Agar Bahtera Selamat Sampai Tujuan
Agar Bahtera Selamat Sampai Tujuan
Rumah
tangga yang dibina bisa saja kandas di tengah jalan apabila suami istri tidak
pandai mengantisipasi problem yang muncul menghadang perjalanannya.
Karena problem
pasti akan datang, tinggal setiap pihak perlu tahu perkara apa saja yang dapat
memicunya, yang dapat merusak hubungan keduanya, dan bagaimana sikap yang tepat
saat ada masalah.
Membanding-bandingkan keadaan diri
atau pasangan hidup dengan orang lain termasuk sebab terbesar yang merusak
kehidupan rumah tangga. Bisa jadi, sikap ini datang dari pihak suami. Tergambar
pada dirinya sosok wanita lain yang punya kelebihan yang tidak didapatkan pada
istrinya. Padahal apabila ia melihat hakikatnya, bisa jadi ia dapati istrinya
memiliki sifat-sifat yang puluhan wanita tidak mampu memilikinya. Akan tetapi,
memang jiwa itu selalu berhasrat untuk beroleh sesuatu yang jauh, yang dalam
anggapannya terkumpul pelbagai sifat kebagusan yang tidak ada pada apa yang
telah dimilikinya. Ibarat rumput tetangga lebih hijau daripada rumput sendiri.
Kenyataannya, tidak lain hanya fatamorgana.
Sikap membandingkan bisa pula
datang dari pihak istri, di mana ia membandingkan hidupnya dengan kehidupan
wanita lain, membandingkan suaminya dengan suami orang lain.
“Fulanah bisa begini, bisa
begitu…. Diberi ini dan itu oleh suaminya…. Sementara aku…? ”, secara terus-menerus kalimat seperti itu ia ulang-ulang di
depan suaminya hingga suaminya jengkel.
Orang Arab
mengatakan, “Bagi lelaki yang ingin menikah, hendaklah ia tidak memilih tipe
wanita; annanah, hannanah, dan mannanah.”
·
Annanah adalah wanita yang banyak menggerutu dan berkeluh
kesah, setiap saat dan setiap waktu, dengan atau tanpa sebab.
·
Hannanah adalah wanita yang banyak menuntut kepada suaminya,
ia tidak ridha apabila diberi sedikit. Ia suka membandingkan suaminya dengan
lelaki lain.
·
Mannanah adalah wanita yang suka mengungkit-ungkit apa yang
dilakukannya terhadap suaminya. Misal dengan mengatakan, “Aku telah lakukan ini
dan itu karena kamu….”
Betapa banyak
perbuatan membanding-bandingkan tersebut dapat merobohkan bangunan rumah
tangga. Seorang muslim semestinya ridha dengan apa yang ditetapkan oleh Allah Shubhanahu
wa ta’alla untuknya. Hendaklah ia percaya bahwa siapa yang
membanding-bandingkan keadaannya dengan orang lain, niscaya ia akan menganggap
kurang apa yang ada padanya, Karena kesempurnaan itu sesuatu yang sulit
diperoleh. Orang yang suka membanding-bandingkan keadaannya dengan orang yang
di atasnya, ia tidak bisa mensyukuri apa yang diberikan oleh Allah Shubhanahu
wa ta’alla kepadanya. Padahal sebenarnya masih banyak orang yang keadaannya
berada jauh di bawahnya, yang karenanya ia patut memuji dan bersyukur kepada Allah
Shubhanahu wa ta’alla atas karunia -Nya.
Pokok
masalah sekarang bukanlah banyaknya harta yang dimiliki, bisa melancong dari
satu tempat ke tempat lain, pakaian-pakaian yang indah, perabot-perabot yang
mewah, dan semisalnya. Akan tetapi, masalahnya adalah kelapangan jiwa menerima
pembagian Allah Shubhanahu wa ta’alla serta sebuah rumah yang tegak di
atas cinta dan kasih sayang. Apabila semua itu sudah terkumpul, apa lagi yang
diinginkan? Mengapa harus menyibukkan diri mengamati keadaan orang lain hingga
mengundang kesedihan dan kegundahgulanaan jiwa? Berikut ada beberapa
langkah-langkah agar keharmoisan dapat terjaga:
1.
