MELARANG PRIBADI UNTUK MENGUASAI BARANG-BARANG YANG DIPERLUKAN OLEH MASYARAKAT
MELARANG PRIBADI UNTUK MENGUASAI BARANG-BARANG YANG DIPERLUKAN OLEH MASYARAKAT
Sesungguhnya
perbedaan yang paling nampak di antara berbagai sistem perekonomian yang ada
adalah pandangannya terhadap hak milik pribadi. Sistem Komunis menghilangkan
pemilikan pribadi secara mutlak, kecuali sebagian barang-barang ringan, seperti
perkakas rumah dan kendaraan.
Faham
Sosialis terutama setelah terjadinya revolusi, tidak memperbolehkan seseorang
memiliki sarana produksi, baik itu berupa tanah, pabrik (industri) dan yang
lainnya, dan berusaha untuk mengeluarkan dari tangan pribadi-pribadi kemudian
dipindahkan kepemilikannya kepada negara.
Sebaliknya,
sistem Materialis mengakui pemilikan dalam segala sesuatu dan hampir tidak
mengharuskan persyaratan-persyaratan untuk membatasi dari penyelewengan
pemiliknya.
Tetapi
Islam berada di tengah secara adil antara sistem-sistem yang saling berbeda.
Islam memperbolehkan pemilikan pribadi terhadap tanah dan barang-barang yang
bisa dipindahkan untuk memiliki sarana produksi dan yang lainnya. Tetapi Islam
mengeluarkan dari lingkup pemilikan pribadi segala sesuatu yang diperlukan oleh
masyarakat, sehingga Islam mewajibkan pemilikannya pada masyarakat. Dengan
begitu tidak dapat dimonopoli oleh seseorang atau beberapa orang saja, sehingga
ia berkuasa dan menyimpan barang-barang itu untuk diri mereka saja. Sementara
mereka tidak memberi kesempatan kepada masyarakat untuk memperolehnya kecuali
dengan harga yang bisa mereka permainkan. Dengan demikian maka dapat
membahayakan bagi seluruh masyarakat.
Contoh
barang-barang primer yang diperlukan bersama adalah sebagaimana yang dijelaskan
oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya sebagai berikut:
"Manusia
memiliki bersama dalam tiga hal; air, rumput dan api." (HR. Ahmad, Abu
Dawud dan Ibnu Majah) Dalam riwayat lain ada tambahan: yaitu "garam."
Setiap
manusia mempunyai hak untuk memanfaatkan barang-barang tersebut, tidak boleh
bagi seorang pun untuk menimbunnya, (di saat diperlukan).
Hadits
tersebut mengkhususkan tiga atau empat perkara dengan ketentuan hukum seperti
itu, dikarenakan tiga perkataan itu sangat diperlukan dalam kehidupan
masyarakat Arab saat itu. Dapat dianalogikan (disamakan) dengan itu apa-apa
yang mirip dengannya, yang itu diperlukan oleh masyarakat.
Oleh
karena itu golongan Malikiyah berpendapat bahwa tambang
yang dikeluarkan dari perut bumi tidak diperbolehkan bagi individu (perorangan)
untuk memilikinya, meskipun ditemukan di tanah milik seseorang. Agar tidak
menyebabkan masyarakat bergantung kepadanya dan menutup kesempatan bagi orang
lain, yang itu bisa berakibat munculnya berbagai kezhaliman dan pertengkaran
yang menggoncangkan keutahan masyarakat Islam.
Seperti
juga menurut golongan Syafi'iyah bahwa setiap sumber (tambang)
yang nampak, seperti minyak, aspal, bahkan korek api, atau batu yang bukan
milik perorangan maka tidak seorang pun berhak menahan kemudian tidak memberi
kesempatan orang lain. Tidak pula seorang penguasa menahan untuk dirinya dan
tidak pula orang tertentu.
Demikian
juga menurut golongan Hanabilah bahwa setiap tambang
yang nampak yang ditemukan oleh manusia dan dimanfaatkan tanpa ada kesulitan
yang berat, ia tidak boleh memiliki atau memberikannya kepada seseorang, karena
bisa membahayakan kaum Muslimin dan membuat kehidupan mereka sempit. "Nabi
SAW pernah memberikan kepada Abyadh bin Jamal sebuah tambang
garam, maka ketika dikatakan kepada beliau bahwa itu sama dengan air, kemudian
Nabi SAW mengambil kembali darinya.
