Islam adalah Agama dan Sumber Hukum yang Sempurna
Islam adalah Agama dan Sumber Hukum yang Sempurna
Muqodimah
Segala
puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat
serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad ShalAllah u’alaihi wa sallam beserta
keluarga dan seluruh sahabatnya.
Wajib
diimani oleh setiap muslim bahwa Islam dan syariatnya adalah agama dan sumber
hukum yang sempurna, lengkap, dan abadi. Tidak ada satu amalan atau aturan yang
mendatangkan kebaikan bagi umat manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat
melainkan telah dijelaskan di dalamnya. Tidak pula ada satu amalan pun yang
membahayakan kehidupan mereka melainkan telah diperingatkan untuk ditinggalkan
dan dijauhi, sebagaimana firman Allah Shubhanahu
wa ta’alla dalam surat al-Maidah ayat 3. Ayat ini mengandung berita tentang
nikmat Allah Shubhanahu wa ta’alla
yang terbesar untuk umat Islam, yaitu ketika Allah Shubhanahu wa ta’alla menjadikan agama yang mereka yakini sebagai
agama yang sempurna, lengkap, dan menyeluruh sehingga umat Islam tidak lagi
membutuhkan syariat dan sumber hukum selain yang telah diturunkan oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla untuk mengatur
kehidupan mereka. Syariat Islam yang diturunkan oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla adalah syariat yang penuh dengan kebenaran
pada seluruh berita yang dikandungnya. Syariat Islam juga merupakan syariat
yang adil, universal, jujur, dan jauh dari kezaliman serta kepentingan tertentu
pada seluruh hukum dan aturan yang diberlakukannya.
Tidak
ada satu pihak pun yang mampu menciptakan atau membuat aturan dan
perundangan-undangan selengkap, sesempurna, seadil, dan sejujur syariat Islam
yang diturunkan oleh Allah Shubhanahu wa
ta’alla. Hal ini sebagaimana firman-Nya:
قال الله تعالى: ﴿ وَتَمَّتۡ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدۡقٗا وَعَدۡلٗاۚ لَّا
مُبَدِّلَ لِكَلِمَٰتِهِۦۚ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ ١١٥ ﴾ [الأنعام:115]
“Telah
sempurnalah syariat Rabbmu (Al-Qur’an) sebagai syariat yang benar dan adil.
Tidak ada satu pihak pun yang mampu mengubah syariat-syariat -Nya dan Dialah
yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-An’am: 115)
قال الله تعالى: ﴿ لَّا يَأۡتِيهِ ٱلۡبَٰطِلُ مِنۢ بَيۡنِ يَدَيۡهِ وَلَا
مِنۡ خَلۡفِهِۦۖ تَنزِيلٞ مِّنۡ حَكِيمٍ حَمِيدٖ ٤٢ ﴾ [فصلت:42]
“Yang
tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari
belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.”
(Fushshilat: 42)
قال الله تعالى: ﴿ أَفَغَيۡرَ ٱللَّهِ أَبۡتَغِي حَكَمٗا وَهُوَ ٱلَّذِيٓ
أَنزَلَ إِلَيۡكُمُ ٱلۡكِتَٰبَ مُفَصَّلٗاۚ وَٱلَّذِينَ ءَاتَيۡنَٰهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ
يَعۡلَمُونَ أَنَّهُۥ مُنَزَّلٞ مِّن رَّبِّكَ بِٱلۡحَقِّۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡمُمۡتَرِينَ
١١٤ ﴾ [الأنعام:114]
“Sementara
Dialah yang telah menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepada kalian dengan terperinci”
(al-An’am: 114)
Asy-Syaikh
al-’Allamah ‘Abdurrahman as-Sa’di Rhadiyallahu
‘anhum berkata, “Maksudnya, (Al-Qur’an berfungsi) sebagai penjelas tentang
hukum halal dan haram, serta berbagai hukum syariat. Demikian pula berbagai
hukum agama ini, baik yang bersifat pokok maupun cabang. Tidak ada satu syariat
dan hujjah pun yang lebih jelas dibandingkan dengannya. Tidak ada pula satu
hukum pun yang lebih baik serta lebih lurus dibandingkan dengannya karena
berbagai hukum dalam syariat Islam mengandung hikmah dan kasih sayang.” (Lihat
kitab Taisirul Karimir Rahman, hlm. 270)
Begitu pula firman Allah Shubhanahu wa ta’alla:
قال الله تعالى: ﴿ وَيَوۡمَ نَبۡعَثُ فِي
كُلِّ أُمَّةٖ شَهِيدًا عَلَيۡهِم مِّنۡ
أَنفُسِهِمۡۖ وَجِئۡنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَىٰ هَٰٓؤُلَآءِۚ وَنَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ
تِبۡيَٰنٗا لِّكُلِّ
شَيۡءٖ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٗ وَبُشۡرَىٰ
لِلۡمُسۡلِمِينَ ٨٩ ﴾ [النحل:89]
“Dan telah Kami turunkan kepadamu Al-Kitab
(Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk serta rahmat
dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (an-Nahl: 89)
Sahabat
Abdullah bin Mas’ud Rhadiyallahu ‘anhum berkata, “Segala ilmu dan segala
sesuatu telah dijelaskan kepada kita di dalam Al-Qur’an.” Al-Imam Ibnu Katsir
Rhadiyallahu ‘anhum berkata, “Penjelasan Abdullah bin Mas’ud di atas bersifat
lebih umum dan lebih universal, karena Al-Qur’an mencakup segala bentuk ilmu yang bermanfaat, baik dalam bentuk berita tentang berbagai kejadian
yang telah lalu maupun ilmu tentang segala sesuatu yang akan datang. Al-Qur’an
juga mengandung penjelasan tentang seluruh hukum yang halal dan haram serta
penjelasan tentang segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia, baik dalam urusan
dunia maupun agama mereka.” (Tafsir Ibni Katsir).