Menyembunyikan Masalah dari orang Lain
Andai
terjadi “keributan” di antara suami istri, seorang yang cerdas adalah yang
menjadikan problemnya sebagai sesuatu yang disimpan dan dirahasiakan dari orang
lain, ia tidak akan menampakkannya. Hal ini karena problem di antara suami istri
sebenarnya pemecahannya mudah, namun apabila sampai diketahui pihak luar, niscaya
semua orang akan “mengulurkan timbanya”, hingga rusaklah cinta dan jauhlah yang
semula dekat serta tercerai-berailah keutuhan.
Karena
itulah, hendaknya perkara ini menjadi pegangan yang disepakati di awal pernikahan
suami istri, yaitu apabila di kemudian hari sampai terjadi perselisihan di
antara keduanya, hendaknya tidak ditampakkan kepada seorang pun, siapa pun dia.
Hal ini karena jika sebagian orang ikut campur dalam masalah keduanya, justru
lebih merusak daripada memperbaiki, walaupun itu kerabat istri sendiri. Bisa
jadi, ia melakukannya karena dorongan semangat membela keluarga.
Ada
beberapa hal yang biasa dilakukan oleh sebagian orang, yaitu merusak hubungan
istri dengan suaminya. Perbuatan ini termasuk dosa besar. Oleh karena itu,
seorang muslim harus berhati-hati agar tidak menjadi orang yang bersifat
demikian sehingga ia berhadapan dengan ancaman yang keras, Nabi Muhammad Shalallahu
‘alihi wassallam bersabda,
(( وَمَنْ أَفْسَدَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا فَلَيْسَ مِنَّا )) [
رواه أحمد ]
“Siapa
yang merusak seorang wanita dari suaminya, ia tidak termasuk golongan kami.”
(HR. Ahmad 2/397, sanadnya sahih sebagaimana dinyatakan demikian dalam
ash-Shahihah no. 324)
Betapa
banyak masalah yang kecil di antara suami istri menjadi besar karena adanya
sebagian orang yang terus-menerus “meniup api”. Seorang wanita datang dan
berkata kepada si istri, “Kamu jangan mau mengalah… Kamu jangan mau
dibodoh-bodohi…. Minta dong ini dan itu sama suamimu! Masa hidupmu begini
begini saja?”
Demikianlah,
kalimat-kalimat ini akan merusak dan mengguncang ketenteraman rumah tangga.
Terkadang
yang turut andil merobohkan rumah tangga adalah ibu atau saudara perempuan
istri. Oleh karena itu, seorang istri hendaknya tidak lemah akalnya sehingga
menghancurkan rumah tangganya karena ucapan orang-orang, yang terkadang mereka
berbuat demikian karena hasad terhadap kehidupannya.
Kemudian,
perlu disadari bahwa menampakkan perselisihan yang ada di antara suami istri
kepada orang lain termasuk hal yang menjatuhkan kewibawaan suami istri di
hadapan orang lain dan di depan anak-anak. Maka dari itu, suami istri tidak
baik bertengkar atau adu mulut dalam sebuah masalah di depan anak-anak. Hal ini
termasuk yang menjatuhkan kepribadiannya di mata anak-anak dan akan bermudarat
karena membuat cacat bagi tarbiyah mereka. Setiap pihak harus menjaga agar
kehormatan pasangannya tidak jatuh di depan anak-anak. Apabila anak-anak tidak
lagi segan kepada ayah atau ibunya, lantas bagaimana bisa tarbiyah mereka akan
berhasil di saat pihak yang disegani anak sedang bepergian (tidak di rumah)?
2.
Muamalah di Antara Keduanya
Suami
istri janganlah jual mahal untuk memaafkan pasangannya ketika salah satunya
meminta maaf dan meminta keridhaan. Seorang istri tidak boleh bersikap angkuh
dan tinggi hati untuk mengakui kesalahannya di depan suaminya, seorang suami
pun tidak boleh kaku dan keras hati. Apabila istri sudah mengakui kesalahannya,
hendaklah berlapang dada, selama masalahnya tidak mencacati agama dan akhlak.
Demikian pula ketika suami bersalah, dia tidak boleh merasa gengsi untuk
meminta maaf.
