DALIL-DALIL ULAMA YANG MEMPERBOLEHKAN LAGU
DALIL-DALIL ULAMA YANG MEMPERBOLEHKAN LAGU
Dalil-dalil yang mereka
pergunakan adalah dalil-dalil yang dipakai oleh orang-orang yang mengharamkan
lagu itu juga, dan satu demi satu telah berguguran (mereka tolak). Sehingga
tidak ada satu pun dari dalil-dalil itu yang mereka pegang.
Apabila dalil-dalil yang mengharamkan itu sudah tidak berfungsi, maka yang
tetap adalah bahwa hukum menyanyi itu dikembalikan pada asalnya yaitu boleh,
tanpa diragukan. Dan seandainya tidak ada lagi bersama kita satu dalil pun atas
hal itu selain menggugurkan dalil-dalil yang mengharamkan maka bagaimana
mungkin, sedangkan kita masih mempunyai nash-nash yang shahih dan sharih. Bersama
kita juga ada ruh Islam yang mudah kaidah-kaidah umumnya serta dasar-dasarnya
yang pokok. Berikut ini penjelasannya
Pertama, dari segi nash-nash
Mereka berdalil dengan sejumlah hadits shahih, di antaranya adalah hadits
tentang menyanyinya dua budak wanita di rumah Nabi SAW di sisi Aisyah RA dan
bentakan Abu Bakar terhadap kedua wanita itu beserta perkataannya,
"Seruling syetan di rumah Nabi SAW" Ini membuktikan bahwa kedua
wanita itu bukan anak kecil sebagaimana anggapan sebagian orang. Sebab kalau
memang keduanya anak kecil, pasti tidak akan memancing kemarahan Abu Bakar RA.
Yang menjadi penekanan di sini adalah jawaban Nabi SAW kepada Abu Bakar RA
dan alasan yang dikemukakan oleh Rasulullah SAW bahwa beliau ingin mengajarkan
kepada kaum Yahudi bahwa di dalam agama kita itu ada keluwesan. Dan bahwa
beliau diutus dengan membawa agama yang bersih dan mudah. Ini menunjukkan atas
wajibnya memelihara tahsin shuratil Islam (gambaran Islam yang baik) di hadapan
kaum lainnya, dan menampakkan sisi kemudahan dan kelonggaran yang ada dalam
Islam.
Imam Bukhari dan Ahmad meriwayatkan dari 'Aisyah ra, bahwa ia pernah
menikahkan seorang wanita dengan laki-laki dari Anshar, maka Nabi bersabda,
"Wahai 'Aisyah mereka tidak ada permainan? Sesungguhnya Anshar itu senang
dengan permainan."
Ibnu Majah juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, 'Aisyah pernah
menikahkan salah seorang wanita dari familinya dengan laki-laki Anshar, maka
Rasulullah SAW datang dan bertanya, "Apakah kalian sudah memberi hadiah
pada gadis itu?" Mereka berkata, "Ya (sudah)." Nabi berkata,
Apakah kamu sudah mengirimkan bersamanya orang yang menyanyi? 'Aisyah berkata,
"Belum, maka Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya sahabat Anshar
itu kaum yang senang dengan hiburan, kalau seandainya kamu kirimkan bersama
gadis itu orang yang menyanyikan, "Kami datang kepadamu... kami datang
kepadamu... selamat untuk kami dan selamat untuk kamu."
Hadits ini menunjukkan akan pentingnya memelihara tradisi suatu kaum yang
berbeda-beda dan kecenderungan mereka yang beraneka ragam, dan ini berarti
tidak bisa memaksakan kecenderungannya kepada semua orang.
Imam Nasa'i dan Hakim meriyawatkan dan menganggap shahih, dari 'Amir bin
Sa'ad, ia berkata, "Saya pernah masuk ke rumah Qurdhah bin Ka'b dan Abi
Mas'ud Al Anshari dalam pesta perkawinan. Ternyata di sana ada budak-budak
gadis wanita yang sedang menyanyi, maka aku katakan, "Wahai dua sahabat
Rasulullah SAW ahli Badar, apakah pantas ini dilakukan di rumahmu? Maka kedua
sahabat itu berkata, "Duduklah jika kamu berkenan, mari dengarkan bersama
kami, dan jika kamu ingin pergi, maka pergilah, sesungguhnya telah diberi
keringanan (rukhsah) kepada kita untuk bersenang-senang ketika pesta
perkawinan."
