KHOTBAH IDUL FITRI
KHOTBAH IDUL FITRI
Assalamu'alaikum
Wr.Wb.
Alhamdulillah,
kiranya para hamba Allah di pagi hari ini mempunyai dua perasaan yang berbeda
yang mungkin bertolak belakang. Di satu sisi gembira karena baru saja selesai
malakukan ibadah puasanya selama sebulan penuh; kita puasa disiang hari untuk
mendirikan shalat malam (tarawih) membaca kitab suci Al-Quran dan berbagai
bentuk ibadah lainnya. Nabi Mohammad saw bersabda: “Barang siapa melakukan
puasa disiang hari pada bulan Ramadhan karena dorongan iman dan karena
mengharap pahala dari Allah, maka Allah swt akan memberikan ampunan atas
segala dosanya dimasa yang lalu. Barang siapa yang mendirikan shalat di malam
hari di bulan Ramadhan karena dorongan iman dan mengharap pahala dariNya,
Allah swt akan memberi ampunan atas segala dosanya dimasa yang lalu.
Dilain
pihak, saudara-saudara sekalian, mungkin kita pula khawatir sebab kita telah
banyak melakukan banyak kegiatan ibadah selama bulan puasa, tapi kita
ternyata tidak mendapat apa-apa dari bulan puasa itu. Sebagaimana Nabi
Muhammad saw bersabda: “Banyak orang yang menjalankan ibadah puasa di bulan
Ramadhan, tapi mereka tidak dapat apa-apa kecuali hanya lapar dan dahaga. Banyak
orang yang melakukan shalat Tahajud dimalam bulan Ramadhan, tapi mereka tidak
dapat apa-apa kecuali rasa mengantuk.
Saya
yakin bahwa setiap orang islam sadar bahwa semua bentuk ibadah-ibadah ritual
dalam Islam memiliki dampak-dampak sosial (social impact). dalam kehidupan
kita, termasuk tentunya puasa di bulan Ramadhan. Puasa sendiri mempunyai
kedudukan yang khusus dalam islam. Seperti halnya Allah berfirman dalam
Al-Qur'an: Allah swt secara langsung menghubungkan antara keimanan sesorang
dengan ibadah puasanya, tapi tidak dengan shalat, ibadah haji, ataupun zakat.
Kenapa Allah swt menempatkan kedudukan ibadah puasa mempunyai hubungan
langsung dengan Iman kita, ini menunjukan bahwa ibadah puasa adalah suatu
ibadah yang mempunyai hubungan pribadi antara Allah swt dengan umatNya. Sabda
Nabi Muhammad saw dalam hadits Qudsi: Semua kegiatan amal ibadah sudah
diturunkan lewat semua keturunan Nabi Adam saw kecuali puasa, sebab puasa
hanyalah untukKU, dan akan saya beri pahalanya langsung nanti dihari
kemudian. Inilah janji Allah swt.
Itulah
sebabnya saudara-saudara sekalian, tujuan utama dari puasa adalah untuk
meningkatkan rasa taqwa yang lebih tinggi kepada Allah swt. Dan taqwa adalah
level yang tertinggi dari karakter manusia, sebagai sarana menuju kepada
kemuliaan yang tertinggi didalam masyarakat. Sebagaimana Allah swt katakan
dalam Al-Qur'an: "Yang termulia di antara kalian disisi Allah swt adalah
yang paling bertaqwa. Nabi Muhammad saw juga bersabda: Tiada kelebihan
suku/bangsa Arab di atas suku/bangsa yang bukan suku bangsa Arab, dan tiada
superioritas non Arab di atas Arab kecuali dengan ketaqwaan semata. Kalau hal
ini kita tarik dalam kenyataan hidup kita saat ini, maka tiadalah
superioritas orang perorang atau bangsa tertentu kecuali dengan ketakwaan
semata.
Ada
beberapa indikasi keberhasilan puasa yang telah kita lakukan:
Pertama: Meningkatkan keikhlasan.
