Kesalah Pahaman Terhadap Masalah Penting Dalam Islam
Kesalah Pahaman Terhadap Masalah Penting Dalam Islam
Khutbah
pertama:
إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ
وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا
وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ
يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ
شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اللَّهُمَّ
صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ
وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، أَمَّا بَعْدُ:
Ma’asyiral muslimin
rahimakumullah, Alhamdulillah, segala puji kita panjatkan ke hadirat Allah Shubhanahu wa ta’alla yang mencipta,
memiliki, dan mengatur semesta alam. Dialah satu-satunya yang berhak untuk
diibadahi yang tidak ada sekutu bagi -Nya dan tidak ada sesuatu pun yang serupa
dengan -Nya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada pemimpin kaum
muslimin, Nabi kita Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa sallam, keluarganya, para sahabatnya, dan seluruh kaum muslimin
yang berjalan di atas sunnahnya.
Jamaah
jum’ah yang semoga dirahmati Allah Shubhanahu
wa ta’alla, Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla dengan
bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu untuk diamalkan dalam kehidupan
kita. Tentu saja harus melalui keterangan serta bimbingan para ulama yang
berjalan di atas jalan generasi terbaik umat ini, yaitu para sahabat Nabi Muhammad
Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Karena merekalah orang-orang yang
dipilih oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla untuk
membawa agama Islam setelah wafatnya Rasulullah Shubhanahu wa ta’alla.
Hadirin rahimakumullah,
Pada kesempatan khutbah kali
ini akan kami sampaikan, enam perkara penting di antara prinsip-prinsip yang
ada dalam agama Islam yang disebutkan oleh salah seorang ulama besar, yaitu
asy-Syaikh Muhammad at-Tamimi dalam kitab beliau al-Ushulus Sittah. Enam
perkara penting ini sesungguhnya telah disebutkan dengan sangat jelas di dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah, sehingga orang yang awam pun dari kaum muslimin akan
memahaminya apabila mau mempelajarinya. Namun, karena jauhnya sebagian kaum
muslimin dari ulama dalam mempelajari agamanya dan kurangnya sebagian kaum
muslimin dalam mempelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah—bahkan Al-Qur’an hanya
sebatas dihafalkan atau dibaca saja—enam perkara yang penting ini menjadi
perkara yang tidak diketahui, bahkan disalahpahami. Tidak saja disalahpahami
oleh orang-orang awam, namun juga oleh orang-orang yang dikenal berpendidikan
tinggi serta ditokohkan oleh sebagian kaum muslimin.
Hadirin rahimakumullah,
Keenam
perkara penting ini, yang pertama adalah kewajiban untuk mengikhlaskan ibadah
hanya untuk Allah Shubhanahu wa ta’alla semata
dan tidak menyekutukan -Nya dengan
sesuatu pun. Allah Shubhanahu wa ta’alla telah
menyebutkan perkara yang penting ini dengan sangat jelas dalam banyak ayat-Nya,
seperti dalam firman-Nya:
قال الله تعالى: ﴿۞وَٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡٔٗاۖ ﴾ [ النساء : 36]
“Beribadahlah
kalian kepada Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu
pun.” (an-Nisa: 36).
Ayat ini menjelaskan bahwa
ibadah dengan segala jenisnya hanyalah untuk Allah Shubhanahu wa ta’alla semata karena Allah Shubhanahu wa ta’alla-lah satu-satunya yang mencipta, menguasai,
serta mengatur alam semesta.
Hadirin rahimakumullah,
Namun
prinsip yang besar ini kemudian menjadi perkara yang asing dan disalahpahami
oleh banyak orang. Disebabkan tipu daya setan yang menghiasi kesyirikan dalam
bentuk mencintai orang saleh, terjatuhlah banyak kaum muslimin dalam perbuatan
syirik.
Di antara mereka ada yang menjadikan orang yang telah meninggal dunia dari yang dianggap saleh tersebut sebagai perantara untuk meminta kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla, atau dengan melakukan penyembelihan di atas kuburannya serta mengambil berkah dari tanah kuburannya, dan yang semisalnya. Jadilah mencintai orang saleh diwujudkan dalam bentuk kesyirikan. Orang yang tidak mau berbuat syirik kemudian dianggap sebagai orang yang tidak mencintai orang saleh. Tentu saja, perbuatan ini menyelisihi apa yang disebutkan di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits yang sahih serta bertentangan dengan dakwah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan seluruh para nabi yang diutus untuk mengajak manusia agar mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah Shubhanahu wa ta’alla semata.
