ITSAR, PUNCAK UKHUWAH
ITSAR, PUNCAK UKHUWAH
Tujuan
Instruksional
Setelah
mendapat materi ini peserta dapat:
- Memahami tuntutan ukhuwah Islamiyah.
- Berusaha meningkatkan kualitas ukhuwah sampai pada puncaknya yaitu Itsar.
- Melatih diri untuk itsar kepada ikhwah satu usrahnya dan berupaya agar hal itu menjadi kebiasaannya.
- Merasa bahagia bila bisa menerapkan prinsip itsar ini
Titik
tekan materi
Keharusan
mengaplikasikan ukhuwah Islamiyah
demi tegaknya da’wah dan harakah. Mempraktekkan
itsar di lingkungan usrahnya.
Menperbanyak program-program amali yang mendukung tercapainya itsar.
Pokok-pokok
materi
1. Makna itsar
menurut bahasa dan istilah
2. Urgensi dan keutamaan itsar dalam Islam
3. Contoh-contoh itsar di generasi salafus shalih
4. Tafsir ayat 8 dan 9 surat Al-Hasyr
5. Ukhuwah antara idelita dan realita
Maraji’
Fiqhul Ukhuwah
Islamiyah, Dr Abdul Halim Mahmud; Risalatul Usrah; Imam As Syahid Hasan Al-Bana; Khuluq Al muslim; Muhammad Al
Ghozali; Mensucikan jiwa; Said Hawa; Ihya ‘Ulumuddin; Imam Al Ghazali; Mamarratul
Ukhuwatul Islamiyah; Abdullah Nashih Ulwam
Mukadimah
“Innamal mukminuna ikhwah. Faaslihu baina akhawaikum” (QS 49 : 10)
“Sesungguhnya mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah orang-orang yang
berselisih diantaramu”
“Innal muslim akhul muslim” (sesungguhnya muslim itu saudara bagi muslim
lainnya)
Ukhuwah Islamiyah atau
persaudaraan Islam adalah sarana
efektif dalam dakwah fardhiyah, selain itu ia juga memberikan sekaligus manfaat
duniawi, ukhrawi, dan diniyah.
Persatuan dan persaudaraan yang paling kekal adalah jika didasari
kesamaan dan kesatuan aqidah. Jadi asas pemersatu yang paling kuat dan langsung
adalah kesatuan aqidah.
Dalam QS 3 : 103 nampak jelas bahwa Allah yang mempersatukan hati-hati
manusia dan menjadikan mereka bersaudara. Jadi ukhuwah Islamiyah, ta’liful qulub (persatuan hati) adalah kerja Allah dan
bukan manusia.
Hanya saja manusia harus berikhtiar lebih dulu dengan sama-sama
berpegang teguh kepada tali Allah (yakni Al Islam) dan berusaha menyelaraskan
diri dengan Islam serta memperbaiki hubungan antar sesama manusia. (QS 8 : 1).
Bila sudah demikian insya Allah ukhuwah
Islamiyah akan terwujud dengan sendirinya.
Dalam harakah dikenal paduan antara iltizam yang sempurna dan ukhuwah Islamiyah. Bila yang ada hanya disiplin yang sempurna
(iltizamul kamil), maka suasana akan terasa kaku, kering, gersang seperti di
markas militer. Sedangkan bila
hanya sibuk dengan masalah ukhuwah tetapi mengabaikan iltizam, disiplin maka
akan seperti sekumpulan orang tanpa arahan dan bimbingan.
Pribadi-pribadi
muslim yang shalih/shalihah yang memiliki iltizam yang baik namun tetap
diwarnai ukhuwah, bila bersatu padu dan bekerja sama akan seperti bangunan yang
kokoh.
1. Ukhuwah
Islamiyah dapat sekaligus memberi manfaat duniawiyah, diniyah, dan
ukhrawiyah.
a. Ditilik dari manfaat duniawiyah, ukhuwah Islamiyah dapat membuat seorang muslim
dapat terkena imbas manfaat rizki dan kedudukan yang dimiliki saudaranya
sepanjang tidak melenceng dari jalur kebenaran. Sikap seorang muslim yang baik, ia tidak akan pernah iri ataupun hasad
terhadap kelebihan-kelebihan rezeki, kedudukan, keilmuwan dll yang dimiliki
saudaranya. Bahkan seharusnya ia ikut merasa bersyukur karena ia pun dapat
terkena efek positif dengan segala kelebihan yang dimiliki saudaranya. Kalau
perlu dan mampu sebaiknya bahkan ia turut berpacu dalam kebaikan agar
bermanfaat bagi orang lain.
