DALIL-DALIL ORANG YANG MENGHARAMKAN LAGU (NYANYIAN) DAN BANTAHAN DARI ULAMA LAINNYA
DALIL-DALIL ORANG YANG
MENGHARAMKAN LAGU (NYANYIAN)
DAN BANTAHAN DARI ULAMA LAINNYA
Pertama. Mereka
mengharamkan lagu berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas'ud
dan Ibnu Abbas serta sebagian Tabi'in, bahwa mereka mengharamkan nyanyian berdasarkan
firman Allah SWT, "Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan
perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa
pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan
memperoleh adzab yang menghinakan. (Luqman: 6)
Mereka menafsirkan "Lahwal Hadits" (perkataan yang tidak berguna)
di sini dengan nyanyian (lagu).
Ibnu Hazm mengatakan, "Tak ada alasan untuk mempergunakan ayat
tersebut sebagai dalil atas haramnya lagu-lagu karena beberapa alasan:
1. Sesungguhnya
tidak ada alasan (yang paling kuat) bagi siapa pun selain dari Rasulullah SAW.
2. Pendapat
di atas bertentangan dengan pendapat para sahabat yang lainnya dan para
tabi'in.
3.
Sesungguhnya keterangan ayat itu sendiri membatalkan
hujjah mereka, karena di dalam ayat tersebut terdapat sifat orang berbuat
demikian maka kafir tanpa khilaf, yakni apabila menjadikan jalan Allah sebagai
pelecehan. Ibnu Hazm mengatakan, "Seandainya ada seseorang yang
mempergunakan mushaf untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah dan
menjadikannya sebagai ejekan, maka ia kafir, maka inilah yang dicela oleh Allah
SWT dan Allah sama sekali tidak mencela orang mempergunakan perkataan yang
main-main untuk permainan dan menghibur diri, bukan untuk menyesatkan (manusia)
dari jalan Allah. Maka batallah hujjah mereka. Demikian juga sebaliknya, orang
yang keasyikan membaca Al Qur'an dan hadits atau ngobrol atau kesibukan dengan
lagu-lagu dan lainnya sehingga melalaikan shalat, maka dia fasik, dan
bermaksiat kepada Allah Ta'ala. Dan barangsiapa yang tidak menyia-nyiakan
sedikit pun dari kewajiban-kewajiban itu karena melakukan apa-apa yang telah
kami sebutkan, maka ia seorang yang muhsin (berbuat kebajikan)" (Al
Muhalla: 9/60 cet. Al
Munirah)
Dalil yang kedua dari
orang-orang mengharamkan nyanyian adalah firman Allah SWT dalam memuji
orang-orang yang beriman. Allah berfirman:
"Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka
berpaling dari padanya." (Al Qashash: 55)
Dan nyanyian termasuk "Al laghwu" (perkataan yang tidak berguna),
maka wajib bagi kita untuk menghindarinya. Pendapat ini dijawab, bahwa secara
zhahir dari ayat ini "Al laghwu" adalah perkataan kotor seperti
mencaci maki, perkataan yang menyakitkan dan sebagainya. Karena kesempurnaan
ayat membuktikan hal itu.
"Dan mereka berkata, "Bagi kami amal-amal kami dan bagimu
amal-amal-mu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan
orang-orang jahil." (Al Qashash: 55)
Ini mirip dengan firman Allah SWT yang menjelaskan sifat-sifat 'Ibadur
Rahman:
"Dan apabila orang-orang jahil itu mengejek mereka, mereka (balas)
mengatakan dengan ucapan selamat ." (Al
Furqan: 63)
Kalau kita pasrah bahwa sesungguhnya Al laghwu dalam ayat tersebut meliputi
nyanyian, pasti kita mendapatkan ayat itu mendorong kita untuk berpaling dari
mendengarkan dan memujinya, padahal tidak demikian.
Kata "Al Laghwu" seperti kata "Al Baathil" yang berarti
tidak berguna. Dan mendengarkan apa-apa yang tidak berguna itu tidak haram
selama tidak menelantarkan hak atau melalaikan yang wajib.