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wa sallam pun bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِي إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ » [رواه مسلم]
“Sesungguhnya tidak ada seorang nabi pun yang
diutus sebelumku melainkan wajib atasnya untuk menunjukkan umatnya kepada
segala kebaikan yang dia ketahui untuk umat mereka. Wajib pula atasnya untuk
memperingatkan umatnya dari segala kejelekan yang dia ketahui yang dapat
membahayakan umatnya.” (HR. Muslim, dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash)
Dikatakan kepada sahabat
Salman al-Farisi z:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ كُلَّ شَيْءٍ حَتَّى الْخِرَاءَةَ؟ »
“Apakah
benar bahwa Nabi kalian telah mengajarkan segala sesuatu, sampai pun
permasalahan buang hajat?”
Beliau pun bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « أَجَلْ، لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ » [
رواه مسلم ]
“Tentu. Sungguh Nabi kami telah melarang kami menghadap kiblat ketika buang air besar dan buang air kecil. Beliau juga melarang kami beristinja’ dengan tangan kanan, melarang beristinja’ menggunakan batu kurang dari tiga buah, dan melarang kami beristinja’ menggunakan kotoran hewan atau tulang.” (HR. Muslim, dari sahabat Salman al-Farisi)
Dari
penjelasan singkat di atas, sudah barang tentu seorang muslim yang benar-benar
mencintai Islam sebagai agamanya, berserah diri kepada Sang Khaliq dan mengakui
Islam sebagai satu-satunya agama yang benar, sempurna, abadi dan diridhai oleh
Allah Shubhanahu wa ta’alla hanya
akan berhukum dengan hukum Islam dan tidak akan rela selain hukum Islam sebagai
dasar hukum bagi diri dan negaranya.
Mengamalkan
syariat Islam adalah salah satu kewajiban setiap muslim yang paling mendasar syariat
islam adalah syariat yang diturunkan oleh Allah shubhanahu wa ta’alla, Dzat Yang Maha adil, Maha bijak, Maha
Mengetahui semua makhluk ciptaan -Nya dan karakter mereka, serta Maha
Mengetahui semua kepentingan dan kebutuhan mereka yang banyak dan beragam, baik
pada masa lampau, sekarang, maupun yang akan datang, di bumi manapun mereka
berada.
Oleh
karena itu, hukum yang diturunkan oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla berbeda dengan berbagai hukum dan perundang-undangan
yang dibuat oleh manusia. Manusia adalah makhluk yang sangat lemah. Ia membuat
hukum dalam rangka melindungi kelemahannya. Ia juga sangat zalim sehingga dia
membuat hukum dalam rangka mengambil hak dan menzalimi orang lain. Ditambah
lagi, ia sangat jahil sehingga tidak mengetahui kemaslahatan dan kemadaratan
yang hakiki untuk dirinya serta orang
lain. Dalam Al-Qur’an, Allah Shubhanahu
wa ta’alla menyebutkan beberapa sifat asli manusia, antara lain:
قال الله تعالى: ﴿ إِنَّهُۥ كَانَ ظَلُومٗا جَهُولٗا ٧٢ ﴾ [ الأحزاب: 72
]
“Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (al-Ahzab:
72)
Karena
itu, sudah barang tentu sikap dan kebijakan yang diambil oleh manusia lebih
didominasi oleh kebodohan dan kecenderungan untuk menzalimi. Allah Shubhanahu wa ta’alla juga berfirman,
yang artinya:
“Ketahuilah!
Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya
serba cukup.” (al-’Alaq: 6—7)
قال الله تعالى: ﴿۞يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ أَنتُمُ ٱلۡفُقَرَآءُ إِلَى
ٱللَّهِۖ وَٱللَّهُ هُوَ ٱلۡغَنِيُّ ٱلۡحَمِيدُ ١٥ ﴾ [ فاطر: 15 ]
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalianlah yang sangat
butuh kepada Allah, dan Dialah Allah yang Maha tidak butuh (kepada segala
sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (Fathir: 15)
قال الله تعالى: ﴿ يُرِيدُ ٱللَّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمۡۚ وَخُلِقَ
ٱلۡإِنسَٰنُ ضَعِيفٗا ٢٨﴾ [النساء: 28]
“Dan manusia diciptakan dalam keadaan bersifat lemah.” (an-Nisa’: 28).
Kedua
ayat di atas menegaskan bahwa manusia itu sangat lemah, miskin, dan sangat
membutuhkan pertolongan Allah Shubhanahu
wa ta’alla dalam mengatasi kelemahan dirinya. Termasuk dalam hal ini adalah
kelemahan mereka dalam menentukan hukum yang mengatur kehidupan mereka. Maka
dari itu, adalah suatu kepastian bahwa mereka sangat membutuhkan hukum dan
aturan hidup dari Penciptanya Yang Maha Sempurna.
Dalam ayat lain, Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman:
قال الله تعالى: ﴿۞إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ خُلِقَ هَلُوعًا ١٩ إِذَا مَسَّهُ
ٱلشَّرُّ جَزُوعٗا ٢٠ وَإِذَا مَسَّهُ ٱلۡخَيۡرُ مَنُوعًا ٢١ ﴾ [المعارج: 19- 21]
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi
kikir, apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat
kebaikan ia amat kikir.” (al-Ma’arij: 19—21)
Pada ayat di atas, dengan tegas Allah Shubhanahu wa ta’alla menyebutkan bahwa manusia itu tidak pernah
puas. Ia cenderung mengeluh ketika tertimpa musibah atau kekurangan. Di saat
itu, dia akan meneriakkan kepentingannya. Namun, di saat mendapatkan
keberuntungan, dia akan kikir dan enggan menolong pihak yang lemah. Dengan
demikian, sudah tentu berbagai peraturan dan perundang-undangan yang dibuatnya
akan diwarnai oleh sifat-sifat asli tersebut. Manusia juga tidak mengetahui apa
yang akan terjadi di masa yang akan datang sehingga berbagai hukum dan
perundang-undangan yang dibuatnya harus mengalami peninjauan ulang dan berbagai
pembenahan.