Imbas manfaat memang tidak
boleh menjadi tujuan utama dalam menjalin ukhuwah, tetapi sekedar efek samping
yang harus disyukuri. Misalnya punya teman, saudara seaqidah yang pandai dalam
bidang matematika kita bisa belajar darinya. Atau punya teman dokter, maka ia
bisa menjadi konsultan kesehatan bagi kita, kapan saja kita butuh pertolongan
medis, ia siap sedia menolong kita.
Jika
imbas manfaat (intifa’) dijadikan tujuan utama, dikhawatirkan kita akan
bersikap memilih-milih dalam berteman dan menda’wahi seseorang. Kemungkinan
besar kita hanya mau berteman atau menda’wahi orang-orang yang kira-kira
menguntungkan kita.
Manfaat
duniawiyah yang kedua adalah kita akan memiliki soliditas dan kekompakan dalam
hal kemaslahatan atau kebaikan. Kita akan tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa serta saling bercermin
karena Rasulullah SAW. Juga
besabda sesungguhnya, mukmin cermin bagi saudaranya yang lain kemudian Umar ra
pernah mengatakan pula bahwa kalau bukan karena tiga hal, niscaya ia tidak akan
betah hidup di dunia. Ketiga hal tersebut ialah:
-
Memiliki
kuda perang terbaik yang digunakan untuk berperang di jalan Allah Taala.
-
Bersusah
payah di waktu malam (qiamul lail)
-
dan
bergaul dengan orang-orang yang sidiq (benar dalam sikap, lisan, dan
perbuatannya).
b. Ditilik dari
manfaat diniyah (dari segi agama) paling tidak ada lima hal yang dapat
diperoleh seseorang bila ia senantiasa menjaga ukhuwah Islamiyah.
1. Saling mencintai di jalan Allah Taala.
Orang yang saling mencintai di jalan Allah Taala akan dapat merasakan manisnya
iman, memperoleh naungan di hari kiamat (hadits 7 golongan, di antara
orang-orang yang saling mencintai karena Allah Taala, menjadi sebaik-baiknya
sahabat di sisi Allah Taala dan akhirnya akan memperoleh mimbar dari cahaya di
hari kiamat)
2. Tolong-menolong dalam ketaatan.
Orang-orang yang berukhuwah akan selalu siap tolong-menolong dalam kebaikan dan
ketaatan kepada Allah Taala dan Rasul-Nya. Di jaman Rasulullah hal itu jelas
terlihat seperti menolong biaya orang yang akan menikah, sesama muslimah
meminjamkan pakaian bagus agar saudarinya juga bisa hadir di shalat Idul Fitri
atau Idul Adha, meminjamkan uang tanpa bunga. Jadi bukan menolong orang karena
ada maksud-maksud tertentu atau ingin meraih keuntungan yang lebih besar.
3. Mensucikan, mengagungkan Al haqq atau
kebenaran. Dalam QS 103:3 disebutkan bahwa hendaknya kita saling
tolong-menolong mengingatkan untuk menepati kebenaran dan untuk bersabar. Orang
yang berukhuwah akan bahu membahu menegakkan kebenaran. Persahabatan mereka tulus karena sama-sama
mencintai kebenaran.
4. Persamaan dan kesejajaran, Firman Allah
Taala QS 49:13 “Inna akramakum ‘indallahu atqaakum” benar-benar
diwujudkan oleh orang-orang yang berukhuwah. Mereka benar-benar sadar dan merasa bahwa manusia sama, sejajar, setara
di hadapan Allah Taala. Yang membuat seseorang lebih tinggi derajatnya di
hadapan Allah Taala adalah jika kadar ketakwaannya lebih tinggi. Dalam hadits
di tegaskan bahwa Allah Taala tidak melihat perbedaan fisik atau
atribut-atribut duniawi melainkan langsung ke dalam hati manusia. Karena itu
dalam Islam baik Abu Bakar yang bangsawan Arab berkulit putih maupun Bilal
bekas budak berkulit hitam, kedua-duanya merupakan sahabat-sahabat yang wajib kita
hormati dan kita teladani. Dan kedua-duanya sudah diketahui akan masuk surga,
padahal mereka masih hidup saat itu.
