Kembali Kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah ? (1)
Kembali Kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah ? (1)
Di suatu jum'at yang terik, saya sembahyang Jum'at di satu masjid di Rawamangun, Jakarta, beberapa tahun yang lalu. Saat itu khatib dengan tegas mengulas "musibah" yang menimpa kaum muslim di Bosnia. Setelah itu khatib dengan tangkasnya menarik kesimpulan bahwa muslim Bosnia mengalami hal seperti itu karena mereka tidak kembali ke Al-Qur'an dan as-Sunnah!
Saya terhenyak! Kasihan benar sauadar kita di Bosnia, sudah tertimpa musibah masih juga disebut tak kembali pada Al-Qur'an dan as-Sunnah. Ini namanya blaming the victim! (menyalahkan korban). Kemudian saya teringat bahwa bukankah jargon sakti itu seringkali diulang-ulang kalau kita bicara keadaan nasib umat ini. Kita tertinggal dari Barat karena kita tidak kembali pada kedua peninggalan Rasul tsb, kita miskin dan tertindas, kita kalah perang, semuanya gara-gara hal yang sama itu!
Tiba-tiba saya merasakan ada sesuatu yang salah dalam memahami jargon tersebut. Ternyata jargon tersebut digunakan untuk memukul kita sendiri. Apa Barat maju dan tetangga saya kaya karena mereka kembali pada Al-Qur'an dan as-Sunnah? Saya kira tidak juga.
Menurut saya yang lemah ini, jargon tersebut layak dipertanyakan. Bukan mempertanyakan al-Qur'an dan as-Sunnah-nya, tapi, dengan mengutip Fazlur Rahman, kita layak bertanya: kembali ke penafsiran al-Qur'an dan as-Sunnah yang mana? Soalnya, bukankah al-Qur'an dan as-Sunnah yang kita baca itu tetap sama; tidak berubah, justru kondisi yang berubah.
Nah, kalau kita ingin kembali ke al-Qur'an dan as-Sunnah dengan tetap berpegang pada penafsiran yang lama, saya kira hasil yang kita peroleh sama saja! Kita tidak akan bisa secara efektif merubah kondisi umat. Seorang rekan saya pernah menyanggah saya dengan mengutip Kiyai-nya (hormat saya utk kiyai tersebut):
"Mana yang harus menyesuaikan: peci atau kepala? Mana yang harus berubah: al-Qur'an atau zaman?"
Saya tersenyum dan mengatakan bahwa logika seperti itu tidak keliru, tetapi salah! Karena pertanyaannya sudah salah, maka tak perlu di jawab. Bagi saya antara al-Qur'an dan zaman ditengah-tengah keduanya ada yang dinamakan "penafsiran". Penafsiran al-Qur'an-lah yang harus berubah mengikuti zaman. Bukan Qur'an-nya kita rubah atau zamannya yang kita paksa memutar jarum jamnya ke zaman saat Qur'an dulu turun lima belas abad yg lalu!
Di suatu jum'at yang terik, saya sembahyang Jum'at di satu masjid di Rawamangun, Jakarta, beberapa tahun yang lalu. Saat itu khatib dengan tegas mengulas "musibah" yang menimpa kaum muslim di Bosnia. Setelah itu khatib dengan tangkasnya menarik kesimpulan bahwa muslim Bosnia mengalami hal seperti itu karena mereka tidak kembali ke Al-Qur'an dan as-Sunnah!
Saya terhenyak! Kasihan benar sauadar kita di Bosnia, sudah tertimpa musibah masih juga disebut tak kembali pada Al-Qur'an dan as-Sunnah. Ini namanya blaming the victim! (menyalahkan korban). Kemudian saya teringat bahwa bukankah jargon sakti itu seringkali diulang-ulang kalau kita bicara keadaan nasib umat ini. Kita tertinggal dari Barat karena kita tidak kembali pada kedua peninggalan Rasul tsb, kita miskin dan tertindas, kita kalah perang, semuanya gara-gara hal yang sama itu!
Tiba-tiba saya merasakan ada sesuatu yang salah dalam memahami jargon tersebut. Ternyata jargon tersebut digunakan untuk memukul kita sendiri. Apa Barat maju dan tetangga saya kaya karena mereka kembali pada Al-Qur'an dan as-Sunnah? Saya kira tidak juga.
Menurut saya yang lemah ini, jargon tersebut layak dipertanyakan. Bukan mempertanyakan al-Qur'an dan as-Sunnah-nya, tapi, dengan mengutip Fazlur Rahman, kita layak bertanya: kembali ke penafsiran al-Qur'an dan as-Sunnah yang mana? Soalnya, bukankah al-Qur'an dan as-Sunnah yang kita baca itu tetap sama; tidak berubah, justru kondisi yang berubah.
Nah, kalau kita ingin kembali ke al-Qur'an dan as-Sunnah dengan tetap berpegang pada penafsiran yang lama, saya kira hasil yang kita peroleh sama saja! Kita tidak akan bisa secara efektif merubah kondisi umat. Seorang rekan saya pernah menyanggah saya dengan mengutip Kiyai-nya (hormat saya utk kiyai tersebut):
"Mana yang harus menyesuaikan: peci atau kepala? Mana yang harus berubah: al-Qur'an atau zaman?"
Saya tersenyum dan mengatakan bahwa logika seperti itu tidak keliru, tetapi salah! Karena pertanyaannya sudah salah, maka tak perlu di jawab. Bagi saya antara al-Qur'an dan zaman ditengah-tengah keduanya ada yang dinamakan "penafsiran". Penafsiran al-Qur'an-lah yang harus berubah mengikuti zaman. Bukan Qur'an-nya kita rubah atau zamannya yang kita paksa memutar jarum jamnya ke zaman saat Qur'an dulu turun lima belas abad yg lalu!
Post a Comment