Setelah kita mengetahui secara singkat sifat dasar dan
karakter asli manusia, seseorang yang berakal jernih dan beriman dengan
sebenar-benar iman tentu tidak akan pernah mau berhukum kepada hukum buatan
manusia yang maha kurang dan maha lemah, kemudian ia meninggalkan hukum yang
diturunkan oleh Allah Shubhanahu wa
ta’alla sebagai sumber hukum yang jauh dari segala kekurangan. Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلۡقُرۡءَانَۚ وَلَوۡ كَانَ
مِنۡ عِندِ غَيۡرِ ٱللَّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ ٱخۡتِلَٰفٗا كَثِيرٗا ٨٢ ﴾ [ النساء: 82 ]
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an dengan
seksama? Sekiranya Al-Qur’an itu (turun) dari selain Allah, tentulah mereka
akan mendapati pertentangan yang banyak padanya.” (an-Nisa’: 82)
Dari
ayat di atas, kita mengetahui bahwa Al-Qur’an adalah sumber hukum dan syariat
yang lengkap, sesuai, dan tidak ada pertentangan sedikit pun antara satu
ketentuan dengan ketentuan yang lainnya. Adapun hukum-hukum dan
perundang-undangan yang dibuat oleh selain Allah Shubhanahu wa ta’alla penuh dengan kekurangan, ketidaksesuaian, dan
pertentangan. Apakah dengan itu, kita masih akan berhukum kepada
perundang-undangan buatan manusia, dan berpaling dari hukum yang diturunkan
oleh Rabb semesta alam? Allah Shubhanahu
wa ta’alla berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ يسٓ ١ وَٱلۡقُرۡءَانِ ٱلۡحَكِيمِ ٢ إِنَّكَ لَمِنَ
ٱلۡمُرۡسَلِينَ ٣ عَلَىٰ صِرَٰطٖ مُّسۡتَقِيمٖ ٤ تَنزِيلَ ٱلۡعَزِيزِ ٱلرَّحِيمِ ٥ ﴾ [ يس: 1-5 ]
“Yaa siin. Demi Al-Qur’an yang penuh hikmah. Sesungguhnya kamu
adalah salah seorang dari rasul-rasul (yang diutus oleh Allah). (Yang berada)
di atas jalan yang lurus. (Sebagai syariat) yang diturunkan oleh (Allah) Yang
Mahaperkasa lagi Maha Penyayang.” (Yasin: 1—5)
قال الله تعالى: ﴿ تَنزِيلُ ٱلۡكِتَٰبِ مِنَ ٱللَّهِ ٱلۡعَزِيزِ ٱلۡحَكِيمِ
١ ﴾ [الزمر: 1 ]
“Kitab (Al-Qur’an ini) diturunkan oleh Allah yang Maha perkasa lagi Maha bijaksana.” (az-Zumar: 1)
“Haa miim.
Diturunkan kitab ini (Al-Qur’an) dari Allah yang Mahaperkasa lagi Maha
Mengetahui.” (Ghafir: 1—2).
قال الله تعالى: ﴿ حمٓ ١ تَنزِيلٞ مِّنَ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ ٢ كِتَٰبٞ
فُصِّلَتۡ ءَايَٰتُهُۥ قُرۡءَانًا عَرَبِيّٗا لِّقَوۡمٖ يَعۡلَمُونَ ٣ ﴾ [فصلت: 1- 3]
“Haa Miim. Diturunkan dari Rabb yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang. Adalah sebuah kitab yang telah dijelaskan ayat-ayatnya secara
rinci.” (Fushshilat: 1—3).
Dari
beberapa penjelasan di atas, menjadi sebuah kepastian bagi setiap pribadi
muslim bahwa kewajiban beramal dan menegakkan syariat Islam, baik pada
kehidupan pribadi maupun rumah tangga, bahkan kehidupan bermasyarakat dan bernegara,
adalah salah satu pokok dasar Islam yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Dalil-dalil Penegas Kewajiban Menjadikan Hukum Allah Shubhanahu wa ta’alla:
Dalil-dalil Penegas Kewajiban Menjadikan Hukum Allah Shubhanahu wa ta’alla:
1.
Sebagai Sumber Hukum
Agar kita semakin mengenal kedudukan
syariat Islam serta kewajiban kita sebagai pemeluknya untuk memuliakan syariat
Islam dan mengamalkannya, kali ini kami sajikan beberapa dalil syar’i yang
menegaskan kewajiban berhukum kepada syariat Islam bagi pemeluknya. Kami harap
tulisan ini semakin menggugah kemauan dan keinginan kita untuk menegakkannya
pada diri, masyarakat, dan negara kita. Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ
ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ مُصَدِّقٗا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيۡهِ مِنَ ٱلۡكِتَٰبِ وَمُهَيۡمِنًا
عَلَيۡهِۖ فَٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُۖ وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَهُمۡ
عَمَّا جَآءَكَ مِنَ ٱلۡحَقِّۚ لِكُلّٖ جَعَلۡنَا مِنكُمۡ شِرۡعَةٗ وَمِنۡهَاجٗاۚ
وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ لَجَعَلَكُمۡ أُمَّةٗ وَٰحِدَةٗ وَلَٰكِن لِّيَبۡلُوَكُمۡ فِي
مَآ ءَاتَىٰكُمۡۖ فَٱسۡتَبِقُواْ ٱلۡخَيۡرَٰتِۚ إِلَى ٱللَّهِ مَرۡجِعُكُمۡ جَمِيعٗا
فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ فِيهِ تَخۡتَلِفُونَ ٤٨ ﴾ [المائدة:48]
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya, dan sebagai tolok ukur kebenaran kitab-kitab sebelumnya, maka putuskanlah perkara mereka menurut ketentuan hukum yang diturunkan oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran (syariat) yang telah datang kepadamu.” (al-Maidah: 48)
قال الله تعالى: ﴿ وَأَنِ ٱحۡكُم بَيۡنَهُم
بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَهُمۡ وَٱحۡذَرۡهُمۡ أَن يَفۡتِنُوكَ
عَنۢ بَعۡضِ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ فَإِن تَوَلَّوۡاْ فَٱعۡلَمۡ أَنَّمَا
يُرِيدُ ٱللَّهُ أَن يُصِيبَهُم بِبَعۡضِ ذُنُوبِهِمۡۗ وَإِنَّ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلنَّاسِ
لَفَٰسِقُونَ ٤٩ أَفَحُكۡمَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ يَبۡغُونَۚ وَمَنۡ أَحۡسَنُ مِنَ ٱللَّهِ
حُكۡمٗا لِّقَوۡمٖ يُوقِنُونَ ٥٠﴾ [ المائدة : 49 - 50 ]
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut
hukum yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka,
dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu
dari sebagian syariat yang telah diturunkan Allah kepadamu, jika mereka
berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa
sesungguhnya Allah menghendaki untuk menimpakan musibah kepada mereka
disebabkan sebagian dosa-dosa mereka, dan sesungguhnya kebanyakan manusia
adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki,
dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang
yakin?” (al-Maidah: 49—50).
