Mengkafirkan Orang-Orang Yang Menyimpang
Segala puji hanya untuk Allah
Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam beserta
keluarga dan seluruh sahabatnya.
Pendapat dalam mengkafirkan orang-orang menyimpang
dari ahlus sunnah wal jama’ah menurut tingkatan bid’ah mereka adalah perkara
yang banyak dibahas dalam kitab-kitab dan karangan kaum salaf hal itu dikarenakan begitu penting
dan besarnya persoalan ini, dimana ia berhubungan dengan agama seorang
muslim. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
﴿وَلاَ
تَقُولُوا لِمَنْ أَلْقَى إِلَيْكُمُ السَّلاَمَ لَسْتَ مُؤْمِنًا تَبْتَغُونَ
عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ﴾ [النساء: 94]
Dan janganlah
kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan "salam" kepadamu
:"Kamu bukan seorang mu'min"(lalu kamu membunuhnya), dengan maksud
mencari harta benda kehidupan di dunia, (QS. an-Nisaa`:94)
Di antara ucapan paling baik terkait
masalah ini adalah perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ,
ia berkata: ‘Orang yang mula-mula membicarakan kesesatan mereka dan menentukan
golongan yang binasa –menurut berita yang sampai kepada kami- adalah Yusuf bin
Asbaath rahimahullah dan Abdullah
bin Mubarak rahimahullah , keduanya adalah dua imam yang agung di
kalangan kaum muslimin. Keduanya berkata: ‘Dasar-dasar bid’ah ada
empat: Rawafidh (Syi’ah), Khawarij, Qadariyah, dan Murji’ah.’ Ada
yang bertanya kepada Abdullah bin Mubarak rahimahullah: ‘Dan Jahmiyah? Maka ia menjawab bahwa mereka bukanlah umat
Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam. Dan ia berkata: ‘Sesungguhnya
kita bisa menceritakan perkataan Yahudi dan Nashrani, dan kita tidak bisa
menceritakan ucapan kaum Jahmiyah.’ Dan yang dikatakannya ini diikuti oleh
segolongan ulama dari pengikut imam Ahmad rahimahullah dan yang lainnya. Mereka
berkata: ‘Sesungguhnya Jahmiyah adalah kafir, maka mereka tidak masuk dalam 72
golongan, sebagaimana tidak masuk dalam golongan itu orang-orang munafik yang
menyembunyikan kufur dan menampakkan Islam, mereka adalah kaum zindiq.
Dari kalangan
pengikut imam Ahmad dan yang lainnya berpendapat: ‘Tetapi kaum
Jahmiyah masuk dalam 72 golongan.’ Dan mereka menjadikan
sumber bid’ah
adalah lima. Menurut pendapat mereka, setiap golongan dari golongan bid’ah yang
lima ada dua belas golongan. Dan menurut pendapat pertama, setiap golongan dari
golongan bid’ah yang lima adalah delapan belas golongan.
Pendapat ini
dibangun di atas dasar yang lain: yaitu mengkafirkan ahli bid’ah. Maka siapa
yang mengeluarkan Jahmiyah dari 72 golongan niscaya ia tidak mengkafirkan
mereka. Sesungguhnya semua ahli bid’ah itu tidak kafir, akan tetapi memasukan
mereka termasuk golongan yang mendapat ancaman keras seperti orang-orang fasik
dan maksiat, dan menjadikan ucapannya: ‘Mereka di neraka’ sama seperti ancaman
pada semua dosa, seperti memakan harta anak yatim dan selainnya, sebagaimana
firman Allah subhanahu wa ta’ala:
﴿ إِنَّ الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ
نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا ﴾ [النساء: 10]
Sesungguhnya orang-orang yang
memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api
sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala
(neraka). (QS. an-Nisaa`:10)
Dan yang memasukkan mereka (Jahmiyah) pada
mereka (72 golongan), mereka memiliki dua pendapat:
Di antara mereka ada yang mengkafirkan secara
keseluruhan, dan ini pendapat sebagian muta`akhkhirin
yang
bersandar kepada para imam atau ahli kalam.
Adapun kaum salaf, mereka tidak berbeda
pendapat dalam masalah tidak kafirnya kaum Murji`ah
dan Syi’ah. Dan tidak berbeda pernyataan imam Ahmad rahimahullah bahwa mereka tidak kafir, sekalipun di antara
pengikutnya ada yang menghikayatkan mengkafirkan semua ahli bid’ah –dari mereka
(Murji’ah dan Syi’ah) dan yang lainnya-, sehingga sebagian mereka mengatakan mereka
(ahli bid’ah) kekal (di neraka). Ini merupakan kesalahan terhadap madzhabnya
dan terhadap syari’at.
Di antara mereka ada yang tidak
mengkafirkan seseorang dari mereka karena menghubungkan ahli bid’ah dengan
pelaku maksiat, mereka berkata: ‘Maka sebagaimana dalam dasar akidah Ahlus
Sunnah wal Jama’ah bahwa mereka tidak mengkafirkan seseorang karena perbuatan
dosa, maka demikian pula mereka tidak mengkafirkan seseorang karena perbuatan
bid’ah.’
Diriwayatkan dari kaum salaf dan para
imam adalah ucapan mereka yang mengkafirkan kelompok extrim Jahmiyah yang
mengingkari sifat dan mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak
berbicara, tidak melihat, tidak berbeda dengan makhluk, tidak mempunyai
pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan, tidak mendengar, tidak melihat, tidak
hidup. Bahkan al-Qur`an adalah makhluk, penghuni neraka tidak bisa melihat-Nya
sebagaimana penghuni neraka tidak bisa melihat-Nya, serta semisal ucapan-ucapan
ini.
Adapun golongan Khawarij dan Rawafidh
(Syi’ah), maka dalam mengkafirkan mereka
ada pertentangan dan keraguan dari imam
Ahmad dan yang lainnya.