5. Saling menghormati. Sesama muslim yang
berukhuwah akan saling menghormati satu sama lain. Mereka juga saling berlomba memberi salam lebih
dulu. Dalam hadits dikatakan Rasulullah saw., “Bukan termasuk golongan kami
orang yang tidak menghormati orang-orang yang lebih tua dan menyayangi
orang-orang yang lebih muda”
6. Itsar: Mementingkan saudara seaqidahnya lebih dari
dirinya sendiri. Bisa dikatakan bahwa itsar
adalah puncak ukhuwah Islamiyah. Bila
bentuk minimal ukhuwah adalah “Salamatus Shodr”, kelapangan dada terhadap
saudara seiman maka Itsar adalah
bentuk maksimal ukhuwah itu sendiri.
c. Dan
akhirnya manfaat tertinggi dan hakiki adalah manfaat ukhrawi yakni balasan
optimal yang akan di peroleh di akhirat kelak. Ribathul Ukhuwah (ikatan
ukhuwah) dan Ribathul Jamaah (ikatan jamaah) yang terjalin kuat di dunia insya
Allah akan berlanjut di akhirat nanti.
Yang jelas
tiga hal akan diterima orang-orang yang senantiasa menghidupkan ukhuwah, yakni:
1. Mendapat mimbar dari cahaya pada saat
menunggu dihisab.
2. Mendapat pertolongan atau naungan Allah
Taala di hari dimana tak ada pertolongan selain
pertolongan-Nya.
3. Mendapat Al-Jannah (surga)
1. Itsar, puncak ukhuwah
a. Makna Itsar
Secara
bahasa itsar berarti mementingkan
orang lain lebih dari diri sendiri. Dari segi fitrah setiap manusia yang masih
terjaga fitrah kemanusiaannya juga dapat berbuat mulia, mementingkan orang lain
dan bukan diri sendiri serta menolong orang lain tanpa memikirkan diri sendiri.
Di Inggris pernah terjadi kasus penyelamatan seorang anak yang jatuh di rel
kereta api oleh seorang laki-laki. Alhamdulillah anak itu bisa diselamatkan,
namun sebelah tangan laki-laki itu putus tersambar kereta api yang melaju
kencang. Mungkin seumur hidupnya anak tersebut takkan bisa melupakan jasa
seseorang yang rela mengorbankan sebelah tangannya untuk menyelamatkan
nyawanya.
Dari segi
istilah, itsar adalah salah satu
manfaat diniyah (manfaat keagamaan) yang terwujud bila terjalin ukhuwah di
antara orang-orang yang seaqidah. Ia juga dikatakan wujud maksimal ukhuwah Islamiyah yang dimiliki seseorang.
Dalam rangka menggapai mardhatillah semata, seorang muslim bersedia berkorban
mendahulukan kepentingan orang lain di atas dirinya sendiri.
b.
Urgensi dan keutamaan Itsar
Dalam QS
9:128 digambarkan sifat-sifat Rasulullah saw. yang mudah berempati pada
penderitaan orang lain, senantiasa menginginkan kebaikan bagi orang lain dan
santun serta pengasih dan penyayang terhadap sesama mukmin.
Kehidupan
di dunia yang jauh dari sifat-sifat mulia akan dipenuhi keserakahan dan
keegoisan, nafsi-nafsi, lu-lu, gua-gua. Semuanya mementingkan diri dan
keluarganya saja termasuk para pemimpinnya yang mengidap penyakit kronis berupa
KKN. Kehidupan yang individualistis (nafsi-nafsi) egoistis (mementingkan diri
sendiri) dan apatis (masa bodoh terhadap orang lain) adalah cerminan masyarakat
yang tidak menegakkan ukhuwah Islamiyah.
Contohnya
kehidupan di masyarakat metropolis atau kosmopolis ada seorang tunawisma yang
meninggal di dekat tempat sampah lalu di bawa ke RSCM akhirnya dikuburkan tanpa
kehadiran sanak saudaranya. Atau orang-orang tua yang ditaruh di panti-panti
jompo. Jarang dijenguk dan menjalani proses sakaratul maut sendirian tanpa didampingi
atau ditalkinkan anak-cucu. Benar-benar
mengenaskan. Sulit kita membayangkan keridhaan dan keberkahan Allah Taala akan
tercurah kepada masyarakat yang jauh dari nilai-nilai kebaikan tersebut.
