"Allah" dalam Islam dan Kristen
"Allah" dalam Islam dan Kristen |
Konsep ketuhanan yang ada dalam Yahudi dan
Kristen lebih 'membingungkan; dibanding pengertian 'ketuhanan' yang dimengerti
dalam Islam
Bukan rahasia lagi bahwa umat
Islam secara umum, dan khusus di Indonesia banyak dihadapi berbagai tantangan
teologis. Dari “kristenisasi” terang-terangan hingga penggunaan istilah
keagamaan. Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan dialektika Islam-Kristen di
Indonesia menyisakan persoalan yang perlu diungkap dan diteliti secara
serius.
Beberapa tulisan para pendeta
Kristen di Indonesia banyak sekali menggunakan istilah-istilah Islam yang sudah
resmi dan formal digunakan sebagai istilah “ekslusif” dalam Islam. Salah satu
istilah yang sudah biasa digunakan adalah lafadz “Allah”. Lafadz ini
adalah murni istilah Islam, tidak bisa sembarangan digunakan, meskipun ketiga
agama Semit mengklaim masih menggunakannya.
Tulisan ini akan mengulas konsep
“Allah” secara umum, yang biasa dikenal dalam agama-agama Semit
(Yahudi→Kristen→Islam) yang dikenal sebagai Abrahamic religions. Dan kita akan
melihat bahwa Islam benar-benar satu agama yang teguh ‘melestarikan’ konsep
“Allah” ini.
Konsep “Allah” dalam Islam ini
diakui dengan sangat baik oleh Dr. Jerald F. Dirk dalam bukunya “Salib di
Bulan Sabit” (Serambi, 2006). Mantan diaken di ‘Gereja Metodis Bersatu’ ini
mencatat bahwa “penggunaan kata Allah sering kali terdengar aneh, esoterik, dan
asing bagi telinga orang Barat. Allah adalah kata dalam bahasa Arab yang berasal
dari pemadatan al dan Ilah. Ia berarti Tuhan atau menyiratkan
Satu Tuhan. Secara linguistik, bahasa Ibrani dan bahasa Arab terkait dengan
bahasa-bahasa semitik, dan istilah Arab Allah atau al-Ilah terkait
dengan El dalam bahasa Ibrani, yang berarti “Tuhan”.
“El-Elohim berarti Tuhannya para tuhan atau sang Tuhan. Ia adalah kata Ibrani yang
dalam Perjanjian Lama diterjemahkan Tuhan. Karena itu, menurutnya, kita bisa
memahami bahwa penggunaan kata Allah adalah konsisten, bukan hanya dengan
Al-Quran dan tradisi Islam, tetapi juga dengan tradisi-tradisi biblikal tertua”,
kutipnya.
F. Dirk mungkin benar. Akan tetapi
konsep Allah dalam Islam jauh lebih mendalam, karena bukan hanya sebagai ‘nama
diri’ (proper noun). Dalam pembahasan ilmu Tauhid, konsep al-Ilah
terkait erat dengan peribadatan. Oleh karenanya, dalam penjelasan “Laa
ilaaha illa Allah” para ulama menjelaskan dengan “laa ma‘buda bihaqqin
illa Allah”. (Tidak ada seorang tuhanpun yang berhak “diibadahi” secara
benar (mutlak), kecuali hanya Allah saja).
Ini tentu berbeda dengan kata El
dalam bahasa Ibrani, yang kemudian bisa menjadi El-Elohim, yang
diartikan sebagai “Tuhannya para tuhan”. Berarti ada tuhan selain tuhan yang
disebut El-Elohim itu. Namun dalam Islam, Allah atau Ilah hanya satu.
Apalagi jika ditelusuri konsep Tuhan dalam agama Yahudi, yang banyak menyiratkan
bahwa “Tuhan” Yahudi adalah ‘Tuhan nasionalistik’, atau private God
bagi Yahudi. Di luar Yahudi Tuhannya berbeda.
Konsep keimanan kepada “wujud
Allah” dalam Islam tidak pernah mengalami problem serius, karena konsep dasarnya
sudah jelas dan fixed, tidak bisa ditawar lagi.
Imam al-Sanusi misalnya,
menjelaskan bahwa tentang konsep “wujud” itu sangat jelas. Menurut mazhab Syeikh
Abu al-Hasan al-Asy‘ariy, mengganggap wujud sebagai salah satu sifat merupakan
satu bentuk tasamuh (toleransi). Sebab menurutnya, wujud adalah diri zat
(mawjud) itu sendiri, bukan sesuatu yang lain dari zat; dan zat, jelas
bukan sifat. Akan tetapi, karena dalam ucapan, wujud selalu disebut sebagai
sifat zat, seperti dalam kalimat “Zat Tuhan kita Jalla wa ‘Azza adalah
mawjud (ada)”, maka tidak ada salahnya kalau secara global ia dihitung
sebagai salah satu sifat. Adapun menurut mazhab yang menganggap bahwa wujud itu
lain dari zat, seperti imam al-Raziy, maka menghitungnya sebagai sifat adalah
benar sepenuhnya, tanpa tasamuh. Ada pula yang berpendapat bahwa pada yang
baharu, wujud itu lain dari zat, tetapi pada yang qadim tidak. Ini
adalah mazhab para filosof. (Lihat, Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Yusuf al-Sanusi,
Syarh Umm al-Barahin (Bahasan tentang Sifat Allah yang Duapuluh), terjemah:
Lahmuddin Nasution, PT. Grafindo Persada, 1999: 32). Semua pendapat ini dapat
dipahami dengan jelas dan mudah.