Adapun golongan Qadariyah yang menafikan
(meniadakan) penulisan dan ilmu maka mereka (salaf) mengkafirkan mereka, mereka
tidak mengkafirkan orang yang menetapkan ilmu serta tidak menetapkan bahwa
Allah menciptakan perbuatan-Nya.[1]
Namun sesungguhnya mengkafirkan kelompok
ahli bid’ah harus memperhatikan beberapa perkara di antaranya adalah yang
disebutkan oleh Syaikhul Islam rahimahullah sebagai penutup dan ringkasan masalah ini yang
cukup rumit terhadap mayoritas manusia, ketika ia berkata:
‘Dan kata pemisah dalam bab ini ada dua
Yang pertama: ia
mengetahui bahwa orang kafir yang pada saat bersamaan termasuk ahli shalat
tidak lain hanyalah seorang munafik. Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala
sejak mengutus nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam dan menurunkan
al-Qur`an kepadanya, kemudian beliau hijrah ke Madinah, manusia terbagi menjadi
tiga golongan: beriman kepadanya, kafir dan menampakkan kekufuran, serta
munafik yang menyembunyikan kekufuran. Karena inilah Allah subhanahu wa
ta’ala menyebutkan tiga golongan ini di permulaan surah al-Baqarah. Dia subhanahu
wa ta’ala menyebutkan empat ayat pada sifat orang-orang beriman, dua ayat
pada orang-orang kafir, dan tiga belas ayat pada orang-orang munafik. Dan Allah
subhanahu wa ta’ala menyebutkan orang-orang kafir dan orang-orang
munafik di beberapa tempat dalam al-Qur`an, seperti firman-Nya:
﴿ وَلاَتُطِعِ الْكَافِرِينَ
وَالْمُنَافِقِينَ ﴾ [الأحزاب: 1]
... dan janganlah kamu menuruti (keinginan)
orang-orang kafir dan orang-orang munafik. (QS. al-Ahzab:1)
Dan firman-Nya
﴿إِنَّ اللهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ
وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا ﴾ [النساء: 140]
Sesungguhnya Allah akan
mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam jahannam. (QS.
an-Nisaa`:140)
Dan
firman-Nya
﴿فَالْيَوْمَ لاَيُؤْخَذُ مِنكُمْ فِدْيَةٌ
وَلاَمِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا ﴾ [الحديد: 150]
Dan ‘athafnya mereka (orang munafik) terhadap
orang-orang kafir untuk membedakan mereka (orang munafik) dari mereka (orang
kafir) dengan menampakkan Islam, jika tidak demikian maka mereka pada
hakikatnya lebih jahat dari pada orang-orang kafir, sebagaimana firman Allah subhanahu
wa ta’ala:
﴿ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي
الدَّرْكِ اْلأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَن تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا ﴾ [النساء: 145]
Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan)
pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan
mendapat seorang penolongpun bagi mereka. (QS. 4:145)
Dan sebagaimana firman-Nya:
﴿ وَلاَتُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ
مِّنْهُم مَّاتَ أَبَدًا وَلاَتَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللهِ
وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ ﴾ [التوبة: 84]
Dan janganlah sekali-kali kamu menshalati (jenazah)
seseorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendo'akan)
di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan
mereka mati dalam keadaan fasik. (QS. at-Taubah:84)
Dan sebagaimana firman-Nya:
﴿ قُلْ أَنفِقُوا طَوْعًا
أَوْ كَرْهًا لَّن يُّتَقَبَّلَ مِنكُمْ إِنَّكُمْ كُنتُمْ قَوْمًا فَاسِقِينَ . وَمَامَنَعَهُمْ أَن
تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلآَّ أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللهِ وَبِرَسُولِهِ
وَلاَيَأْتُونَ الصَّلاَةَ إِلاَّ وَهُمْ كُسَالَى وَلاَيُنفِقُونَ إِلاَّ وَهُمْ
كَارِهُونَ ﴾ [التوبة: 53-54]
Katakanlah:"Nafkahkanlah hartamu baik dengan
sukarela ataupun dengan terpaksa, namun nafkah itu sekali-kali tidak akan
diterima dari kamu. Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang fasik". *
Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya
melainkan karena kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak mengerjakan
shalat, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka,
melainkan dengan rasa enggan. (QS. at-Taubah:53-54)
Apabila
permasalahannya seperti itu, maka di antara ahli bid’ah ada yang munafik atau zindiq,
maka ia adalah kafir, dan yang seperti ini banyak di kalangan Rawafidh dan
Jahmiyah karena sesungguhnya para pemimpin mereka adalah orang-orang munafik
yang zindiq. Yang pertama-tama menyebarkan Syi’ah adalah
seorang munafik, demikian pula Jahmiyah sesungguhnya dasarnya adalah zindiq dan
nifaq. Karena alasan ini kalangan zindiq lagi munafik dari golongan Qaramithah
Bathiniyah dan yang serupa mereka lebih cenderung mendukung kaum Rafhidhah
(Syi’ah) dan Jahmiyah karena kedekatan mereka dari Syi’ah dan Jahmiyah.
Di antara ahli bid’ah ada yang
beriman lahir dan batin, akan tetapi padanya ada kejahilan dan kegelapan,
sehingga melakukan kesalahan yang menyimpang dari sunnah. Maka orang yang
seperti ini tidak kafir dan tidak munafik. Kemudian, bisa jadi darinya muncul permusuhan dan kezaliman yang dengannya ia menjadi fasik atau maksiat.
Dan terkadang ia keliru karena mentakwil dan bisa diampuni kesalahannya. Dan bisa jadi bersama semua itu ia memiliki
iman dan taqwa dan menjadi wali Allah subhanahu wa ta’ala sesuai kadar
iman dan taqwanya.