Diriwayatkan dari Ibnu Juraij, bahwa ia memberi keringanan dalam masalah
mendengarkan lagu, maka ia ditanya, "Apakah hal itu kelak di hari kiamat
akan dimasukkan sebagai kebaikanmu atau keburukanmu?" Beliau menjawab,
"Tidak termasuk hasanaat dan tidak termasuk sayyiaat, karena itu mirip
dengan Al laghwu." Allah SWT berfirman:
"Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang main-main (yang
tidak dimaksud untuk bersumpah)." (Al
Baqarah: 225)
Imam Al Ghazali mengatakan, "Apabila menyebut Asma Allah Ta'ala atas
sesuatu dengan cara bersumpah, dengan tanpa aqad dan tidak bersungguh-sungguh
saja tidak dikenakan sanksi, apa lagi dengan syair dan lagu-lagu.22)
Selain itu kita katakan bahwa tidak semua nyanyian itu termasuk "Al
laghwu." Sesungguhnya itu tergantung pada niat orangnya, karena niat yang
baik itu bisa merubah suatu permainan menjadi suatu ibadah, dan bergurau
menjadi suatu ketaatan sementara niat yang kotor itu bisa menghapus amal kita
yang zhahirnya beribadah sementara bathinnya riya, Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya Allah tidak melihat pada rupa kamu dan harta kamu,
tetapi Dia melihat pada hati dan amalmu ." (HR. Muslim)
Di sini kita bisa mengutip kata-kata Ibnu Hazm yang baik di dalam kitabnya
"Al Muhalla" sebagai sanggahan terhadap orang-orang yang melarang
lagu-lagu. Beliau mengatakan, "Mereka yang mengharamkan menyanyi itu
berhujjah dan mengatakan, 'Apakah menyanyi itu barang yang haq atau tidak',
tidak perlu pendapat yang ketiga, yang jelas Allah SWT sendiri mengatakan,
"Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan" (Yunus: 32)
Maka jawaban kita, Wabillahit Taufiq, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda,
"Sesungguhnya diterimanya segala amal perbuatan itu tergantung pada
niatnya, dan sesungguhnya setiap (amal) seseorang tergantung pada niatnya
..." (H. Muttafaqun 'Alaih). Maka barang siapa yang mendengarkan lagu-lagu
untuk membantu dia bermaksiat kepada Allah, maka dia fasiq. Demikian juga
terjadi pada selain lagu-lagu. Tetapi barangsiapa yang dengan lagu itu dia
berniat untuk menghibur dirinya dan untuk memperkuat taatnya kepada Allah dan
dengan lagu-lagu itu ia bersemangat untuk berbuat kebajikan maka ia termasuk
berbuat ketaatan dan kebaikan, dan perbuatannya termasuk barang haq. Dan barang
siapa tidak berniat taat atau maksiat maka itu termasuk laghwun yang dimaafkan,
seperti orang yang keluar ke kebunnya dan duduk di pintu rumahnya untuk
bersenang hati dan mewarnai bajunya dengan warna keemasan atau hijau atau yang
lainnya serta memanjangkan betisnya atau menekuknya serta seluruh
aktifitasnya." (Al Muhalla: 9/60)
Ketiga. Dalil
yang ketiga adalah hadits Rasulullah SAW:
"Setiap permainan yang dilakukan oleh seorang mukmin maka itu suatu
kebathilan, kecuali tiga permainan: pemainan suami dengan isterinya,
pelatihannya terhadap kudanya, dan melemparkan anak panah dari busurnya"
(HR. Ashabus Sunan - Muththarib)
Sementara lagu-lagu adalah termasuk selain tiga permainan yang disebutkan
dalam hadits ini.
Orang-Orang yang memperbolehkan menyanyi mengatakan bahwa hadits tersebut
dha'if, seandainya shahih pasti menjadi hujjah, bahwa ungkapan Nabi "Itu
adalah bathil" itu tidak menunjukkan pengharaman, tetapi menunjukkan tidak
berguna. Abu Darda' pernah mengatakan, "Sesungguhnya aku akan melakukan
untuk diriku sedikit dari yang bathil agar diriku kuat untuk melakukan yang haq
(kebenaran)." Karena sesungguhnya pembatasan tiga hal dalam hadits
tersebut tidak dimaksudkan untuk pembatasan mutlak. Buktinya pernah terjadi
orang-orang Habasyah bermain pedang di Masjid Nabawi, itu juga di luar dari
tiga hal tersebut, dan ini ditetapkan dalam hadits shahih.
Tidak diragukan lagi bahwa bersenang-senang di kebun dan mendengar
suara-suara burung serta berbagai permainan yang dilakukan oleh seseorang itu
sama sekali tidak diharamkan, meskipun boleh kita katakan itu bathil (tanpa
guna) secara langsung.
