Kaum Muslimin Harus Memenuhi Syarat-Syarat Yang Telah Mereka Sepakati
Kaum Muslimin Harus Memenuhi Syarat-Syarat Yang Telah Mereka Sepakati
Segala puji hanya untuk Allah
Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam beserta
keluarga dan seluruh sahabatnya.
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: « وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ
حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا» [1]
Kaum Muslimin Harus Memenuhi Syarat-Syarat Yang Telah Mereka Sepakati Kecuali Syarat Yang Mengharamkan Suatu Yang Halal Atau Menghalalkan Suatu Yang Haram.
Sebagaimana
kaidah sebelumnya, kaidah yang mulia ini sesuai dengan lafadz hadits yang
diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu
anhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda :
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: « وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ
حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا» [2]
Dan kaum Muslimin harus memenuhi syarat-syarat
yang telah mereka sepakati kecuali syarat yang mengharamkan suatu yang halal
atau menghalalkan suatu yang haram.
Kaidah ini menjelaskan bahwa hukum
asal dari persyaratan-persyaratan yang telah disepakati oleh kaum Muslimin
dalam berbagai akad yang dilaksanakan adalah diperbolehkan. Karena mengandung
maslahat dan tidak ada larangan syari’at tentang hal itu. Tentunya, selama
syarat-syarat itu tidak menyeret pelakunya terjerumus kedalam suatu yang
diharamkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul -Nya. Apabila mengandung unsur haram
sehingga bisa menyeret pelakunya terjerumus dalam perkara yang haram maka
syarat-syarat tersebut tidak diperbolehkan.
Syarat-syarat yang diperbolehkan
sebagaimana hukum asalnya itu banyak, diantara contohnya:
1.
Dalam akad jual beli.
a.
Seseorang menjual barangnya dan menetapkan syarat agar ia
masih diberi hak untuk menggunakan barang tersebut dalam jangka waktu tertentu
sebelum diserahkan kepada pembeli. Misalnya Ahmad menjual rumahnya kepada Zaid
dengan harga tertentu. Ahmad mensyaratkan bahwa ia masih menempati rumah itu
selama satu bulan sebelum diserahkan kepada Zaid.
b.
Seseorang membeli barang dengan syarat pembayarannya ditunda
sampai jangka waktu tertentu. Misalnya Ahmad membeli sebuah rumah dari Zaid
dengan harga tertentu, dengan syarat setengah dari harga tersebut langsung
dibayarkan ketika akad, sedangkan setengahnya dibayarkan sebulan kemudian.
c.
Pembeli mensyaratkan bahwa barang yang akan dibelinya harus
memiliki sifat-sifat tertentu. Misalnya seseorang yang ingin membeli budak dan
ia mensyaratkan bahwa budak yang akan ia beli tersebut harus mempunyai keahlian
tertentu, seperti bisa membaca dan menulis atau keahlian lainnya. Demikian pula
apabila seseorang ingin membeli hewan ternak dan ia mensyaratkan kepada si
penjual bahwa hewan yang akan ia beli tersebut produksi susunya banyak atau
selainnya.
2.
Dalam akad hutang piutang, apabila orang yang menghutangi
menetap syarat harus ada jaminan berupa barang tertentu kepada orang yang
berhutang. Misalnya Ahmad ingin berhutang sejumlah uang kepada Zaid. Kemudian
Zaid berkata, “Saya mau meminjami uang kepadamu dengan syarat ada jaminan.”
3.
Berkaitan dengan akad wakaf, apabila seseorang mewakafkan
suatu barang disertai dengan syarat tertentu. Maka dalam pemanfaatan barang
wakaf itu harus disesuaikan dengan syarat yang telah ditentukan oleh si
pewakaf, selama syarat tersebut tidak menyelisihi syari’at. Misalnya seseorang
mewakafkan sebidang tanah dengan syarat digunakan untuk pembangunan masjid.
Maka pemanfaatan tanah tersebut harus disesuaikan dengan syarat yang telah
ditentukan pewakaf.
4.