Ibnu Hazm meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnu Sirin, bahwa sesungguhnya
ada seorang lelaki datang ke Madinah dengan membawa budak-budak wanita, maka
orang itu datang kepada Abdullah bin Ja'far dan menawarkan budak-budak itu
kepadanya. Maka beliau memerintahkan salah seorang budak wanita untuk menyanyi,
sedangkan Ibnu Umar mendengarkan. Maka Abdullah bin Ja'far membelinya setelah
ditawar. Kemudian orang itu datang kepada Ibnu Umar sambil mengatakan,
"Wahai Aba Abdir Rahman, saya dirugikan tujuh ratus dirham." Maka
Ibnu Umar datang kepada Abdullah bin Ja'far kemudian berkata kepadanya,
"Sesungguhnya ia merugi tujuh ratus dirham, maka (pilihlah) kamu harus
memberinya, atau kamu kembalikan kepadanya" Maka Abdullah bin Ja'far
berkata, "Kita akan memberinya."
Ibnu Hazm berkata, "Inilah Ibnu Umar telah mendengar nyanyian
(lagu-lagu) dan ikut berusaha untuk menjualkan budak yang menyanyi. Ini sanadnya shahih, bukan seperti
hadist-hadist yang palsu." 24)
Mereka juga berdalil dengan firman Allah SWT:
"Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar
untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah,
"Apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan
perniagaan," dan Allah sebaik-baik pemberi rizki." (Al Jum'ah: 11)
Disertakannya permainan dengan perniagaan berarti yakin akan halalnya, dan
Allah tidak mencela keduanya, kecuali ketika suatu saat sahabat disibukkan
dengan permainan dan perniagaan dengan datangnya kafilah kemudian mereka
memukul rebana karena gembira. Dengan kesibukan itu sampai mereka lupa dengan
Nabi SAW yang sedang berdiri (berkhutbah) di hadapan mereka.
Para ulama juga berdalil dengan riwayat yang datang dari sejumlah sahabat
Nabi ra, bahwa mereka itu mendengar langsung atau menyatakan boleh, sedangkan
mereka adalah kaum yang paling pantas diikuti sehingga kita mendapat petunjuk.
Mereka juga berdalil dengan ijma' yang dinukil bukan oleh seorang saja,
atas bolehnya mendengar nyanyian sebagaimana yang akan kami sebutkan.
Kedua, nyanyian ditinjau dari ruh Islam dan kaidah-kaidahnya
Pertama, Tidak ada masalah mengenai lagu kecuali hanya kebaikan dunia yang
dinikmati oleh jiwa dan dianggap baik oleh akal dan fitrah serta disenangi oleh
telinga. Ia merupakan kelezatan telinga, sebagaimana makanan yang enak itu
kelezatan bagi lidah, pemandangan yang indah itu kelezatan bagi mata dan
seterusnya. Lalu apakah kebaikan dan kelezatan yang demikian itu diharamkan di
dalam Islam atau dihalalkan?