Dasar kedua: sesungguhnya
maqalah (ucapan/perkataan) ada yang menyebabkan kufur seperti
mengingkari kewajiban shalat, zakat, puasa, dan haji, menghalalkan zina,
minuman keras, judi, dan menikahi mahram. Kemudian orang yang mengatakan hal
itu, bisa jadi dalil tidak sampai kepadanya, dan seperti ini tidak kafir orang
yang mengingkarinya, seperti orang yang baru masuk Islam atau hidup (sejak
kecil) di pedalaman yang jauh dari kota yang tidak sampai kepadanya syari’at
Islam. Maka orang seperti ini tidak divonis kafir karena mengingkari sesuatu
yang diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam apabila
ia tidak mengetahui bahwa telah diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi
wa sallam. Dan maqalaat (ucapan/perkataan) Jahmiyah adalah dari
jenis ini, maka sesungguhnya ia mengingkari sesuatu yang Dia Rabb subhanahu
wa ta’ala atasnya (maksudnya, mengingkari sifat-sifat Allah subhanahu wa
ta’ala), dan bagi sesuatu yang Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan
kepada rasul-Nya shallallahu ‘alahi wa sallam.[2]
Maka harus dibedakan di antara
kufur dan orang kafir, maka tidak setiap orang yang melakukan tindakan kufur
terjadilah kekufuran atasnya, dan tidak setiap orang terjerumus dalam bid’ah ia
menjadi ahli bid’ah. Mengkafirkan secara umum tidak berarti mengkafirkan secara
khusus dan menganggap bid’ah secara umum tidak berarti menggap bid’ah secara
khusus.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata: ‘Hakikatnya dalam masalah itu adalah:
sesungguhnya ucapan bisa menyebabkan kufur maka diungkapkan dengan mengkafirkan
pelakunya. Dan dikatakan: siapa yang mengatakan ini berarti ia kafir, akan
tetapi seseorang yang mengatakan hal itu tidak divonis kafir sehingga terlebih
dahulu ditegakkan hujjah kepadanya.[3]
Dan ia berkata pula:
‘Mengkafirkan golongan Jahmiyah adalah pendapat masyhur dari kalangan salaf dan
para imam, akan tetapi tidak dikafirkan para pengikutnya. Maka sesungguhnya
yang mengajak/berdakwah kepada pendapat itu lebih besar (dosanya) dari pada
orang yang mengatakannya, dan yang menghukum orang yang berbeda pendapat lebih
besar dosanya dari pada orang yang berdakwah saja, dan yang mengkafirkan orang
yang berbeda pendapat lebih besar dosanya dari pada orang yang hanya
menghukumnya saja. Bersama semua ini, maka orang-orang yang berasal dari
kalangan penguasa (pemerintah) yang berpendapat seperti pendapat Jahmiyah:
bahwa al-Qur`an adalah makhluk, sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala
tidak bisa dilihat di akhirat dan selain yang demikian itu, serta mengajak manusia (rakyat) kepada hal
itu, mencoba dan menghukum mereka
apabila tidak mengabulkan permintaan mereka, mengkafirkan siapa yang tidak
menjawab mereka. Sehingga apabila mereka menangkap tawanan, mereka tidak
melepaskannya sehingga ia mengakui perkataan Jahmiyah: bahwa al-Qur`an adalah
makhluk dan selain yang demikian itu, mereka tidak wala` kepada yang berpaling
dan tidak memberikan rizqi dari baitul mal kecuali bagi orang yang mengatakan
hal itu. Kendati demikian, imam Ahmad rahimahullah memohon rahmat dan ampunan untuk mereka karena
ia mengetahui bahwa tidak jelas secara pasti bahwa mereka mendustakan
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dan tidak pula mengingkari apa
dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, akan tetapi mereka
melakukan takwil lalu tersalah(keliru) dan bertaqlid kepada orang yang
mengatakan hal itu.
Demikian pula imam asy-Syafi’i rahimahullah
tatkala berkata kepada Hafsh al-Fard
ketika ia berkata: ‘al-Qur`an adalah makhluk’: ‘Engkau kafir kepada Allah subhanahu
wa ta’ala Yang Maha Agung.’ Ia menjelaskan kepadanya bahwa ucapan ini
adalah kufur dan ia tidak menghukum (memvonis) murtadnya Hafsh al-Fard karena
hal itu, karena belum jelas baginya hujjah yang ia kufur dengannya. Jika ia
meyakini bahwa ia murtad niscaya ia berusaha membunuhnya dan ia telah
menyatakan dalam kitab-kitabnya dengan menerima persaksian ahli bid’ah dan
shalat di belakang mereka.[4]
Syaikhul Islam menyebutkan
beberapa kriteria tidak memvonis kufur kepada orang yang mentakwilkan dari ahli
bid’ah, ia berkata: ‘Barangsiapa yang beriman kepada Allah subhanahu wa
ta’ala dan rasul-Nya shallallahu ‘alahi wa sallam, dan tidak
mengetahui sebagian yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam,
maka ia tidak beriman dengannya secara terperinci, bisa jadi ia belum
mendengarnya, atau mendengarnya lewat jalur yang tidak harus mempercayainya,
atau meyakini makna yang lain karena ada takwil yang dimaafkan dengannya. Maka
orang seperti ini telah diberikan padanya berupa iman kepada Allah subhanahu
wa ta’ala dan rasul-Nya shallallahu ‘alahi wa sallam yang
menyebabkan Allah subhanahu wa ta’ala memberi pahala kepadanya.[5]
Ibnu Hazm rahimahullah berkata: ‘Maka sangat benar bahwa tidak kafir
seseorang sehingga sampai kepadanya perintah Nabi shallallahu ‘alahi wa
sallam. Maka jika sampai kepadanya lalu ia tidak beriman dengannya maka ia
kafir. Jika seseorang beriman dengannya, kemudian ia meyakini sesuatu yang
dikehendaki oleh Allah subhanahu wa ta’ala bahwa ia meyakininya pada
satu aliran (mazhab) atau fatwa atau melakukan sesuatu yang dikehendaki Allah subhanahu
wa ta’ala ia melakukannya, yang tidak sampai kepadanya dari Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam satu hukum yang berbeda dengan yang ia meyakini atau
mengatakan, atau melakukan, maka tidak ada hukum apa-apa terhadapnya sehingga
sampai kepadanya. Maka jika sampai kepadanya dan shahih di sisinya, maka jika
ia menyalahinya karena berijtihad pada sesuatu yang tidak jelas baginya mana
yang lebih benar dalam hal itu maka ia tersalah yang dimaafkan yang mendapat
pahala satu kali, seperti sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «إِذَا اجْتَهَدَ الْحَاكِمٌ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ
وَإِنْ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ » [ أخرجه الشيخان]
“Apabila
seorang hakim berijtihad lalu tepat maka untuknya dua pahala, dan jika ia salah
maka baginya satu pahala.’[6] [7]
Syaikh Hafizh al-Hakami rahimahullah
menjelaskan kaidah ini, dan hal itu
ketika ia menjelaskan tentang ahli bid’ah yang dikafirkan, seperti Jahmiyah dan
orang-orang yang mengatakan al-Qur`an makhluk, ia berkata: ‘Akan tetapi di
antara mereka ada yang mengetahui bahwa tujuan utamanya adalah meruntuhkan
pondasi-pondasi agama dan membuat keraguan terhadap para penganutnya, maka
orang seperti ini dipastikan kafirnya, bahwa ia berada di luar agama, yang
paling memusuhinya. Dan yang lain ada yang terperdaya, maka mereka diputuskan
kafirnya setelah ditegakkan hujjah terhadap mereka dan mewajibkan mereka
dengannya.[8]
Adapun mujtahid yang keliru
(dalam ijtihad) maka bagi Ahlus Sunnah adalah metode dalam berinteraksi
bersamanya yang berbeda dari cara berinteraksi bersama orang yang jelas
termasuk ahli ahwa (ahli bid’ah). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam menjelaskan metode Ahlus Sunnah
dalam berinteraksi bersama mujtahid yang salah:
‘Tidak ada seorang pun dari
kalangan salaf, sahabat dan tabi’in yang berkata bahwa mujtahid yang
mengerahkan segenap kemampuannya dalam mencari kebenaran berdosa, tidak pada
ushul dan tidak pula pada furu’.’[9]
Yang ditiadakan di sini adalah
dosa bersama ijtihadnya, bukan membiarkan kesalahannya. Perhatiankan hal ini
dengan serius. Karena sesungguhnya memvonis berdosa harus lebih dulu tastabbut
(memastikan kebenarannya) dan yakin, berbeda mengingatkan terhadap
kesalahan maka cukuplah padanya dengan munculnya kesalahan.