Ayat-ayat di atas mengandung perintah
tegas terhadap hamba-hamba Allah Shubhanahu
wa ta’alla untuk berhukum dengan hukum yang telah diturunkan oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla dan mengamalkan
syariat yang telah digariskan -Nya, sekaligus meninggalkan hawa nafsu dan
ambisi mayoritas manusia yang dapat memalingkan diri kita dari upaya berhukum
kepada hukum Allah Shubhanahu wa ta’alla.
Seorang mukmin yang mau memerhatikan ayat-ayat di atas dan bertafakkur dengan saksama, dia akan mengetahui bahwasanya Allah Shubhanahu wa ta’alla menekankan kewajiban berhukum kepada syariat -Nya dengan beberapa bentuk penekanan. Di antaranya adalah:
Seorang mukmin yang mau memerhatikan ayat-ayat di atas dan bertafakkur dengan saksama, dia akan mengetahui bahwasanya Allah Shubhanahu wa ta’alla menekankan kewajiban berhukum kepada syariat -Nya dengan beberapa bentuk penekanan. Di antaranya adalah:
Kalimat perintah pada ayat:
“Dan hendaklah
kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut hukum yang diturunkan oleh
Allah.” (al-Maidah: 49).
Kalimat perintah ini
menunjukkan bahwa amalan tersebut wajib hukumnya. Apabila ditinggalkan,
pelakunya berdosa. Ayat-ayat Al-Qur’an yang berisi perintah untuk berhukum
kepada hukum yang diturunkan oleh Allah Shubhanahu
wa ta’alla banyak sekali, antara lain:
قال الله تعالى: ﴿ ٱتَّبِعُواْ مَآ
أُنزِلَ إِلَيۡكُم مِّن رَّبِّكُمۡ وَلَا تَتَّبِعُواْ مِن دُونِهِۦٓ أَوۡلِيَآءَۗ
قَلِيلٗا مَّا تَذَكَّرُونَ ٣ ﴾ [ الأعراف: 3
]
“Ikutilah syariat yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian
dan janganlah kalian mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya. Sungguh sangat
sedikit kalian mengambil pelajaran (darinya).” (al-A’raf: 3)
Ketika menafsirkan ayat di atas,
al-Imam Ibnu Katsir berkata, “Maksudnya, janganlah kalian keluar meninggalkan
hukum-hukum yang dibawa oleh Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa sallam menuju sumber hukum yang lain. Dengan begitu,
kalian telah keluar dari hukum Allah Shubhanahu
wa ta’alla kepada hukum selainnya.” (Tafsir Ibnu Katsir).
Allah Shubhanahu wa
ta’alla juga berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ ثُمَّ جَعَلۡنَٰكَ
عَلَىٰ شَرِيعَةٖ مِّنَ ٱلۡأَمۡرِ فَٱتَّبِعۡهَا وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَ ٱلَّذِينَ
لَا يَعۡلَمُونَ ١٨ ﴾ [الجاثية : 18]
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama ini), maka ikutilah syariat tersebut dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (al-Jatsiyah: 18)
2.
Larangan Allah Shubhanahu
wa ta’alla menjadikan hawa nafsu mayoritas manusia serta ambisi mereka
dalam semua kondisi sebagai penghalang untuk kita berhukum kepada hukum Allah.
Hal ini sebagaimana ayat ke-48 surat al-Maidah di atas
“Dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran (syariat) yang
telah datang kepadamu.”
Kemudian pada ayat ke-49, kembali Allah Shubhanahu wa ta’alla
menegaskan:
“Dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.”
Larangan mengikuti hawa nafsu orang-orang yang berhukum kepada selain hukum Allah Shubhanahu wa ta’alla sengaja diulangi oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla dua kali karena sikap tersebut memang sangat berbahaya dan banyak memalingkan kaum mukminin dari berhukum dengan syariat Allah Shubhanahu wa ta’alla kepada hukum-hukum jahiliah. (Lihat Taisirul Karimirrahman)
Larangan mengikuti hawa nafsu orang-orang yang berhukum kepada selain hukum Allah Shubhanahu wa ta’alla sengaja diulangi oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla dua kali karena sikap tersebut memang sangat berbahaya dan banyak memalingkan kaum mukminin dari berhukum dengan syariat Allah Shubhanahu wa ta’alla kepada hukum-hukum jahiliah. (Lihat Taisirul Karimirrahman)
3.