Namun,
perlu diketahui, apabila seorang istri buruk akhlaknya, seorang suami hendaknya
tidak menahannya dalam ikatan pernikahan, karena perempuan seperti itu lebih
banyak merusak daripada memperbaiki, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( ثَلاَثَةٌ يَدْعُوْنَ فَلاَ يُسْتَجَابُ لَهُمْ: رَجُلٌ كَانَتْ تَحْتَهُ امْرَأَةٌ سَيِّئَةُ الْخُلُقِ فَلَمْ يُطَلِّقْهَا….)) [ رواه الحاكم ]
“Tiga
golongan yang apabila berdoa maka Allah tidak akan mengabulkan doa mereka, (di
antaranya) seorang lelaki yang memiliki istri berakhlak buruk, namun ia tidak
mau menceraikannya….” (HR. al-Hakim 2/302, sanadnya sahih secara zahir, kata
al-Imam Albani t dalam ash-Shahihah no. 1805 )
Seorang
istri hendaknya menyadari bahwa berkhidmat kepada suami adalah sesuatu yang
tidak boleh dilalaikannya. Karena itulah, seorang istri harus menunaikan
pekerjaan-pekerjaan yang dibutuhkan di rumah suaminya.
Ia
tunduk kepada suaminya, tidak boleh mengangkat diri di hadapannya. Jangan ia
menafsirkan perintah suami kepadanya sebagai penghinaan terhadapnya. Bisa jadi,
si suami memerintahkannya melakukan sesuatu dalam rumahnya, apa pun bentuknya,
selama tidak bertentangan dengan agama atau mencacati akhlak, ini termasuk
dalam keumuman haknya terhadap istri. Oleh karena itu, janganlah si istri
merasa congkak untuk mematuhinya dan menafsirkannya sebagai bentuk penghinaan
terhadap dirinya.
Penting
untuk diketahui bahwa kehidupan suami istri tidak bisa berjalan sesuai dengan
yang diinginkan apabila keduanya bersikap keras, salah satunya harus ada yang
lunak/lembut. Tentu, tidak diragukan bahwa itu adalah istri! Kehidupan suami
istri tidak bisa berjalan baik melainkan dengan seorang suami yang kuat dan
seorang istri yang tahu bahwa ia wanita yang lemah, itulah sebabnya lelaki
dijadikan sebagai qawwam bagi wanita, karena lelaki kuat dan wanita lemah.
Pihak yang lemah butuh sandaran yang kuat, tempat ia berlindung dan bertumpu di
kala sulit. Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman,
قال الله تعالى: ﴿ ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ
عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ
حَٰفِظَٰتٞ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ
فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ ٣٤ ( [النساء: 34]
“Kaum
lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita dikarenakan Allah telah melebihkan
sebagian mereka (lelaki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka
(lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Oleh sebab itu, wanita
yang salehah adalah wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara dirinya
ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara mereka. Dan
istri-istri yang kalian khawatirkan nusyuznya maka nasihatilah mereka,
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka dan pukullah mereka….” (an-Nisa: 34)
Jangan
sampai seorang istri senang apabila suaminya lemah, tidak bisa menegakkan
urusan istrinya, dan tidak dapat mengayomi istrinya, Inilah fitrah. Lantas,
mengapa ada saja orang yang lari dan merasa sombong untuk mengakuinya? Padahal
keberadaan lelaki sebagai pihak yang kuat tidak berarti ia bersifat zalim.
Kuatnya kepribadian tidaklah sama dengan kezaliman dan kekakuan.