Absurditas
‘Trinitas’
Dalam agama Kristen, konsep Allah
jauh lebih problematis. Ini disebabkan adanya konsep “Trinitas” yang hingga hari
ini menjadi ‘teka-teki silang’ yang tak berujung.
Seorang penulis Kristen Koptik
(Qibti), Arab-Mesir, Nashrullah Zakariya menulis satu buku yang berjudul
al-Tsâlûts fî al-Masîhiyyah: Tawhîd am Syirkun bi’l-Lâh? (Trinitas
dalam Kristen: Monoteis atau Syirik?), menulis, jika konsep keimanan kepada
Allah terjadi lewat ‘advertensi Tuhan’ (al-I‘lân al-Ilâhiy). Tanpa ini,
manusia tidak bisa mengenal Allah. ‘
Menurutnya, advertensi Tuhan’ ini
terjadi lewat dua cara: Pertama, ‘advertensi umum’ (al-i‘lân
al-‘âm). Ini adalah advertensi yang dengannya Allah menyingkap diri-Nya
lewat dua hal: (1) Alam. Tentang ini, wahyu yang kudus (al-wahyu
al-muqaddas) mencatat: “Langit menyatakan, keagungan Allah dan cakrawala
mewartakan karya-Nya” (Mazmur 19: 1-2); dan (2), sejarah. Maksud dari sejarah
adalah: berbagai interaksi Allah dengan manusia lewat pengalaman historiknya.
Kitab suci menyatakan, “Ia tidak lupa memberi bukti-bukti tentang diri-Nya...”
(Kisah Rasul-Rasul 14: 17).
Kedua, ‘advertensi khusus’. Jenis ini memiliki dua sumber: (1) tajassud
(bersatunya Allah dengan Yesus, inkarnasi): dimana Allah mengenalkan diri-Nya
kepada kita secara jelas dan eksplisit lewat inkarnasi (tajassud)
Kristus.
Di dalam Injil, Yohanes berkata:
“Pada mulanya adalah ‘Firman’. Dan firman itu bersama Allah, dan firman itu
adalah Allah. Firman sudah menjadi manusia, Ia tinggal di antara kita dan kita
sudah melihat keagungan-Nya, seperti yang ada pada seseorang berasal dari
seorang ayah, yang penuh dengan karunia dan kebenaran” (Yohanes 1: 1-15, rujuk
Ibrani 1: 1-4 dan 1 Timotius 3: 3-5); (2) firman Allah yang termaktub dan
pembenar atas – eksistensi – Nya yang berasal dari Kristus.
Yesus berkata: “Janganlah kalian
menganggap bahwa Aku datang untuk menghapuskan hukum Musa dan ajaran nabi-nabi.
Aku datang bukan untuk menghapuskannya, tetapi untuk menyempurnakannya.
Ingatlah! Selama langit dan bumi masih ada, satu huruf atau titik yang terkecil
pun di dalam hukum itu, tidak akan dihapuskan, kalau semuanya belum terjadi.”
(Matius 5: 17-18).
Itu lah dua bentuk ‘advertensi
Tuhan’ kepada manusia menurut Nashrullah Zakariya, yang terdapat di dalam Taurat
(Torah) dan Injil. Menurutnya, hal itu menyatakan bahwa Allah itu “esa”
(wâhid). Tetapi, Allah juga tidak hanya ‘mengumumkan’ diri-Nya sebagai
Tuhan yang esa (al-Ilah al-wahid), advertensi itu terjadi
berulang-ulang dari dirinya hingga menjadi “trinitas”
(tsâlûtsan).
Setelah menjelaskan itu,
Nashrullah bingung dan menyatakan bahwa dogma “trinitas” dalam Kristen tidak
bisa dianggap sebagai hasil studi filsafat atau konsep rasionalitas an sich.
Karena hal itu menurutnya tidak mudah untuk diterima oleh akal. Sumber dogma ini
menurutnya berasal dari Allah itu sendiri. Allah lah yang mengumumkan dirinya
sebagai Tuhan yang memiliki tiga oknum: “trinitas” (tsâluts), bukan
“trinisasi” (tatslîts). Dan dalam apologi kaum Nasrani dalam membela
Allah yang trinitas itu (Allah al-tsâlûts) merupakan bukti keimanan
mereka kepada Allah yang esa, seperti yang dinyatakan oleh Allah sendiri tentang
diri-Nya lewat firman-firman-Nya: kitab suci.
