Membalas Kebaikan Orang Lain
Membalas Kebaikan Orang Lain
Segala
puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat
serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu u’alaihi wa sallam
beserta keluarga dan seluruh sahabatnya.
Berterima
kasih atas pemberian orang lain adalah perangai terpuji. Setiap muslim
hendaknya menghiasi diri dengannya. Allah Shubhanahu
wa ta’alla berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ هَلۡ جَزَآءُ ٱلۡإِحۡسَٰنِ إِلَّا ٱلۡإِحۡسَٰنُ ٦٠ ﴾ [الرحمن:60]
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan
(pula).” (ar-Rahman: 60).
Adalah
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan umatnya agar membalas
kebaikan orang lain, sebagaimana sabdanya:
قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم: « مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرُوْفٌ فَلْيَجْزِهِ، فَإِنْ لَمْ
يَجِدْ مَا يَجْزِيْهِ فَلْيُثْنِ عَلَيْهِ، فَإِنَّهُ إِذَا أَثْنَى عَلَيْهِ
فَقَدْ شَكَرَهُ وَإِنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَه» [رواه البخاري]
“Barangsiapa diperlakukan baik (oleh
orang), hendaknya ia membalasnya. Apabila dia tidak mendapatkan sesuatu untuk
membalasnya, hendaknya ia memujinya. Jika ia memujinya maka ia telah
berterimakasih kepadanya namun jika menyembunyikannya berarti dia telah
mengingkarinya ….” (HR. al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad, lihat Shahih al-Adab
al-Mufrad no. 157)
Pada
umumnya, seseorang merasa berat hati untuk mengeluarkan tenaga, harta, waktu,
dan yang semisalnya jika tidak ada imbal balik darinya. Oleh karena itu,
barangsiapa yang mencurahkan semua itu untuk saudaranya dengan hati yang tulus,
orang seperti ini berhak dibalas kebaikannya dan disyukuri pemberiannya. Apabila
kita diperintahkan untuk berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat kepada
kita dan memaafkannya, tentu balasan orang yang berbuat baik kepada kita
hanyalah kebaikan. Perlu diketahui juga, dalam Islam orang yang memberi lebih
baik daripada orang yang menerima. Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم: « الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى» [متفق
عليه]
“Tangan yang di
atas (pemberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (penerima pemberian).”
(HR. al-Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu, hendaknya kita menjadi umat yang suka memberi daripada banyak menerima. Jika kita menerima pemberian, berbalas budilah, karena seperti itulah contoh dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam . ‘Aisyah berkata, “Adalah Rasulullah menerima hadiah (pemberian selain shadaqah) dan membalasnya.” (Shahih al-Bukhari no. 2585).
Berbalas
budi—di samping merupakan perangai yang disukai oleh Islam dan terpuji di
tengah masyarakat—adalah salah satu cara untuk mencegah timbulnya keinginan
mengungkit-ungkit pemberian yang bisa membatalkan amal pemberiannya.
Bentuk Balas Budi
Bentuk
membalas kebaikan orang sangat banyak ragam dan bentuknya. Tentu saja setiap
orang membalas sesuai dengan keadaan dan kemampuannya. Jika seseorang membalas
dengan yang sepadan atau lebih baik, inilah yang diharapkan. Jika tidak maka
memuji orang yang memberi di hadapan orang lain, mendoakan kebaikan dan
memintakan ampunan baginya, juga merupakan bentuk membalas kebaikan orang.
Dahulu,
orang-orang Muhajirin datang kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengatakan, “Wahai Rasulullah,
orang-orang Anshar telah pergi membawa seluruh pahala. Kami tidak pernah
melihat suatu kaum yang paling banyak pemberiannya dan paling bagus bantuannya
di saat kekurangan selain mereka. Mereka juga telah mencukupi kebutuhan kita.” Nabi
Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
“Bukankah kalian telah memuji dan mendoakan mereka?” Para Muhajirin menjawab,
“Iya.” Nabi bersabda, “Itu dibalas dengan itu.” (HR. Abu Dawud dan an-Nasai, lihat
Shahih at-Targhib no. 963). Maksudnya, selagi orang-orang Muhajirin memuji
orang-orang Anshar karena kebaikan mereka, para Muhajirin telah membalas
kebaikan mereka.