Keempat. Mereka
juga berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (Mu 'allaq),
dari Abi Malik atau 'Amir Al Asy'ari, satu keraguan dari perawi, dari Nabi SAW
ia bersabda:
"Benar-benar akan ada suatu kaum dari ummatku yang menghalalkan kemaluan
(zina), sutera, khamr (minuman keras) dan alat-alat musik." (HR. Bukhari -
Mu'allaq)
Hadist tersebut meskipun ada di dalam shahih Bukhari, tetapi ia termasuk
"Mu'allaq," bukan termasuk hadits yang sanadnya muttashil
(bersambung). Oleh karena itu Ibnu Hazm menolak karena sanadnya terputus,
selain hadits ini mu 'allaq, para ulama mengatakan bahwa sanad dan matanya
tidak selamat dari kegoncangan (idhtiraab).
Al Hafidz Ibnu Hajar berusaha untuk menyambung hadits ini, dan beliau
berhasil untuk menyambung dari sembilan sanad, tetapi semuanya berkisar pada
satu perawi yang dibicarakan oleh sejumlah ulama' ahli. Satu perawi itu adalah
"Hisyam Ibnu 'Ammar," perawi ini meskipun sebagai Khatib Damascus dan
muqri'nya serta muhaddits dan alimnya, bahkan Ibnu Ma'in dan Al 'Ajli
men-tautsiq. Tetapi Abu Dawud mengatakan, "Dia meriwayatkan empat ratus
hadits yang tidak ada sandarannya (yang benar dari Rasul)."
Abu Hatim juga berkata, "Ia shaduq (sangat jujur), tetapi telah
berubah (hafalannya), sehingga Ibnu Sayyar pun mengatakan seperti itu."
Imam Ahmad mengatakan, "Ia thayyasy dan khafif (hafalannya
berkurang).' Imam Nasa'i
mengatakan, "Tidak mengapa (ini bukan pentautsiq-an secara mutlak)."
Meskipun Imam
Adz-Dzahabi membelanya, dengan mengatakan, Shadaq dan banyak meriwayatkan,
namun ada kemunkarannya.
Para ulama juga mengingkari karena ia tidak meriwayatkan hadits kecuali
memakai upah.
Orang seperti ini tidak bisa diterima haditsnya pada saat-saat terjadi
perselisihan pendapat, terutama dalam masalah yang pada umumnya sudah menjadi
fitnah.
Meskipun dalil tersebut, katakanlah, ada, tetapi kata-kata "Al
Ma'aazil" itu belum ada kesepakatan maknanya secara pasti, apa sebenarnya.
Sehingga ada yang mengatakan "permainan-permainan," ini sangat
global. Ada juga yang mengatakan alat-alat musik.
Kalau seandainya kita katakan bahwa yang dimaksud adalah alat-alat musik,
maka redaksi hadits yang mu'allaq di dalam Bukhari itu tidak sharih (tidak
jelas) di dalam mengartikan haramnya "Al Ma'azif." Karena ungkapan
"Yastahilluna" (menghalalkan) menurut Ibnu 'Arabi mempunyai dua
makna, pertama meyakini bahwa itu halal, dan yang kedua, suatu majaz (ungkapan
tidak langsung) tentang memperlonggar dalam mempergunakan itu semua, karena
seandainya itu adalah arti yang sebenarnya maka itu kufur, karena menghalalkan
yang haram secara pasti seperti minuman keras, zina itu kufur secara ijma'.
Seandainya kita sepakat atas haramnya itu semua, maka apakah itu berarti
pengharaman terhadap seluruh apa yang disebutkan di dalam hadits itu, atau
masing-masing ada hukumnya sendiri-sendiri? Maka yang pertama itulah yang
rajih, karena pada kenyataannya hadits ini menjelaskan perilaku sekelompok
manusia yang tenggelam dalam kemewahan, malam-malam merah dan minuman keras . Mereka
yang hidup di antara khamr dan wanita, permainan dan lagu-lagu, zina dan
sutera. Karena itulah Ibnu Majah meriwayatkan hadits ini dari Abi Malik Al
Asy'ari dengan kata-kata sebagai berikut:
"Sungguh akan ada manusia dari ummatku yang meminum khamr, mereka
menamakannya bukan dengan namanya, kepala mereka dipenuhi dengan alat-alat
musik dan biduanita (lagu-lagu dan artis). Sungguh Allah akan memasukkan mereka
ke dalam tanah dan akan mengganti rupa mereka dengan kera dan babi." (HR.
Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Bukhari dalam Tarikhnya)
Seluruh perawi yang meriwayatkan hadits dari selain Hisyam bin Ammar telah
menjadikan ancaman itu pada orang yang meminum minuman keras, dan bukanlah pada
ma'azif (alat-alat musik) itu sebagai penyempurna dan yang mengikuti bagi
mereka.