Padahal, jika mencukupkan diri
pada ayat Torah di atas, konsep Allah jelas dapat dipahami. Tapi ketika
dikaitkan dengan dogma “trinitas” yang hanya ada dalam Perjanjian Baru (Injil)
konsep Allah menjadi ‘kabur’.
Penulis lain, Nasyid Hana dalam
“Khamsu Haqâ’iq ‘an Allah”, (cet. II, 1999) menulis bahwa ketika Allah
menciptakan para malaikat, Dia mempraktekkan sebagian sifat-sifat-Nya. Dan
ketika menciptakan manusia, Dia mempraktekkan sifat-sifatnya kepada
manusia.
Bagaimana mungkin Allah butuh kepada
makhluk-makhluk-Nya dan mempraktekkan sifat-sifatnya kepada diri-Nya?
Lebih aneh lagi, sebagaimana
ditulis Nasyid Hana, “Oknum-oknum itu bukanlah bagian-bagian dalam diri Allah.
Maha suci Allah. Allah tidak terdiri dari tiga oknum. Maha suci Allah, tetapi
Allah itu esa, dan setiap oknum itu adalah Allah, bukan bagian dari Allah. Bapa
adalah Allah, Anak adalah Allah dan Roh Kudus adalah Allah. Satu esensi tetapi
tiga oknum.” Inilah konsep ketuhanan yang membingungan.
Membicarakan “oknum” saja dalam
agama Kristen sudah berbelit-belit, karena memang sulit dinalar oleh akal sehat.
Sampai sekarang, masalah “oknum Allah” ini masih terus dibahas dan diperdebatkan
hingga kini.
Akibat kebingungan ini, banyak
tokoh-tokoh Kristen menyikapi dogma “trinitas” lewat ekspresi rasa
‘ketidakpuasan. St. Anselm, misalnya, harus menulis Cur Deus Homo, St.
Augustine juga menulis de Trinitate dan memproklamirkan slogan: “Credo ut
intellegam” (aku percaya supaya aku bisa mengerti). Senada dengan
Augustine, Tertullian menyatakan: “Credo quia absurdum” (aku beriman
justru karena doktrin tersebut tidak masuk akal). Ini sangat kontra dengan
Islam, dimana “rasio” sangat berperan dalam mengenal dzat Allah. Apa yang
bertentangan dengan akal sehat, berarti ada yang “eror” dan harus
dikritisi.
Dalam Islam, Allah menciptakan
makhluk-Nya agar mereka mengenal-Nya lewat nama-nama-Nya yang baik (al-asma’
al-husna), sifatnya yang transenden: yang memiliki sifat kesempurnaan dan
suci dari segala kekurangan.
Ketika mereka sudah mengetahui
Allah ‘Azza wa Jalla sebagaimana mestinya, mereka melakukan ibadah kepada-Nya,
yang tidak berhak diberikan kepada selain-Nya dan tidak mendekati-Nya kecuali
dengan ibadah tersebut. Mereka juga memuji Allah swt. sebagaimna mestinya,
sesuai dengan kemuliaan dzat-Nya dan keagungan otoritas-Nya. Ini dengan detail
dijelaskan oleh Allah swt.: “Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti
itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya
benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS: Al-Thalaq [65]: 12).
Kata agar kamu mengetahui
merupakan dalil bahwa tujuan dari penciptaan alam ini, baik alam atas maupun
bawah; adalah untuk mengetahui Allah swt. Lengkap dengan nama dan
sifat-sifat-Nya; yang dalam ayat tersebut disebutkan sebagiannya, yakni:
kekuasaan total (al-qudrah al-syamilah) dan ilmu yang meliputi segala
sesuati (al-‘ilm al-muhith). (Lihat, Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Fushûl fî
al-‘Ibâdah bayna al-Salaf wa al-Khalaf, dalam serial Nahwa Wahdah Fikriyyah
li al-‘Āmilîna li al-Islâm (6), (Cairo: Maktabah Wahbah, 2005: 14).
Dengan demikian, terdapat
perbedaan yang sangat prinsipil dalam konsep “Allah” dalam Yahudi, Kristen dan
Islam. Dapat dibuktikan di dalam Al-Quran dan ulama-ulama klasik, bahwa Islam
lah satu-satunya agama semit yang konsisten dalam melestarikan konsep “Allah”.
Konsep Allah yang ‘nasionalistik’ adalah tidak benar dan harus ditolak. Dan
konsep “Allah” yang ‘membutuhkan’ perantara (mediator) adalah mencederai
kekuasaan dan keagungann-Nya. Maka, Islam menutup konsep “Allah” yang
Mahasempurna dan tiada banding itu dengan firman Allah swt: “Laysa
kamitslihi syai’un” (Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, ) (Qs.
Al-Syura [42]: 11). Wallahu a‘lamu bi al-shawab. []
|
Post a Comment