Di
antara bentuk pujian yang paling bagus untuk orang yang berbuat baik adalah
ucapan:
قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم: «جَزاكَ اللهُ خَيْرًا »
“Semoga Allah
membalas kamu dengan kebaikan.”
Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم: «مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرُوْفٌ فَقَالَ لِفَاعِلِهِ:
جَزَاكَ اللهُ خَيْرًا؛ فَقَدْ أَبْلَغَ فِى الثَّنَاءِ » [رواه الترمذي]
Barang siapa diperlakukan baik lalu
ia mengatakan kepada pelakunya, “Semoga Allah membalas kamu dengan kebaikan”,
dia telah tinggi dalam memujinya.” (Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 2035, cet.
al-Ma’arif)
Mensyukuri
yang Sedikit Sebelum yang Banyak
Seseorang belum dikatakan mensyukuri Allah Shubhanahu wa ta’alla jika belum berterimakasih terhadap kebaikan orang. Hal ini seperti yang disabdakan oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
Seseorang belum dikatakan mensyukuri Allah Shubhanahu wa ta’alla jika belum berterimakasih terhadap kebaikan orang. Hal ini seperti yang disabdakan oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لَا
يَشْكُرُ اللهَ مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاسَ» [رواه البخاري]
“Tidak bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterimakasih kepada manusia.” (HR. Al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad dari sahabat Abu Hurairah , dan Abu Dawud dalam Sunan-nya).
Hadits ini mengandung dua pengertian:
1.
Orang yang tabiat dan kebiasaannya tidak mau berterimakasih
terhadap kebaikan orang, biasanya dia juga mengingkari nikmat Allah Shubhanahu wa ta’alla dan tidak
mensyukuri-Nya.
2.
Allah Shubhanahu wa
ta’alla tidak menerima syukur hamba kepada -Nya apabila hamba tidak
mensyukuri kebaikan orang, karena dua hal ini saling berkaitan.
Ini
adalah makna ucapan al-Imam al-Khaththabi seperti disebutkan dalam ‘Aunul
Ma’bud (13/114, cet. Darul Kutub al-Ilmiyah).
Orang yang tidak bisa mensyukuri pemberian orang meskipun hanya sedikit, bagaimana ia akan bisa mensyukuri pemberian Allah Shubhanahu wa ta’alla yang tak terbilang!
Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ وَإِن تَعُدُّواْ نِعۡمَةَ ٱللَّهِ لَا
تُحۡصُوهَآۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَغَفُورٞ رَّحِيمٞ ١٨ ﴾ [النحل:18]
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.” (an-Nahl: 18).
Orang-orang
yang Harus Disyukuri Pemberiannya
Di antara manusia yang wajib disyukuri kebaikannya adalah kedua orang tua. Ini sebagaimana firman Allah Shubhanahu wa ta’alla:
Di antara manusia yang wajib disyukuri kebaikannya adalah kedua orang tua. Ini sebagaimana firman Allah Shubhanahu wa ta’alla:
قال الله تعالى: ﴿ وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيۡهِ حَمَلَتۡهُ
أُمُّهُۥ وَهۡنًا عَلَىٰ وَهۡنٖ وَفِصَٰلُهُۥ فِي عَامَيۡنِ أَنِ ٱشۡكُرۡ لِي وَلِوَٰلِدَيۡكَ
إِلَيَّ ٱلۡمَصِيرُ ١٤ ﴾ [لقمان:14]
“Bersyukurlah
kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu.” (Luqman: 14).
Kedua
orang tua telah mengorbankan semua miliknya demi kebaikan anaknya. Mereka siap
menanggung derita karena ada seribu asa untuk buah hatinya. Oleh karena itu,
sebaik apa pun seorang anak menyuguhkan berbagai pelayanan kepada kedua orang
tuanya, belumlah mampu membalas kebaikan mereka, kecuali apabila mereka
tertawan musuh atau diperbudak lalu sang anak membebaskannya dan
memerdekakannya. Hak kedua orang tua sangatlah besar sehingga sangat besar pula
dosa yang ditanggung oleh seseorang manakala mendurhakai kedua orang tuanya.