Demikian pula syarat-syarat yang dibuat oleh pasangan suami
isteri dalam ikatan pernikahannya. Misalnya, seorang wanita berkata kepada
calon suaminya, “Saya mau menjadi isterimu dengan syarat saya tetap tinggal di
kampung kelahiran saya.” Atau si wanita tersebut mensyaratkan supaya tidak
dipoligami atau syarat-syarat semisalnya. Maka hukum asal dari persyaratan-persyaratan
tersebut diperbolehkan, sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إِنَّ أَحَقَّ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوَفُّوْا
بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوْجَ » [3]
Sesungguhnya syarat
yang paling wajib kalian tunaikan adalah syarat-syarat untuk menghalalkan
pernikahan.
Adapun syarat-syarat yang menyebabkan pelakunya terjerumus dalam perkara
yang diharamkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, maka syarat-syarat tersebut
tidak boleh dipenuhi dan tidak boleh dilaksanakan. Di antara contohnya adalah
dalam kasus jual beli budak. Apabila seseorang menjual budak miliknya dengan
syarat kalau budak itu nantinya dimerdekakan oleh si pembeli (tuannya yang
baru) maka wala’nya [4] untuk si penjual tersebut. Syarat seperti ini tidak
diperbolehkan karena bertentangan dengan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إِنَّمَا الْوَلاَءُ لِمَنْ أَعْتَقَ » [5]
Sesungguhnya wala’ itu adalah milik orang yang
memerdekakan budak.
Syarat-syarat yang diharamkan itu
terbagi menjadi tiga :
1.
Syarat-syarat yang haram dan menyebabkan akad tidak sah.
Misalnya adalah syarat mut’ah dalam pernikahan. Yaitu pernikahan yang dibatasi dengan jangka waktu tertentu. Jika jangka waktu tersebut selesai maka pasangan suami isteri tersebut bercerai. Misalnya, seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan syarat pernikahan tersebut berlangsung selama satu bulan dan setelah itu pernikahan mereka berakhir.
Misalnya adalah syarat mut’ah dalam pernikahan. Yaitu pernikahan yang dibatasi dengan jangka waktu tertentu. Jika jangka waktu tersebut selesai maka pasangan suami isteri tersebut bercerai. Misalnya, seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan syarat pernikahan tersebut berlangsung selama satu bulan dan setelah itu pernikahan mereka berakhir.
2.
Demikian pula syarat tahlil dalam pernikahan. Apabila seorang
wanita telah ditalak sebanyak tiga kali oleh suaminya, maka si suami tidak bisa
ruju’ bekas isterinya tersebut kecuali apabila wanita tersebut telah dinikahi
laki-laki lain, telah berhubungan suami isteri dengan suaminya yang baru
tersebut dan telah diceraikan lagi oleh suaminya yang baru itu, tanpa ada unsur
rekayasa. Jika ada rekayasa, misalnya ada laki-laki lain yang melamar wanita
tersebut, kemudian si wanita ini mau tapi dengan syarat setelah menikah dan
berhubungan suami isteri, dia harus dicerai, supaya bisa menikah kembali dengan
bekas suaminya yang pertama. Inilah yang dimaksud dengan syarat tahlil dalam
perrnikahan. Syarat mut’ah dan syarat tahlil adalah syarat yang fasad (rusak) yang menyebabkan
pernikahan tersebut tidak sah. Karena syarat ini bertentangan dengan tujuan
awal pernikahan disyari’atkan.
3.
Syarat-syarat yang haram tetapi tidak menyebabkan akadnya
batal. Misalnya,
pernikahan dengan syarat tanpa mahar. Apabila seorang laki-laki menikahi
seorang wanita dengan syarat tanpa memberikan mahar kepada isterinya. Demikian pula apabila seorang
laki-laki menikahi seorang wanita dengan syarat tidak memberikan nafkah kepada
isterinya, atau dengan syarat bahwa isterinya tersebut mendapatkan giliran
lebih banyak atau lebih sedikit daripada isteri-isterinya yang lain.