Istri
salehah adalah yang tahu besarnya kadar suaminya dan besarnya hak suami
terhadap dirinya. Oleh karena itu, ia tidak henti-hentinya mencurahkan upaya
guna memberikan kelapangan dan kebahagiaan bagi suaminya. Renungkanlah sabda
Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ، لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهَا )) [ رواه أحمد ]
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada
orang lain niscaya aku akan memerintahkan seorang istri untuk sujud kepada
suaminya karena besarnya hak suami terhadapnya.” (HR. Ahmad 4/381, dinyatakan
sahih dalam Irwa’ul Ghalil no. 1998 dan ash-Shahihah no. 3366)
Demikian pula sabda beliau,
Demikian pula sabda beliau,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( لاَ يَصْلُحُ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ، وَلَوْ صَلُحَ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ كَانَ مِنْ قَدَمِهِ إَلَى مَفْرَقِ رَأْسِهِ قُرْحَةٌ تَجْرِي بِالْقَيْحِ وَالصَّدِيْدِ، ثُمَّ اسْتَقْبَلَتْهُ فَلَحِسَتْهُ مَا أَدَّتْ حَقَّهُ)) [ متفق عليه ]
“Tidak pantas seorang manusia
sujud kepada manusia yang lain. Seandainya pantas seorang manusia sujud kepada
yang lain niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya
karena besarnya haknya suami terhadapnya. Demi Dzat yang jiwaku berada di
tangan-Nya, seandainya pada telapak kaki suaminya sampai ke belahan rambutnya
ada luka yang mengucurkan nanah bercampur darah, kemudian si istri menghadapi
luka-luka tersebut lalu menjilatinya, niscaya ia belum purna menunaikan hak
suaminya.” (HR. Ahmad 3/159, dinyatakan sahih oleh al-Haitsami 4/9,
al-Mundziri 3/55, dan Abu Nu’aim dalam ad-Dala’il no. 137. Lihat catatan kaki
Musnad al-Imam Ahmad 10/513, cet. Darul Hadits, Kairo)
Hadits
ini adalah keterangan yang paling agung tentang besarnya hak suami terhadap
istrinya. Yang mengherankan adalah apabila ada istri yang melewati dalil ini,
namun ia tidak berhenti di hadapannya dengan merenungkannya dan merasa takut
apabila tidak mengamalkan tuntutannya!
Wajib
bagi istri membaguskan pergaulannya dengan suaminya, ia menjaga rahasianya, Ia
menjaga hartanya karena ia diamanati oleh suaminya. Janganlah ia membuka
penutup tubuhnya (hijabnya) di hadapan lelaki selain suaminya. Ia mendidik
anak-anaknya agar hormat terhadap ayah mereka. Janganlah ia bersifat kaku.
Apabila suaminya membantunya dalam pekerjaannya atau memberinya hadiah
misalnya, hendaklah ia mensyukuri apa yang dilakukan oleh suaminya. Ia puji
suaminya dengan kebaikan dan jangan ia cela apa yang diberikan oleh suaminya.
Jangan menganggap jelek apa yang dilakukan oleh suami untuknya dan
anak-anaknya. Selain itu, wajib bagi istri mencari sisi-sisi yang mengundang
ridha suami, lalu ia bersegera melakukannya.
Istri
hendaklah menjadi penolong suami dalam hal menjaga iffah (kehormatan diri) dan
menghalanginya dari godaan. Oleh karena itu, ia tidak boleh meninggalkan tempat
tidur suaminya dan “menghalangi dirinya” dari suaminya. Rasulullah Shalallahu
‘alihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( إِذَا
دَعَى الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَلَمْ تَأْتِهِ فَبَاتَ غَضْبَانَ
عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ )) [ متفق عليه ]
“Apabila seorang suami
memanggil istrinya ke tempat tidurnya, namun si istri tidak mendatangi
suaminya, lalu si suami bermalam dalam keadaan marah kepadanya, niscaya para
malaikat akan melaknat si istri sampai pagi hari.” (HR. al-Bukhari no. 5193 dan
Muslim no. 3526)
Hendaklah istri
berteman dengan suaminya di dunia dengan cara yang ma’ruf. Hendaknya ia
melakukan apa yang dicintai oleh suaminya walaupun ia sendiri tidak
menyukainya. Hendaknya ia juga menjauhi segala sesuatu yang tidak disukai oleh
suaminya walaupun ia sendiri sebenarnya menyenanginya, demi mengharapkan pahala
dari Allah Shubhanahu
wa ta’alla dan menghadirkan rasa bahwa suaminya
adalah tamu di sisinya yang hampir-hampir pergi meninggalkannya, sehingga ia
tidak mau menyakitinya dengan ucapan atau perbuatan. Nabi s bersabda,
(( لاَ تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي
الدُّنْيَا إِلاَّ قَالَتْ زَوْجُهَا مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ: لاَ تُؤْذِيْهِ، قَتَلَكِ اللهُ! فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكِ دَخِيْلٌ يُوْشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا ))
[رواه الترمذي]
Tidaklah seorang istri menyakiti
suaminya di dunia melainkan istri suaminya dari kalangan hurun ‘in 1 akan
mengatakan, “Jangan engkau sakiti dirinya, qatalakillah! 2 Karena dia hanya
tamu di sisimu dan sekadar singgah. Hampir-hampir ia akan berpisah denganmu
untuk bertemu kami.” (HR. at-Tirmidzi no. 1174 dan Ibnu Majah no. 204,
dinyatakan sahih dalam Shahih at-Tirmidzi)
Hendaklah
seorang wanita mengetahui bahwa istri yang paling utama adalah yang selalu
menganggap besar apa yang dilakukan oleh suaminya kepadanya walaupun sebenarnya
kecil. Ia menyebut-nyebut suaminya di hadapan banyak orang dengan kebaikan
walaupun sebenarnya suaminya kurang memenuhi haknya. Hendaknya ia yakin bahwa
dengan berbuat demikian, kesudahan yang baik akan kembali kepadanya.
