IMAN
IMAN
Berbicara tentang iman , terlebih
dahulu kita harus memahami bahwa iman merupakan seperangkat nilai yang
seharusnya diresapi oleh setiap insan. Iman bukan hanya pengakuan , iman bukan
hanya tutur kata yang diucapkan lisan , bukan pula sekedar angan-angan yang
hampa. Tapi iman ialah keyakinan yang menuntut bukti secara nyata berupa amal
shaleh . Amal saleh inilah yang menjadi bukti berseminya iman didalam hati
seseorang. Berdasarkan kenyataan itu , maka seharusnya semua orang dapat
menerjemahkan hakikat iman dialam yang abstrak , menjadi amal yang shaleh
dialam yang nyata.
Karena itulah Hasan Basri berkata :
”Iman bukan hanya angan-angan dan juga bukan hanya perhiasan. Tapi iman
ialah sesuatu yang bersemi didalam hati dan dibuktikan kebenarannya dengan amal
perbuatan”.
Jadi hakekat iman harus dipelajari dan diresapi dengan kesungguhan.
Sehingga iman itu tidak seperti kulit dan getah yang melekat pada batang sebuah
pohon, melainkan seperti akarnya. Sehingga iman tidak sekedar ada , tapi justru
yang menghidupi, sebagai inti dan hati pohon itu. Iman itulah yang dapat
menumbuhkan buah yang lezat. Buah itu tidak lain merupakan bukti kebenaran iman
seseorang. Dengan demikian, iman bukanlah sekedar tutur kata yang diucapkan
lisan. Iman menuntut bukti nyata berupa perbuatan yang sejalan dengan ucapan
lisan.
Sebagaimana Firman Allah s.w.t. :
105. Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan
Rasul-Nya serta orang-orang mu'min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan
dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata,
lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan".(At-Taubah
: 105 )
Jadi iman dapat menumbuhkan dan
mengembangkan watak asli manusia. Watak asli yang tumbuh dari fitrahnya, yang
cenderung berorientasi pada nilai yang berunsur positif dan bersifat dinamis.
Semua itu dapat terjadi selagi iman masih bersemayam dan bersemi didalam hati.
Sebab iman itu bisa membuktikan hakekat zatnya dalam bentuk amal shaleh dan
motivasi untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Tapi sayang, kini kita dihadapkan pada suasana kehidupan yang baru . Kita
terdorong untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip iman dan
ajaran Islam. Seakan kita dipaksa
untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya bukan dari ajaran Islam .
Karena itu Islam tidak bertanggung jawab atas akibat yang ditimbulkan .
Bila suatu perbuatan tidak didasarkan pada iman yang hak, maka perbuatan itu
pasti dikendalikan oleh hawa nafsunya. Hawa nafsu yang ditunggangi oleh
perasaan sombong. Lalu apa yang terjadi
? Kenyataan menunjukkan dengan jelas bahwa hingga kini telah banyak timbul
berbagai perselisihan, permusuhan dan berbagai bentuk perpecahan. Semua itu
cenderung menimbulkan pertumpahan darah, sejak tingkat paling rendah (pribadi)
sampai yang paling tinggi (internasional).
Pada suatu ketika Umar bin Khatab mengirim sepucuk surat kepada Abdullah
bin Abbas r.a. Isi surat itu antara lain : ” Mengapa umat ini berbeda-beda ?
padahal kitabnya satu, Nabinya satu, dan kiblatnya juga satu. Ibnu Abbas
menjawab : ” Wahai amirul mukminin, sesungguhnya Al-Qur’an telah diturunkan
kepada kita . Lalu kita membacanya . Kita mengetahui mengapa Al-Qur’an itu
diturunkan . Setiap kaum punya pendapat dan pengertian tentang Al-Qur’an
itu . Maka apabila setiap kaum sudah
punya pendapat dan pengertian sendiri , pasti akan terjadi perselisihan paham.
Setelah itu maka mereka akan saling berperang.” (Riwayat Sa’id bin Mansyur
dalam kitab sunnahnya).
Tapi ada bencana yang lebih berbahaya , bahkan lebih dahsyat dari itu .