Kelima. Mereka
juga berdalil dengan hadits dari 'Aisyah RA
"Sesungguhnya Allah telah mengharamkan biduanita (artis), menjual
belikannya, menghargainya, dan mengajarinya."
Sebagai jawabannya
sebagai berikut:
1.
Hadits
ini dha'if, dan seluruh hadits yang mengharamkan jual beli artis penyanyi
adalah dha'if. (Ibnu Hazm dalam Al Muhalla: 9/59-62)
2.
Imam Al
Ghazali mengatakan, "Yang dimaksud penyanyi di sini adalah penyanyi wanita
yang bernyanyi di hadapan pria dalam majelis khamr, dan menyanyinya para wanita
di hadapan laki-laki fasik dan orang yang dikhawatirkan ada fitnah itu haram,
mereka tidak bermaksud dengan fitnah itu kecuali dilarang. Adapun
menyanyinya budak wanita di hadapan pemiliknya itu tidak difahami haram dari
hadits ini. Bahkan kepada selain pemiliknya pun ketika tidak ada fitnah, dengan
dalil hadits yang diriwayatkan di dalam Shahihain yaitu nyanyian dua budak
wanita di rumah 'Aisyah RA, yang akan kami jelaskan nanti. (Al Ihya':1 148)
3. Para
penyanyi dari budak wanita itu memiliki unsur penting dalam aturan perbudakan,
di mana Islam datang untuk memberantasnya secara bertahap. Dan Islam tidak
sependapat, hikmah ini menetapkan adanya kelas tertentu pada masyarakat Islam. Maka
apabila ada hadits yang melarang memiliki budak penyanyi dan memperjual
belikan, itu berarti dalam rangka merobohkan sistem perbudakan yang kokoh.
Keenam. Mereka juga berdalil dengan
hadits yang diriwayatkan oleh Nafi', bahwa sesungguhnya Ibnu Umar itu pernah
mendengar suara seruling penggembala, maka beliau meletakkan kedua jari
telunjuknya di dalam telinganya dan mengalihkan kendaraannya dari jalan, beliau
berkata, "Hai Nafi', apakah kamu mendengar?" maka Nafi' berkata,
"Ya" lalu berjalan terus sampai Nafi' berkata, "Tidak" maka
Ibnu Umar mengangkat tangannya dan mengalihkan kendaraannya ke jalan (lainnya)
dan berkata, "Aku pernah melihat Rasulullah SAW mendengar seruling
penggembala maka Nabi berbuat demikian." (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu
Majah. Abu Dawud mengatakan, "Ini hadits munkar")
Seandainya hadits ini shahih, maka akan menjadi hujjah yang mengalahkan
orang-orang yang mengharamkan, bukan mendukung mereka. Karena seandainya
mendengar seruling itu haram, maka Nabi SAW tidak memperbolehkan Ibnu Umar
untuk mendengarkannya, dan kalau seandainya Ibnu Umar itu mengharamkan maka
tidak akan diperbolehkan kepada Nafi' untuk mendengarkannya. Dan pasti
Rasulullah SAW memerintahkan untuk melarang dan merubah kemunkaran itu. Pengikraran
Nabi SAW kepada Ibnu Umar sebagai dalil bahwa itu halal.
Tetapi Rasulullah SAW menjauhi untuk mendengar seruling itu sebagaimana beliau
menjauhi banyak sekali hal-hal yang diperbolehkan dari masalah dunia, seperti
makan sambil bersandar atau beliau tidak suka kalau ada dinar dan dirham yang
bermalam di sisinya.
Ketujuh, Mereka yang mengharamkan lagu
juga berdalil dengan riwayat yang mengatakan, "Sesungguhnya nyanyian itu
dapat menimbulkan kemunafikan dalam hati," tetapi ini bukan hadits dari
Rasulullah SAW, melainkan perkataan sahabat atau tabi'in. Ini adalah suatu
pendapat orang yang tidak ma'sum yang berbeda satu dengan yang lainnya. Sebagian
manusia ada juga yang mengatakan, terutama dari kalangan sufi, bahwa
sesungguhnya nyanyian itu bisa melunakkan hati, dan dapat membangkitkan
perasaan sedih, menyesal atas kemaksiatan serta dapat menjadi sarana untuk
memperbarui jiwa dan semangat mereka dan membangkitkan kerinduan. Mereka
mengatakan, "Ini tidak mungkin bisa diketahui kecuali dengan perasaan,
pengalaman dan kebiasaan, karena itu barangsiapa merasakan maka dia mengetahui,
informasi ini tidak bisa ditangkap dengan mata."