Sebagaimana
saya katakan tadi bahwa ibadah puasa adalah suatu ibadah yang sangat personal
sifatnya antara seorang hamba dengan Allah swt. Untuk itu, puasa sudah
seharusnya melahirkan prilaku iklhlas yang tinggi dalam diri seorang hamba. Bahwa
sungguh hidupnya, ibadahnya, segala pengorbanannya dan bahkan matinya hanya
untuk Allah semata. Prilaku ikhlas ini akan menghindarkan seseorang dari
"kesyirikan" halus, termasuk kesyirikan kejiwaan, di mana seseorang
terkadang mencita, membenci bukan lagi karena Allah tapi demi seseorang. Padahal,
Rasulullah menggariskan bahwa prasyarat untuk mendapatkan cinta Allah adalah
karena mencintai dan atau membenci karena Allah semata. Jadi dengan melakukan
ibadah puasa itu keikhlasan kepada Allah swt akan semakin bermutu.
Kedua: Tumbuhnya Rasa Muraqabatullah
kita
yakin bahwa Allah swt mengetahui dan melihat segala hal yang kita lakukan. Sesungguhnya
tiada yang tersembunyi dari Allah SWT. Allah swt mempunyai kemampuan
segala-galanya, Allah swt mengawasi tindak tanduk kita. Mungkin contoh Umar
dapat menjadi tauladan bagi kita, bahwa suatu ketika beliau sedang melakukan
inspeksi di saat beliau menjabat sebagai khalifah, menemukan seorang ibu yang
seolah sedang memasak dengan kobaran api yang besar. Sementara anak-anaknya
di sekelilingnya pada menangis. Beliau mendekat dan menanyakan, apa gerangan
yang terjadi. Maka serta merta, sang perempuan yang tidak sadar kalau yang
hadir disampingnya adalah Khalifah, mencaci dan mengutuk Khalifah Umar. Khalifah,
menurut perempuan itu, tidak bertanggung jawab, tidak punya perhatian
sehingga kami kelaparan. Kami tidak memiliki apa-apa untuk di masak. Umar
bertanya: "Lalu masak apakah kamu?" Perempuan itu menjawab:
"Saya
merebus batu-batu dengan api ini agar anak-anak saya terhibur". Mendengar
jawaban itu, segera Umar kembali ke "baitul maal" mengambil
sekarung gandum dan beberapa lauk pauk. Karung itu digendong sendiri,
sehingga beberapa sahabat yang menemuinya di jalan berkeinginan agar karung
itu diambil dari sang Kahlifah. Namun dengan tegas Umar menjawab:
"Tidak, di hari kiamat nanti, anda tidak mungkin mengambil dariku dan
memikul tanggung jawab ini".
Umar
membawa gandum tersebut ke perempuan, lalu dimasakkannya, dan kemudian
disuapinya anak-anaknya. Setelah semua itu dilakukan, segera perempuan itu
dengan rasa malu bertanya: "Siapa gerangan engkau?". Umar menjawab:
"Saya adalah orang yang engkau katakan tidak bertanggung jawab tadi. Saya
melakukan ini karena mungkin apa yang engkau katakan tadi adalah betul. Untuk
itu, mohon maaf dan semoga Allah mengampuniku karena kelalaianku".
Itulah
kiranya prilaku seorang pemimpin yang punya "sense of
Muraqabatullah". Dia akan merasa bertanggung jawab, tidak saja kepada
rakyatnya tapi lebih penting adalah kepada Allah SWT diakhirat nanti. Bahkan
sejak itu, Umar mengeluarkan pernyataan yang dicatat oleh sejarah:
"Seandainya ada seekor keledai mati karena kelaparan di daerah
Palesitina, maka aku akan bertanggung jawab di akherat nanti".