Bencana tersebut ialah bila umat Islam sendiri sudah mengetahui atau bahkan
lebih mengerti tentang adanya perbedaan pendapat dan pengertian itu, tapi
justru membicarakannya didalam rapat atau didalam pertemuan. Pembicaraan yang
seringkali disertai kerlingan mata untuk mengejek lawan bicaranya. Kondisi
semacam itu sungguh membahayakan. Karena
itu perlu dikembalikan pada kondisi yang stabil. Untuk itu jalan yang terbaik
ialah umat Islam harus mau membersihkan diri dari segala godaan nafsu dan
menjauhkan diri dari sifat membanggakan diri. Disamping itu umat Islam harus
mengikuti Sunnah Rasulullah dan sahabat-sahabat beliau. Karena mereka itu telah
menunjukkan kepada kita jalan yang lurus. Dalam hal ini ada baiknya kita
mengingat pesan yang diberikan oleh Abdullah bin Mas’ud kepada kita , pesan
itu ialah : ” Kita hanya mengikuti
ajaran agama yang lalu, bukan memulai ajaran baru. Kita hanya mengikuti ajaran
yang lalu , bukan menciptakan ajaran yang baru. Kita tidak akan tersesat selagi
berpegang teguh kepada peninggalan yang lalu ( ajaran Rasulullah yang diikuti
orang-orang sesudahnya ).
Jalan yang hendak kita lalui dan jarak yang hendak kita tempuh sudah jelas.
Kitabullah dan Sunnah Rosulullah telah tegak dan berdiri ditengah-tengah kita.
Keduanya sebagai mercusuar yang membuat kita tidak akan tersesat. Karena itu ,
orang yang berpedoman pada keduanya, tidak berpedoman pada kehendaknya sendiri.
Tidak pula berpedoman pada kehendak makhluk disekitarnya. Maka dialah orang
yang benar dan yang mengikuti jalan yang lurus. Dengan demikian berarti dia
telah mengantarkan dirinya lebih cepat menuju tujuan.
Sungguh tepat yang dikatakan oleh Imam Syamsuddin Ibnul Qayyim dalam
Al-Madarij. Diantaranya dia mengatakan : ” Didalam hati setiap orang harus ada
2 macam hijrah, yaitu : pertama, hijrah kepada Allah dengan bertauhid, meng
EsakanNya. Selain itu juga ikhlas, bertobat,cinta kepada Allah dan takut
terhadap azabNya. Bahkan harus selalu mengharapkan ridha Allah dan sadar bahwa
dirinya hamba Allah.
Kedua, hijrah kepada Rasulullah dengan menjadikan beliau sebagai tempat
merujuk dalam pelaksanaan hukum. Menyerahkan diri dan mematuhi semua ketentuan
hukum yang ditetapkannya. Singkatnya, menerima semua ketentuan hukum yang
diberikannya baik lahir maupun batin”.
Orang yang punya hati seperti yang disebutkan diatas itu, ibadahnya lebih
agung dan lebih mulia dari pada ibadah orang yang selalu minta dituntun orang
lain. Seperti halnya seorang pengendara yang dituntun oleh penunjuk jalan pada
malam yang gelap gulita, dijalan yang banyak tikungan dan banyak pula
persimpangan. Orang yang didalam hatinya tidak terdapat kedua hijrah tersebut
sebaiknya kita bimbing , kita mantapkan imannya, agar dapat memperoleh cahaya
iman yang sebenarnya. Ini penting dan harus kita lakukan, sebelum pintu hatinya
tertutup dari cahaya iman . Sehingga dengan demikian dia dapat selamat dalam
menempuh shirath (sebuah jalan sebesar rambut yang amat tajam, yang
dipancangkan diatas api neraka kelak diakherat).
Sekarang mari meneliti kembali iman kita masing-masing sampai kesumber
pokoknya. Hal itu dimaksudkan agar kita mengetahui cahayanya. Caranya ialah
dengan mempelajari dan memahami cabang-cabang Iman, yang akan kita bahas pada
pokok bahasan berikutnya. Setelah kita pahami, maka akan lebih baik bila kita
ikut memberi tahukannya kepada orang lain.
Semoga Allah senantiasa berkenan melimpahkan rahmat serta hidayahNya kepada
kita dan semoga Dia juga berkenan menjauhkan hati kita dari jalan yang sesat.
Post a Comment