwa dirinya telah munafik
karena bergurau dengan isteri dan anak-anaknya, dan karena perubahan kondisi
(keimanan)nya antara di rumahnya dengan kondisinya bersama Rasulullah SAW,
"Wahai Handzalah! Sesaat-sesaat (sedikit-sedikit)." (HR. Muslim)
Ali bin
Abi Thalib berkata:
"Hiburlah
hatimu sedikit demi sedikit, sesungguhnya hati itu apabila tidak suka, menjadi
buta."
"Sesungguhnya
hati itu bisa bosan sebagaimana fisik juga bisa bosan, maka carilah untuknya
keindahan hikmah (kebijaksanaan)."
Abud
Darda' berkata:
"Sesunggahnya
aku akan menghibur diriku dengan permainan agar lebih kuat untuk memperjuangkan
kebenaran."
Imam Al
Ghazali telah menjawab orang yang mengatakan bahwa sesungguhnya lagu atau
nyanyian itu termasuk permainan yang sia-sia dengan kata-katanya sebagai
berikut, "Memang demikian, tetapi dunia seluruhnya adalah permainan.
Seluruh permainan dengan wanita adalah laghwun, kecuali bercocok tanam yang itu
menjadi penyebab memperoleh anak. Demikian juga bergurau yang tidak kotor itu
hukumnya halal, demikian itu didapatkan dari Rasulullah SAW dan para
sahabatnya."
Permainan
manakah yang melebihi permainan orang-orang Habasyah, sungguh telah ditetapkan
dengan nash tentang bolehnya. Sekali lagi saya katakan bahwa permainan itu bisa
menghibur hati, meringankan beban fikiran, dan hati itu apabila tidak suka maka
ia menjadi buta, dan menghiburnya adalah membantu untuk bersungguh-sungguh. Orang
yang selalu belajar agama misalnya, maka dia memerlukan libur pada hari Jum at,
karena libur sehari itu bisa membantu untuk menambah semangat pada hari-hari
yang lainnya. Orang yang selalu shalat Sunnah di seluruh waktunya, dia
memerlukan istirahat pada sebagian waktu yang lain. Karena beristirahat itu
dapat membantu untuk beramal lebih semangat. Demikian juga permainan itu dapat
membantu untuk lebih serius, dan tidak ada yang tahan untuk terus serius dan
mempertahankan kebenaran, kecuali para nabi 'alaihimus salam.
Permainan
merupakan obat hati bagi penyakit payah dan bosan, maka sewajarnya kalau itu
diperbolehkan. Akan tetapi tidak sepatutnya berlebihan, sebagaimana tidak
bolehnya berlebihan dalam mengambil obat. Jika demikian, permainan dengan niat
seperti ini bahkan bisa berubah menjadi ibadah. Ini bagi orang yang tidak bisa
menggerakkan pendengarannya dari hatinya sifat yang terpuji dia dituntut untuk
menggerakkannya, tidak sekedar menikmati dan beristirahat saja. Karena itu
sangat ditekankan bagi kita untuk berbuat demikian agar sampai pada tujuan yang
kita sebutkan. Yakni menunjukkan atas kekurangan untuk mencapai puncak
kesempurnaan. Sesungguhnya orang yang sempurna adalah orang yang tidak
memerlukan untuk menghibur dirinya dengan selain yang haq. Tetapi kebaikan
orang-orang salah itu adalah keburukan orang-orang yang sangat dekat dengan
Allah. Maka barangsiapa yang menguasai ilmu mental dan cara-cara melunakkannya
serta penggiringannya menuju yang haq, maka ia akan mengetahui secara pasti
bahwa sesungguhnya menghibur hati dengan cara-cara seperti ini merupakan obat
yang bermanfaat, tidak bisa dipungkiri lagi"25).
Demikian
kata-kata Imam Ghazali, yang merupakan perkataan yang menarik dan menggambarkan
ruh Islam yang benar.
25) Lihat Al Ihya'hal. 1152, 1153
Post a Comment