Kisah
lain tentang Umar adalah suatu ketika beliau pernah melakukan perjalanan dari
Madinah ke Makkah. Di tengah jalan beliau bertemu dengan seorang pemuda yang
miskin, penggembala kambing. Umar mencoba ke-amanahan pemuda yang miskin,
tidak terdidik, dan bahkan hidup di tengah kampung tiada jauh dari kebisingan
kota. Umar berkata kepadanya: "Maukah anda menjual satu dari kambingmu
yang banyak itu?". Pemuda dengan tegas menjawab: "Saya bukan
pemilik kambing-kambing itu. Saya hanya penggembala". Oleh Umar dicoba:
"Katakan saja kepada tuanmu kalau seeokor srigala telah datang
memakannya". Tapi dengan sangat tegas pemuda itu menjawab:
"Faenallah" (lalu di mana Allah). Umar menangis dengan ketegasan
pemuda itu, dan keesokan harinya beliau menemui tuannya dan dibelinya kambing
itu sehingga pemuda itu bisa dibebaskan dari perbudakan. nilah seorang pemuda
yang memiliki "sense of Muraqabatullah", yaitu rasa perasaan yang
senanatiasa diawasi oleh Allah Yang maha Tahu dan Melihat. Saudara-sudara sekalian,
kisah Umar r.a ini dapat kita jadikan barometer dari sukses tidaknya kita
meraih makna puasa di masa-masa mendatang. Kalau semangat untuk untuk jujur
semakin meningkat, semangat untuk takut karena ada "Being" yang
selalu mengawasi walau tanpa inspektor dari manusia, maka puasa telah membawa
makna positif dalam kehidupan kita. Jika tidak, maka berarti kita telah gagal
untuk meraih buah moral dari puasa Ramadhan lalu.
Ketiga: Tumbuhnya Kepedulian Sosial
Puasa
adalah "riyadhah mubasyarah" (latihan langsung) untuk merasakan
kepedihan dan rintihan mereka yang kurang beruntung. Kita lapar, kita dahaga,
dan bahkan kita kurang tidur, semua itu melatih kita untuk menumbuhkan rasa
kepedualian terhadap berbagai ketidak beruntungan hidup yang ada di sekitar
kita. Islam menghendaki setiap seorang muslim untuk mengembangkan keimananya
secara pribadi, kita dituntut untuk menjadi manusia yang sholeh secara
individu. Tapi pada saat yang sama, Allah tidak menghendaki kita menjadi
seorang muslim yang egois. Kesalehan individu tidak pernah cukup untuk
dianggap menjadi kesalehan yang sempurna dalam Islam. Oleh sebab itulah maka
didalam Al-Qur'an Allah memberikan contoh bagaimana Askhabul Kahfi ketika
mereka berada dalam gua. Mereka mengatakan bahwa sesungguhnya kami menyembah
hanya Tuhan yang satu, yang meng indikasikan bahwa setiap individu diantara
mereka mengembangkan keimanan yang kuat, personal righteousness. Tapi pada
saat yang sama mereka juga mengatakan: "Mereka itu kaumku, telah
menjadikan sembahan-sembahan selain Allah".
Artinya,
seorang Muslim selain dituntut untuk menjadi hamba yang saleh secara
individu, juga dituntut untuk selalu "resah" (peduli) dengan
berbagai ketidak salehan yang ada di sekitarnya. Dan dalam persepsi saya,
ketidak salehan yang cukup meresahkan umat saat ini adalah "kebodohan
dan kemiskinan". Untuk itu, puasa seharusnya mempertajam jiwa kita yang
harus resah dengan penderitaan sesama Muslim di sekeliling kita. Rasulullah
saw mengatakan dalam haditsnya: "Tidak beriman diantara kalian, pada saat
kalian tidur nenyak karena kenyang , sementara tetangganya tidak bisa tidur
karena kelaparan". Seandainya kita menengok sekali lagi, dengan semangat
salaam atau keinginan untuk menebarkan "kesejahteraan" kepada siapa
saja di sekeliling kita (terutama di Indonesia), kita dapatkan betapa banyak
tetangga kita yang kelaparan. Puasa yang kita lakukan ini seharusnya
melahirkan suatu "Sense of Ulfah", suatu perasaan trenyuh/iba hati
terhadap kemiskinan yang diderita oleh saudara-saudara kita.
Sebagaimana
saya katakan tadi, ada dua beban berat yang dialami oleh saudara-saudara kita
di berbagai belahan dunia saat ini; Ignorence (Al-jahal) dan Poverty (al
Faqr). Dalam ini, Rasulullah saw sejak 15 abad yang lalu telah mengingatkan:
"Hampir saja kefakiran itu membawa kepada kekufuran". Akibatnya,
betapa di bulan Ramadhan sekalipun masih ada Saudari-Saudari seiman kita ada
yang melacurkan diri hanya karena tuntutan sesuap nasi. Oleh sebab itulah
saudara saudara sekalian, kita dapati bahwa betapa ada orang-orang Islam yang
murtad karena dua ini; miskin dan bodoh. Sementara di di negara-negara majud
seperti AS ini, orang masuk Islam karena makmur dan pintar. Mereka belajar
Islam dan alhamdulilah mereka confinced dengan kebenaran Al Islam. Kejadian
di negara-negara Islam inilah adalah pembuktian bahwa betapa kemiskinan sudah
menjadi alat kekafiran di berbagai negara Islam, termasuk negara kita
tercinta.