Maka syarat-syarat semacam ini termasuk syarat yang fasad (rusak) namun tidak sampai
menyebabkan akad pernikahan itu batal. Karena syarat-syarat itu tidak
bertentangan dengan tujuan awal pernikahan, baru sebatas menafikan hal-hal yang
wajib ditunaikan dalam pernikahan berupa hak-hak isteri atas suaminya. Wallahu
a’lam.
_______
Footnote
Footnote
[1]. Diangkat dari al-Qawâ’id wal Ushûlul
Jâmi’ah wat Taqâsîm
[2]. Hadits (الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ )diriwayatkan oleh Imam Bukhâri 4/451 secara mu'allaq dengan shighah jazm. Dan diriwayatkan secara maushûl oleh Imam Ahmad 2/366, Abu Dâwud no. 3594, Ibnu Jarud no. 637, Hakim 2/45, Ibnu 'Adiy no. 2088 dari Abu Hurairah lewat jalur periwayatan Katsîr bin Zaid dari Walîd bin Rabbâh. Dan diriwayatkan oleh Tirmidzi no. 1370 dari Katsîr bin Abdillâh bin 'Amr bin 'Auf al-Muzaniy dari bapaknya dari kakeknya bahwasannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
[2]. Hadits (الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ )diriwayatkan oleh Imam Bukhâri 4/451 secara mu'allaq dengan shighah jazm. Dan diriwayatkan secara maushûl oleh Imam Ahmad 2/366, Abu Dâwud no. 3594, Ibnu Jarud no. 637, Hakim 2/45, Ibnu 'Adiy no. 2088 dari Abu Hurairah lewat jalur periwayatan Katsîr bin Zaid dari Walîd bin Rabbâh. Dan diriwayatkan oleh Tirmidzi no. 1370 dari Katsîr bin Abdillâh bin 'Amr bin 'Auf al-Muzaniy dari bapaknya dari kakeknya bahwasannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الصُّلْحُ
جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ إِلاَّ صُلْحًا حَرّامَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ
حَرَامًا وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً
أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
Lafadz
ini pula yang diriwayatkan oleh Thabrani dalam al-Kabîr no. 30, Ibnu 'Adiy no.
2081, Dâruquthni 3/27, al-Baihaqi 6/79, Ibnu Mâjah no. 2353 tanpa potongan
kalimat terakhir. Hadits ini dikuatkan dengan hadits ‘Aisyah, Anas, Abdullâh
bin Umar, Rafi' bin Khadîj Radhiyallahu anhum, sehingga hadits ini menjadi sah
dengan mengumpulkan seluruh jalur periwayatannya.
[3]. HR. al-Bukhâri dalam kitabun Nikâh, Bab as-Syurûth fin Nikâh, no. 5151. Muslim dalam kitab an-Nikâh, Bab al-Wafâ’ fis syurûth, no. 1418 dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu.
[3]. HR. al-Bukhâri dalam kitabun Nikâh, Bab as-Syurûth fin Nikâh, no. 5151. Muslim dalam kitab an-Nikâh, Bab al-Wafâ’ fis syurûth, no. 1418 dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu.
[4].
Yang dimaksud dengan wala’ di sini adalah apabila seseorang memerdekakan budak,
kemudian setelah merdeka budak itu meninggal dalam keadaan tidak mempunyai ahli
waris, maka yang berhak mewarisi hartanya adalah orang yang memerdekakannya.
Demikian pula apabila setelah merdeka, budak tersebut terbunuh sedangkan ia
tidak memiliki ahli waris, maka orang yang memerdekakan itulah yang berhak
menerima diyat (dendanya). (Pen)
[5]. HR. al Bukhâri dalam Kitab al-Mukâtab, Bab Isti’ânatul Mukâtab, no. 2563. Muslim dalam Kitab al-‘Itqu, Bab Innamal Wallâ-u Liman A’taqa, no. 1504 dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.
[5]. HR. al Bukhâri dalam Kitab al-Mukâtab, Bab Isti’ânatul Mukâtab, no. 2563. Muslim dalam Kitab al-‘Itqu, Bab Innamal Wallâ-u Liman A’taqa, no. 1504 dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.
Post a Comment