Di antara mereka ada yang menjadikan orang yang telah meninggal dunia dari yang dianggap saleh tersebut sebagai perantara untuk meminta kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla, atau dengan melakukan penyembelihan di atas kuburannya serta mengambil berkah dari tanah kuburannya, dan yang semisalnya. Jadilah mencintai orang saleh diwujudkan dalam bentuk kesyirikan. Orang yang tidak mau berbuat syirik kemudian dianggap sebagai orang yang tidak mencintai orang saleh. Tentu saja, perbuatan ini menyelisihi apa yang disebutkan di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits yang sahih serta bertentangan dengan dakwah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan seluruh para nabi yang diutus untuk mengajak manusia agar mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah Shubhanahu wa ta’alla semata.
Jama’ah jum’ah
rahimakumullah,
Di samping itu, karena alasan
mencintai orang saleh pula, banyak dari kaum muslimin yang tertipu oleh setan
sehingga terjatuh dalam perkara yang akan menyeret kepada perbuatan syirik. Di
antaranya dengan membangun dan beribadah di sekitar makam orang yang dianggap
saleh, serta menganggap bahwa berdoa kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla di sekitar kuburan tersebut lebih mustajab
dari berdoa dan beribadah di tempat lain. Padahal menjadikan kuburan sebagai
tempat ibadah merupakan amalan orang Yahudi dan Nasrani yang diingatkan oleh
Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa
sallam dalam sabdanya:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «لَعْنَةُ
اللهِ عَلَى اليَهُوْدِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ
مَسَاجِدَ » [ متفق عليه ]
“Semoga
Allah Shubhanahu wa ta’allamelaknat Yahudi dan Nasrani, mereka menjadikan
kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat beribadah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Jama’ah jum’ah
rahimakumullah,
Perkara penting yang kedua
adalah bahwa Allah Shubhanahu wa ta’alla memerintahkan
kaum muslimin untuk bersatu di atas agama Allah Shubhanahu wa ta’allaserta melarang berpecah-belah dengan menyelisihi
ajarannya. Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعٗا وَلَا تَفَرَّقُواْۚ ﴾ [آل
عمران : 103]
“Dan
berpegang teguhlah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah
kalian bercerai-berai.” (Ali Imran: 103).
Ayat
ini menunjukkan kewajiban untuk menjalankan hal yang penting ini, yaitu agar
kaum muslimin bersatu di atas agama Allah Shubhanahu
wa ta’alla dan mengembalikan perselisihan di antara mereka kepada wahyu
yang diturunkan oleh Allah Shubhanahu wa
ta’alla, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bukan fanatik buta kepada ucapan
ulama A atau ulama B, tanpa memperdulikan dasar pijakannya. Bukan pula dengan
membiarkan perselisihan di antara kaum muslimin dalam permasalahan yang salah
satunya dibangun di atas dalil yang kuat sedangkan yang lainnya sebaliknya.
Karena itu, hal ini akan menyebabkan tidak adanya upaya saling menasihati serta
akan menghilangkan kewajiban tolong-menolong di atas kebenaran, yang akibatnya
akan terjatuh pada tolong-menolong di atas kebatilan.
Adapun
sabda Nabi Allah Shubhanahu wa ta’alla yang menyebutkan bahwa “perselisihan umatku
adalah rahmat” bukanlah hadits yang sahih, sebagaimana keterangan para ulama.
Bahkan perselisihan dan perpecahan akan membuahkan azab sebagaimana tersebut
dalam firman Allah Shubhanahu wa ta’alla:
قال الله تعالى: ﴿ وَلَا تَكُونُواْ كَٱلَّذِينَ تَفَرَّقُواْ
وَٱخۡتَلَفُواْ مِنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَهُمُ ٱلۡبَيِّنَٰتُۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ لَهُمۡ عَذَابٌ
عَظِيمٞ ١٠٥ ﴾ [ آل عمران : 105 ]
“Dan
janganlah kalian menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih
sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang
yang mendapat siksa yang berat.” (Ali Imran: 105)
Hadirin rahimakumullah,
Oleh karena itu, jelaslah
bahwa kebahagiaan dan kekuatan kaum muslimin akan terwujud apabila kaum
muslimin bersatu di atas kebenaran, yaitu jalan yang telah dilalui oleh
Rasulullah Shubhanahu wa ta’alla dan
para sahabatnya. Bukan sebaliknya, berpecah-belah dengan membuat jalan dan
aturan baru dalam menjalankan agama Allah Shubhanahu
wa ta’alla.