Sesuatu yang dimaklumi, bahwa sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan
bagi Bani Israil sebagian kenikmatan dunia, sebagai siksaan atas perbuatan
mereka yang buruk, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT:
"Maka disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas
mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulu) dihalalkan bagi mereka,
dan karena mereka banyak menghalangi manusia dari jalan Allah, dan disebabkan
mereka makan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang dari padanya, dan
karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil.. " (An-Nisa': 160-161)
Maka tidak ada dalam Islam sesuatu yang baik artinya dan yang di anggap
baik oleh jiwa yang bersih dan akal yang sehat kecuali telah dihalalkan oleh
Allah sebagai kasih sayang untuk semua. Karena risalahnya yang universal dan
abadi, sebagaimana Allah SWT berfirman,
"Mereka menanyakan kepadamu, "Apakah yang dihalalkan bagi
mereka?" Katakanlah. "Dihalalkan bagimu yang baik-baik." (Al Maidah: 4)
Allah tidak memperbolehkan seorang pun dari hamba-Nya untuk mengharamkan
atas dirinya atau atas orang lain sesuatu yang baik-baik dari apa yang
diberikan oleh Allah dengan niat yang baik-baik untuk mencari keridhaan Allah,
karena masalah halal dan haram itu hak Allah saja, bukan hak hamba-Nya. Allah
SWT berfirman:
"Katakanlah, "Teranglanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan
Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya)
halal." Katakanlah, "Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu
(tentang hal ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?" (Yunus: 59)
Allah SWT melarang pengharaman terhadap apa yang dihalalkan-Nya dari yang
baik-baik, seperti juga penghalalan terhadap sesuatu yang diharamkan-Nya dari
kemunkaran-kemunkaran. Keduanya mendatangkan murka Allah dan adzab-Nya, dan
menyeret seseorang ke jurang kerugian yang nyata dan kesesatan yang jauh. Allah
SWT berfirman dalam mencela perbuatan orang-orang jahiliyah:
"Sesungguhnya rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka karena
kebodohan lagi tidak mengetahui, dan mereka mengharamkan apa yang telah Allah
rizkikan kepada mereka dengan semata-mata mengada-adakan terhadap Allah. Sesungguhnya
mereka telah sesat dan tidaklah mereka mendapat petunjuk." (Al An'am: 140)
Kedua, Kalau kita renungkan niscaya kita akan mendapatkan bahwa senang
terhadap lagu, musik dan suara yang indah itu hampir merupakan instink manusia
dan fitrah yang melekat pada mereka. Sehingga kita bisa melihat pada anak kecil
(bayi) yang menyusu di ayunan ibunya bisa ditenangkan dengan suara-suara yang
indah, dan mengalihkan perhatian dari tangisnya kepada suara itu. Oleh karena
itu sejak dahulu kala para ibu yang sedang menyusui selalu mengumandangkan
lagu-lagu untuk anak-anaknya. Bahkan kita katakan bahwa burung-burung dan
binatang lainnya itu bisa terpengaruh dengan suara yang indah dan alunan suara
yang merdu dan teratur. Sampai Imam Al Ghazali mengatakan di dalam kitabnya
Ihya', "Barangsiapa tidak tergerak oleh suara yang terdengar, maka ia
kurang atau telah keluar dari keseimbangan, jauh dari keindahan dan semakin
bertambah keras tabiatnya terhadap keindahan. Karena keindahan dan suara merdu
itu berpengaruh, yang dengan pengaruh itu menjadi ringanlah segala sesuatu yang
dirasa sangat berat dan jarak yang jauh pun terasa pendek serta dapat
membangkitkan semangat baru. Sehingga unta pun apabila mendengar suara yang
merdu, dia segera memanjangkan lehernya, memperhatikan dari mana arah suara itu
dan cepat untuk menuju suara tersebut, sehingga apa yang dibawanya menjadi
bergerak-gerak."
Apabila cinta pada lagu-lagu itu merupakan insting dan fitrah manusia, maka
apakah agama ini datang untuk memerangi insting dan fitrah tersebut? Sama
sekali tidak! Sesungguhnya agama ini datang justru untuk meluruskannya dan menghargainya
dengan baik. Imam Ibnu Taimiyah mengatakan, "Sesungguhnya para Nabi itu
diutus untuk menyempurnakan fithrah dan menetapkannya, tidak untuk mengganti
dan merubahnya."
Sebagai bukti dari semua, bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW itu datang ke
Madinah, sementara penduduk Madinah mempunyai dua hari istimewa yang mereka
pergunakan untuk bermain-main. Maka Nabi bertanya, "Apa dua hari
itu?," mereka menjawab, "Kita dahulu bermain-main dalam dua hari itu
masa jahiliyah." Maka Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah
telah mengganti dua hari untukmu dengan yang lebih baik, itulah hari raya Idul
Adha dan Idul Fithri." (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Nasa'i)
'Aisyah berkata, "Sungguh aku pernah melihat Nabi SAW menutupiku
dengan selendangnya, saat itu saya sedang menyaksikan orang-orang Habasyah
bermain di masjid, hingga aku merasa bosan dengan permainan itu, maka hargailah
gadis muda yang senang untuk bermain-main."