Istri
harus bersih hatinya terhadap suaminya, walaupun mungkin suami kurang memenuhi
haknya. Kalaupun suatu saat ia bermaksud menyampaikan kekurangan tersebut, maka
dilakukannya dengan perlahan dan santun tanpa menyakiti suaminya, dengan
mencari waktu yang tepat, di saat kosong pikiran dan dada lapang. Karena
maksudnya menyampaikan bukanlah untuk mendebat suami atau menjadikannya lawan,
tapi maksudnya adalah terlaksananya tujuan dan berbuah apa yang diinginkan.
Adapun
suami, ia harus menjadi seorang yang penuh kasih sayang kepada istrinya. Ia
syukuri apa yang dilakukan oleh istrinya untuknya, berupa melayaninya di rumah,
menjaga anak-anaknya, serta menyimpan rahasianya. Hendaklah ia membantu
istrinya dalam melakukan tugas-tugas tersebut dan membesarkannya di hadapan
anak-anak, memujinya dengan kebaikan, memberikan nafkah kepadanya dengan nafkah
yang membuatnya tidak lagi meminta kepada yang lain, apabila memang suami
memiliki kelapangan. Ia tidak mencela istrinya dengan celaan yang melukai rasa
malunya dan perasaannya sebagai perempuan, atau menyifatinya dengan sifat yang
buruk. Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam pernah ditanya,
سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم يا
رَسُوْلَ اللهِ ، مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ؟ قَالَ: (( أَنْ
تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلاَ تَضْرِبِ
الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّح ْوَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ )) [ رواه أبو
داود ]
“Wahai Rasulullah, apakah hak istri salah seorang dari kami dari
suaminya?” Rasulullah n menjawab, “Engkau beri makan istrimu jika engkau makan
dan engkau beri pakaian jika engkau berpakaian. Jangan engkau pukul wajahnya,
jangan engkau menjelekkannya3, dan jangan menghajr/memboikotnya kecuali dalam
rumah4.” (HR. Abu Dawud no. 2142, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh Muqbil t
dalam al-Jami’ush Shahih, 3/86)
Suami hendaknya
menyadari bahwa kemuliaan istri adalah kemuliaannya juga, maka alangkah anehnya
jika dia justru menghina istrinya?
Wajib
bagi suami membaguskan pergaulannya dengan istrinya. Ia menegakkan istrinya di
atas ketaatan kepada Allah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, mencegah dari
istrinya seluruh ucapan dan perbuatan yang bisa mencacati rasa malunya, baik
ucapan/perbuatan yang didengar maupun yang dilihat, karena istrinya akan
menjadi pendidik bagi anak-anaknya, akan menjadi contoh bagi putri-putrinya,
dan sebagai pembimbing bagi anak-anaknya di saat suami tidak ada. Istrilah yang
paling sering bergaul dengan anak-anak karena suami tersibukkan dengan mencari
penghidupan.