Rasulullah
mengatakan bukan dari golongan kami orang yang tidur dalam keadaan kenyang
sementara tetangganya kelaparan. Begitu pula di hadits lain “Bukan golongan
kami orang yang tidak peduli pada urusan orang Islam”
Jadi sifat itsar sangat penting untuk memerangi
sifat-sifat buruk seperti egois, kikir, individualis dsb serta menumbuhsuburkan
sifat-sifat mulia seperti peduli, empati, pemurah dll.
Keutamaan
orang yang berbuat itsar di dunia ia
akan dicintai oleh orang-orang yang pernah merasakan kebaikannya dan mempererat
ukhuwah serta di akhirat nanti akan mendapatkan mimbar terbuat dari cahaya,
naungan dan lindungan Allah Taala serta Al-Jannah (surga)
c. Itsar generasi salafus
shalih
Rasulullah
pernah bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq
manusia.” Dan beliau dengan pujian Allah Taala dalam QS 68:4 dan QS 9:128
yang sudah dicantumkan di bagian terdahulu tulisan ini menggambarkan sosok
beliau yang mudah berempati, peka dan peduli terhadap penderitaan orang lain.
Kemudian selalu menginginkan kebaikan bagi orang lain dan bersifat santun serta
kasih sayang terhadap mukmin.
Bukti
kemampuan berempati beliau, terlihat saat beliau segera tahu bahwa Abu Hurairah
kelaparan tanpa harus diberitahu, padahal sebelumnya Abu Bakar dan Umar pun tak
bisa menangkap sinyal-sinyal Abu Hurairah butuh bantuan.
Beliau tidak
pernah menolak siapa saja yang minta bantuan dan pertolongan beliau padahal
beliau sendiri sering kelaparan seperti nampak pada kisah beliau, Abu Bakar dan
Umar ra sama-sama lapar dan dijamu makan oleh Abu Ayyub Al Anshari. Beliau
meneteskan air mata kemudian berucap, “Kelak kalian akan ditanya akan nikmat
ini, ketika kalian pergi dari rumah dalam keadaan lapar dan pulang dalam
keadaan kenyang”
Beliau hidup
sangat sederhana dan tidur di atas tikar jerami sampai Umar menangis melihatnya
dan Fatimah kelak bersyair di tepi kuburan bapaknya, “Ya ayahhandaku
punggungnya penuh dengan bilur-bilur tikar”. Tetapi beliau tidak mau tikarnya
itu dilipat terlalu banyak di bagian atasnya sebagai bantal karena takut
tidurnya terlalu nyenyak bila terlalu empuk, sehingga khawatir tidak bisa
bangun shalat malam.
Rasulullah
juga menegaskan bahwa dunia bukan dari dan untuk keluarga Muhammad di saat
Fatimah mendapat perhiasan, bagian dari rampasan perang hingga akhirnya
putrinya mengembalikannya. Ia juga menasihati Fatimah dan Ali dengan
bacaan-bacaan dzikir pada saat mereka minta khadimah dari tawanan perang.
Rasulullah juga menghukum keras istri-istrinya yang meminta penghidupan (maisah)
yang lebih dan perhiasan dengan cara mengasingkan diri selama sebulan hingga akhirnya
Allah menawarkan opsi dalam wahyu-Nya di surat
At Tahrim. Apakah istri-istri nabi tersebut memilih nabi dan kehidupan akhirat
ataukah dunia. Tentu saja mereka memilih Rasulullah dan surga kelak walaupun
kini hidup prihatin di dunia. Terlihat betapa Rasulullah lebih mementingkan
yang lain ketimbang diri dan keluarganya karena pada saat yang bersamaan beliau
ridha saja para sahabat dan istri-istrinya hidup berkecukupan dan memakai
perhiasan hasil rampasan perang serta memiliki khadimah.
Bahkan sampai
di saat-saat terakhir kehidupannya pun beliau tetap memikirkan umatnya dan
bukan dirinya dan keluarganya sehingga ia tidak mewariskan apa-apa bagi
keluarganya. Ucapan yang keluar dari mulut beliau di akhir kehidupannya adalah,
“Ummati….Ummati….” (Umatku…Umatku…)
Keteladanan
Rasulullah saw. dalam hal tersebut ternyata membias pula pada sahabat-sahabat
yang utama seperti Abu Bakar, Abu Thalhah atau istri-istri beliau seperti
Khadijah, Aisyah dan Zainab binti Jahsy serta Saudah binti Zum’ah.