Karena inilah Syaikhul Islam rahimahullah
membedakan di antara kedudukan menyalahkan,
cacat dan menolak persaksian dan di antara kedudukan menjelaskan kesalahan dan
memperingatkan darinya. Beliau rahimahullah berkata:
‘Sesuatu yang dianggap cacat
dengannya orang yang bersaksi dan yang lainnya, dari sesuatu yang menodai sifat
adilnya dan agamanya, sesungguhnya disaksikan dengannya apabila saksi
mengetahuinya dengan tersebar luas, dan jadilah hal itu sebagai cacat secara
syar’i. Sebagaimana ditegaskan oleh beberapa kelompok fuqaha (ahli fikih) dari
kalangan Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah serta selain mereka dalam
kitab-kitab mereka yang besar dan kecil. Mereka menegaskan padanya, apabila dipandang
cacat seseorang dengan cacat yang merusak, sesungguhnya orang yang memandangnya
cacat adalah berdasarkan sesuatu yang didengarnya darinya, atau dilihatnya,
atau tersebar luas di tengah masyarakat. Saya tidak mengetahui adanya perbedaan
pendapat dalam masalah ini. Sesungguhnya semua kaum muslimin di masa kita sekarang ini bersaksi terhadap Umar bin
Abdul Aziz rahimahullah dan Hasan
al-Bashri rahimahullah serta
semisal mereka termasuk orang yang adil dan beragama (yang kuat), dengan
sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya kecuali dengan tersebar luas di tengah
kaum muslimin. Dan mereka bersaksi pada semisal Hajjaj bin Yusuf, Mukhtar bin
Abi Ubaid, ‘Amar bin Ubaid, Ghailan al-Qadary, Abdullah bin Saba’ ar-Rafidhy,
dan semisal mereka termasuk orang zalim dan ahli bid’ah dengan sesuatu yang
mereka tidak mengetahui kecuali dengan berita yang tersebar luas di tengah kaum
muslimin.
Dalam hadits shahih, dari Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam: ‘Sesungguhnya satu jenazah lewat di depan Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam, lalu mereka (para sahabat) memujinya. Beliau shallallahu
‘alahi wa sallam bersabda: ‘Wajib (pasti). Dan lewat lagi satu
jenazah, lalu mereka menyebut kejahatannya. Beliau shallallahu ‘alahi wa
sallam bersabda: ‘Wajib (pasti).’ Mereka bertanya: ‘Ya Rasulullah,
apakah maksud ucapan engkau ‘wajib, wajib.?
Beliau shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda: ‘Jenazah yang
kamu menyebutkan kebaikannya maka aku bersabda: ‘Wajiblah baginya surga. Dan jenazah yang kamu
menyebutkan kejahatannya, maka aku bersabda: ‘Wajiblah neraka baginya.’ Kalian
adalah para saksi Allah subhanahu wa ta’ala di muka bumi.”[10]
Hal ini adalah apabila tujuan menfasikkannya untuk menolak persaksian dan
perwaliannya.
Adapun bila tujuannya adalah
berhati-hati darinya dan menjauhi kejahatannya maka cukuplah dengan sesuatu
yang kurang dari hal itu, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu: ‘Pandanglah manusia dengan teman-temannya.’ Dan sampai berita kepada
Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu bahwa seorang laki-laki berkumpul
kepadanya beberapa perkara baru maka ia melarang duduk bersamanya. Maka apabila
seseorang berkumpul bersama orang-orang jahat dalam pergaulannya diingatkan
darinya.[11]
Dan ia berkata: ‘Ini adalah kata
pemisah dalam hal ini. Maka seorang mujtahid yang berdalil dari kalangan imam,
hakim, alim, pemikir, mufti dan selain yang demikian itu: apabila ia berijtihad
dan mengambil dalil, lalu bertaqwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala
sebatas kemampuannya, niscaya inilah yang dibebankan Allah subhanahu wa
ta’ala kepadanya. Dia taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, berhak
mendapatkan pahala apabila ia bertaqwa kepada-Nya sebatas kemampuannya dan Allah
subhanahu wa ta’ala tidak akan menyiksanya. Berbeda dengan golongan
Jahmiyah Jabariyah, ia benar dalam pengertian bahwa ia taat kepada Allah subhanahu
wa ta’ala, akan tetapi bisa jadi ia mengetahui kebenaran di saat yang sama
dan bisa jadi tidak mengetahuinya. Berbeda pula bagi golongan Qadariyah dan
Mu’tazilah dalam ucapan mereka: ‘Setiap orang yang mengerahkan segenap usahanya
ia mengetahui kebenaran,’ sesungguhnya ini adalah batil, seperti yang telah
dijelaskan, tetapi setiap orang yang mengerahkan segenap usahanya ia berhak
mendapatkan pahala.[12]
Ia rahimahullah berkata menjelaskan bahwa terkadang ada dari
orang-orang yang menyimpang dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang mengakui
keumuman risalah Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam secara lahir dan
batin, akan tetapi samar terhadapnya sebagian yang samar terhadap mereka, maka
ia mengikuti yang syubhat dan meninggalkan yang muhkam, seperti
golongan Khawarij dan selain mereka dari kalangan pengikut hawa nafsu...dst.[13]
Dan yang juga harus diperhatikan
dalam masalah ini: sesungguhnya wajib dibedakan di antara kalangan awam dari
ahli bid’ah yang menerima ajaran bid’ah dari orang yang mendokrinnya dan menanamkannya
di kepalanya serta menjadikan baginya satu tempat di akalnya, dan di antara
pendukung bid’ah dan mengajak kepadanya dengan segala syubhat dan taqrirnya.