Seharusnya,
suami memuliakan istrinya di hadapan anak-anaknya sehingga mereka segan kepada
ibunya dan menghormatinya. Apabila sampai ia “menjatuhkan” ibunya di depan
mereka, mereka akan mendurhakai ibunya. Apabila hal itu terjadi, anak-anak akan
bertindak-tanduk yang buruk, saat ayahnya tidak di rumah, karena tidak ada
orang yang mereka takuti. Suami harus berlaku lembut dalam memberikan
pengajaran dan pengarahan kepada istrinya, tidak keras dan kaku, atau dengan
marah, atau dengan penghinaan. Nabi Muhammad Shalallhu ‘alaihi wasallam
bersabda,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( أَكْمَلُ
الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ
لِنِسَائِهِمْ )) [رواه الترمذي]
“Mukmin yang paling sempurna
imannya adalah yang paling bagus akhlaknya. Sebaik-baik kalian adalah yang paling
baik terhadap istri-istrinya.”5 (HR. at-Tirmidzi no. 1172, dinyatakan hasan
dalam ash-Shahihul Musnad 2/336—337)
Beliau juga bersabda tentang diri beliau sebagai teladan bagi para suami,
Beliau juga bersabda tentang diri beliau sebagai teladan bagi para suami,
(( وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ )) [ رواه الترمذي ]
“Aku adalah orang yang paling baik
di antara kalian terhadap istri-istriku.” (HR. at-Tirmidzi, dinyatakan sahih
dalam ash-Shahihah no. 285)
Tidaklah yang
kita maksudkan dengan mencintai istri adalah membiasakan istri hidup sebagai
“nyonya besar” yang hanya bisa memerintah dan bermalas-malasan. Wanita yang
menghabiskan siangnya dengan tidur dan di malam hari begadang, pindah dari satu
restoran ke restoran lain, nongkrong di kafe, melancong dari satu tempat ke
tempat lain, shopping atau sekadar jalan-jalan di mal, tidak pernah masak,
tidak pernah membersihkan rumah, tidak ada perhatian terhadap suami dan
anak-anak, serta tidak peduli dengan keadaan rumah. Kalau seperti ini keadaan
seorang istri, lalu untuk apa seseorang menikah? Apa sekadar simbol saja bahwa
ia sudah berstatus menikah?
Suami memikul
tanggung jawab yang besar apabila membiasakan atau membiarkan istrinya berada
di atas jalan yang jelek tersebut, kelak ia akan ditanya dan dimintai
pertanggungjawaban di hadapan Allah Shubhanahu wa ta’alla. Maka dari
itu, sebelum semuanya terlambat hendaknya ia “membenahi” istrinya.
Jadi, cinta tidak berarti
memanjakan istri dengan dunia dan mempersilakannya berbuat semaunya. Tetapi
cinta adalah membimbing tangannya dan mengarahkannya kepada kebaikan dengan
penuh kelembutan.
Suami tidak boleh menganggap
enteng apabila istrinya berbuat dosa atau melakukan sesuatu yang tercela dalam
kebiasaan manusia. Jangan ia berdalih dengan kata “kasihan” untuk
memperingatkan istrinya dari perbuatan salah atau menyimpang. Bahkan, apabila
perlu, ia memberikan hukuman yang mendidik.
Suami harus punya rasa cemburu
terhadap istrinya sehingga tidak membiarkan istrinya tabarruj (bersolek) dan
bercampur baur dengan lelaki ajnabi atau membiarkan istrinya keluyuran, keluar
masuk rumah semaunya. Suami yang tidak cemburu kepada istrinya dan membiarkan
istrinya bermaksiat kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla adalah dayyuts.
Suami harus
menyadari, segigih apa pun upayanya untuk memperbaiki istrinya, tetaplah pada
diri sang istri ada kekurangan dan cacat. Hanya saja, selama cacat itu bukan
dalam hal agama dan akhlak, hendaklah suaminya bersabar menghadapinya, karena
memang mustahil ia bisa mendapatkan wanita yang sempurna, sama sekali tidak
memiliki kekurangan dari satu sisi pun. Nabi Muhammad Shalallhu ‘alaihi
wasallam bersabda,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلْعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلْعِ أَعْلاَهُ، فَإنْ ذَهَبْتَ تُقيْمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاء خَيْرًا )) [ متفق عليه ]
“Mintalah wasiat untuk berbuat
kebaikan kepada para wanita (istri), karena mereka diciptakan dari tulang
rusuk. Sungguh, bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling
atasnya. Apabila engkau memaksa untuk meluruskan tulang rusuk itu, niscaya
engkau akan mematahkannya. Namun, apabila engkau biarkan, ia akan terus-menerus
bengkok. Oleh karena itu, mintalah wasiat kebaikan dalam hal para istri.” (HR.