Suatu saat
ketika terjadi pengumpulan dana untuk berjihad fisabilillah semua sahabat
berlomba-lomba untuk menginfaqkan segala yang dimilikinya.Termasuk
sahabat-sahabat yang utama seperti Abu Bakar, Umar dan Utsman. Kemudian
Rasulullah bertanya kepada Umar, “Bagitu banyak yang kau infaqkan Umar, adakah
yang tersisa untuk keluargamu?” Umar pun lalu menjawab, “Sebanyak itu pula ya
Rasulullah”. Jadi istilahnya fifty-fifty, atau separuh-separuh. Jawaban
seperti itu pun meluncur pula dari lidah Utsman ketika ditanya juga oleh Rasulullah
dengan pertanyaan yang sama. Namun tatkala pertanyaan tersebut diajukan kepada
Abu Bakar As shidiq ra, jawabannya sungguh mencengangkan dan menimbulkan decak
kagum.
“Untuk
keluargaku kutinggalkan Allah dan Rasulnya” Artinya keseluruhannya (100%) diinfaqannya
di jalan Allah, sedangkan urusan keluarganya ia pasrahkan kepada Allah. Umar
sampai berucap, “Sungguh aku tak akan bisa mengalahkan Abu Bakar
selama-lamanya”
Begitu pula,
pada saat Abu Bakar pergi hijrah mendampingi Rasulullah. Dananya dihabiskan
untuk membiayai kepergiannya hijrah bersama Rasulullah. Namun istri dan putri-putrinya memang luar biasa
pula. Ketika kakek Asma atau ayah Abu Bakar yakni Abu Quhafah marah-marah
kepada Abu Bakar yang dianggapnya tidak bertanggung jawab meninggalkan keluarganya
begitu saja, maka Asma menenangkan kakeknya yang buta itu dengan
memperdengarkan bunyi kerikil-kerikil seolah itu kepingan dirham yang banyak. “Tenang saja kek, ayah tidak menyia-nyiakan
kami”, ujar Asma. Barulah Abu
Quhafah menjadi tenang.
Ada lagi
kisah itsar yang sangat indah dan
diabadikan oleh Allah dalam QS Al-Hasyr ayat 8 dan 9. Dalam terjemah singkat
tafsir Ibnu Katsier jilid 8 diungkap tentang itsar yang ditunjukkan orang-orang Anshar terhadap saudara-saudara
mereka kaum muhajirin (QS 59:8)
Demi iman dan pembuktiannya kaum muhajirin meninggalkan sanak saudaranya,
harta benda, dan kampung halamannya. Seperti Shuaib bin Sinan Ar Rumy yang
dihadang dan dipaksa menyerahkan seluruh harta bendanya, dan Rasulullah saw.
bersabda : ‘Beruntunglah Abu Yahya (Shuaib) dengan perniagaannya (artinya
rela melepas harta benda dunia dengan keridhoan Allah da Rasul-Nya).
Ukhuwah Islamiyah yang dilandasi iman membuat
suku Aus dan Khazraj di Yatsrib (kemudian menjadi Madinah) yang dahulunya
bertikai menjadi damai dan bersaudara (QS 3:103) Kemudian, membuat kaum
muhajirin yang datang dari Mekkah bersatu dengan kaum Anshar (penduduk asli
Yatsrib) yang bersedia menolong dan menampung saudara-saudara seiman tersebut.
Ketika
sahabat-sahabat Nabi saw. kaum muhajirin tiba di Yatsrib (Madinah), mereka
segera dipersaudarakan dengan orang-orang Anshar. Di antaranya Abdurrahman bin
Auf dengan Sa’ad bin Raby yang kemudian menawarkan separuh hartanya dan 1 dari
2 istrinya untuk Abdurrahman bin Auf. Jika Sa’ad memiliki sifat itsar, maka kebalikannya Abdurrahman bin
Auf memiliki sifat iffah (memelihara diri dari meminta-minta). Ia menolak halus tawaran Sa’ad bin Raby dan
hanya minta ditunjukkan pasar. Ia pun berusaha sampai berhasil dalam
perniagaannya bahkan merintis dan membangun pasar Ukaz yang menandingi pasarnya
Yahudi.
Di ayat
kesembilannya disebutkan ada orang Anshar yang tulus mencintai, tanpa pamrih
dan dan mengutamakan kawan lebih dari diri sendiri, meskipun mereka merasa
lapar. Dan siapa yang
dipelihara dari kekikiran dirinya, merekalah orang yang berbahagia dan
beruntung.