Imam asy-Syathiby rahimahullah
berkata: ‘Sesungguhnya lafazh
‘ahlu ahwa (pengikut hawa nafsu)’ dan ‘ahlu bida’ (ahli bid’ah)’,
sesungguhnya pada hakikatnya ditujukan kepada orang-orang yang menciptakan
bid’ah-bid’ah tersebut, mengutamakan padanya syari’at hawa nafsu dengan istinbath
(pengambilan dalil), membelanya, dan berdalil atas kebenarannya dalam
dugaan mereka. Sehingga perbedaan mereka dianggap sebagai khilafiyah dan
syubhat-syubhat mereka dipandang padanya serta perlu untuk dijawab. Sebagaimana
kita katakan pada gelar-gelar golongan-golongan dari Mu’tazilah, Qadariyah,
Murji`ah, Khawarij, Bathiniyah dan yang serupa mereka bahwa ia adalah
gelar-gelar bagi orang yang mendirikan golongan itu, membelanya, dan
mempertahankannya. Seperti lafazh ‘Ahlus Sunnah’, sesungguhnya ia digunakan
terhadap orang orang yang membelanya, terhadap orang intinbath (mengambil
dalil) yang sesuai dan terhadap orang-orang yang membela untuk kehormatannya.
Dan mendukung hal itu bahwa
firman Allah subhanahu wa ta’ala:
﴿ إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا
دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا ﴾ [الأنعام: 159]
Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya
dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, (QS. al-An’am:159)
Memberi pengertian penggunaan lafazh terhadap orang yang menjadikan
perbuatan tersebut, yaitu memecah belah, dan tidaklah hal itu kecuali orang
yang menciptakan atau menduduki kedudukannya. Dan demikian pula firman Allah subhanahu
wa ta’ala:
﴿ وَلاَ تَكُونُوا
كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِن بَعْدِ مَاجَآءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ﴾ [آل
عمران: 105]
Dan
janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih
sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. (QS. Ali Imran:105)
Dan firman-Nya:
﴿
فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغُُ فَيَتَّبِعُونَ مَاتَشَابَهَ مِنْهُ ﴾
[آل عمران: 7]
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada
kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat (QS.
Ali Imran:7)
Maka sesungguhnya mengikuti yang mutasyabih khusus bagi orang
yang berijtihad, bukan bagi selain mereka.
Demikian pula sabda
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا
اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤَسَاءَ جُهَّالاً, فَسُئِلُوْا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ.
» [ أخرجه الشيخان]
“Sehingga apabila tidak
tersisa lagi seorang alim, manusia menjadikan para pemimpin yang jahil, maka
mereka memberi fatwa tanpa ilmu.”[14]
Maka mereka menempatkan diri mereka seperti orang yang istinbath
terhadap hukum syara’, yang dijadikan panutan padanya. Berbeda dengan kalangan
awam, maka sesungguhnya mereka hanya mengikuti yang telah ditetapkan oleh para
ulama mereka, karena ia mewajibkan kepada mereka, maka mereka pada hakikatnya
bukanlah orang-orang yang mengikuti yang mutasyabih dan tidak pula
mengikuti hawa nafsu. Mereka hanyalah mengikuti yang dikatakan kepada mereka
apa adanya. Maka tidak ditujukan kepada kalangan awam ungkapan ahlu ahwa
(pengikut hawa nafsu) sampai mereka mendalami pemikiran mereka padanya dan
memandang baik pandangan mereka dan menganggap buruk. Maka pada saat itulah
ditujukan lafazh ‘pengikut hawa nafsu’ dan ‘ahli bid’ah’ sebagai satu tujuan, yaitu: orang
yang menegakkan bid’ah dan mentarjihnya terhadap yang lainnya. Adapun orang
yang jauh dari hal itu dan hanya mengikuti jalan para pemimpin mereka hanya
semata-mata bertaqlid tanpa berpikir maka tidak (maksudnya tidak seperti itu).
Maka hakikat
masalahnya bahwa ia mencakup dua bagian: ahli bid’ah dan pengikut. Maka orang
yang mengikutinya seolah-olah ia tidak masuk dalam ungkapan karena hanya
menjadi pengikut semata, karena ia dalam
hukum mengikuti.
Mubtadi’ (ahli
bid’ah) yaitu yang menciptakan atau berdalil atas kebenaran penciptaan itu. Dan
sama saja terhadap kita, apakah istidlal (pengambilan dalil) tersebut
dari sisi khusus dengan memandang dalam ilmu atau adalah ia dari sisi
pengambilan dalil secara umum. Maka sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala
mencela beberapa kaum, Dia subhanahu wa ta’ala berfirman:
﴿إِنَّا
وَجَدْنَآ ءَابَآءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى ءَاثَارِهِم مُّهْتَدُونَ ﴾ [االزخرف:
22]
Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami
menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk
dengan (mengikuti) jejak mereka". (QS. az-Zukhruf:22)
Seolah-olah mereka berdalil dengan dalil secara jumlah yaitu nenek
moyang (para leluhur), karena mereka (leluhur) menurut pandangan mereka adalah
orang-orang yang cerdas dan mereka sudah memegang agama ini, dan tidak lain bahwa
ia berada di atas kebenaran maka kami memegangnya, karena jika mereka salah
tentang mereka tidak memegangnya.
Dan ia adalah
bandingan orang yang berdalil terhadap kebenaran bid’ah dengan amal ibadah para
syaikh dan orang yang dipandang sebagai orang shalih, dan tidak dipandang
kepada kondisinya mengamalkan dengan ilmu atau jahil.
Akan tetapi contoh
seperti ini dipandang sebagai mengambil dalil secara jumlah dari sisi
menjadikan sebagai pegangan dalam mengikuti hawa nafsu adalah melemparkan yang
lainnya. Maka siapa yang mengambilnya maka ia mengambil bid’ah dengan dalil
serupa dan masuk dalam nama ahli bid’ah. Karena semestinya pada orang seperti
ini jalannya ia memikirkan kebenaran jika datang kepadanya, meneliti dan tidak
terburu-buru, serta bertanya sehingga jelas baginya kebenaran lalu ia
mengikutinya dan jelas kebatilan lalu ia meninggalkannya.