Jama’ah jum’ah
rahimakumullah,
Namun
perkara yang penting ini pun kemudian disalahpahami oleh sebagian kaum
muslimin, sehingga orang yang mengajak untuk kembali kepada Al-Qur’an dan
As-Sunnah dengan pemahaman salaful ummah serta mengingatkan dari kesalahan suatu
pemahaman yang diyakini oleh masyarakat, dianggap sebagai orang yang ingin
memecah-belah persatuan kaum muslimin atau dianggap meremehkan ulama atau tokoh
kaum muslimin. Padahal Rasulullah Shalallhu
‘alaihi wa sallam adalah sosok yang bukan hanya mengajak kepada kebaikan,
namun juga mengingatkan umatnya dari kebatilan begitu pula para ulama yang
mengikuti jalannya.
Hadirin rahimakumullah,
Adapun
perkara penting yang ketiga adalah kewajiban untuk bersatu di bawah penguasa
muslim. Dengan bersatunya kaum muslimin di bawah seorang penguasa, akan
terwujud kehidupan yang aman dan terhindar dari kehidupan yang penuh
ketidakteraturan. Oleh karena itu, wajib bagi kaum muslimin untuk menjalankan
prinsip ini dengan menaati aturan penguasanya dalam urusan yang tidak
bertentangan dengan syariat. Allah Shubhanahu
wa ta’alla telah memerintahkan dalam firman -Nya:
قال الله تعالى: ﴿ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ
وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ ﴾ [ النساء : 59]
“Wahai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), serta ulil
amri (yaitu ulama dan umara) di antara kalian.” (an-Nisa: 59)
Namun,
prinsip bersatu bersama penguasa muslim ini pun telah disalahpahami. Yang
dibanggakan dan ditokohkan oleh sebagian kaum muslimin justru orang yang
melanggar prinsip ini, yaitu orang yang berani menentang dan menyebutkan
kejelekan penguasanya di depan massa. Akibatnya, terjadilah pertumpahan darah.
Kehidupan masyarakat pun menjadi tidak aman, kacau, dan penuh keresahan. Semestinya,
seseorang yang ingin menasihati penguasanya hendaknya melakukannya secara
diam-diam dan tidak di muka umum, sebagaimana telah diajarkan oleh Nabi kita
Muhammad Shubhanahu wa ta’alla.
Demikianlah
tiga dari enam perkara penting dalam agama kita. Mudah-mudahan Allah Shubhanahu wa ta’alla senantiasa
memberikan kebaikan dan taufiq -Nya kepada kita.
Walhamdulillahi rabbil
‘alamin.
Khutbah kedua:
الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ،
وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِيْنَ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلَّمَ
تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا، أَمَّا بَعْدُ:
Ma’asyiral muslimin
rahimakumullah,
Melanjutkan
pembahasan sejumlah masalah penting dalam agama Islam yang telah disalahpahami
oleh banyak kaum muslimin. Perkara penting berikutnya adalah penjelasan tentang
ilmu dan ulama. Ilmu yang disebutkan keutamaannya di dalam Al-Qur’an dan hadits
Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa
sallam adalah ilmu syar’i, yaitu wahyu yang Allah Shubhanahu wa ta’alla turunkan kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan
ilmu inilah, Allah Shubhanahu wa ta’alla akan
memperbaiki hati dan akhlak seseorang serta akan menunjukkan mana yang benar
dan mana yang salah. Oleh karena itu, ilmu syar’i inilah yang akan mengantarkan
seseorang kepada keridhaan Allah Shubhanahu
wa ta’alla. Begitu pula ulama yang dipuji dalam Al-Qur’an dan hadits adalah
ulama yang memahami dan mengamalkan serta mengajak kepada agama yang dibawa
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam
dengan penuh amanah. Tentang ulama, Allah Shubhanahu
wa ta’allaberfirman:
قال الله تعالى: ﴿ إِنَّمَا يَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَٰٓؤُاْۗ ﴾ [ فاطر: 28]
“Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba -Nya,
hanyalah ulama.” (Fathir: 28)
Namun, prinsip ini pun kemudian disalahpahami oleh kebanyakan orang. Jadilah ilmu yang dipahami oleh kebanyakan orang bukanlah firman Allah Shubhanahu wa ta’alla dan sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Ilmu yang dipahami oleh kebanyakan orang ternyata justru ucapan dan pendapat seseorang yang tidak ada dasarnya, atau bahkan cerita yang penuh khurafat. Akibatnya, orang semakin jauh dari ilmu syar’i serta semakin sibuk dengan dunia atau sibuk dengan amal ibadah yang tidak ada tuntunannya. Selain itu, karena salah memahami prinsip ini, banyak orang yang tidak kembali kepada ulama. Mereka justru lebih tertarik dengan orang yang berpenampilan layaknya ulama, padahal dia tidak mengetahui jalan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Jadilah setiap orang yang berbicara tentang agama Islam disebut ulama oleh kebanyakan orang. Bisa jadi, karena banyaknya hafalan Al-Qur’an yang dimilikinya atau karya tentang agama Islam yang ditulisnya, seseorang dianggap ulama, padahal dia tidak memahami dengan benar jalan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam
Hadirin rahimakumullah,
Perkara
penting yang kelima adalah penjelasan tentang makna wali. Istilah wali telah
dijelaskan maksudnya di dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad Shalallahu ‘alahi wa sallam. Di
antaranya disebutkan dalam firman Allah Shubhanahu
wa ta’alla:
قال الله تعالى: ﴿ أَلَآ إِنَّ أَوۡلِيَآءَ ٱللَّهِ لَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ
٦٢ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَكَانُواْ يَتَّقُونَ ٦٣ ﴾ [ يونس: 62-63]
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali
Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.”