al-Bukhari dan Muslim)
Rasulullah Muhammad Shalallhu
‘alaihi wasallam juga bersabda,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( الْمَرْأَةُ كَالضِلْعِ، إِنْ أَقَمْتَهُ كَسَرْتَهُ وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَفِيْهَا عِوَجٌ )) [ متفق عليه ]
“Wanita itu seperti tulang rusuk.
Jika engkau meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Jika engkau ingin
bersenang-senang dengannya, engkau bisa bersenang-senang dengannya, hanya saja
padanya ada kebengkokan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dalam sebuah riwayat al-Imam Muslim disebutkan dengan lafadz,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ، لَنْ تَسْتَقِيْمَ لَكَ عَلَى طَرِيْقٍ، فَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَبِهَا عِوَجٌ، وَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهَا كَسَرْتَهَا وَكَسْرُهَا طَلاَقُها )) [ متفق عليه ]
“Sesungguhnya wanita itu
diciptakan dari tulang rusuk sehingga ia tidak akan terus-menerus lurus untukmu
di atas satu jalan. Jika engkau bernikmat-nikmat dengannya, engkau bisa
melakukannya, namun padanya ada kebengkokan. Jika engkau memaksa meluruskannya,
engkau akan mematahkannya. Patahnya adalah talaknya.”6
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda,
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( إِنَّمَا النَّاسُ كَإِبِلٍ مِائَةً لاَ تَكَادُ تَجِدُ فِيْهَا رَاحِلَةً )) [ متفق عليه ]
“Manusia itu hanyalah seperti seratus ekor unta,
hampir-hampir dari seratus ekor tersebut engkau tidak dapatkan seekor pun yang
bagus untuk ditunggangi.” (HR. al-Bukhari no. 6498 dan Muslim no. 2547)
Maksud hadits
di atas, kata al-Imam al-Khaththabi, “Mayoritas manusia itu memiliki
kekurangan. Adapun orang yang punya keutamaan dan kelebihan jumlahnya sedikit
sekali. Oleh karena itu, mereka yang sedikit itu seperti keberadaan unta yang
bagus untuk ditunggangi dari sekian unta pengangkut beban.” (Fathul Bari,
11/343)
Al-Imam an-Nawawi menyatakan,
“Orang yang diridhai keadaannya dari kalangan manusia, yang sempurna
sifat-sifatnya, indah dipandang mata, kuat menanggung beban (itu sedikit
jumlahnya).” (Syarhu Shahih Muslim, 16/101)
Ibnu Baththal juga menyatakan hal
serupa tentang makna hadits di atas, “Manusia itu jumlahnya banyak, namun yang
disenangi dari mereka jumlahnya sedikit.” (Fathul Bari, 11/343)
Demikianlah… Sebagai akhir,
hendaknya diketahui bahwa siapa yang telah menikah berarti ia telah menjaga
dirinya. Maka dari itu, hendaknya ia bertakwa kepada Allah Shubhanahu wa
ta’alla sebagai Rabbnya, dengan tidak berbuat yang diharamkan. Hendaknya ia
menjadi seorang ‘afif, yang membatasi pandangan matanya hanya kepada
pasangannya yang sah. Karena di dalam pernikahan ada ketenangan bagi jiwa,
dapat meredam syahwat yang menyimpang dan menjauhkan dari yang haram, bersama
seseorang yang merupakan miliknya sendiri, yang telah diizinkan oleh Dzat Yang
Maha Penyayang, Yang Maha tahu apa yang tersembunyi dalam dada. Hendaknya ia
bersyukur kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla atas nikmat -Nya yang tiada
terhitung, Dia telah memberikan sesuatu yang halal kepadanya dan menjaganya
dari yang haram.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wa salllam bersabda,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( إِذَا تَزَوَّجَ الْعَبْدُ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ نِصْفَ الدَّيْنِ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِيْمَا بَقِيَ )) [ رواه الطبراني في الأوسط ]
“Apabila seorang hamba telah menikah, sungguh ia telah
menyempurnakan separuh agamanya. Maka dari itu, hendaklah ia bertakwa kepada
Allah dalam separuh yang tersisa.” (HR. ath-Thabarani dalam al-Ausath
[1/162/1], hadits ini hasan sebagaimana keterangan asy-Syaikh al-Albani dalam
ash-Shahihah no. 625)
Kita memohon kepada Allah Shubhanahu
wa ta’alla agar menegakkan rumah tangga kita di atas kebahagiaan, penuh
sakinah, mawaddah dan warrahmah, serta menjadikan kita sebagai orang-orang yang
terbimbing. Amin ya Mujibas Sa’ilin.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Disusun dari tulisan berjudul : Walyasa’ki
Baituki min Ajli Hayah Zaujiyah Hani’ah dan dari beberapa sumber yang lain)
Catatan Kaki:
1.