Karena Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman menolak orang-orang yang berhujjah dengan yang telah
terdahulu:
﴿
قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكُم بِأَهْدَى مِمَّا وَجَدتُّمْ عَلَيْهِ ءَابَآءَكُمْ ﴾ [الزخرف:
24]
(Rasul
itu) berkata:"Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa
untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu
dapati bapak-bapakmu menganutnya". (QS. Zukhruf:24)
Dan dalam ayat yang lain:
﴿
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَآأَنزَلَ اللهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ
مَآأَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ءَابَآءَنَآ ﴾ [البقرة: 170]
Dan apabila dikatakan kepada mereka:"Ikutilah
apa yang telah diturunkan Allah". Mereka menjawab:"(Tidak) tetapi
kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang
kami". (QS. al-Baqarah:170)
Maka Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman:
﴿
أَوَلَوْكَانَ ءَابَآؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلاَ يَهْتَدُونَ ﴾ [البقرة: 170]
Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek
moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat
petunjuk". (QS. 2:170)
Dalam ayat yang lain:
﴿
أَوَلَوْ كَانَ الشَّيْطَانُ يَدْعُوهُمْ إِلَى عَذَابِ السَّعِيرِ ﴾ [لقمان: 21]
Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak
mereka) walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang
menyala-nyala (neraka)? (QS. Luqman:21)
Dan contoh-contoh seperti itu sangat banyak.
Dan tanda (ciri
ciri) seperti ini adalah bahwa ia mengembalikan perbedaan mazhabnya dengan
sesuatu yang ia mampu atasnya berupa syubhat dalil secara tafshily
(terperinci) atau ijmaly (secara jumlah/umum), serta ta’ashshub
(fanatik) terhadap keyakinannya tanpa
menoleh kepada yang lain. Inilah pengakut hawa nafsu yang sebenarnya. Dan
apabila nampak mengikuti hawa nafsu maka ia tercela pula, dan atasnya ia
mendapat dosa. Maka sesungguhnya orang yang mendapat petunjuk tentu ia
cenderung (berpihak) kepada kebenaran di manapun adanya dan tidak menolaknya
dan seperti itulah biasanya para pencari kebenaran. Dan karena itulah para ahli
tahqiq segera mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam ketika
jelas kebenaran bagi mereka.
Maka jika tidak
mendapatkan selain bid’ah yang telah terdahulu dan tidak masuk bersama
orang-orang yang fanatik, akan tetapi ia mengamalkannya:
Maka jika kita
katakan: sesungguhnya ahli fatrah disiksa secara mutlak apabila mereka
mengikuti orang yang menciptakan bid’ah dari mereka, maka orang-orang yang mengikuti ahli bid’ah
apabila tidak mendapatkan yang meluruskan niscaya akan mendapat siksa pula.
Dan jika kita
katakan: Mereka tidak disiksa sehingga dikirim seorang rasul kepada mereka,
sekalipun mereka melakukan perbuatan kufur, maka mereka tidak disiksa selama
belum ada seseorang yang meluruskan. Maka ketika mereka (dinyatakan) disiksa
dari sisi bahwa bersamanya di antara
salah satu dari dua perkara: bisa jadi bahwa mereka mengikutinya menurut jalur
kebenaran lalu meninggalkan sesuatu yang mereka berada di atasnya, dan bisa
jadi mereka tidak mengikutinya. Maka harus ada sikap pembangkangan dan fanatik,
maka mereka masuk ketika itu di bahwa ungkapan ‘pengikut hawa nafsu’ maka
mereka berdosa.[15]
DR. Muhammad
Bakarim Muhammad Ba Abdullah berkata dalam muqaddimah kitab ‘Tamassuk bis sunan
wat tahdzir minal bida’,’ karya Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman
adz-Dzahaby rahimahullah : ‘Dan tidaklah saya selesai membacanya
sehingga saya berniat menerbitkannya karena ia mengandung –kendati kecil
bukunya- faedah-faedah besar dan dasar-dasar yang sangat berfaedah dalam
perkara ini, yang diungkapkan oleh imam adz-Dzahaby rahimahullah dengan susunan kata yang sangat indah, yang
dirasakan padanya kejujuran nasihat
untuk umat ini, dan keinginan memberi petunjuk kepada orang yang menyimpang
darinya, dalam kelembutan dan kehalusan kata, disertai sikap ghirah (cemburu)
terhadap sunnah dan agama... kemudian ia berkata setelah itu: ‘Dan di antara
manhajnya dalam berdakwah kepada ahli bid’ah: jalan kelembutan dan kehalusan
kata apabila ahli bid’ah adalah seorang yang jahil, karena hal itu lebih pasti
untuk menerimanya dan berhenti dari bid’ahnya, maka ia berkata: ‘Maka hendaklah
kelembutan sikapmu terhadap ahli bid’ah dan orang jahil sehingga mengembalikan
mereka dari sesuatu yang mereka kerjakan dengan halus, dan hendaklah sikap
kerasmu terhadap orang yang sesat lagi kafir.[16]
Al-Ghazaly rahimahullah
berkata: ‘Yang ketiga: Ahli bid’ah
yang awam yang tidak mampu berdakwah dan tidak dikhawatirkan menjadi panutan,
maka perkaranya lebih mudah. Maka yang lebih utama jangan dihadapi dengan keras
dan penghinaan, akan tetapi bersikap lemah lembut dengannya dalam memberi
nasihat. Maka sesungguhnya hati kalangan awam cepat berubah. Maka jika tidak
berguna nasihat, dan berpaling darinya merupakan sikap menjelekkan bid’ahnya lebih
berguna niscaya dianjurkan berpaling darinya. Dan jika ia mengetahui bahwa hal
itu tidak memberi pengaruh padanya karena kebekuan tabiatnya maka berpaling
darinya lebih utama, karena apabila bid’ah tidak ditekan niscaya tersebar di
tengah masyarakat dan merata kerusakannya...dst.[17]
Dan ia berkata
pula: ..karena alasan itu engkau melihat seorang ahli bid’ah dari kalangan
awam, bisa berubah keyakinannya dengan sikap halus dalam waktu yang
cepat...(kemudian ia mengecualikan satu kondisi dari hal itu, ia berkata):
Kecuali apabila ia
tumbuh di kota yang nampak padanya perdebatan dan sikap fanatik, maka
sesungguhnya jika berkumpul atasnya generasi pertama dan terakhir niscaya
mereka tidak mampu mencabut bid’ah dari dadanya, bahkan hawa nafsu, sikap
fanatik dan membenci lawan dalam berdebat dan kelompok yang berbeda menguasai
hatinya dan menghalanginya dari mendapatkan kebenaran. Sehingga jika dikatakan
kepadanya: Apakah engkau ingin Allah subhanahu wa ta’ala membuka tutupan
baginya dan mengenalkan kepadamu dengan nyata bahwa kebenaran bersama lawanmu?