Anehnya,
umat islam seringkali lalai dari situasi ini. Bahkan terkadang in the name of
islam, in the name of obedience, justeru kita melanngar ajaran mendasar dari
ajaran agama kita. Kita masih sering mendengar kalau wanita Islam tidak perlu
ke masjid mendengar ceramah atau belajar agama karena nanti menjadi fitnah? Memang
betul, perlu aturan-aturan dan adab-adab di masjid kita, tapi melarang
perempuan ke masjid karena alasan fitnah justeru semakin menjadi fitnah. Pertama,
karena orang lain akan melihat justifikasi tuduhan bahwa Islam diskriminatif
terhadap kaum wanita. Kedua, mereka adalah the first hands to handle
our generation. Kalau mereka tidak
tahu, apa yang akan mereka ajarkan kepada anak-anak kita? Untuk itu, kita
harus benar jeli dalam melihat, mana ajaran Islam yang sesungguhnya dan mana
kultur setempat yang terkadang dianggap ajaran mendasar dari adama kita. Sebab
jika tidak, kita akan terperangkap dalam sikap yang justeru merugikan ajaran
Islam tapi kita merasa memperjuangkannya. Saudara-saudara sekalian, dalam S.
Al A'raf Allah mengaskan bahwa Rasul yang "ummy" (Rasulullah SAW)
punya tugas utama dalam tiga hal yang menjadi kewajiban kita mengikutinya:
Keempat: Keseimbangan Hidup
Saudara-saudara
sekalian, puasa seharusnya melahirkan prilaku hidup yang bertawazun (balance
of life). Kehidupan yang tidak imbang akan melahirkan beberapa bahaya:
Kelima: Sukses dengan Laelatul Qadr
Indikasi
terakhir berhasil tidaknya puasa kita Ramadhan ini adalah, mampukah kita
keluar dari Ramadhan ini dengan "laelatul Qadr?". Mampukah kita
keluar dengan kekuatan malam itu? Tapi apakah kekuatan malam itu? Apakah
shalat sunnah kita? Apakah dzikir kita? Sebenarnya jawaban yang paling tepat
adalah kita keluar dengan sebuah "means of power" yang didatangkan
pada malam itu, dan itulah dia Al-Qur'an. Maka seharusnya umat Islam, setelah
berakhirnya Ramadhan ini kembali melakukan "empowering" dengan
kekuatan Al Qur'an. Kita maju, kuat dengan Al Qur'an. Umat ini hanya bisa
maju, sukses, bahagia dengan petunjuk Allah SWT. Sebaliknya, umat ini tidak
akan pernah maju, sukses, bahagia dengan mengabaikan Al Qur'an.
Sayang
terkadang kita memahami laelatul Qadr dengan hanya shalat tahajjud
sebanyak-banyaknya, dzuikir sepanjang-panjangnya, shalat tasbih, dan berbagai
bentuk ibadah lainnya. Sementara konten dari Laelatul Qadr berupa Al Qur'an
kita abaikan. Semoga laelatul Qadr kali ini, tidak saja telah menyibukkan
kita dengan berbagai ritual tadi, tapi juga telah memotivasi kita untuk
mendalami Al Qur'an, elemen yang seusungguhnya menjadikan malam itu mulia.
Saudara-Saudara
sekalian, demikian lima poin indikator keberhasilan puasa kita. Kalau satupun
dari lima ini belum ada pada diri kita di masa mendatang, tentu kita patut
menyesal sekaligus berharap semoga kita masih hidup di masa depan, sehingga
kita bisa semakin meningkatkan kwalitas ibadah kita. Semoga puasa kita
diterima dan semoga dosa-dosa kita telah diampuni olehNya. Amin!
“Selamat
hari Raya saudara-saudar sekalian, Minal 'Idin wal faidzin.”
|
Post a Comment