MENCEGAH KEPEMILIKAN DARI SESUATU YANG MEMBAHAYAKAN ORANG LAIN
<<
Kembali ke Daftar Isi >>
Selain
Islam memperbolehkan kepada perorangan untuk memiliki harta yang halal sesuai
dengan kemauannya selama tidak menjadi kepentingan bersama dan tidak mengganggu
terhadap masyarakat karena ditahan oleh perorangan. Islam juga meletakkan
syarat-syarat atas hak milik yang memelihara kelestariannya dalam kerangka
kepentingan sosial dan berkhidmad atas kebenaran dan kebaikan.
Di
antara syarat-syarat tersebut adalah mencegah pemilik dari usaha-usahanya yang
mengganggu (membahayakan) orang lain. Demikian itu karena hak milik seseorang
itu tidak menghendaki dari pemiliknya untuk bebas mempergunakan harta milik
tersebut semaunya meskipun membahayakan orang lain. Akan tetapi terikat dengan
suatu ketentuan yaitu hendaknya ia tidak berbuat keburukan (kecurangan) dalam
mempergunakan haknya sehingga itu dapat mengganggu orang lain atau kelompok
lain atau kepada masyarakat secara umum. Bahaya itulah yang diharamkan bagi
seorang Muslim, karena agama ini telah mewajibkan kepadanya agar ia menjadi
sumber kebaikan, bukan sumber malapetaka. Rasulullah SAW bersabda:
"Tidak
ada bahaya dan tidak ada yang (boleh) membahayakan" (HR. Ahmad dan Ibnu
Majah)
Merupakan
hak seorang hakim (pemerintah) Muslim, bahkan merupakan kewajibannya untuk
mencegah si pemilik dari segala tindakan egoistis yang menyebabkan terjadinya
bahaya khusus atau secara umum. Meskipun hal itu mengharuskan dirampasnya hak
milik secara paksa sebagai imbalan dari ulahnya, yaitu apabila seorang hakim
sudah tidak mendapatkan cara lain untuk mengatasinya selain dengan tindakan
tersebut.
Prinsip
inilah yang oleh sebagian ahli hukum dikatakan sebagai hasil dari peradaban
modern, padahal Nabi SAW telah menerapkannya sejak empat belas abad yang lalu,
demikian juga Khulafa'ur Rasyidin.
Samurah
bin Jundub RA pernah memiliki pohon kurma yang terletak di dalam pagar kebun
seorang Anshar, di mana Samurah dan keluarganya sering masuk ke dalamnya, maka
hal itu dipandang mengganggu pemilik kebun. Akhirnya pemilik kebun mengadu
kepada Rasulullah SAW. maka Nabi SAW bersabda kepada Samurah. "Juallah
kepadanya pohon kurma itu," tetapi ia menolak, Nabi bersabda, "Maka
cabutlah (tebanglah) untuk kau tanam di tempat lain." Samurah tetap
menolak, Nabi bersabda, "Berikan pohon itu kepadaku dan kamu akan dapat
ganti seperti itu di surga." Samurah tetap saja menolak.
Nampaknya
ia faham bahwa Rasulullah SAW berbicara seperti itu hanyalah termasuk
pengarahan atau damai, bukan suatu keharusan. Maka Rasulullah SAW bersabda
kepadanya:
"Engkau
telah membuat bahaya," dan Nabi SAW bersabda pula kepada orang Anshar,
"Pergilah dan cabutlah pohon kurma itu." (HR. Abu Dawud)
Rasulullah
SAW tidak peduli terhadap bahaya kecil (ringan, yang menimpa Samurah dibanding
dengan bahaya besar yang menimpa pemilik kebun itu yaitu tetap adanya
pohon-pohon kurma yang jumlahnya sedikit itu di tengah-tengah kebun miliknya.
Hal itu
terjadi karena Samurah dengan leluasa bisa menjual pohon kurmanya kepada
pemilik kebun dan memperoleh ganti rugi secara adil.
Selain
itu dia juga bisa mencabutnya untuk di tanam ke tempat lainnya sehingga tidak
mengganggu seseorang. Tetapi ia tetap bersikeras dan menolak untuk berdamai
dengan pemiliknya dengan cara baik-baik. Sehingga Rasulullah SAW tidak
berkeberatan untuk memutuskan dengan mencabut pohon kurmanya, rela atau tidak
rela.
Pernah
juga terjadi pada masa Umar RA bahwa Dhahhak bin Khalifah memiliki tanah yang
tidak mendapat pengairan kecuali apabila melewati tanah Muhammad bin Maslamah.