Niscaya ia membenci hal itu karena khawatir lawannya bergembira. Inilah
penyakit kronis yang merasa di banyak kota dan hamba. Ia adalah jenis kerusakan
yang dibangkitkan oleh orang-orang yang berdebat dengan sikap fanatik...dst.[18]
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan dalam masalah ini ketika berbicara
tentang begitu banyaknya orang-orang yang menyimpang dari jalan Ahlus Sunnah
wal Jama’ah di masanya dan sesungguhnya hal itu bersumber dari kejahilan, dan
ia menetapkan bahwa mereka ma’dzur dengan hal itu seraya berkata:
‘Golongan seperti itu, sekalipun sangat banyak di masa sekarang, maka karena
begitu sedikitnya para du’at kepada ilmu dan iman, dan terputusnya risalah di
banyak negeri. Mayoritas mereka tidak memiliki atsar risalah dan warisan
kenabiyan, sesuatu yang mereka mengenal petunjuk dengannya, dan hal itu tidak
sampai kepada mayoritas mereka. Dan di berbagai waktu dan tempat fatrah
itu, seorang laki-laki diberi pahala terhadap sedikit iman yang ada bersamanya,
dan Allah subhanahu wa ta’ala mengampuninya selama tidak berdiri hujjah
terhadap mereka, sebagaimana dalam hadits yang terkenal:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ
لاَيَعْرِفُوْنَ فِيْهِ صَلاَةً وَلَاصِيَامًا وَلاَحَجًّا وَلاَعُمْرَةً إِلاَّ
الشَّيْخُ الْكَبِيْرُ وَالْعَجُوْزُ الْكَبِيْرَةُ
ويقولون: أدركنا آباءنا هم يقولون: لاإله إلا الله, فقيل لحذيفة بن يمان: ما تغني
عنهم لاإله إلا الله؟ فقال: تنجيهم من النار » [ أخرجه ابن ماجه]
“Akan datang satu masa kepada manusia yang mereka pada saat itu tidak
mengenal shalat, puasa, haji, umrah, kecuali orang tua renta dan nenek pikun,
mereka berkata: ‘Kami bertemu bapak-bapak kami yang mereka berkata: ‘Laailaaha
illallah’ (tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Allah subhanahu wa ta’ala).
Maka ditanyakan kepada Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu: ‘Apakah berguna
bagi mereka kalimah ‘Laailaaha illallah’ (tidak ada Ilah yang berhak disembah
selain Allah subhanahu wa ta’ala).’ Ia menjawab: ‘Kalimah itu menyelamatkan mereka
dari neraka.’[19] [20]
Syaikhul Islam
membedakan di antara para ulama bid’ah dan orang-orang jahil dari mereka, ia
berkata: ‘Karena inilah, sesungguhnya setiap orang yang paling mengenal hakikat
suatu mazhab berarti ia yang paling besar kekafiran dan kefasikan.’[21]
Hingga ia berkata: ‘Adapun orang-orang jahil yang berbaik sangka terhadap
ucapan mereka dan tidak memahaminya, maka engkau mendapatkan pada mereka Islam,
iman dan mengikuti al-Qur`an dan sunnah.’[22]
Syaikhul Islam
Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah berkata membela dakwahnya yang bersih dan
membantah kebohongan orang yang berusaha membuat kerancuan dengan kepalsuan dan
mengada-ada:
“Adapun dusta dan
mengada-ada, maka seperti ucapan mereka: sesungguhnya kami mengkafirkan secara
umum dan mewajibkan hijrah kepada kami terhadap orang yang mampu menampakkan
agamanya, dan sesungguhnya kami mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan dan
yang tidak berperang, dan seperti ini dan semisalnya. Maka semua ini termasuk
kedustaan dan mengada-ada yang mereka menahan manusia dengannya dari agama
Allah subhanahu wa ta’ala dan rasul-Nya shallallahu ‘alahi wa sallam.
Apabila kami tidak
mengkafirkan orang yang menyembah berhala di kubur Abdul Qadir dan berhala yang
ada di kubur Ahmad Badawi dan semisal keduanya, karena kebodohan mereka dan
ketidak waspadaan mereka, maka bagaimana kami mengkafirkan orang yang tidak
menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala apabila tidak hijrah kepada kami,
atau tidak mengkafirkan dan tidak berperang? Maha suci Allah subhanahu wa
ta’ala, ini adalah kedustaan besar!!...dst.[23]
Bahkan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menetapkan bahwa terkadang bisa datang dari
individu orang yang menyimpang (ahli bid’ah) yang ada pemikiran dalam dirinya
secara umum/jumlah, maka ia bersaksi bagi mereka dengan kebaikan ini dan
mengakui bagi mereka dengan keutamaan ini, Syaikhul Islam rahimahullah berkata:
Banyak dari
kalangan ahli bid’ah kaum muslimin dari golongan Rafidhah, Jahmiyah dan selain
mereka pergi ke negeri orang-orang kafir. Maka masuk Islam lewat tangan mereka
manusia yang sangat banyak dan mereka memberi manfaat dengan hal itu, dan
jadilah mereka kaum muslimin ahli bid’ah, dan ia lebih baik dari pada menjadi
orang kafir.[24]
Bahkan Syaikh rahimahullah
menjelaskan secara terperinci pada orang
yang menjadikan jalan untuk mencari dalil dari jalan-jalan bid’ah terhadap
masalah-masalah syara’, ia berkata:
‘Dan
perkara-perkara ini, masuk Islam dengan sebabnya manusia yang banyak dan mereka
bertaubat dengan sebabnya, mereka lebih sesat dari para pengikutnya. Maka
mereka berpindah dengan sebabnya kepada yang lebih baik dari sebelumnya,
seperti syaikh/orang tua yang padanya ada kebohongan dan kefasikan dari
manusia, terkadang datang kepadanya satu kaum dari orang kafir. Lalu ia mengajak
mereka masuk Islam maka mereka masuk Islam dan jadilah mereka lebih baik dari
sebelumnya, sekalipun tujuan laki-laki itu adalah tidak baik, dan sungguhnya
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «إِنَّ اللهَ يُؤَيِّدُ هذَا الدِّيْنَ
بِالرَّجُلِ اْلفَاجِرِ وَبِأَقْوَامٍ لاَخَلاَقَ لَهُمْ » [ أخرجه النسائي وابن
حبان والدارمي]
“Sesungguhnya Allah
subhanahu wa ta’ala memperkokoh agama
ini dengan laki-laki yang fasik dan dengan beberapa kaum yang tidak ada
bagian bagi mereka.”[25]
Dan ini seperti hujjah-hujjah dan dalil-dalil yang banyak disebutkan
oleh para ahli kalam, maka sesungguhnya terputus (kalah berdebat) dengannya
kebanyakan ahli batil dan menjadi kuat dengannya hati mayoritas orang-orang
yang benar (ahlu haq). Sekalipun ia sendiri adalah batil dan yang lainnya lebih
batil darinya. Kebaikan dan keburukan bertingkat-tingkat. Maka mendapatkan
manfaat dengannya beberapa kaum yang mereka berpindah dari masa sebelumnya
kepada yang sesuatu yang lebih baik darinya.[26]
Dan yang paling
mengherankan saya dari kecerdasan Syaikhul Islam, dan dia menetapkan kaidahnya
yang terdahulu dengan menyebutkan contoh untuk mendekatkan kepada pemahaman, ia
rahimahullah berkata pada Abdullah
bin Sa’id bin Kilab[27]
dalam penentangannya terhadap mu’aththilah (yang menolak adanya sifat
Allah subhanahu wa ta’ala):
‘Dan di antara yang
maju dalam membantah mereka adalah Abu Muhammad Abdullah bin Sa’id bin Kilab.