Peringatan keras dari Allah Shubhanahu wa ta’alla agar berhati-hati dari sikap enggan berhukum
kepada syariat-Nya, baik dalam urusan yang sedikit maupun banyak, dalam perkara
yang kecil maupun besar. Hal ini sebagaimana firman-Nya:
قال الله تعالى: ﴿ وَأَنِ ٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَلَا
تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَهُمۡ وَٱحۡذَرۡهُمۡ أَن يَفۡتِنُوكَ عَنۢ بَعۡضِ مَآ أَنزَلَ
ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ فَإِن تَوَلَّوۡاْ فَٱعۡلَمۡ أَنَّمَا يُرِيدُ ٱللَّهُ أَن يُصِيبَهُم
بِبَعۡضِ ذُنُوبِهِمۡۗ وَإِنَّ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلنَّاسِ لَفَٰسِقُونَ ٤٩﴾ [المائدة :49]
“Dan berhati-hatilah kamu
terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian syariat
yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (al-Maidah: 49)
Sikap tidak mau
berhukum dengan hukum Allah Shubhanahu wa ta’alla serta kecenderungan
menolaknya adalah dosa yang sangat besar, yang dapat mengundang azab yang
pedih.
Hal ini
sebagaimana ditegaskan oleh ayat ke-49 surat al-Maidah di atas:
“Jika mereka
berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa
sesungguhnya Allah menghendaki untuk menimpakan musibah kepada mereka
disebabkan sebagian dosa-dosa mereka.”
Dalam ayat -Nya yang lain, Allah Shubhanahu wa ta’alla juga mengancam:
Dalam ayat -Nya yang lain, Allah Shubhanahu wa ta’alla juga mengancam:
قال الله تعالى: ﴿ لَّا تَجۡعَلُواْ
دُعَآءَ ٱلرَّسُولِ بَيۡنَكُمۡ كَدُعَآءِ بَعۡضِكُم بَعۡضٗاۚ قَدۡ يَعۡلَمُ ٱللَّهُ
ٱلَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنكُمۡ لِوَاذٗاۚ فَلۡيَحۡذَرِ ٱلَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنۡ
أَمۡرِهِۦٓ أَن تُصِيبَهُمۡ فِتۡنَةٌ أَوۡ يُصِيبَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٌ ٦٣ ﴾ [ النور: 63]
“Maka hendaklah waspada
orang-orang yang menyelisihi perintahnya (syariat Rasulullah), akan menimpa
kepada mereka fitnah atau azab yang pedih.” (an-Nur: 63).
Ketika menjelaskan ayat di atas, al-Imam Ibnu Katsir berkata,
“Yakni orang-orang yang menyelisihi jalan, sistem, sunnah, dan syariat beliau.
Maka dari itu, seluruh perkataan dan perbuatan (manusia) ditimbang dengan
perkataan dan perbuatan beliau. Segala sesuatu yang sesuai dengannya, diterima.
Adapun segala sesuatu yang menyelisihinya, ditolak, siapapun pengucap dan
pelakunya. Hal ini sebagaimana hadits sahih yang diriwayatkan dalam
ash-Shahihain dan selain keduanya, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ » [ متفق عليه ]
“Barang siapa mengamalkan suatu amalan yang
bukan atas perintahku, amalan tersebut tertolak.” (muttafaq ‘alaih)
Oleh sebab itu, hendaklah waspada dan takut orang-orang yang
menyelisihi syariat (hukum) Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa sallam—baik penyelisihan secara batin maupun secara
lahir— bahwa mereka akan tertimpa fitnah. Kalbu-kalbu mereka tertimpa fitnah
kekufuran, kemunafikan, dan kebid’ahan, atau mereka akan tertimpa azab yang
pedih di dunia ini, baik dalam bentuk pembunuhan, tindakan hukum pidana, atau
penjara, dan yang semisalnya.” (Tafsir Ibnu Katsir)
4.
Per-ingatan keras dari Allah Shubhanahu wa ta’alla untuk tidak terpesona dengan mayoritas
manusia yang berpaling dari hukum Allah Shubhanahu
wa ta’alla. Pada ayat ke-49 surat al-Maidah di atas, Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirma, yang
artinya:
“Dan sesungguhnya
kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.”
Mereka digolongkan oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla sebagai orang-orang yang fasik karena enggan
untuk berhukum dengan syariat dan perundang-undangan yang diturunkan oleh Allah
Shubhanahu wa ta’alla. Di zaman ini
pun kita menyaksikan realitas yang disebutkan oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla itu, yaitu kebanyakan manusia—bahkan kaum
muslimin sendiri—baik sebagai pribadi, masyarakat, ataupun pemerintah, enggan
berhukum kepada syariat Allah Shubhanahu
wa ta’alla. Maka dari itu, janganlah kita tertipu dengan jumlah mayoritas
sehingga kita ikut meninggalkan dan menanggalkan hukum Allah Shubhanahu wa ta’alla.
Allah Shubhanahu wa ta’alla juga menyebutkan ayat semisal di atas, yaitu firman-Nya:
Allah Shubhanahu wa ta’alla juga menyebutkan ayat semisal di atas, yaitu firman-Nya:
قال الله تعالى: ﴿ وَتَمَّتۡ كَلِمَتُ
رَبِّكَ صِدۡقٗا وَعَدۡلٗاۚ لَّا مُبَدِّلَ لِكَلِمَٰتِهِۦۚ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ
١١٥ وَإِن تُطِعۡ أَكۡثَرَ مَن فِي ٱلۡأَرۡضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ إِن
يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَإِنۡ هُمۡ إِلَّا يَخۡرُصُونَ ١١٦ ﴾ [ الأنعام: 116 ]
“Dan jika kamu menuruti
kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu
dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan
mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (al-An’am: 116)
5.
Allah Shubhanahu wa
ta’alla menjuluki berbagai hukum selain hukum yang diturunkan oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla sebagai hukum
jahiliah. Allah Shubhanahu wa ta’alla
berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ أَفَحُكۡمَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ
يَبۡغُونَۚ وَمَنۡ أَحۡسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكۡمٗا لِّقَوۡمٖ يُوقِنُونَ ٥٠ ﴾ [ المائدة : 50
]
“Apakah hukum Jahiliah yang
mereka kehendaki.” (al-Maidah: 50)
Al-Imam
Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rhadiyallahu
‘anhum—ketika menjelaskan tentang hukum jahiliah—berkata, “Yaitu semua
jenis hukum yang menyelisihi syariat yang diturunkan oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla kepada Rasul -Nya.