Dhahhak ingin membuat saluran yang bisa menyampaikan air ke tanahnya, tetapi
Muhammad bin Maslamah menolak. Maka Dhahhak melaporkan hal tersebut kepada
Umar, lalu Umar memanggil Muhammad bin Maslamah untuk mendamaikan, tetapi ia
tetap tidak memberi kesempatan kepada Dhahhak, sehingga Umar berkata kepadanya,
"Mengapa engkau melarang saudaramu dari sesuatu yang bermanfaat baginya,
sedangkan dia juga dapat mengambil manfaat darimu, engkau menyirami pada awal
dan akhir dan itu tidak membahayakan bagimu." Muhammad bin Maslamah
menjawab, "Tidak, demi Allah." Umar berkata kepadanya, "Demi
Allah, dia (Dhahhak) harus melewati, meskipun harus melangkahi perutmu."
(HR Malik dan Baihaqi)
Berdasarkan
ini maka seorang pemilik tidak boleh bersikap keras dengan tetangganya dan
teman sekerjanya atau dengan orang-orang yang mempunyai keterkaitan dengan hak
miliknya dengan alasan bahwa ia bebas untuk melakukan sesuatu terhadap apa yang
menjadi miliknya sendiri. Karena kebebasan di sini dibatasi oleh prinsip
"Laa Dharara Walaa Dhiraara" (Tidak ada bahaya dan tidak boleh ada
yang membahayakan).
Di
antara yang termasuk membahayakan adalah jika kamu melarang orang lain untuk
melakukan sesuatu yang ia perlukan sehingga ia tidak mendapatkannya karena
laranganmu. Rasulullah SAW melarang berbuat demikian:
"Janganlah
seorang tetangga melarang tetanggannya yang lain untuk memasang kayu di
temboknya." (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)
MENGEMBANGKAN HARTA DENGAN SESUATU YANG TIDAK MEMBAHAYAKAN AKHLAQ DAN
KEPENTlNGAN UMUM
<<
Kembali ke Daftar Isi >>
Islam
mengajak kepada para pemilik harta untuk mengembangkan harta mereka dan
menginvestasikannya, sebaliknya melarang mereka untuk membekukan dan tidak
memfungsikannya. Maka tidak boleh bagi pemilik tanah menelantarkan tanahnya
dari pertanian, apabila masyarakat memerlukan apa yang dikeluarkan oleh bumi
berupa tanaman-tanaman dan buah-buahan. Demikian juga pemilik pabrik di mana
manusia memerlukan produknya, karena ini bertentangan dengan prinsip
"Istikhlaf" (amanah peminjaman dari Allah).
Demikian
juga tidak diperbolehkan bagi pemilik uang untuk menimbun dan menahannya dari
peredaran, sedangkan ummat dalam keadaan membutuhkan untuk memfungsikan uang
itu untuk proyek-proyek yang bermanfaat dan dapat membawa dampak berupa
terbukanya lapangan kerja bagi para pengangguran dan menggairahkan aktivitas
perekonomian. Tidak heran jika Al Qur'an memberi peringatan kepada orang-orang
yang menyimpan harta dan yang bersikap egois dengan ancaman yang berat. Allah
SWT berfirman:
"Dan
orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkan pada jalan
Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa
yang pedih, pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahanam, lalu
dibakar dengannnya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan)
kepada mereka, "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu
sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu."
(At Taubah: 34-35)
Akan
tetapi Islam memberikan batasan pemilikan harta dalam pengembangan dan
investasinya dengan cara-cara yang benar (syar'i) yang tidak bertentangan
dengan akhlaq, norma dan nilai-nilai kemuliaan. Tidak pula bertentangan dengan
kemaslahatan sosial karena dalam Islam tidak terpisah antara ekonomi dan
akhlaq. Oleh karenanya, bukanlah pihak pemodal itu bebas sebagaimana dalam
teori materialistis. Seperti yang pernah diyakini oleh kaum Syu'aib dahulu,
bahwa mereka bebas untuk mempergunakan harta mereka sesuai dengan keinginan
mereka. Al Qur'an mengungkapkan hal itu sebagai berikut:
"Hai
Syu 'aib, apakah agamamu menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah
oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki
tentang harta kami." (Huud: 87)
Karena
itulah Islam mengharamkan cara-cara berikut ini dalam mengembangkan harta
1. Riba
Di dalam
riba itu seseorang berusaha memenuhi kebutuhan orang yang ingin meminjam harta,
tetapi di saat yang sama ia mengharuskan kepada orang yang meminjam itu untuk
memberi tambahan yang nanti akan diambilnya, tanpa ada imbalan darinya berupa
kerja dan tidak pula saling memikirkan. Sehingga di sini yang kaya semakin kaya
dan yang miskin semakin miskin. Pelaku riba bagaikan segumpal darah yang menyerap
darah orang-orang yang bekerja keras, sedangkan ia tidak bekerja apa-apa,
tetapi ia tetap memperoleh keuntungan yang melimpah ruah. Dengan demikian
semakin lebar jurang pemisah di bidang sosial ekonomi antara kelompok-kelompok
yang ada, dan api permusuhan pun semakin berkobar.