Demikian
pula, kewajiban seorang istri untuk berterimakasih kepada suaminya sangatlah
besar. Seorang suami telah bersusah-payah mencarikan nafkah serta mencukupi
kebutuhan anak dan istrinya. Oleh karena itu, seorang istri hendaknya
pandai-pandai berterimakasih atas kebaikan suaminya. Jika tidak, dia akan
diancam dengan api neraka.
Dahulu ketika melakukan shalat gerhana, diperlihatkan surga dan neraka kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam . Diperlihatkan kepada beliau api neraka yang ternyata kebanyakan penghuninya adalah wanita. Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa sebabnya adalah mereka banyak melaknat dan mengingkari kebaikan suaminya. (Lihat Shahih Muslim no. 907).
Dahulu ketika melakukan shalat gerhana, diperlihatkan surga dan neraka kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam . Diperlihatkan kepada beliau api neraka yang ternyata kebanyakan penghuninya adalah wanita. Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa sebabnya adalah mereka banyak melaknat dan mengingkari kebaikan suaminya. (Lihat Shahih Muslim no. 907).
Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « يَا
مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ وَأَكْثِرْنَ مِنَ الْإِسْتِغْفَارِ فَإِنِّي
رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ » [صحيح مسلم]
“Wahai para
wanita, bersedekahlah
kalian dan perbanyaklah istighfar (meminta ampunan kepada Allah), karena aku
melihat kalian terbanyaknya penghuni neraka.” Ketika Nabi Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa sallam menyampaikan wasiat tersebut, ada seorang wanita bertanya,
“Mengapa kami (para wanita) menjadi mayoritas penghuni neraka?” Beliau
menjawab, “Kalian banyak melaknat dan mengingkari (kebaikan) suami.”
(Mukhtashar Shahih Muslim no. 524).
Apabila seorang istri
disyariatkan untuk mengingat kebaikan suaminya, demikian pula seorang suami
hendaknya mengingat-ingat kebaikan istrinya. Adalah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa
mengingat-ingat jasa dan perjuangan istrinya tercinta, Khadijah bintu
Khuwailid. Hal ini seperti yang disebutkan oleh ‘Aisyah, “Aku belum pernah
merasa cemburu terhadap istri-istri Nabi seperti cemburuku atas Khadijah,
padahal aku belum pernah melihatnya. Akan tetapi, Nabi sering menyebutnya.
Terkadang beliau menyembelih kambing lalu memotong bagian kambing itu dan
beliau kirimkan kepada teman-teman Khadijah. Terkadang aku berkata kepada Nabi,
‘Seolah tidak ada wanita di dunia ini kecuali selain Khadijah!’ Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam lalu
bersabda, ‘Sesungguhnya Khadijah dahulu begini dan begitu (beliau menyebut
kebaikannya dan memujinya), Saya juga mempunyai anak darinya’.” (HR. al-Bukhari
dan Muslim).
Di
sini, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa
sallam mengingat-ingat kebaikan istri beliau yang pertama
yang memiliki setumpuk kebaikan. Dialah Khadijah. Ia termasuk orang yang
pertama masuk Islam, membantu Nabi Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa sallam dengan hartanya, dan mendorong Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk
senantiasa tegar menghadapi setiap masalah. Oleh karena itu, hendaknya seorang
muslim selalu menjaga kebaikan istrinya, temannya, dan kawan sepergaulannya
dengan mengingat-ingat kebaikan mereka dan memujinya.
Ada
contoh lain dari praktik salaf umat ini dalam membalas kebaikan orang lain.
Sahabat Jarir bin Abdillah al-Bajali sangat kagum dengan pengorbanan orang-orang
Anshar. Oleh karena itu, ketika melakukan perjalanan dengan sahabat Anas bin
Malik—yang termasuk orang Anshar—, sahabat Jarir memberikan pelayanan dan
penghormatan kepada Anas, padahal Jarir lebih tua darinya. Anas menegur Jarir
supaya tidak memperlakukan dirinya dengan perlakuan istimewa. Akan tetapi,
Jarir beralasan bahwa orang-orang Anshar telah banyak berbuat baik kepada
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam sehingga
ia (Jarir) bersumpah akan memberikan pelayanan dan pernghormatan kepada
orang-orang Anshar. (Lihat Shahih Muslim no. 2513)
Wallahu a’lam.
Post a Comment