Oleh karena itu, tidak ada jenis hukum selain hukum Allah melainkan hukum jahiliah. Barang siapa yang berpaling dari jenis
yang pertama (hukum Allah), pasti dia akan berhukum kepada jenis yang kedua
(yaitu hukum jahiliah) yang ditegakkan di atas kejahilan, kezaliman, dan
kesesatan. Oleh karena itu, Allah Shubhanahu
wa ta’alla menisbatkan jenis hukum yang kedua ini sebagai hukum jahiliah,
sedangkan hukum -Nya adalah hukum yang ditegakkan di atas ilmu, keadilan, serta
cahaya, dan petunjuk.” (Taisirul Karimirrahman)
6.
Penegasan Allah Shubhanahu
wa ta’alla bahwa hukum yang diturunkan -Nya adalah hukum yang terbaik dan
perundang-undangan yang paling adil serta paling sempurna.
Hal ini sebagaimana firman-Nya pada ayat ke-50 surat al-Maidah di atas :
Hal ini sebagaimana firman-Nya pada ayat ke-50 surat al-Maidah di atas :
“Dan
hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah.”
Maka dari itu, adalah suatu kepastian bahwa tidak ada satu hukum pun di muka bumi ini yang lebih baik dan lebih sempurna dibandingkan dengan hukum yang diturunkan Allah Shubhanahu wa ta’alla. Jika demikian, sungguh tidak pantas apabila hamba-hamba Allah Shubhanahu wa ta’alla yang mengklaim dirinya beriman kepada -Nya tidak mau dan enggan menjadikan hukum Allah Shubhanahu wa ta’alla dan Rasul -Nya sebagai rujukan dan sumber hukum yang dianut dalam kehidupannya. Tentu dia tidak akan pernah rela menjadikan hukum-hukum jahiliah sebagai sumber hukum yang mengatur kehidupan pribadi, masyarakat, dan negaranya.
Maka dari itu, adalah suatu kepastian bahwa tidak ada satu hukum pun di muka bumi ini yang lebih baik dan lebih sempurna dibandingkan dengan hukum yang diturunkan Allah Shubhanahu wa ta’alla. Jika demikian, sungguh tidak pantas apabila hamba-hamba Allah Shubhanahu wa ta’alla yang mengklaim dirinya beriman kepada -Nya tidak mau dan enggan menjadikan hukum Allah Shubhanahu wa ta’alla dan Rasul -Nya sebagai rujukan dan sumber hukum yang dianut dalam kehidupannya. Tentu dia tidak akan pernah rela menjadikan hukum-hukum jahiliah sebagai sumber hukum yang mengatur kehidupan pribadi, masyarakat, dan negaranya.
7.
Seorang mukmin yang memiliki sifat yakin atas kebenaran Allah
Shubhanahu wa ta’alla dan Islam
sebagai agama pasti akan mengetahui dan meyakini bahwasanya hukum
perundang-undangan yang diturunkan oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla adalah hukum yang paling sempurna dan adil
serta abadi. Bersamaan dengan itu, ia akan meyakini bahwa sikap tunduk dan
patuh, rela dan berserah diri kepada hukum Allah Shubhanahu wa ta’alla adalah suatu kewajiban yang pasti atas setiap
muslim yang tidak boleh ditawar-tawar lagi.
Hal ini karena pada akhir ayat ke-50
surat al-Maidah di atas, Allah Shubhanahu
wa ta’alla menyatakan:
“Dan
hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang
yakin?”
Maksudnya, seseorang yang telah memiliki keyakinan sebenar-benarnya
atas syariat Islam, pasti akan meyakini bahwa tidak ada hukum yang lebih baik,
sempurna, dan adil dibandingkan dengan hukum Allah. Sebaliknya, orang yang
masih meyakini adanya hukum buatan manusia yang lebih baik atau setara dengan
syariat Islam yang diturunkan oleh Allah Shubhanahu
wa ta’alla kepada Nabi -Nya, sungguh dia tergolong orang yang kalbunya
memiliki penyakit keraguan terhadap kebenaran Islam itu sendiri sebagai agama.
Oleh sebab itu, Allah Shubhanahu wa ta’alla mengulang berkali-kali perintah kepada seluruh hamba -Nya untuk berhukum kepada hukum dan syariat yang diturunkan -Nya, dan melarang mereka untuk berhukum kepada hukum dan perundang-undangan buatan manusia. Bahkan, Allah Shubhanahu wa ta’alla menekankan dan menegaskan perintah tersebut dengan berbagai bentuk penegasan selain yang telah kami sebutkan di atas, antara lain:
Oleh sebab itu, Allah Shubhanahu wa ta’alla mengulang berkali-kali perintah kepada seluruh hamba -Nya untuk berhukum kepada hukum dan syariat yang diturunkan -Nya, dan melarang mereka untuk berhukum kepada hukum dan perundang-undangan buatan manusia. Bahkan, Allah Shubhanahu wa ta’alla menekankan dan menegaskan perintah tersebut dengan berbagai bentuk penegasan selain yang telah kami sebutkan di atas, antara lain:
قال الله تعالى: ﴿ أَلَمۡ تَرَ إِلَى
ٱلَّذِينَ يَزۡعُمُونَ أَنَّهُمۡ ءَامَنُواْ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيۡكَ وَمَآ أُنزِلَ
مِن قَبۡلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُوٓاْ إِلَى ٱلطَّٰغُوتِ وَقَدۡ أُمِرُوٓاْ
أَن يَكۡفُرُواْ بِهِۦۖ وَيُرِيدُ ٱلشَّيۡطَٰنُ أَن يُضِلَّهُمۡ ضَلَٰلَۢا بَعِيدٗا
٦٠﴾ [ النساء : 60]
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada hukum yang diturunkan kepadamu dan kepada hukum yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut tersebut, dan sesungguhnya syaithan sangat berambisi menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (an-Nisa’: 60).
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di Rhadiyallahu ‘Anhum mendefinisikan thaghut dengan, “Semua pihak
yang berhukum kepada selain syariat Allah Shubhanahu
wa ta’alla, itu adalah thaghut.”