Meskipun demikian, Imam Al Ghazali menjadikan hukum kalimat ini bagi si
penyanyi, bukan pendengar, karena tujuan penyanyi adalah menampilkan dirinya di
hadapan orang lain dan mengkomersialkan suaranya, dan secara terus menerus ia
berbuat kemunafikan dan berusaha menarik perhatian manusia agar mereka senang
terhadap lagunya. Al Ghazali mengatakan, "Demikian itu tidak menjadikan
haram, karena sesungguhnya memakai pakaian serta berbangga-banggaan dengan
tanaman, binatang ternak, ladang dan yang lainnya itu juga bisa menimbulkan
kemunafikan dalam hati, dan ini bukan berarti haram seluruhnya. Karena bukanlah
penyebab munculnya kemunafikan dalam hati itu maksiat, tetapi sesungguhnya
hal-hal yang mubah pun ketika menjadi perhatian manusia itulah yang banyak
berpengaruh 23).
Kedelapan, Mereka juga
berdalil atas haramnya nyanyian wanita dengan alasan bahwa suara wanita itu
aurat, padahal ini tidak ada dalilnya, tidak pula ada yang mirip dengan dalil
dari agama Allah bahwa suara wanita itu aurat. Karena sahabat wanita dahulu
juga bertanya kepada Rasulullah SAW ketika Nabi sedang berada di tengah-tengah
para sahabat laki-laki. Dan para sahabat sendiri juga pernah pergi kepada
ummahatul mukminin (para isteri Rasulullah) untuk meminta fatwa dan mereka pun
memberikan fatwa dan berbicara dengan orang-orang yang datang. Dan tidak ada
seorang pun mengatakan, "Sesungguhnya ini dari Aisyah atau selain Aisyah
telah melihat aurat yang wajib ditutupi," padahal isteri-isteri Nabi
mendapat perintah dengan keras yang tidak pernah dirasakan bagi wanita lainnya
Allah SWT berfirman:
"Dan berkatalah kamu (wahai isteri-isteri Nabi) dengan kata-kata yang
baik." (Al Ahzab: 32)
Mereka mengatakan, "Itu berkaitan dengan percakapan biasa, bukan dalam
nyanyian." Kita katakan, diriwayatkan di dalam Shahihain, bahwa Nabi SAW
pernah mendengar nyanyian dua wanita budak dan tidak mengingkari keduanya, dan
Nabi bersabda kepada Abu Bakar, "Biarkan mereka berdua." Ibnu Ja'far
dan lainnya dari kalangan sahabat dan tabi'in juga pernah mendengar budak-budak
wanita menyanyi.
Kesembilan. Mereka juga
berdalil dengan hadits Tirmidzi dari Ali, marfu' "Apabila ummatku
melakukan lima belas perkara, maka akan mendapat cobaan .. (salah satunya
adalah) mengambil biduanita dan alat-alat musik." Hadits ini disepakati
atas kedha'ifannya, maka tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
Kesimpulan bahwa nash-nash yang dijadikan dalil oleh orang yang mengatakan haramnya
lagu-lagu itu mungkin shahih, tetapi tidak sharih (jelas), atau sharih tetapi
tidak shahih, dan tidak ada satu pun hadits yang marfu' (sampai) pada
Rasulullah SAW yang pantas dipakai sebagai dalil untuk mengharamkan. Dan
seluruh hadits-hadits yang mereka pergunakan itu didhai'fkan oleh golongan
Zhahiriyah, Malikiyah, Hanabilah dan Syafi'iyah.
Al Qadhi Abu Bakar Ibnu 'Arabi mengatakan di dalam kitabnya Al Ahkaam, tidak
benar dalam pengharaman sedikit pun. Demikianlah juga dikatakan oleh Al
Ghazali, dan Ibnu Nahwi di dalam kitab "Al 'Umdah."
Ibnu Thahir dalam kitabnya "As-Simaa' " mengatakan "Tidak
benar satu huruf pun dari hadist-hadist itu.
Ibnu Hazm berkata, "Tidak benar sedikit pun dalam bab ini, dan setiap
riwayat, tentang masalah itu maudhu' (palsu). Demi Allah, kalau seandainya
seluruhnya atau salah satu dari riwayat itu disandarkan dari/melalui jalan
orang-orang yang tsiqah kepada Rasulullah SAW pasti kita tidak akan ragu untuk
mengambilnya."
23) Lihat Al Ihya Kitabus-Samaa' hal. 1151.
Post a Comment