Al-hur jamak dari al-haur, yaitu wanita-wanita penduduk surga
yang lebar matanya, bagian yang putih dari matanya sangat putih dan bola
matanya sangat hitam. (Tuhfatul Ahwadzi, 4/283—284).
2.
Artinya secara harfiah, “Semoga Allah l membunuhmu, melaknat,
atau memusuhimu.” Namun, maknanya untuk menyatakan keheranan dan tidak
dimaksudkan agar hal tersebut terjadi.
3.
Maksudnya, mengucapkan ucapan yang buruk kepada istri,
mencaci makinya atau mengatakan kepadanya, “Semoga Allah menjelekkanmu”, atau
ucapan semisalnya. (Aunul Ma’bud, Kitab an-Nikah, bab “Fi Haqqil Mar’ah ‘ala
Zaujiha”).
4.
Memboikot istri dilakukan ketika istri tidak mempan
dinasihati dalam hal kemaksiatan yang dilakukannya sebagaimana ditunjukkan
dalam ayat,
“Istri-istri yang
kalian khawatirkan nusyuznya maka berilah mau’izhah kepada mereka, boikotlah
mereka di tempat tidur….” (an-Nisa: 34)
Pemboikotan ini
bisa dilakukan di dalam atau di luar rumah, seperti yang ditunjukkan oleh hadits
Anas bin Malik z tentang Rasulullah n yang meng’ila istrinya (bersumpah untuk
tidak mendatangi istri-istrinya) selama sebulan dan selama itu beliau tinggal
di masyrabahnya (loteng). (HR. al-Bukhari)
Hal ini tentu
melihat keadaan. Apabila memang diperlukan boikot di luar rumah, hal itu
dilakukan. Namun, apabila tidak diperlukan, cukup di dalam rumah. Bisa jadi,
boikot di dalam rumah lebih mengena dan lebih menyiksa perasaan si istri
daripada boikot di luar rumah. Namun, bisa juga sebaliknya. Akan tetapi, yang
dominan, boikot di luar rumah lebih menyiksa jiwa, terkhusus jika yang
menghadapinya kaum wanita karena lemahnya jiwa mereka. (Fathul Bari, 9/374)
Al-Imam an-Nawawi
t berkata terkait dengan kisah Rasulullah n meng-ila’ istri-istrinya, “Suami
berhak menghajr istrinya dan memisahkan diri dari istrinya ke rumah lain
apabila ada sebab yang bersumber dari sang istri.” (al-Minhaj, 10/334)
5.
Nabi n menyatakan, “Sebaik-baik kalian
adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya”, karena para wanita/istri
adalah makhluk Allah l yang lemah sehingga sepantasnya menjadi tempat curahan
kasih sayang. (Tuhfatul
Ahwadzi, 4/273)
6.
Hadits-hadits ini menunjukkan keharusan berlaku lembut kepada
para wanita/istri, berbuat baik kepada mereka, bersabar atas kebengkokan akhlak
mereka, menanggung kelemahan akal mereka dengan sabar, tidak disenanginya
menalak mereka tanpa ada sebab, dan tidak boleh berambisi meluruskan mereka
dengan paksa. (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 10/42
Post a Comment