(Yunus: 62—63)
Oleh karena itu, wali-wali Allah adalah orang-orang yang senantiasa menjalankan hal-hal yang Allah Shubhanahu wa ta’alla wajibkan serta menyempurnakannya dengan menjalankan amalan-amalan yang sunnah. Namun perkara yang penting ini pun telah disalahpahami, sehingga tanpa melihat ketakwaan dan keimanannya, seseorang disebut wali Allah Shubhanahu wa ta’alla oleh banyak orang. Mereka hanya sebatas bisa melakukan sesuatu yang dilihat luar biasa, seperti tidak terluka ketika dikenai benda tajam atau dilindas mobil, dan yang semisalnya, kemudian mereka anggap wali. Akibatnya, orang-orang yang meninggalkan shalat, berbuat bid’ah dan dosa-dosa besar lainnya—bahkan masih berbuat syirik—diakui sebagai wali, lalu diambil barakah dari tubuhnya dan dikeramatkan kuburannya setelah meninggal. Wal ‘iyadzubillah.
Jama’ah jum’ah
rahimakumullah,
Perkara
penting yang keenam adalah penjelasan tentang anggapan salah yang menyatakan
bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak mungkin bisa dipahami dengan benar kecuali
oleh ulama yang telah mampu melakukan ijtihad saja. Akhirnya, mereka menganggap
bahwa yang selamat bagi keumuman kaum muslimin adalah mengikuti pendapat ulama
saja tanpa perlu mempelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bahkan mereka menganggap
bahwa mempelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah akan membuat keumuman kaum muslimin
akan tersesat.
Tentu
saja pernyataan ini adalah anggapan yang salah. Betapa banyak ayat yang memerintahkan seluruh kaum muslimin tanpa
terkecuali untuk mentadaburi Al-Qur’an. Akankah Allah Shubhanahu wa ta’alla memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan
hal yang tidak bisa dilakukan? Atau akankah Allah Shubhanahu wa ta’alla memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan
sesuatu yang akan mencelakakan diri mereka sendiri? Sungguh kebahagiaan
seseorang justru ketika dia mau membaca dan mempelajari Al-Qur’an. Memang ada
hal-hal yang tidak semua orang bisa memahaminya, namun kita bisa menanyakannya
kepada para ulama. Adapun meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, ini adalah
sebab celakanya seseorang. Allah Shubhanahu
wa ta’alla berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ وَمَنۡ أَعۡرَضَ عَن ذِكۡرِي فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةٗ ضَنكٗا وَنَحۡشُرُهُۥ
يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ أَعۡمَىٰ ١٢٤ قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرۡتَنِيٓ أَعۡمَىٰ وَقَدۡ كُنتُ
بَصِيرٗا ١٢٥ قَالَ كَذَٰلِكَ أَتَتۡكَ ءَايَٰتُنَا فَنَسِيتَهَاۖ وَكَذَٰلِكَ
ٱلۡيَوۡمَ تُنسَىٰ ١٢٦ ﴾ [ طه : 126- 124 ]
“Dan
barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan
yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan
buta.” Berkatalah ia, “Ya Rabbku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam
keadaan buta padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?” Allah
berfirman, “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, namun kamu
melupakannya, maka begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan.” (Thaha:
124—126)
Demikian beberapa perkara penting yang bisa kami sebutkan dan masih banyak prinsip Islam lainnya. Mudah-mudahan Allah Shubhanahu wa ta’alla senantiasa menunjukkan kepada kita kebenaran untuk kita melakukannya dan menunjukkan kepada kita kesalahan untuk kita menjauhinya.
Catatan Kaki: Kami tidak mencantumkan doa pada rubrik “Khutbah Jumat” agar
khatib yang ingin membaca doa memilih doa yang sesuai dengan keadaan
masing-masing.
Post a Comment