Dalam hadits
riwayat muslim dari Abu Hurairah, sepasang suami istri yang memenuhi perintah
Rasulullah untuk memberi makan musafir yang kelaparan itu adalah Abu Thalhah
dan Ummu Sulaim/ Rumaisha binti Milhan. Mereka sendiri malam itu segera
menidurkan anak-anak mereka yang lapar dan berpura-pura makan agar tamu mereka
makan dengan tenang. Padahal yang sedang disantap oleh tamu mereka itu adalah
saru porsi terakhir yang mereka miliki hari itu.
Di ayat 9 tersebut
Allah menegaskan “Wa yu’ tsiruuna alaa anfusihim walau kana bihim khashan’shah”
(mereka itsar terhadap orang lain dibanding ke diri mereka sendiri walaupun
mereka sendiri kelaparan)
Ketika
keesokan hari Rasulullah berjumpa dengan Abu Thalhah, beliau bersabda, “Sungguh
Allah sangat gembira (tersenyum) menyaksikan perbuatan Anda berdua”
Hampir kesemua
istri Nabi saw. menunjukkan sifat pemurah dan itsarnya. Istri pertama yang paling dicintainya, dan tak pernah
dapat dilupakannya: Khadijah menunjukkan itsar
saat Rasulullah meminta pembantu Kahdijah: Zaid bin Haritsah untuk menjadi
pembantunya. Beliau juga menginfqkan seluruh harta kekayaannya untuk perjuangan
fisabilillah menyebarkan agama Islam.
Istri
Rasulullah seperti Zainab binti Jahsy yang pandai berwiraniaga juga terkenal
dermawan dan suka membantu orang lain. Saudah
bunti Zum’ah istri Rasulullah yang walaupun hanya berjualan roti kuah ala Thaif
pun ikut berinfaq dengan hasil dagangannya.
Ummul mukminin
Aisyah ra yang terkenal kepandaiannya sekaligus juga kedermawanannya pernah
mendapat uang 40.000 dirham dari baitul mal. Oleh Aisyah harta itu segera di
bagi-bagikan kepada fakir miskin sampai-sampai lupa menyisihkan sedikit saja
untuk dirinya. Sampai ditegur Ummu Burdah yang membantunya, “Ya Ummul mukminin
kenapa tak kau sisihkan sedikit saja untuk membeli makanan berbuka, bukankah
engkau sedang berpuasa,” “Ya Ummu Burdah, kenapa tadi tak kau ingatkan”, jawab
Aisyah tenang.
Kisah itsar yang sangat heroik terjadi pada
saat perang Yarmuk. Ikrimah bin Abu Jahl seorang mujahid bersama dua sahabat
yang lain terbaring dengan luka-luka sangat parah. Ketika seorang sahabat
hendak memberinya minum, ia menolak dan menyuruh air itu diberikan ke teman di
sebelahnya. Ketika air itu akan diberikan kesebelahnya, orang tersebut juga
menyuruh diberikan lagi ke sebelahnya pula. Ia memilih mengalah pula pada
saat-saat yang penting tersebut. Namun orang ketiga yang dimaksud sudah
meninggal, ketika kembali lagi si pemberi minum ke sahabat yang tengah,
ternyata ia sudah syahid juga. Dan ketika beranjak ke Ikrimah, ia pun telah
syahid. Subhanallah dalam detik-detik terakhir kehidupan atau di saat-saat
kritis sekalipun mereka tetap menjaga itsar
mereka.
Penutup
Hal yang
sangat kontras terjadi pada kita, saat kita menoleh ke kondisi umat Islam saat
ini yang terpecah-pecah, tercabik-cabik dan terkotak-kotak.
Doa Nabi saw.
yang dikabulkan saat meminta umatnya diselamatkan dari bahaya banjir dan
kelaparan dan tidak dikabulkan saat meminta umatnya diselamatkan dari bahaya
perpecahan, seyogianya membuat kita berfikir bahwa kerja mempersatukan umat
adalah kerja besar yang harus diikhtiarkan secara maksimal baru kemudian Allah
berkenan membantu (QS 13:11)
Bila kita melihat QS 3:103, nyata jelas bahwa
hanya dengan sama-sama I’tisham bi hablillah (berpegang teguh di jalan Allah)
sajalah, persatuan hati dan persaudaraan akan terwujud.
Wallahu a’lam.
Post a Comment