Oleh
karena itu Islam sangat keras dalam mengharamkan riba dan memasukkannya di
antara dosa besar yang merusak, serta mengancam orang yang berbuat demikian
dengan ancaman yang sangat berat. Allah SWT berfirman:
"Hai
orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya
akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu
pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya." (Al Baqarah: 278-279)
Rasulullah
SAW melaknati orang yang memakan riba, yang diberi makan, sekretarisnya dan
kedua saksinya.
2. Ihtikar (menimbun di saat orang membutahkan)
Di dalam
hadits shahih disebutkan:
"Tidak
ada yang menimbun (barang ketika dibutuhkan) kecuali orang yang berdosa."
(HR. Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi)
"Barangsiapa
yang menimbun makanan selama empat puluh hari, maka ia telah terlepas dari
Allah dan Allah pun terlepas dari padanya." (HR. Ahmad)
Ancaman
itu datang karena orang yang menyimpan itu ingin membangun dirinya di atas
penderitaan orang lain dan dia tidak peduli apakah manusia kelaparan atau
telanjang, yang penting dia mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Semakin masyarakat memerlukan barang itu semakin dia menyembunyikannya, dan
semakin senang dengan naiknya harga barang tersebut, oleh karena itu Rasulullah
SAW bersabda:
"Seburuk-buruk
hamba (Allah) adalah yang menimbun, apabila mendengar harga barang menurun ia
merasa susah, dan apabila ia mendengar harga barang naik ia merasa
gembira." (Disebutkan oleh Razin di dalam Jami'nya)
Para fuqaha' berselisih
mengenai batas menyimpan barang yang diharamkan, apakah hanya makanan pokok
atau segala sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat. Yang benar adalah pendapat
yang dikatakan oleh Imam Abu Yusuf. "yaitu segala sesuatu yang berbahaya
bagi manusia bila disimpan maka itu ihtikar (menimbun)"
3. Penipuan
Ini
berlaku dalam segala macam bentuknya, Rasulullah SAW bersabda:
"Barangsiapa
menipu (melakukan kecurangan) maka bukan termasuk ummatku." (HR. Muslim)
"Dua
orang yang melakukan jual beli itu boleh memilih selama belum berpisah, jika
keduanya jujur dan saling menjelaskan maka keduanya mendapat berkah dalam jual
belinya, tetapi jika kedua-duanya saling mengumpat dan berdusta maka berkah
jual belinya akan hilang." (HR. Muttafaqun'Alaih)
Di
antara contoh penipuan adalah mengurangi takaran dan timbangan, sebagaimana
disebutkan oleh Al Qur'an Al Karim sebagai berikut:
"Celakalah
bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran
dan orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang
untuk orang lain, mereka mengurangi." (Al
Muthaffifiin: 1-3)
Al
Qur'an telah menceritakan kisah Syu'aib beberapa kali, beliau mengajak kaumnya
dengan ikhlas dan secara terus menerus:
"Penuhilah
takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan; dan timbanglah
dengan timbangan yang lurus (benar)." (Asy
Syu'ara: 181-182)
4. Berdagang barang-barang yang diharamkan
Seperti
khamr (arak) atau minuman keras lainnya, narkotik, daging babi, perkakas
(alat-alat) yang diharamkan, seperti bejana dari emas dan perak, berhala dan
patung-patung, serta bahan makanan yang membahayakan. Karena apabila Allah
mengharamkan sesuatu maka Allah juga mengharamkan nilai dan harganya.
5. Segala sesuatu yang bertentangan dengan akhlaq
Segala
sesuatu yang bertentangan dengan akhlaq yang mulia, atau dapat menjauhkan
manusia dari agama yang benar atau membahayakan kepentingan masyarakat, maka
itu termasuk mungkar yang diperangi oleh Islam dan ditolak oleh sistem ekonomi
Islam.
Post a Comment