Ia memiliki kelebihan, ilmu dan agama. Dan siapa yang berkata: Sesungguhnya ia menciptakaan bid’ahnya adalah
agar nampak agama Nashrani di tengah-tengah kaum muslimin, seperti yang
disebutkan oleh sekelompok yang memusuhinya dan mereka menyebutkan bahwa ia
berwasiat kepada saudarinya dengan hal itu, maka ini adalah kebohongan
terhadap. Sesungguhnya yang mengada-ada (memfitnah) hal ini terhadapnya adalah
Mu’tazilah dan Jahmiyah yang dia membantah terhadap mereka. Sesungguhnya mereka
menyangka bahwa orang menetapkan sifat berarti ia berkata seperti ucapan
Nashrani. Dan imam Ahmad rahimahullah menyebutkan seperti hal itu tentang mereka
dalam membantah terhadap Jahmiyah. Dan jadilah yang mengutip hal ini seseorang
yang bukan dari kalangan Mu’tazilah dari Salimiyah. Ahli Hadits dan fuqaha yang
berlari darinya menyebutkannya karena bid’ahnya pada al-Qur`an, dan mencari
bantuan dengan ucapan seperti ini yang bersumber dari fitnah (kebohongan)
Jahmiyah dan Mu’tazilah terhadapnya. Dan mereka tidak mengetahui bahwa
orang-orang yang mencelanya seperti ini, mereka pada dasarnya lebih jahat
darinya, dan ia lebih baik dan lebih dekat kepada sunnah dari pada mereka.[28]
Dan kita akhiri
fasal ini dengan pembagian yang indah milik Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah
yang menjelaskan padanya pembagian
orang-orang yang menyimpang pada sebagian dasar-dasar Islam. Ia rahimahullah
berkata: Adapun ahli bid’ah yang
sesuai bagi umat Islam akan tetapi mereka menyimpang pada sebagian dasar-
seperti Rafidhah, Qadariyah, Jahmiyah, ghulat Murji`ah dan semisal mereka- maka
mereka terdiri dari beberapa bagian:
Pertama: Orang jahil yang bertaqlid yang tidak
ada pemikiran baginya, maka ini tidak kafir dan tidak fasik serta tidak ditolak
persaksiannya, apabila ia tidak mampu mempelajari petunjuk, dan hukumnya sama
seperti hukum orang-orang yang lemah dari kalangan laki-laki, wanita dan
anak-anak yang tidak mampu mencari cara/jalan dan tidak ada penunjuk jalan.
Maka semoga Allah subhanahu wa ta’ala memaafkan mereka, dan sesungguhnya
Allah subhanahu wa ta’ala Maha Pemaaf lagi Maha pengampun.
Bagian kedua: Orang yang bisa bertanya dan
mencari petunjuk dan mengenal kebenaran akan tetapi ia meninggalkan hal itu
karena sibuk dengan dunia dan kepemimpinannya, kenikmatan dan kehidupannya
serta selain yang demikian itu. Maka orang ini dianggap lalai pantas mendapat
siksa, berdosa karena meninggalkan yang
wajib terhadapnya berupa taqwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala menurut
batas kemampuannya. Maka orang ini hukumnya sama seperti hukum orang-orang yang
serupa berupa meninggalkan sebagian kewajiban. Maka jika yang dominan padanya
adalah bid’ah dan hawa nafsu melebih sunnah dan petunjuk niscaya ditolak
persaksiannya, dan jika sunnah dan petunjuk lebih dominan niscaya diterima
persaksiannya.
Bagian ketiga: Bahwa ia bertanya dan menuntut, jelas
petunjuk (kebenaran) baginya, dan ia meninggalkannya karena bertaqlid dan
fanatik, atau benci, atau memusuhi penganutnya. Maka orang seperti ini
sekurang-kurangnya adalah fasik, dan mengkafirkannya adalah tempat ijtihad dan
perincian. Jika ia secara terbuka berdakwah (kepada bid’ahnya) niscaya ditolak
persaksiannya, fatwa-fatwanya, dan hukum-hukumnya disertai kemampuan atas hal
itu. Tidak diterima persaksian, fatwa dan hukum kecuali di saat dharurat
seperti kondisi mereka sebagai mayoritas dan memegang kekuasaan, dan kondisi
para qadhi (hakim), mufti dan saksi dari pihak mereka. Maka dalam menolak
persaksian dan hukum-hukum mereka ketika itu merupakan kerusakan besar, dan hal
itu tidak mungkin, maka diterima karena dharurat (terpaksa).[29]
[16] Muqaddimah DR.
Muhammad Bakarim Muhammad Baabdillah dalam tahqiqnya terhadap kitab ‘Tamassuk
bis sunan wat tahdzir minal bida’, karya imam adz-Dzahaby.
[27] Abdullah bin Sa’id
bin Kilab al-Qathan al-Bashry, Abu Muhammad,
salah seorang pemimpin ahli kalam, pendiri golongan Kilabiyah, yaitu
satu satu kelompok ahli kalam, wafat setelah tahun 240 H.
Post a Comment