Apabila nyanyian itu termasuk permainan maka permainan atau hiburan
tidaklah haram, karena manusia tidak akan tahan untuk hidup serius secara
terus-menerus.
Nabi SAW pernah bersabda kepada Handzalah ketika ia mengira bahwa dirinya
telah munafik karena bergurau dengan isteri dan anak-anaknya, dan karena
perubahan kondisi (keimanan)nya antara di rumahnya dengan kondisinya bersama
Rasulullah SAW, "Wahai Handzalah! Sesaat-sesaat (sedikit-sedikit)."
(HR. Muslim)
Ali bin Abi Thalib berkata:
"Hiburlah hatimu sedikit demi sedikit, sesungguhnya hati itu apabila
tidak suka, menjadi buta."
"Sesungguhnya hati itu bisa bosan sebagaimana fisik juga bisa bosan,
maka carilah untuknya keindahan hikmah (kebijaksanaan)."
Abud Darda' berkata:
"Sesunggahnya aku akan menghibur diriku dengan permainan agar lebih
kuat untuk memperjuangkan kebenaran."
Imam Al Ghazali telah menjawab orang yang mengatakan bahwa sesungguhnya
lagu atau nyanyian itu termasuk permainan yang sia-sia dengan kata-katanya
sebagai berikut, "Memang demikian, tetapi dunia seluruhnya adalah
permainan. Seluruh permainan dengan wanita adalah laghwun, kecuali bercocok
tanam yang itu menjadi penyebab memperoleh anak. Demikian juga bergurau yang
tidak kotor itu hukumnya halal, demikian itu didapatkan dari Rasulullah SAW dan
para sahabatnya."
Permainan manakah yang melebihi permainan orang-orang Habasyah, sungguh
telah ditetapkan dengan nash tentang bolehnya. Sekali lagi saya katakan bahwa
permainan itu bisa menghibur hati, meringankan beban fikiran, dan hati itu
apabila tidak suka maka ia menjadi buta, dan menghiburnya adalah membantu untuk
bersungguh-sungguh. Orang yang selalu belajar agama misalnya, maka dia
memerlukan libur pada hari Jum at, karena libur sehari itu bisa membantu untuk
menambah semangat pada hari-hari yang lainnya. Orang yang selalu shalat Sunnah
di seluruh waktunya, dia memerlukan istirahat pada sebagian waktu yang lain. Karena
beristirahat itu dapat membantu untuk beramal lebih semangat. Demikian juga
permainan itu dapat membantu untuk lebih serius, dan tidak ada yang tahan untuk
terus serius dan mempertahankan kebenaran, kecuali para nabi 'alaihimus salam.
Permainan merupakan obat hati bagi penyakit payah dan bosan, maka
sewajarnya kalau itu diperbolehkan. Akan tetapi tidak sepatutnya berlebihan,
sebagaimana tidak bolehnya berlebihan dalam mengambil obat. Jika demikian,
permainan dengan niat seperti ini bahkan bisa berubah menjadi ibadah. Ini bagi
orang yang tidak bisa menggerakkan pendengarannya dari hatinya sifat yang
terpuji dia dituntut untuk menggerakkannya, tidak sekedar menikmati dan
beristirahat saja. Karena itu sangat ditekankan bagi kita untuk berbuat
demikian agar sampai pada tujuan yang kita sebutkan. Yakni menunjukkan atas
kekurangan untuk mencapai puncak kesempurnaan. Sesungguhnya orang yang sempurna
adalah orang yang tidak memerlukan untuk menghibur dirinya dengan selain yang
haq. Tetapi kebaikan orang-orang salah itu adalah keburukan orang-orang yang
sangat dekat dengan Allah. Maka barangsiapa yang menguasai ilmu mental dan
cara-cara melunakkannya serta penggiringannya menuju yang haq, maka ia akan
mengetahui secara pasti bahwa sesungguhnya menghibur hati dengan cara-cara
seperti ini merupakan obat yang bermanfaat, tidak bisa dipungkiri lagi"25).
Demikian kata-kata Imam Ghazali, yang merupakan perkataan yang menarik dan
menggambarkan ruh Islam yang benar.
Post a Comment