Al-Imam Ibnu Katsir Rhadiyallahu
‘Anhum ketika menjelaskan tentang ayat ini berkata, “Ini adalah
pengingkaran Allah Shubhanahu wa ta’alla
terhadap pihak-pihak yang mengklaim keimanan terhadap syariat yang diturunkan
oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla
kepada Rasul -Nya dan para nabi terdahulu, namun bersama itu dia masih
berkeinginan untuk berhukum kepada selain Kitabullah dan Sunnah Rasul -Nya
dalam menyelesaikan berbagai perselisihan.” (Tafsir Ibnu Katsir).
Pelajaran yang bisa kita
ambil dari ayat di atas adalah jangan sampai kita menjadi orang-orang yang mengklaim
keimanan kepada syariat Allah Shubhanahu
wa ta’alla dan Rasul -Nya, namun dia masih berhukum kepada hukum-hukum
jahiliah, baik hukum adat, hukum pidana dan perdata, maupun yang lainnya. Masih
saja kita mengedepankan logika dan hawa nafsu untuk menjadikan hukum dan
perundang-undangan yang dibuat oleh manusia sebagai tandingan bagi hukum Allah Shubhanahu wa ta’alla dan Rasul -Nya.
Sungguh dengan itu, kita akan tergolong ke dalam orang-orang yang disesatkan
oleh setan dengan kesesatan yang sejauh-jauhnya.
Perhatikan dengan saksama
ayat-ayat berikut ini dan mohonlah petunjuk kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla untuk bisa mengamalkannya.
قال الله تعالى: ﴿ فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤۡمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ
فِيمَا شَجَرَ بَيۡنَهُمۡ ثُمَّ لَا يَجِدُواْ فِيٓ أَنفُسِهِمۡ حَرَجٗا مِّمَّا قَضَيۡتَ
وَيُسَلِّمُواْ تَسۡلِيمٗا ٦٥ ﴾ [ النساء: 65]
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak mendapati dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap keputusan hukum yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (an-Nisa’: 65).
Dalam ayat di atas:
1.
Allah Shubhanahu wa
ta’alla memulai perkataan -Nya dengan sumpah atas nama Dzat -Nya Yang Maha
mulia. Ini menunjukkan bahwa permasalahan yang akan disebutkan -Nya adalah
permasalahan besar.
2.
Allah Shubhanahu wa
ta’alla meniadakan keimanan seorang hamba kalau dia tidak mau berhukum
kepada hukum Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa sallam dalam semua urusannya.
3.
Allah Shubhanahu wa
ta’alla tidak menerima sikap tunduk kepada hukum Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam secara
lahir saja. Bahkan, Allah Shubhanahu wa
ta’alla menuntut kepada hamba tersebut untuk menerimanya secara batin
dengan penuh keikhlasan dan ketulusan hati.
Demikian pula firman Allah Shubhanahu wa ta’alla:
قال الله تعالى: ﴿ وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٖ
وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ
مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلٗا مُّبِينٗا
٣٦ ﴾ [ الأحزاب : 36]
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula)
bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul -Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, masih akan ada bagi mereka pilihan hukum (yang lain) tentang urusan
mereka, dan barang siapa mendurhakai (hukum) Allah dan Rasul -Nya, maka sungguh
dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (al-Ahzab: 36).
Al-Imam
Ibnu Katsir berkata, “Ayat ini bersifat umum meliputi
semua urusan, yaitu jika Allah dan Rasul
-Nya telah memutuskan sebuah hukum, tak seorang pun yang boleh
menyelisihinya. Tidak pula ada pilihan apapun baginya (selain hukum Allah).
Tidak ada juga logika atau pendapat (lain yang boleh diikuti).” (Tafsir Ibnu
Katsir)
Untuk
memperjelas beberapa keterangan di atas, berikut ini kita akan mengikuti dengan
saksama fatwa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, salah seorang ulama besar umat ini
yang mengikuti jejak generasi as-salafush shalih. Dalam fatwanya beliau
berkata, “Wajib atas seluruh kaum muslimin
untuk berhukum kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul -Nya, Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa sallam, dalam semua urusan, dan agar mereka tidak berhukum kepada
berbagai ketetapan adat istiadat dan ketentuan-ketentuan suku (kabilah). Tidak
pula kepada perundang-undangan yang dibuat oleh manusia. Allah Shubhanahu wa
ta’alla berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ وَإِذۡ نَادَىٰ رَبُّكَ مُوسَىٰٓ أَنِ ٱئۡتِ ٱلۡقَوۡمَ
ٱلظَّٰلِمِينَ ١٠ ﴾ [الشورى : 10]
“Tentang
sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah. (yang
mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Rabbku, kepada-Nya lah aku
bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.” (asy-Syura: 10).
Kemudian beliau juga menyebutkan ayat ke-60
dalam surat an-Nisa’ di atas.
Beliau melanjutkan, “Allah Shubhanahu wa ta’alla juga berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ
وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ
فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ
ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا ٥٩﴾ [ النساء : 59 ]
“Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.” (an-Nisa’: 59)
Berdasarkan hal itu, wajib
atas setiap muslim untuk tunduk dan patuh kepada hukum Allah Shubhanahu wa ta’alla dan Rasul-Nya,
serta tidak mengedepankan selain hukum Allah Shubhanahu wa ta’alla dan Rasul -Nya. Sebagaimana seluruh
peribadatan hanya milik Allah Shubhanahu
wa ta’alla satu-satunya, demikian pula berhukum, wajib hanya kepada hukum
Allah Shubhanahu wa ta’alla
satu-satunya. Ini sebagaimana firman Allah Shhubhanahu
wa ta’alla:
قال الله تعالى: ﴿ مَا تَعۡبُدُونَ مِن دُونِهِۦٓ إِلَّآ أَسۡمَآءٗ
سَمَّيۡتُمُوهَآ أَنتُمۡ وَءَابَآؤُكُم مَّآ أَنزَلَ ٱللَّهُ بِهَا مِن سُلۡطَٰنٍۚ
إِنِ ٱلۡحُكۡمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعۡبُدُوٓاْ إِلَّآ إِيَّاهُۚ ذَٰلِكَ
ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ ٤٠ ﴾ [ يوسف: 40]
“Tidaklah (hak
penentuan) hukum kecuali hanya milik Allah.” (Yusuf: 40)
Dengan
demikian, berhukum kepada selain Kitabullah dan selain Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam termasuk
jenis kemungkaran yang terbesar dan kemaksiatan yang terjelek. Bahkan,
seseorang yang berhukum kepada selain Kitabullah dan Sunnah Rasul -Nya bisa
menjadi kafir jika ia meyakini perbuatan berhukum kepada selain hukum Allah
adalah halal (boleh), atau ia meyakini bahwasanya hukum selain hukum Allah Shubhanahu wa ta’alla dan Rasul -Nya
adalah lebih baik. Allah Shubhanahu wa
ta’alla berfirman (kemudian beliau menyebutkan ayat ke-65 surat an-Nisa’1).
Maka dari itu, tidak ada iman bagi siapa saja yang tidak berhukum kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla dan Rasul-Nya,
baik dalam berbagai permasalahan pokok dalam agama ini maupun permasalahan
cabang dan dalam berbagai jenis hak.
Dengan
demikian, barang siapa yang berhukum kepada selain hukum Allah Shubhanahu wa ta’alla dan Rasul-Nya n
sungguh dia telah berhukum kepada thaghut.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat
Mutanawwi’ah li Samahatisy Syaikh Abdil ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, 8/272)
Pada
kesempatan lain, ketika beliau ditanya tentang hadits:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لَتُنْقَضَنَّ عُرَى اْلإِسْلاَمِ عُرْوَةً عُرْوًةً، فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِيْ تَلِيْهَا، فَأَوَّلُهُنَّ نَقْضاً الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلاَةُ » [ رواه أحمد والحاكم ]
“Sungguh pasti akan terlepas tali-tali pengikat Islam, ikatan
demi ikatan. Pada saat terlepas satu ikatan, manusia pun bersegera untuk
berpegang dengan ikatan yang berikutnya. Tali ikatan yang pertama kali terlepas
adalah hukum, dan yang paling terakhir adalah shalat.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, al-Hakim, dari shahabat Abu Umamah
al-Bahili )
Beliau
berkata, “Makna hadits ini sangatlah jelas, yaitu tentang sikap tidak berhukum
pada syariat Allah Shubhanahu wa ta’alla.
Inilah realitas masa kini yang terjadi pada mayoritas negara yang menisbatkan
dirinya kepada Islam. Sudah menjadi suatu hal yang telah diketahui bahwasanya
wajib atas semua pihak untuk berhukum kepada syariat Allah Shubhanahu wa ta’alla pada semua urusan. Hendaknya setiap pribadi
juga waspada dari sikap berhukum kepada perundang-undangan yang dibuat oleh
manusia atau hukum-hukum adat yang menyelisihi syariat yang suci ini, dengan
dalil firman Allah Shubhanahu wa ta’alla
(kemudian
beliau menyebutkan ayat ke-65 surat an-Nisa’3 dan ayat ke-49 serta ke-50 surat
al-Maidah4).”
Kemudian beliau melanjutkan, “Juga ayat-ayat dalam surat al-Maidah berikut: yang artinya :
Kemudian beliau melanjutkan, “Juga ayat-ayat dalam surat al-Maidah berikut: yang artinya :
“Barang siapa yang tidak memutuskan
hukum menurut hukum syariat yang diturunkan oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla,
maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (al-Maidah: 44)
“Barang siapa yang tidak memutuskan
hukum menurut hukum syariat yang diturunkan oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla,
maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (al-Maidah: 45)
“Barang siapa yang tidak memutuskan
hukum menurut hukum syariat yang diturunkan oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla,
maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (al-Maidah: 47)
Para ulama pun telah
menjelaskan tentang kewajiban atas seluruh pemerintah kaum muslimin untuk
berhukum kepada syariat Allah Shubhanahu
wa ta’alla dalam semua urusan kaum muslimin dan semua masalah yang mereka
perselisihkan dalam rangka mengamalkan ayat-ayat yang mulia di atas.
Para ulama tersebut juga
menjelaskan bahwa seorang hakim yang memutuskan hukum dengan selain syariat
yang diturunkan oleh Allah Shubhanahu wa
ta’alla, ia telah kafir dengan bentuk kekufuran yang mengeluarkannya dari
agama Islam, jika ia meyakini bahwa perbuatan itu halal (boleh). Namun, apabila
ia tidak meyakini hal itu sebagai perbuatan yang halal, dan ia berhukum kepada
selain syariat Allah Shubhanahu wa
ta’alla hanya sebatas disebabkan oleh adanya suap atau kepentingan
tertentu, ia juga tetap beriman bahwa berhukum kepada selain syariat Allah Shubhanahu wa ta’alla adalah tidak boleh
dan bahwa berhukum kepada syariat Allah Shubhanahu
wa ta’alla adalah wajib, dalam kondisi seperti ini dia menjadi kafir dengan
jenis kufran ashghar (kekafiran kecil), dan menjadi zalim dengan jenis zhulman
ashghar (kezaliman kecil) dan menjadi fasik dengan jenis fisqan ashghar
(kefasikan kecil).
Kami
memohon kepada Allah Shubhanahu wa
ta’alla agar memberikan bimbingan kepada seluruh pemerintah muslimin untuk
mau berhukum kepada syariat -Nya dan mengembalikan seluruh keputusan hukum
kepada -Nya, sekaligus mengharuskan kepada masyarakatnya untuk berhukum kepada
syariat Allah, dan agar mereka waspada dari sikap menyelisihi hukum Allah.
(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah li Samahatisy Syaikh ‘Abdil ‘Aziz bin
‘Abdillah bin Baz 9/205)
Post a Comment